Apa saja yang menjadi faktor penyebab meletusnya Perang Salib?

Perang Salib (Perang Salib I, II, III, dan IV) adalah sebuah rentetan perang yang terjadi sebagai akibat pengerahan pasukan perang Eropa yang dikomandoi oleh paus dan gereja Katolik antara tahun 1096 hingga 1291 M. Pengerahan pasukan ini dilakukan ke daerah Timur dan dunia Islam yang kemudian mengobarkan api peperangan antara para pengikut dua agama besar dan kuat yang terjadi pada beberapa kawasan tertentu.

Apa saja yang menjadi faktor penyebab meletusnya perang-perang Salib?

Persentuhan awal bangsa Eropa dengan dunia Islam bermula sejak adanya kebijakan-kebijakan ekspansi negara-negara Islam baru, yang terjadi pasca-wafatnya Nabi Muhammad Saw. pada tahun 632 M.

Pada abad berikutnya, kaum Muslimin berbondong-bondong menyeberangi deretan pegunungan di antara Perancis dan Spanyol serta menaklukkan daerah-daerah yang membentang dari India hingga Perancis selatan. Selama kurun waktu dua ratus tahun, kaum Muslimin-lah yang menguasai masa itu dengan perkembangan kebudayaan yang luar biasa. Sejak tahun 750 M. dan seterusnya, Dinasti ‘Abbasiyah dibentuk oleh pemerintahan serta kebudayaan Persia-Islam yang dilengkapi dengan dukungan militer dari budak-budak bangsa Turki yang dijadikan tentara.

Akan tetapi, pada abad kesepuluh dan kesebelas, terjadi perpecahan politik yang sangat hebat di tubuh Dinasti ‘Abbasiyah dengan pusat pemerintahannya di Baghdad. Kondisi ini turut membantu bangsa-bangsa Eropa di Mediterania Timur untuk kembali bangkit dan mengibarkan kembali kekuasaan Kristen di Spanyol. Jalur-jalur perdagangan diikuti dengan keberhasilan serta kemajuan di bidang kelautan mengiringi kegemilangan yang telah dicetak sebelumnya oleh umat Islam. Bangsa Norman berhasil merebut Sisilia dari tangan kaum Muslimin dan kaum Kristen di utara Spanyol berhasil merebut kembali Toledo dengan terus melakukan ekspansi ke arah selatan. Begitu juga dengan Bizantium yang merupakan tetangga dekat dunia Islam, berhasil melakukan penyerbuan ke utara Suriah pada akhir abad kesepuluh dan dalam jangka beberapa waktu kemudian berhasil pula menguasai kota-kota yang berada di negeri tersebut.

Para peziarah Kristen Eropa biasa mengunjungi tempat-tempat suci agama mereka di Yerusalem dan Tanah Suci selama abad-abad awal kekuasaan kaum Muslim. Jalur yang biasa mereka lalui adalah jalur darat dengan melewati Balkan, Anatolia, serta Suriah, atau melalui jalur laut menuju Mesir maupun Palestina.

Dengan demikian, berita mengenai kemajuan peradaban umat Islam tersebar hingga Eropa. Begitu pula dengan kabar mengenai kemunduran serta desentralisasai kekuasaan militer dan politik umat Islam berhasil didengar oleh Paus dan kerajaan-kerajaan Eropa.

Perang Salib Pertama

Kepausan memiliki alasan tersendiri yang mendorongnya untuk melakukan penyerangan terhadap kaum Muslimin. Persekutuan Konstantinopel dan gereja ini pun ditindaklanjuti dengan mengadakan pertemuan akbar di The Council of Clermont, Perancis Selatan, dan Paus Urbanus II mengeluarkan maklumat penting pada tanggal 17 November 1095 M., dengan menyerukan kepada umat Kristen agar berangkat membebaskan kota suci Yerusalem dari penindasan kaum Muslimin, serta mendesak para kesatria Eropa untuk berhenti berkelahi sesama mereka sendiri dan membulatkan niat bersama untuk memerangi musuh-musuh Tuhan tersebut. Dengan pidato berapi-api, Paus Urbanus II membakar emosi umat Kristen:

“Hai orang-orang Frank, hai orang-orang di luar pegunungan ini, hai orang- orang yang dicintai Tuhan, yang jelas dari perilaku kalian, yang membedakan diri dari bangsa-bangsa lain di muka bumi ini, karena iman kalian, karena pengabdian kalian pada gereja suci; inilah pesan dan himbauan khusus untuk kalian… Kabar buruk telah tiba dari Yerussalem dan Konstantinopel, bahwa sebuah bangsa asing yang terkutuk dan menjadi musuh Tuhan, yang tidak lurus hatinya, dan yang jiwanya tidak setia pada Tuhan, telah menyerbu tanah orang-orang Kristen dan membumihanguskan mereka dengan pedang dan api secara paksa.”

Provokasi Paus Urbanus II tersebut bertambah hebat sehingga bara dalam dada umat Kristen kian berkobar-kobar:

“Tidak sedikit orang-orang Kristen yang mereka tawan untuk dijadikan budak, sementara sisanya dibunuh. Gereja-gereja, kalau tidak mereka hancurkan, mereka jadikan masjid. Altar-altar diporak-porandakan. Orang- orang Kristen mereka sunat, dan darahnya mereka tuangkan pada altar atau tempat-tempat pembaptisan. Beberapa mereka bunuh secara keji, yakni dengan membelah perut dan mengeluarkan ususnya. Mereka tendang orang- orang Kristen, dan mereka dipaksa berjalan sampai keletihan, hingga terjerembab di atas tanah. Beberapa dipergunakan sebagai sasaran panah. Ada yang mereka betot lehernya, untuk dicoba apakah bisa mereka penggal dengan sekali tebas. Lebih mengerikan lagi perlakuan mereka terhadap perempuan.”

Menyaksikan umat Kristen telah terbakar, selanjutnya Paus Urbanus II menyerukan untuk melawan orang-orang kafir tersebut:

“Kewajiban siapa lagi kalau bukan kalian, yang harus membalas dan merebut kembali daerah-daerah ini? Ingatlah, Tuhan telah memberi kalian banyak kelebihan dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain: semangat juang, keberanian, keperkasaan, dan ketidakgentaran menghadapi siapa pun yang hendak melawan kalian. Ingatlah pada keberanian nenek moyang kalian, pada kekaisaran Karel Agung dan Louis, anaknya serta raja-raja lainnya yang telah membasmi Kerajaan Turki dan menegakkan agama Kristen di tanah mereka. Kalian harus tergerak oleh makam kudus Tuhan Yesus Sang Juru Selamat kita, yang kini ada di tangan orang-orang najis; kalian harus bangkit berjuang, karena kalian telah tahu, banyak tempat-tempat suci yang telah dikotori, diperlakukan secara tidak senonoh oleh mereka.”

Sebagai siraman minyak terakhir untuk membakar bara dendam di hati umat Kristen kian membara, Paus Urbanus II berseru:

“Hai para ksatria pemberani, keturunan nenek moyang yang tak tertaklukkan, janganlah lebih lemah daripada mereka, tetapi ingatlah pada ketidakgentaran mereka. Jika kalian ragu-ragu karena cinta kalian kepada anak-anak, istri, dan kerabat kalian, ingatlah pada apa yang Tuhan katakana dalam Injil: “Ia yang mengasihi ayah dan ibunya lebih daripada Aku, tidak pantas bagi-Ku.”
…Jangan biarkan apa yang menjadi kepunyaan kalian menghambat kalian. Kalian tak perlu khawatir dengan apa yang menjadi kepunyaan kalian. Negeri kalian telah padat penduduknya, dan dari semua sisi tertutup laut dan pegunungan. Tak banyak kekayaan di sini, dan tanahnya jarang membuahkan hasil pangan yang cukup buat kalian. Itulah sebabnya sering bertikai sendiri. Hentikan kesalingbencian dan pertengkaran kalian, hentikan peperangan antar sesama kalian. Bergegaslah menuju Makam Kudus, rebutlah kembali negeri itu dari orang-orang jahat, dan jadikan milik kalian. Negeri itu, seperti dikatakan di dalam Alkitab, berlimpah susu dan madu, Allah memberikannya kepada anak-anak Bani Israil, Yerusalem, negeri terbaik, lebih subur daripada lainnya, seolah-olah surga kedua. Inilah tempat Juru Selamat kita dilahirkan, diperintah dengan kehidupan-Nya, dan dikuduskan dengan penderitaan-Nya. Bergegaslah, dan kalian akan memperoleh penebusan dosa, serta pahala di Kerajaan Surga.”

Sepanjang sejarah kepausan, pidato Paus Urbanus II merupakan pidato yang paling berpengaruh. Pidato tersebut telah berhasil membakar kaum Kristen Eropa untuk melawan Kerajaan Turki, yang bagi mereka merupakan segerombolan orang-orang kafir tak beradab.
Setelah Paus Urbanus II menyelesaikan pidatonya, orang-orang yang tengah berkumpul di The Council of Clermont berteriak dengan satu suara, “Deus Vult”, “Tuhan memberkati”, sembari mengacung-acungkan tangan. Maka, demi sebuah negeri yang dinyatakan di dalam Alkitab bahwa, “berlimpah susu dan madu , Allah memberikannya kepada anak-anak Bani Israil. Yerussalem, negeri terbaik, lebih subur daripada lainnya, seolah-olah surga dengan kehidupan-Nya, dan dikuduskan dengan penderitaan-Nya.” dan demi memperoleh penebusan dosa, serta pahala di Kerajaan Surga, mereka pun bergegas maju ke dalam medan pertempuran dengan membawa salib suci sebagai simbol mereka.

Mengenai Perang salib ini, John L. Esposito, guru besar Universitas George Town, Amerika, memberikan analisisnya yang tajam:

“Sebagian besar masyarakat Barat mengakui adanya kenyataan tertentu yang berhubungan dengan Perang Salib, tetapi banyak di antara mereka yang tidak mengetahui bahwa Perang Salib yang mengakibatkan korban yang amat besar ini adalah atas perintah Paus. Bagi umat Islam, kenangan atas Perang Salib merupakan satu contoh nyata dari militerisasi Kristen ekstrim, sebuah kenangan yang membawa pesan imperialisme Kristen Barat.”

Respons terhadap seruan Paus Urbanus II itu sungguh luar biasa, tersebar luas, dan cepat. Banyak pengkhutbah populer seperti Peter si Pertapa menyebarkan kabar tentang Perang Salib. Pada musim semi tahun 1096 M., berangkatlah lima pasukan yang terdiri atas enam puluh ribu tentara. Mereka diiringi oleh sekelompok peziarah yang tak bertempur beserta istri dan keluarga mereka. Mereka berangkat ke Timur. Gelombang pertama itu disusul pada musim gugur oleh lima pasukan lagi yang terdiri atas kira-kira seratus ribu lelaki beserta segerombolan pendeta dan peziarah. Untuk masa itu, jumlah tersebut sangatlah mengagumkan.

Saat pasukan pertama mendekati ibukota Bizantium, Konstantinopel, hal ini tampak di mata putri Anna Comnena, yang terkejut sekaligus tertarik, seakan “seluruh Barat, dan seluas tanah yang terhampar di atas Laut Adriatik hingga Pilar-pilar Hercules (Gibraltar) —seluruh lautan manusia itu, yang berubah- ubah susunannya— seketika bergerak maju memasuki wilayah Asia dalam jumlah massa yang penuh sesak, dengan seluruh harta benda milik mereka.”

Raja Bizantium telah meminta bantuan militer konvensional dan mendapati bahwa dia telah mengilhami apa yang tampak seperti sebuah invasi besar-besaran dari kaum Barbar, serupa dengan serbuan yang telah menghancurkan Kekaisaran Romawi di Eropa. Barat memulai invasinya terhadap dunia Timur pada abad modern. Invasi yang dipenuhi oleh perasaan benar sendiri — yang cenderung agresif dari sebuah perang suci—, sebuah perasaan yang akan menjadi ciri Barat di masa sesudahnya dalam berurusan dengan dunia Timur. Pasukan Kristen gabungan di bawah beberapa pimpinan berbagai kelompok kaum Eropa Barat ini telah tiba di Konstantinopel dan melakukan perjalanan darat menyeberangi Anatolia menuju Yerusalem. Maka, dimulailah rangkaian operasi militer yang dipelopori oleh kaum Kristen Eropa arat melawan Islam di Timur Dekat yang kemudian dikenal sebagai Perang Salib, sebagai sebuah ziarah bersenjata, yang serupa dengan ziarah-ziarah massal dalam jumlah besar yang selama ini berlangsung ke Kota Suci tiga kali selama abad ke-11.

Perang Salib ini merupakan kerjasama pertama dari Eropa Barat yang tengah merangkak keluar dari Abad Kegelapan. Perang Salib menarik minat semua lapisan strata masyarakat: para paus, raja-raja, kaum bangsawan, pendeta, tentara, serta para petani. Orang-orang rela menjual segala yang mereka miliki sebagai bekal dalam ekspedisi yang panjang dan sangat berbahaya. Sebagian besar dari mereka tidak terilhami oleh nafsu keuntungan material karena Perang Salib adalah kejam, menakutkan, berbahaya, dan mahal.

Mereka telah terbelenggu oleh gairah keagamaan, terbakar oleh kecintaan kepada Yerusalem. Mereka menjahitkan tanda salib di baju mereka dan berbaris menuju tanah tempat Yesus wafat untuk menyelamatkan dunia. Perjalanan itu merupakan ziarah yang penuh pengabdian sekaligus perang pemusnahan. Tidaklah mudah untuk memberikan batasan secara pasti tujuan dari Pasukan Salib karena peziarah ini seluruhnya memiliki konsepsi-konsepsi yang sangat berbeda tentang ekspedisi mereka.

Selain itu, sSeruan Paus Urbanus II untuk memerangi kaum Muslimin menembus jantung orang-orang Kristen dan disambut oleh salah seorang pendeta Perancis yang bernama Boutros. Boutros inilah yang berkeliling ke pelosok negeri guna meminta dukungan terhadap seruan Sri Paus. Dengan gaya bahasanya yang persuasif dan memukau, Boutros berhasil membangkitkan hasrat keagamaan kaum Kristen dan mengajak mereka untuk berperang.

Sembari berpura-pura menangisi Baitul Maqdis (Makam Suci), Boutros mengimbau umat Kristen untuk membebaskannya dari tangan kaum Muslimin. Ajakan Boutros ini benar-benar berpengaruh dalam hati umat Kristen. Lalu berkumpullah di pihak Boutros orang-orang gembel dari golongan sahaya, para penjahat, serta narapidana. Mereka keluar dengan semangat tinggi tanpa strategi, dengan jumlah yang sangat besar namun tanpa perencanaan, dan dengan kekuatan yang besar namun tanpa adanya persiapan yang matang. Karena kebodohan dan keluguannya, mereka tidak memahami bahwasanya perjalanan yang akan mereka lalui sangatlah panjang. Akibatnya, mereka pun tidak mampu menghadapi kesulitan yang menghadang.

Perang Salib yang terdiri dari pasukan gembel tersebut melakukan tindak kriminal di sepanjang perjalanan mereka hingga memaksa orang-orang Bizantium dan Honggaria menghentikan kebrutalannya dan memotong kekuatan pasukan besar tersebut serta membunuhnya dalam jumlah yang besar. Adapun Pasukan Salib yang tersisa melanjutkan perjalanannya hingga menyeberangi Dardnil (Dardanela). Mendekati perbatasan negara Saljuk, mereka disambut oleh tentara Saljuk dengan serangan sporadis dan menewaskan mereka dari awal sampai akhir hingga tidak ada seorang pun yang selamat. Peristiwa ini terjadi pada tahun 490 H./1096 M.

Pasca kegagalan total Tentara Salib pimpinan Boutros dan tewasnya seluruh tentaranya, keluarlah Tentara Salib baru yang jauh lebih besar yang didatangkan dari Eropa. Turut serta di dalamnya para gubernur, pasukan kavaleri, serta para panglima perang. Motif mereka sangatlah jelas, yaitu ingin menyelamatkan Baitul Maqdis, tempat ‘haji’ kaum Kristen dan merupakan tempat suci agama mereka.

Pada Perang Salib Pertama, yang terjadi pada tahun 491 H./1097 M., meskipun dilancarkan dengan sejumlah pemimpin di lapangan, termasuk Raymond dari Toulose, Bohemond dari Sisilia, dan Godfrey dari Bouillon, mencapai keberhasilan militer yang bernilai penting pada saat masih berada dalam perjalanan melalui Anatolia. Kaum Frank itu menaklukkan ibukota Saljuk di Iznik pada bulan Juni 1097 M., dan membuat pasukan Saljuk yang berada di bawah pimpinan Sultan Qilij Arslân mengalami kekalahan besar-besaran dalam pertempuran Dorylaeum pada Juli di tahun yang sama.

Setibanya di Antiokhia (Antakiyah), Suriah utara, Tentara Salib yang memisahkan diri di bawah pimpinan Baldwin dari Boulogne menyeberang ke kota Edessa (Raha) yang dikuasai kaum Kristen Armania. Kota itu pun takluk pada tanggal 10 Maret 1098 M. Selanjutnya, mereka mendirikan negara Tentara Salib pertama di Timur Dekat tersebut (biasanya dikenal dengan Wilayah Edessa).

Antiokhia jatuh ke tangan Tentara Salib pada bulan Juni 1098. Dan pada bulan Januari di tahun berikutnya, Kerajaan Antiokhia diresmikan di bawah pimpinan penguasa Norman, Bohemond dari Sisilia. Sasaran utama, Yerusalem direbut pada tanggal 15 Juli 1099 M. dan Godfrey dari Bouillon menjadi penguasa pertama di sana. Negara Tentara Salib terakhir, Wilayah Tripoli, didirikan setelah kota itu direbut pasukan kaum Frank pada tahun 1109
M. Dengan demikian, empat kerajaan Tentara Salib telah didirikan di Timur Dekat, yaitu Yerusalem (Baitul Maqdis) , Edessa (Raha), Antiokhia (Antakiyah), dan Tripoli (Tarablus). Namun, perlu diingat bahwa meski mendapatkan kemenangan gemilang pada Perang Salib Pertama, Tentara Salib tidak mampu menaklukkan salah satu dari dua kota utama di kawasan itu, yaitu Aleppo dan Damaskus.

Dalam Perang Salib kali ini, Afdhal bin Badar al-Jamili, Perdana Menteri Mesir dari Khalifah Fatimiyah justru memusuhi negara Saljuk. Ia melakukan pendekatan kepada Tentara Salib guna bekerjasama menyerang pasukan Saljuk. Ia kuasai Baitul Maqdis dan merampasnya dari negara Saljuk. Penduduk Mesir yang tidak senang dengan tindakannya kemudian menyerangnya di Baitul Maqdis, menaklukannya dengan paksa dan melakukan kejahatan yang dibenci manusia. Mereka membunuh sebanyak enam puluh ribu orang.

Tentara Salib menulis surat kepada Sri Paus mengucapkan selamat atas perbuatan kejinya ini dan mengatakan dalam suratnya,

“Jika Sri Paus ingin mengetahui apa yang kami lakukan terhadap musuh-musuh kami, maka percayalah bahwa di Haikal (istana) Sulaiman dan rumah ibadahnya kuda-kuda kami berjalan di lautan darah kaum Muslimin hingga lututnya.” Peristiwa ini terjadi pada tahun 492 H./1098 M.

Keberhasilan Tentara Salib tersebut mendorong mereka untuk melanjutkan petualangannya. Raja Baitul Maqdis, Baldwin ingin menguasai Mesir kemudian menyerangnya pada tahun 511 H./1117 M. dan sudah menjadi kebiasaan Tentara Salib, mereka melakukan perusakan terhadap apa saja yang ditemuinya dan membakar piramida. Mereka tertahan di Tanis dan tidak bisa melanjutkan perjalanan kemuadian memilih pulang ke tempat semula.

Kemenangan demi kemenangan yang berhasil diraih oleh para Tentara Salib disambut apatis, kompromis oleh umat Islam saat itu. Bahkan, mereka tetap sibuk dengan masalah internal. Dekade permulaan abad kedua belas merupakan periode perpecahan umat Islam yang terjadi secara besar-besaran. Hanya sedikit reaksi militer yang dilakukan atas ekspansi kaum Frank ini dan sebenarnya merupakan tekanan yang sangat berbahaya. Tidak ada pencapaian berarti yang diraih kaum Muslimin di kawasan tersebut. Bukannya menangkis ancaman Tentara Salib, para penguasa muslim Suriah yang picik dan terpecah justru melakukan gencatan senjata dengan kaum Frank dan selama bertahun-tahun terlibat dalam perebutan-perebutan wilayah kecil, seringkali pula dalam bentuk aliansi antara kaum Muslimin dengan Tentara Salib. Melawan dunia Islam yang tengah terpecah belah dan melemah, kaum Frank, sebaliknya, sepanjang tahun- tahun tersebut justru menjadi semakin kuat dan berkuasa, bergelora dengan fanatisme dan motivasi tinggi untuk membangun struktur pertahanan yang akan memastikan keberadaan mereka di kawasan Mediteraia timur secara terus-menerus.

Dekade awal abad kedua belas merupakan dekade pengambilalihan sebagian besar pelabuhan di kawasan Mediteraia oleh kaum Frank. Hal ini dapat menjamin mereka untuk bisa menerima bantuan pasukan dan peralatan lewat jalur laut. Wilayah yang kemudian diduduki oleh para Tentara Salib merupakan wilayah daratan yang panjang dan sempit di sepanjang kawasan Mediterania. Ketika mereka mencoba melakukan ekspansi ke arah timur, mereka kurang berhasil. Hanya Edessa saja yang berhasil masuk ke lembah Eufrat dan Tigris. Yang juga penting adalah Edessa merupakan negara Tentara Salib Pertama yang dihancurkan. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, Tentara Salib tidak pernah berhasil merebut kota-kota utama Aleppo dan Damaskus, juga tidak pernah berhasil menguasai Suriah.

Pihak Muslim sendiri sesekali berusaha memerangi Tentara Salib di awal abad kedua belas, namun tanpa koordinasi. Beberapa kali ekspedisi dilancarkan dari timur di bawah komando penguasa Mosul, Mawdûd, dan dukungan Sultan Saljuk Muhammad (pada 1108, 1111, 1113 M.). Ekspedisi-ekspedisi mereka hanya sedikit mendapat dukungan dari para penguasa Aleppo dan Damaskus., yang kurang suka dengan campur tangan pihak Saljuk. Memang, pasukan ekspedisi berikutnya yang dikirimkan oleh Muhammad menuju Suriah pada tahun 1115 M. dikalahkan secara total oleh gabungan antara Tentara Salib dan kaum Muslimin pada pertempuran Danith. Penguasa Artuqid Turki dari Mardin yang terpencil, yang dipanggil oleh rakyat Aleppo untuk membantu mereka melawan kaum Balâth (juga dikenal sebagai Ladang Darah) pada bulan Juni 1119 M. ini merupakan kemenangan besar bagi kaum Muslimin, namun hanya sekali saja terjadi, dan tidak ada kelanjutannya. Tanda-tanda penting yang mula-mula terlihat tentang kebangkitan kaum Muslimin bisa ditemukan pada riwayat Imaduddin Zanki (atau yang biasa dikenal dengan sebutan Zengi) yang mengagumkan dan upayanya diarahkan, paling tidak sebagian, untuk memerangi kaum Frank.

Zengi-lah yang berhasil menaklukkan negara pertama dari negara-negara Tentara Salib bagi Islam, yaitu dengan prestasinya ketika merebut Edessa pada tahun 1144 M. Takluknya Edessa bisa dilihat sebagai tonggak awal bagi kebangkitan kaum Muslimin. Pada tahun 1146 M., Zengi tewas dibunuh oleh seorang budak.

Perang Salib Kedua


Kelemahan bangsa Saljuk secara otomatis merupakan kelemahan umat Islam sebab merekalah yang menjadi penguasa negara sekaligus pelindung bagi umat Islam. Lemahnya persatuan mereka pasca-meninggalnya Raja Malik Syah, memudahkan Pasukan Salib untuk mendirikan kerajaan-kerajaan kecil. Akan tetapi, kerajaan-kerajaan kecil ini tidak akur dan tidak memiliki kesolidan serta sinergisitas satu sama lain sehingga pola kepemimpinannya pun menjadi lemah dan tidak tertata dengan baik. Tidak ada persatuan di antara mereka.

Setiap kerajaan berdiri secara otonomi dan tidak terkait dengan kerajaan lainnya, padahal semua kerajaan tersebut didirikan oleh Pasukan Salib sendiri yang raja-rajanya pula adalah orang-orang Salib. Bila dirunut, faktor penyebab perpecahan di tubuh kerajaan-kerajaan Salib di wilayah Islam adalah karena heterogenitas yang terdapat dalam internal Tentara Salib. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa dalam pasukan ini terdapat pula para pencuri serta penjahat. Para panglima pun mayoritas berasal dari ras dan etnis yang berbeda. Jadi, permasalahan internal mereka pun menjadi kian rumit karena tidak adanya sistem yang diakui oleh semua pihak.

Di sisi yang lain, kaum Muslimin tidak tinggal diam begitu saja. Kekalahan demi kekalahan yang mereka alami kembali mengobarkan semangat jihad yang sempat padam. Mereka yang sebelumnya tercerai-berai karena perebutan kekuasaan kembali menghimpun diri dalam satu kekuatan besar. Kali ini pasukan Islam dipimpin oleh Imaduddin Zanki (Zengi), penguasa Moshul dan Irak yang memiliki sifat kepemimpinan yang tegas dan bijaksana. Ia memperoleh gelar “Palu Pemukul” karena keberaniannya melawan Pasukan Salib. Dengan semangat yang membara, Zanki (Zengi) pun lekas bergerak ke arah Aleppo. Luasnya dan panasnya padang pasir tidak mereka hiraukan lagi.

Peperangan pertama Zengi dan pasukannya dengan Tentara Salib terjadi di Edessa. Wilayah ini dipilih karena berdekatan dengan Baghdad serta posisinya yang strategis, berada di jalur Mesopotamia dan Mediterania, yang juga merupakan benteng terluar Kerajaan Latin dan Suriah selama setangah abad. Zengi berhasil mengumpulkan sisa-sisa kekuatan orang-orang Saljuk, merapikan barisan mereka dan memimpin mereka dengan arif dan berani. Wilayah ini akhirnya berhasil direbut oleh Zengi dari Joscelin II pada tahun 539 H./1144 M.

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Di wilayah ini, Tentara Salib memang memiliki kekuatan yang sangat besar, namun mereka tidak didukung oleh sistem pertahanan yang kuat.

Setelah kematian Zengi yang meninggal karena dibunuh oleh seorang budak, fase kebangkitan Islam terus beranjak. Tugas Zengi pun kemudian digantikan oleh putranya, Nûruddîn Zanki (wafat pada tahun 1174 M.). Ia berhasil menggabungkan politik senjata yang kuat dengan propaganda agama yang sangat lihai. Dalam konteks ambisi pribadi dan keluarganya, Nûruddîn secara perlahan menyatukan Mesir dan Suriah, serta mengepung negara-negara kaum Frank yang tersisa, yang dimulai dengan Antiokhia.

Takluknya Edessa (Raha) dan rentannya Antiokhia terhadap serangan telah membuat orang-orang Kristen panik. Mereka sadar jika pasukan Islam telah maju dan menemukan kembali kepercayaan dirinya, maka akan sulit untuk dibendung. Lantas, kondisi ini pun memicu seruan dan pengiriman Perang Salib Kedua pada tahun 1147-1148 M. di bawah komando Conrad III, Kaisar Jerman, dan Louis VII, Raja Perancis. Perang Salib Kedua ini mengalami kegagalan. Perang kemudian diarahkan Nûruddîn ke Damaskus, yang waktu itu berada di bawah pimpinan gubernur Ünür, dan gagal menyerang kota itu (yang saat itu tengah bergabung dengan Tentara Salib Yerusalem). Perang Salib tersebut gagal, tidak berhasil merebut kembali Edessa atau menghentikan meluasnya wilayah kekuasaan Nûruddîn.

Selanjutnya Nûruddîn berhasil menguasai Damaskus pada tahun 1154 M. dan mengangkat dirinya sendiri sebagai penguasa kaum Muslimin tertinggi di Suriah. Baik Nûruddîn maupun Tentara Salib kemudian mengalihkan perhatian mereka ke Mesir dan Dinasti Fatimiyah yang tengah menderita dan lemah akibat perpecahan internal. Ascalon ditaklukkan oleh kaum Frank pada tahun 1153 M.52 dan beberapa faksi di istana Fatimiyah memberikan bantuan akomodasi untuk mereka. Sementara pihak yang lain meminta bantuan kepada Nûruddîn.

Pasukan kaum Muslimin yang dikirimkan di bawah komando prajurit dari Kurdi, Syîrkûh, pada tahun 1168-1169 M. mencegah para Tentara salib untuk menaklukkan Mesir. Salahuddin (Saladin) al-Ayyubi yang merupakan keponakan Syîrkûh, mengambil alih kepemimpinan pasukan kaum Muslimin di Mesir pada bulan Maret 1169 M. setelah pamannya tersebut meninggal dunia. Dengan bertindak secara resmi sebagai pembantu Nûruddîn, Salahuddin berhasil menguasai Dinasti Fatimiyyah yang diakhirinya pada tahun 1171 M. Nûruddîn telah meletakkan pondasi penyatuan umat Islam dan menegaskan kembali legitimasi satu-satunya khalifah ‘Abbasiyah yang bermazhab Sunni. Pertikaian antara Salahuddin dengan Nûruddîn pun terhenti ketika Nûruddîn wafat pada tahun 1174 M.

Salahuddin al-Ayyubi selanjutnya menjadi pemimpin bagi kaum Muslimin dalam Perang Salib. Sepanjang tahun 1174-1178 M, perjuangan Salahuddin lebih banyak diarahkan untuk menundukkan musuh-musuhnya dari kalangan kaum Muslimin sendiri serta menciptakan front bersama di Mesir dan Suriah untuk melawan Pasukan Salib. Pada tahun 1187 M., Salahuddin memerangi Tentara Salib yang dipimpin oleh Raja Guy dari Lusignan dalam pertempuran besar di Hattin pada tanggal 4 Juli 1187 M. dan meraih kemenangan besar atas Tentara Salib. Penaklukan kembali terhadap wilayah-wilayah penting yang dikuasai oleh Tentara Salib, seperti Acre, terus dilancarkan oleh Pasukan Salahuddin hingga mencapai puncaknya dengan penaklukan kembali Yerusalem pada tanggal 2 Oktober 1187 M.

Perang Salib Ketiga

Dalam menumbuhkan wilayah kekuasaannya, Salahuddin al-Ayyubi selalu berhasil mengalahkan serbuan para Crusader (Tentara Salib) dari Eropa, kecuali satu hal yang tercatat adalah Salahuddin sempat mundur dari peperangan Battle of Montgisard melawan Kingdom of Jerusalem (kerajaan singkat di Jerusalem selama Perang Salib) pada tanggal 25 November 1177 M.

Namun, mundurnya Salahuddin tersebut mengakibatkan Raynald dari Châtillon pimpinan perang dari The Holy Land Jerusalem memprovokasi kaum Muslimin dengan mengganggu perdagangan dan jalur Laut Merah yang digunakan sebagai jalur jamaah haji ke Makkah dan Madinah. Lebih buruk lagi, Raynald mengancam menyerang dua kota suci tersebut. Kekalahan dalam Perang Montgisard sebelumnya, tidak menjadikan Salahuddin mundur, justru dia bergerak maju dan melakukan penyerbuan terhadap kubu Raynald di Kerak pada tahun 1183 M. hingga tahun 1184 M. Sebagai balasan serangan yang dilancarkan oleh Salahuddin, pada tahun 1185 M., Raynald membunuh kabilah yang akan menunaikan ibadah haji.

Tindakan tersebut sudah tentu membuat kaum Muslimin marah. Sebagai pemimpin bagi pasukan Islam, Salahuddin pun segera melancarkan serangan balasan secara besar-besaran. Pada tanggal 4 Juli 1187 M., Salahuddin menyerang kembali Kingdom of Jerusalem dan meletuslah Battle of Hattin (Perang Hattin). Dalam peperangan ini, pasukan Salahuddin memperoleh kemenangan besar dan berhasil menangkap Raynald sekaligus mengeksekusi hukuman mati kepada Raynald di depan pasukanya dan menangkap rajanya, Guy of Lusignan.

Kemenangan dalam Perang Hattin ini menambah semangat kaum Muslimin dalam memerangi Tentara Salib. Bersama pasukannya, Salahuddin terus bergerak dan merebut kota-kota yang dikuasai oleh Tentara Salib. Dan puncaknya, pada tanggal 2 Oktober 1187 M., Salahuddin berhasil merebut kembali Yerusalem ke tangan kaum Muslimin dan Kingdom of Jerusalem pun runtuh. Selain Yerusalem, kota-kota lainnya pun berhasil ditaklukkan oleh pasukan Salahuddin, kecuali Tirus (Tyres/Tyrus). Berbeda ketika Tentara Salib merebut kota Yerusalem dengan cara membantai seluruh umat Islam, Salahuddin justru membiarkan kaum Kristen aman di dalamnya. Mereka pun diberikan jaminan keleluasaan untuk menjalankan ibadah. Berita bahwa Salahuddin tidak melukai satu pun kaum Kristen membuat Paus di Roma mati mendadak karena terkejut ada manusia semulia itu.

Jatuhnya Yerusalem ke tangan kaum Muslimin ini sangat memukul perasaan Tentara Salib dan menjadi pemicu kaum Kristen Eropa menggerakkan Perang Salib Ketiga atau Third Crusade sebagai serangan balasan. Perang Salib Ketiga ini menurunkan Richard the Lion Heart, raja Inggris, Frederick Barbarossa dari Kekaisaran Romawi Suci yang merupakan raja Jerman, dan Philip Augustus yang saat itu menjadi raja Perancis ke medan perang di Battle of Arsuf. Tentara Salib kembali bergerak menuju Yerusalem pada tahun 1189 M. dan berhasil merebut Akka. Namun, mereka tidak pernah berhasil memasuki wilayah Yerusalem karena tak mampu melawan pasukan Salahuddin.

Kekalahan Tentara Salib dalam pertempuran di Hattin serta penaklukan Yerusalem menyulut berkobarnya Perang Salib Ketiga. Tiga raja terkuat dari kaum Barat Eropa, Frederick Barbarossa dari Kekaisaran Romawi Suci, Philip Augustus dari Perancis, dan Richard Si Hati Singa dari Inggris, melancarkan Perang Salib Ketiga dengan kembali bergerak menuju Yerusalem pada tahun 1189 M. Perang ini diawali dengan penyerangan Tentara Salib ke wilayah Acre yang kemudian berhasil mereka kuasai pada tahun 1191 M. Namun, meski Tentara Salib meraih kemenangan atas Acre, juga kemenangan mereka lainnya atas pasukan Salahuddin, Perang Salib ketiga berakhir dengan gencatan senjata yang terjadi pada tahun 1192 M. Yaitu dengan adanya kesepakatan bahwa kaum Frank akan menguasai sebagian besar wilayah laut, sementara Yerusalem berada dalam kekuasaan kaum Muslimin.

Setahun kemudian, Salahuddin al-Ayyubi wafat. Meskipun ia telah berhasil menaklukkan Hattin dan merebut kembali Yerusalem, ia gagal merebut kembali Tirus dan membersihkan seluruh kawasan di Mediterania Timur dari cengkeraman Tentara Salib. Keberhasilan Salahuddin dalam menyatukan kaum Muslimin —yakni dengan upayanya menghancurkan kekhalifahan Fatimiyah di Kairo— telah menghapuskan permusuhan yang berlarut-larut antara golongan Sunni dan Syiah, yakni antara pemerintah Mesir di satu pihak dan para penguasa Sunni di pihak yang lain.

Mulai tahun 1193 M. dan seterusnya, Pasukan Salib lebih banyak mencurahkan perhatiannya untuk menyerang wilayah Mesir, dengan keyakinan besar bahwa negeri itulah yang menjadi kunci untuk dapat merebut kembali Yerusalem. Mesir kemudian menjadi sasaran nyata Perang Salib Keempat pada tahun 1202, yang dipimpin oleh Boniface de Montferrat dan Baldwin IX dari Flanders. Akan tetapi, Perang Salib Keempat ini bukan ditujukan untuk memerangi umat Islam, dan sebaliknya, berakhir dengan keberhasilan mereka menaklukkan Konstantinopel pada bulan April 1204 dan pendirian Kerajaan Latin Konstantinopel (1204-1261 M.)

Referensi :

  • Hyphatia Cneajna, Dracula: Pembantai Umat Islam dalam Perang Salib (Yogyakarta, 2007).
  • Karen Armstrong, Perang Suci: Dari Perang Salib hingga Perang Teluk, terj. Hikmat Darmawan (Jakarta, 2007).
  • Carole Hillenbrand, Perang Salib: Sudut Pandang Islam, terj. Heryadi (Jakarta, 2007).
  • Dr. Muhammad Sayyid al-Wakil, Wajah Dunia Islam: Dari Bani Umayyah hingga Imperialisme Modern, terj. Fadhli Bahri, Lc. (Jakarta, 2005).