Apa saja varian dalam konstruktivisme?

konstruktivisme hubungan internasional

Apa saja varian dalam konstruktivisme?

John Hobson mencoba memetakan 3 varian dalam Konstruktivisme, yaitu: International Society-Centric Constructivism, State Centric Constructivism dan Radical Constructivism (John Hobson, 2000: 149-156).

1. International Society Centric Constructivism
Varian ini menitik beratkan pentingnya struktur atas agensi karena percaya bahwa identitas dan kepentingan nasional negara ditentukan oleh struktur normatif dari masyarakat internasional. Dalam bukunya “National Interest in International Society”, Martha Finnamore menjelaskan bahwa perilaku negara didefnisikan oleh identitas dan kepentingan. Sedangkan identitas dan kepentingan didefnisikan oleh kekuatan-kekuatan internasional yaitu norma yang melekat pada masyarakat internasional.

Norma masyarakat internasional akan ditransmisikan kepada negara melalui organisasi internasional. Mereka akan membentuk kebijakan nasional dengan “mengajar” negara seperti apa sebaiknya kepentingan nasional mereka. Norma yang ditawarkan oleh organisasi internasional ini dapat mempengaruhi negara dengan memaksa negara untuk mengadopsi norma-norma tersebut sebagai kebijakan nasional. Finnamore melakukan 3 buah riset untuk membuktikan bahwa organisasi internasional mampu menjadi active teacher bagi negara untuk pada akhirnya mengadopsi norma masyarakat internasional.

Studi kasus yang pertama ia mulai dengan pertanyaan mengapa negara meningkatkan pemahaman mengenai pentingnya birokrasi setelah tahun 1955?. Setelah mengalami perubahan struktur internal di tahun 1954 karena bertambahnya anggota negara-negara yang baru merdeka. Perubahan ini mengakibatkan kebijakan dalam UNESCO khususnya dalam penyelenggaraan birokrasi. Pada tahun 1955, UNESCO mulai mendorong setiap negara untuk mengembangkan birokrasi yang akuntable dengan cara menyakinkan kepada setiap negara bahwa norma baru ini akan membawa mereka kepada iklim yang jauh lebih modern dan beradab. Dalam 20 tahun jumlah negara yang mengadopsi hal ini berkembang dengan pesat (John Hobson, 2000:152)

Studi kasus yang kedua adalah mengenai usaha dari International Committee of the Red Cross (ICRC) dalam mempromosikan Konvensi Geneva mengenai perlindungan terhadap tentara yang terluka, perlindungan terhadap tawanan, penyediaan bantuan kemanusiaan di kala terjadi konfik sipil dan juga akses bagi tawanan politik untuk mendapat bantuan kemanusiaan. ICRC sangat intens dalam menawarkan norma ini dan meyakinkan setiap negara bahwa negara yang beradap tentu akan mengesampingkan hal-hal yang berkaitan dengan kedaulatan bahkan. Akan lebih penting untuk tampak lebih ‘beradab’ bagi mereka ketimbang norma yang lain.

Kasus ketiga adalah diterimanya isu penanggulangan kemiskinan pada tahun 1968. Sebelum tahun tersebut, isu tersebut nampak tidak berharga karena setiap negara secara rasional akan mengejar kepentingan ekonominya masing-masing. Namun demikian, Presiden Bank Dunia, Robert McNamara, telah mempelopori sebuah perubahan dalam pembangunan ekonomi, yaitu menggeser isu produksi kepada isu redistribusi kemakmuran. Dan kewajiban menolong negara sedang berkembang menghadapi kemiskinan mereka adalah tanggung jawab negara kaya dengan jalan memberi bantuan dan pinjaman.
image
Dengan demikian Finnamore menyimpulkan bahwa negara tidak tersosialisasi oleh kekuatan material melainkan oleh prinsip-prinsip normatif internasional. Pada setiap kasus yang ditemukan Finnamore, negara berupaya mengadaptasi norma internasional ke dalam kebijakan dalam negeri negara. Baginya struktur memiliki pengaruh yang lebih besar dari agensi. Sehingga, negara dengan mudah mengadaptasi norma baru tersebut dan bahkan melemahkan arti penting kedaulatan mereka demi ‘civilisedstate behaviour norms yang ditawarkan tersebut.

2. State Centric Constructivism
Klaim Finnamore sebelumya, menyatakan bahwa struktur internasional memiliki kekuatan yang lebih besar dalam mempengaruhi negara karena lemahnya agensi negara dan kebijakan negara bukan merupakan hasil dari kepentingan domestik. Hal ini tidak sejalan dengan kajian yang dilakukan Peter Katzenstein dalam bukunya “Cultural Norms and Society Security”. Menurut Katzenstein, penjelasan sistemik semacam ini tidak cukup menjelaskan hubungan yang terjadi dalam struktur negara sendiri sehingga mereka bersedia menerima norma internasional tersebut. Katzenstein menengarai kuatnya agensi negara mampu menandingi perngaruh dari norma internasional yang ditawarkan tersebut.
image
Peter Katzenstein menggaris bawahi pentingnya 3 struktur normatif (domestic normative structure) yang akan memandu negara dalam mengambil kebijakan, yaitu: norma keamanan ekonomi, norma keamanan militer ekternal dan norma norma keamanan internal. Struktur normatif domestik ini akan bertemu dengan norma internasional yang kadang-kadang tidak selalu saling mendukung tetapi saling bertentangan.

Bagi Katzenstein, negara memiliki struktur domestik yang kuat dan otonom, maka penting baginya untuk melihat hubungan domestik antara negara dan masyarakat dalam membentuk kebijakan negara. Dalam kajiannya terhadap perubahan kebijakan Jepang yang militeristik sebelum tahun 1945 menjadi pasifst sesudah tahun 1945, Kaztenstein menemukan pentingnya budaya dan identitas. Ia berpendapat bahwa pendekatan sistemik telah gagal menjelaskan pola kebijakan keamanan Jepang setelah Perang Dunia II.

Kebijakan luar negeri yang pasifst ketimbang militeristik tidak bersumber pada perubahan hubungan antar negara pasca perang melainkan perubahan struktur normatis domestiklah yang mendorong lahirnya kebijakan tersebut (John Hobson, 2000:1167). Pada tahun 1868 Jepang telah membuat sebuah konsensus untuk membangun kekuatan ekonomi yang cukup besar melalui insutrialisasi. Namun tentu saja hak ini akan membuat Jepang rentan terhadap pengaruh asing karena ketergantungannya terhadap bahan mentah. Maka, industri dan kekuatan militerpun dikembangankan untuk mengantisipasi hal tersebut.

Pada masa diantara 1868-1945, kebijakan semacam ini tidak mendapat tentangan baik dari hubungan negara dan masyarakat (karena negara cukup otonom) maupun dari norma internasional yang imperialis. Namun demikian, kebijakan militeristik Jepang mendapat tentangan yang cukup kuat sesudah 1945 karena situasi domestik yang tidak mendukung karena rasa malu yang dialami Jepang atas kekalahannya di Perang Dunia II dan peran militeristik yang tidak lagi diperbolehkan dalam sistem internasional (termasuk didalamnya pasal 9 Konstitusi Jepang).

Sebaliknya perubahan yang cukup penting juga terjadi pada kebijakan militer Jepang setelah tahun 80’an di masa PM Nakasone. Pada masa itu ide untuk mengakhiri kedekatan militer dengan AS cukup kuat, yang mana ide ini cukup mendapat dukungan domestik. Di luar, ide ini juga tidak terlalu mendapat tentangan karena didukung oleh kondisi ekonomi dan tekhnologi Jepang yang juga semakin berkembang. Namun, apa yang ingin disampaikn oleh Katzenstein adalah bahwa identitas domestik sebuah negara (yang tidak selalu sama satu negara dengan yang lainnya) memiliki kekuatan yang sama besar dengan struktur internasional dalam menentukan kebijakan negara.

3. Radical Constructivism
Radikal Konstruktivis merupakan teori yang radikal karena tidak lagi mendasarkan diri pada pengetahuan karena pengetahuan sendiri dianggap tidak merefeksikan obyektiftas

Radical constructivism, thus, is radical because it breaks with convention and develops a theory of knowledge in which knowledge does not refect an “objective” ontological reality, but exclusively an ordering and organization of a world constituted by our experience. (Ernst Von Gaserfeld, “An Introduction to Radical Constructivism”, htp:// www.univie.ac.at/constructvism/EvG/papers/070.1.pdf).

Radikal Konstruktivis mendasarkan pemikirannya dengan mempersoalkan negara karena negara tidak dengan mudah dapat disamakan dengan kedaulatan, terlebih dengan identitas negara, legitimasi dan juga komunitas politik domestik, karena semua hal itu tidak bersifat materi.

Semua hal tersebut merupakan hasil dari konstruksi sosial atau kadang disebut juga normative statecraft. Normative statecraft merujuk pada proses dimana negara menghasilkan sebuah imajinasi mengenai komunitas politik atau bangsa yang nampak harmonis. Imajinasi ini termasuk didalamnya “rasa kebersamaan” sebagai satu bangsa yang tinggal di wilayah tertentu karena pada kenyataannya setiap warga negara tidak mengenal satu dengan yang lainnya.

Persoalan ini belum berhenti sampai disini saja karena kemudian negara memiliki kewajiban untuk mendefnisikan juga kelompok di luar negara sebagai ‘other’ atau orang asing. Melekatkan kepada mereka identitas yang mungkin berbeda (dan pada kenyataannya ‘other’ yang dimaksud justru memiliki kesamaan etnis atau bahasa dengan etnis atau kelompok penutur bahasa yang sama di dalam negara) demi membuat garis batas yang jelas sebagai satu bangsa. Tidak hanya melekatkan identitas, negara kadang bertindak sebagai penentu ancaman demi mempertahankan kekuasaan. ‘Other’ kemudian digambarkan sebagai kelompok/bangsa lain yang mengancam karena memiliki kepentingan yang berbeda atau bertentangan demi, sekali lagi, mempertahankan kohesitas domestik. Bahkan, negara juga nampaknya perlu memberikan paksaan kepada kelompok di dalam negara yang tidak mau menerima defnisi bentukan negara tersebut sebagai ‘internal other’.

Dengan merujuk pada hal-hal tersebut, maka Cynthya Weber (John Hobson, 2000:159). mempertanyakan logika representasi dalam hubungan internasional karena segala hal yang berkaitan dengan negara merupakan hasil dari normative statecraft belaka. Adanya konsep ‘ancaman’ tersebut kemudian menjadi pembenar bagi dunia internasional yang anarkis dan kemudian menjadi hal yang wajar bagi setiap negara untuk membangun angkatan bersenjatanya semaksimal mungkin.

Dengan demikian, radical contructivism menilai bahwa ancaman yang sesungguhnya tidak berasal dari militer tetapi berasal dari kebijakan luar negeri yang kemudian memberikan defnisi tersendiri terhadap situasi internasional. Jika radical constructivims disebut ‘nihilistic’ (menganggap negara bukan sesuatu yang tidak nyata) tidak terlalu tepat juga, karena perspektif ini lebih melihat negara bukan sebagai sesuatu yang sudah tetap, melainkan harus terus menerus diwacanakan termasuk dalam meredifniskan kembali kedaulatan, legitimasi dan sifat-sifat negara. Gagasan mengenai negara dan juga bentuk institusi sosial lain bukanlah ada (exist) sebagai sesuatu yang sudah tetap, sementara legitimasi merupakan hal problematik.