Apa saja Unsur-Unsur Sastra?

unsursastra

Dalam sebuah seni, biasanya ada beberapa unsur-unsur yang membangun agar sebuah karya dapat dihasilkan secara maksimal dengan kombinasi unsur-unsur yang dimilikinya. Begitu pula dengan seni sastra, dalam seni sastra ada dua unsur utama yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik.

strong textApa saja Unsur-Unsur Sastra ?

1 Like

Karya sastra pada dasarnya merupakan hasil rangkaian kata-kata atau bangunan kata- kata atau sering disebut dunia dalam kata. Bangunan sastra tersebut memiliki bagian-bagian yang merupakan unsur-unsur sastra yang secara keseluruhan menjadi satu kesatuan yang utuh atau sering disebut memiliki totalitas.

Unsur-unsur tersebut saling berkaitan dan sekaligus saling mendukung dan saling menggantungkan. Unsur-unsur sastra tersebut sangat penting untuk dicermati terutama dalam rangka mengkaji atau meneliti karya sastra yang bersangkutan.

Unsur-unsur pembangun karya sastra, pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua, yakni unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik.

  • Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang secara langsung membangun karya sastra itu sendiri, unsur yang secara faktual akan segera dijumpai oleh pembaca. Kepaduan atau keterjalinan unsur-unsur intrinsik inilah yang membuat karya sastra berwujud.

  • Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra. Unsur ekstrinsik merupakan unsur-unsur yang mempengaruhi bangun cerita sebuah karya sastra, namun ia sendiri tidak secara langsung ikut menjadi bagian di dalam sistem organismenya. Namun demikian unsur ekstrinsik sangat berpengaruh terhadap totalitas bangunan cerita yang dihasilkan. Oleh karena itu unsur ekstrinsik juga sangat penting untuk diperhatikan dalam rangka membantu pemahaman karya sastra.

Pada kenyataannya karya sastra memang tidak muncul dari situasi kekosongan budaya, tidak jatuh dari langit. Penciptaan karya sastra terpengaruh oleh berbagai kondisi sosial budaya yang dimiliki atau diketahui oleh pengarang. Penciptaan makna atau pemaknaan karya sastra juga terpengaruh oleh berbagai kondisi sosial budaya yang dimiliki atau diketahui oleh pembaca. Segala kondisi dari luar yang melatarbelakangi pemaknaan karya sastra itulah yang disebut unsur ekstrinsik.

Unsur ekstrinsik karya sastra antara lain adalah (Wellek & Warren, 1993) subyektivitas individu pengrang yang memiliki sikap, keyakinan, dan pandangan hidup yang kesemuanya itu akan mempengaruhi karya yang ditulisnya. Jadi unsur biografi pengarang akan mempengaruhi corak karya sastra yang diciptakannya. Unsur ekstrinsik lainnya adalah unsur psikologi, baik psikologi pengarang (yang mencakup proses kreatifnya), psikologi pembaca (yang mencakup proses pemaknaan), maupun penerapan prinsip-prinsip psikologi dalam karya sastra. Keadaan ekonomi, politik, dan sosial juga akan berpengaruh terhadap karya sastra. Unsur ekstrinsik lainnya lagi yakni pengaruh karya sastra atau karya seni lainnya. Di samping itu pandangan hidup suatu bangsa juga sering mewarnai isi karya sastra.

Pada kenyataannya sering kali pemisahan antara unsur intrinsik dan ekstrinsik menemui kesulitan. Hal ini terutama dikarenakan bahasa, sebagai sarana sastra, mengandung bentuk dan isi sekaligus.

Dari segi bentuknya, bahasa menyampaikan informasi seperti apa yang ada dalam kata atau frasa atau kalimat dst. yang ada dalam bahasa itu. Dari segi isinya, informasi yang ada itu sering kali bersifat tidak eksplisit atau simbolis, yang pemaknaannya harus dicari dari latar belakang sosial budayanya. Di samping itu, antara bahasa dan sastra sama-sama merupakan sistem semiotik (simbol makna) yang kadang-kadang tidak jelas batas-batasnya. Dengan kata lain, dalam menguraikan unsur-unsur intrinsik sering kali harus menengok ke latar belakang sosial budaya pengarang maupun pembacanya, sehingga mau tidak mau harus mencari unsur-unsur ekstrinsiknya.

Sebagai contoh konkrit, dalam menguraikan penokohan, sering kali orang harus berangkat dari sistem nilai etika dan moralitas yang ada dalam masyarakat yang bersangkutan. Bila dalam sastra Jawa dinyatakan bahwa seorang pria akan dan harus memilih calon istrinya dengan mempertimbangkan bobot, bibit, bebet dan dalam karya sastra yang bersangkutan istilah itu tidak pernah dijelaskan lagi, maka konsep bobot, bibit, bebet tersebut harus dicari penjelasannya dari konteks sosial budaya Jawa. Dan sebagainya dan sebagainya.

Unsur-unsur intrinsik yang membangun prosa fiksi antara lain peristiwa, cerita, plot, penokohan, tema, latar, sudut pandang penceritaan, bahasa atau gaya bahasa, dan sebagainya (Nurgiyantoro, 1995). Stanton (1965; via Suwondo, 1994) juga mendeskripsikan unsur-unsur struktur fiksi yang terdiri atas tema, fakta cerita, dan sarana sastra.

Tema


Tema adalah sesuatu yang menjadi dasar cerita. Ia selalu berkaitan dengan berbagai pengalaman kehidupan, seperti masalah cinta, kasih, rindu, takut, maut, religius, dan sebagainya. Dalam hal tertentu, sering tema dapat disinonimkan dengan ide atau tujuan utama cerita.

Fakta Cerita


Fakta cerita yang meliputi alur, tokoh dan latar, merupakan unsur fiksi yang secara faktual dapat dibayangkan peristiwanya, eksistensinya, dalam sebuah novel (fiksi). Oleh karena itu ketiganya juga disebut struktur faktual (factual structure) atau derajat faktual (factual level) sebuah cerita. Ketiga unsur tersebut harus dipandang sebagai satu kesatuan dalam rangkaian keseluruhan cerita, bukan sebagai sesuatu yang berdiri sendiri dan terpisah satu dengan yang lain.

1. Plot (Alur)

Alur sering disebut juga plot cerita, sering juga disebut struktur naratif atau sujet. Dalam hal ini yang harus dicermati ialah bahwa plot bukan sekedar jalan cerita atau urutan peristiwa secara kronologis, namun rangkaian peristiwa yang ditandai dengan hubungan sebab-akibat. Hal ini misalnya pernah dikemukakan oleh Stanton, oleh Forster, dsb.

Menurut Stanton (1965) plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab-akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain. Senada dengan itu Forster juga menyatakan bahwa plot adalah peristiwa-peristiwa cerita yang mempunyai penekanan pada adanya hubungan kausalitas.

Menurut Forster, plot memiliki sifat misterius dan intelektual. Misterius maksudnya bahwa dalam plot itu belum tentu langsung diselesaikan secara cepat tapi sedikit demi sedikit, atau peristiwanya sengaja dipisahkan pada bagian yang berjauhan urutan penceritaannya, atau ditunda pengungkapan kunci permasalahannya, atau justru dibalik urutan waktu kejadiannya.

Hal yang demikian itu yang menimbulkan keingintahuan pembaca untuk membaca terus karya sastra yang bersangkutan hingga selesai. Harapan dan rasa ingin tahu pembaca terhadap kelanjutan plot yang misterius itu sering disebut suspense. Sedang yang dimaksud dengan intelektual ialah bahwa dalam plot terkandung logika tentang hubungan sebab akibat yang harus disikapi dengan intelek dan kritis oleh pembaca agar pembaca yang bersangkutan mampu memahami permainan plot pada karya sastra yang dibacanya.

Dalam hubungannya dengan analisis struktural justru permainan plot itu harus dijelaskan secara rinci sehingga dapat dengan mudah dijelaskan hubungannya dengan anasir-anasir selain plot dalam rangka pemahaman makna secara keseluruhan.

Membicarakan plot pada dasarnya membicarakan tentang berbagai peristiwa dan konflik. Yang disebut peristiwa ialah peralihan dari keadaan yang satu kepada keadaan yang lain. Peristiwa, setidak-tidaknya dapat dibagi menjadi tiga, yakni peristiwa fungsional, kaitan dan acuan. Peristiwa fungsional merupakan peristiwa yang menentukan dan atau mempengaruhi perkembangan alur atau plot. Peristiwa kaitan adalah perstiwa-peristiwa yang mengaitkan antar peristiwa-peristiwa penting (fungsional) dalam pengurutan plot.

Sedang peristiwa acuan merupakan peristiwa-peristiwa yang tidak berpengaruh secara langsung terhadap perkembangan alur, tetapi mengacu pada unsur-unsur lain, misalnya watak tokoh, suasana yang berpengaruh pada watak tokoh, dsb (Luxemburg, dkk.1989).

Nurgiyantoro mencatat bahwa anatra peristiwa itu di samping mempunyai hubungan logis juga mempunyai sifat hierarkhis logis, tingkat kepentingannya, keutamaannya, atau fungsionalitasnya.

Roland Barthes menyebut peristiwa yang dipentingkan atau diutamakan sebagai peristiwa utama atau peristiwa mayor; sedang yang tidak dipentingkan disebut peristiwa minor atau peristiwa pelengkap. Senada dengan itu Chatman menyebut peristiwa utama sebagai kernel, sedang peristiwa pelengkap sebagai satelit (Nurgiyantoro, 1995).

Perbedaan peristiwa-peristiwa tersebut akan tampak jelas bila sebuah karya fiksi diringkas (Luxemburg, dkk, 1989). Semakin tidak penting peristiwa itu akan semakin besar kemungkinannya untuk tidak dituliskan kembali dalam ringkasan.

Konflik menyaran pada sesuatu yang tidak menyenangkan yang terjadi dan atau dialami oleh tokoh cerita. Bila tokoh itu memiliki kebebasan untuk memilih, maka ia tidak akan memilih peristiwa itu menimpa dirinya (Meredith & Fitzgeralt, via Nurgiyantoro, 1995).

Konflik adalah sesuatu yang dramatik, mengacu pada pertarungan antara dua kekuatan yang seimbang dan menyiratkan adanya aksi dan aksi balasan (Wellek & Warren).

Peristiwa dan konflik biasanya berkaitan erat, dapat saling menyebabkan terjadinya satu dengan yang lain, bahkan konflik pun pada hakikatnya merupakan peristiwa. Konflik dapat dibagi menjadi dua, yakni konflik internal (konflik kejiwaan) dan konflik eksternal. Konflik internal terjadi dalam diri seorang tokoh, sedang konflik eksternal terjadi antara tokoh dengan lingkungannya, yakni tokoh(-tokoh) lain atau lingkungan alam. Konflik juga dapat dibagi menjadi konflik batin dan konflik fisik (Nurgiyantoro, 1995).

Di samping itu berdasarkan fungsinya konflik juga bisa dibagi menjadi konflik utama dan konflik pendukung (konflik tambahan). Dengan demikian bisa didapatkan konflik utama internal, konflik utama eksternal, konflik pendukung internal dan konflik pendukung eksternal.

Dalam fiksi sering terjadi pertemuan antar berbagai konflik sehingga konflik itu semakin meningkat. Bila konflik meningkat hingga mencapai tingkat intensitas tertinggi maka keadaan itu disebut klimaks. Klimaks merupakan pertemuan antara dua (atau lebih) hal (keadaan) yang dialami oleh tokoh-tokoh utama, yang dipertentangkan, dan yang menentukan bagaimana permasalahan (konflik) pada tokoh-tokoh utama itu akan diselesaikan (Nurgiyantoro, 1995).

Ditinjau dari segi keberhasilannya, struktur plot setidak-tidaknya harus memperhatikan plausibilitas, suspense, surprise, dan kesatupaduan plot, serta menghindari deus ex machina.

  • Plausibilitas maksudnya bahwa plot harus dapat dipercaya atau diterima dari segi logika cerita. Dalam hal ini tidak harus berarti bahwa cerita itu harus realis sesuai dengan keadaan pada dunia nyata, tetapi lebih mengacu pada sifat koheren dan konsisten pada sebab-akibat dalam plot. Misalnya, logika cerita untuk novel realis tentu berbeda dengan novel surealis atau cerita jagading lelembut. Bila tokoh Gathutkaca bisa terbang bukan berarti alur cerita itu tidak memenuhi konsep plausibilitas. Tapi bila Gathutkaca tidak bisa terbang, justru itulah yang harus dicari alasannya dan plausibilitasnya.

    Apabila suatu cerita secara tiba-tiba, tanpa diberikan alasan yang jelas, dimunculkan dengan cara kebetulan (Jw: ndilalah) dan dipaksakan sebagai alasan untuk mengembangkan cerita selanjutnya atau untuk menyelesaikan permasalahan hingga tampak tidak masuk akal, maka alasan itu disebut sebagai deus ex machina. Adanya deus ex machina mengurangi kadar plausibilitas pada plot karya sastra. (Nurgiyantoro, 1995)

  • Suspense atau sering disebut tegangan menyaran pada perasaan kurang pasti terhadap peristiwa-peristiwa yang akan terjadi atau harapan yang belum pasti terhadap akhir cerita Suspense harus dibangun dan dipertahankan dalam plot untuk memotivasi, menarik dan mengikat pembaca agar tetap setia menyelesaikan bacaannya karena penasaran. Salah satu cara untuk membangkitkan suspense ialah dengan cara memunculkan foreshadowing dalam cerita. Foreshadowing adalah bagian cerita yang dapat dipandang sebagai pertanda atau isyarat akan terjadinya sesuatu dalam cerita selanjutnya. Bagi orang Jawa, misalnya menampilkan peristiwa “ketiban cecak” sebagai isyarat akan terjadinya musibah pada tokoh yang kejatuhan cicak itu (Nurgiyantoro, 1995).

  • Surprise atau kejutan. Plot sebuah karya fiksi dikatakan memberikan kejutan jika sesuatu yang dikisahkan atau kejadian-kejadian yang ditampilkan menyimpang atau bertentangan dengan harapan pembaca (Abrams).

Dalam hal ini sebenarnya tekanannya pada plot itu sendiri dalam kaitannya dengan sebab-akibat. Sebagai contoh pada fiksi ditektif, biasanya memberikan surprise pada menjelang akhir kisah, yakni pembunuh atau terdakwanya biasanya orang yang, oleh pembaca, tak terduga sama sekali. Mungkin orang terdekat korban yang pada beberapa hal ditampilkan baik budi, namun pada hal-hal tertentu bisa berbuat buruk dan jahat.

Antara suspense, surprise dan plausibilitas harus berjalinan erat, dan saling menunjang -mempengaruhi serta membentuk satu kesatuan yang padu. Surprise, walaupun mengejutkan tetapi harus tetap bisa dipertanggungjawabkan logika sebab akibatnya, agar tidak menjadi deus ex machina (Nurgiyantoro, 1995).

  • Kesatupaduan atau keutuhan atau unity. Kesatupaduan menyaran pada pengertian bahwa berbagai unsur yang ditampilkan, khususnya peristiwa-peristiwa fungsional, kaitan dan acuan, yang mengandung konflik, atau seluruh pengalaman kehidupan yang hendak dikomunikasikan, mempunyai keterkaitan satu dengan yang lain. Ada benang merah yang menghubungkan berbagai aspek cerita sehingga seluruhnya dapat terasakan sebagai satu kesatuan yang utuh padu (Nurgiyantoro, 1995).

    Apabila dalam karya fiksi terdapat peristiwa yang menyimpang dari pokok masalah yang dikembangkan atau menjadi bagian yang menyimpang yang tak langsung bertalian dengan alur dan tema karya sastra, bagian itu disebut sebagai digresi atau lanturan (Sudjiman, 1986). Misalnya adegan Limbukan, Cantrikan, dan Gara-gara dalam plot wayang purwa, ditinjau dari struktur isi pembicaraannyanya sebenarnya sering merupakan digresi. Namun demikian adegan tersebut sah bila ditinjau dari segi konvensi atau tradisi wayang purwa.

2. Penokohan

Istilah penokohan dalam ilmu sastra sering juga disebut tokoh, watak, perwatakan, karakter, atau karakterisasi. Penokohan adalah penciptaan citra tokoh di dalam karya sastra (Sudjiman, 1986).

Penokohan lebih luas pengertiannya dari pada istilah tokoh dan istilah perwatakan, sebab sekaligis mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakannya, bagaimana penempatannya dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. Penokohan sekaligus menyaran pada teknik pewujudan dan pengembangan tokoh dalam cerita (Nurgiyantoro, 1995).

Penokohan dapat digambarkan secara fisik, psikologis maupun psikologis. Dari segi fisik, misalnya: kelaminnya, tampangnya, rambutnya, bibirnya, warna kulitnya, tingginya, gemuk atau kurusnya, dsb. Dari segi psikologis, misalnya: pandangan hidupnya, cita-citanya, keyakinannya, ambisinya, sifat-sifatnya, inteligensinya, bakatnya, emosinya, dsb Dari segi sosiologis, misalnya: pendidikannya, pangkat dan jabatannya, kebangsaannya, agamanya, lingkungan keluarganya, dsb.

Walaupun tokoh dan penokohannya dalam cerita itu hanya merupakan ciptaan pengarang, namun harus diperhitungkan logika kewajarannya. Ia harus merupakan tokoh yang hidup secara wajar sebagaimana kehidupan manusia yang mempunyai pikiran dan perasaan; sekaligus harus sesuai dengan tuntutan cerita dengan perwatakan yang disandangnya. Jika terjadi seorang tokoh bersikap lain, maka harus tidak terjadi begitu saja, karena harus memiliki kadar plausibilitas dan yang terpenting haruslah konsisten.

3. Latar atau setting

Latar atau setting atau landas tumpu menyaran pada tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams).

Latar memberikan pijakan cerita secara konkrit dan jelas, untuk menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah sungguh ada dan terjadi. Latar, setidak- tidaknya dapat dipisahkan menjadi latar tempat (di mana lokasinya), latar waktu (kapan terjadinya), dan latar suasana (bagaimana keadaannya); termasuk suasana alam, suasana masyarakat (sosial), dan suasana lahir dan batin tokoh cerita.

Dalam karya fiksi, latar waktu yang diceritakan sering menunjuk pada waktu-waktu tertentu yang pernah berlangsung, bahkan hingga disebutkan bulan atau tahunnya, atau penunjukan pada suatu peristiwa yang pernah terjadi dalam fakta sejarah. Dengan demikian latar waktu itu seakan-akan merupakan latar yang ada dalam realita kehidupan sesungguhnya (bukan sekedar karangan). Namun demikian di dalam karya fiksi, sering dimunculkan berbagai hal yang ada pada realita kehidupan sesungguhnya, yang menurut waktunya tidak sesuai atau tidak tepat sehingga fiksi tersebut menjadi tidak logis.

Misalnya, pada cerita ketoprak yang mengangkat cerita historis, misalnya jaman Majapahit, lalu tokoh abdinya membicarakan tentang keluarga berencana (KB) yang sesungguhnya baru muncul pada tahun 1970-an. Hal yang menjadikan latar waktunya menjadi tidak logis itu sering disebut anakronisme (Nurgiyantoro, 1995), yakni ketidak sesuaian antara waktu dalam cerita dengan waktu dalam realita yang diacu oleh karya fiksi yang bersangkutan.

Sarana Sastra


Sarana sastra atau sarana pengucapan sastra atau sarana kesastraan (literary devices) adalah teknik yang dipergunakan pengarang untuk memilih dan menyusun detil-detil cerita (peristiwa dan kejadian) menjadi pola yang bermakna. Tujuan penggunaan atau pemilihan sarana sastra adalah untuk memungkinkan pembaca melihat fakta sebagaimana yang dilihat pengarang, menafsirkan makna fakta sebagaimana yang ditafsirkan pengarang, dan merasakan pengalaman seperti yang dirasakan pengarang. Macam sarana sastra antara lain berupa sudut pandang penceritaan, gaya (bahasa) dan nada, simbolisme, dan ironi (Nurgiyantoro, 1995).

1. Sudut Pandang

Sudut pandang atau point of view atau viewpoint, adalah cara sebuah cerita dikisahkan. Ia merupakan cara dan atau pandangan yang dipergunakan oleh pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca (Abrams, via Nurgiyantoro, 1995). Jadi ia merupakan cara atau siasat atau strategi dari pengarang untuk menyampaikan ceritanya. Dalam hal ini cara yang dipakai adalah dengan mengambil posisi atau mendudukkan dirinya pada peristiwa atau cerita yang disampaikannya.

Pencerita itu bisa berposisi sebagai orang luar atau orang yang tidak terlibat dalam peristiwa (-peristiwa) yang diceritakan, namun juga bisa sebagai orang yang ikut terlibat dalam kejadian(-kejadian) yang diceritakan. Bila ia berada di luar kejadian-kejadian dalam cerita atau tidak terlibat, maka tokoh-tokoh yang diceritakan akan dipandang sebagai orang ketiga atau disebut gaya “dia” atau gaya orang ketiga. Sedang bila pencerita itu terlibat, maka ia akan menceritakan melalui tokoh “aku” atau disebut gaya “aku” atau gaya orang pertama. Penggunaan gaya orang ketiga atau pun gaya orang pertama tampak bukan pada bentuk dialog tetapi pada bentuk narasi. Dalam karya sastra Jawa gaya orang ketiga tampak pada narasi yang diungkapkan dengan kata ganti orang ketiga: dheweke atau dheke, dsb. Sedang gaya aku tampak pada narasi yang diungkapkan dengan kata ganti aku atau kula.

Pada sudut pandang orang ketiga, dapat diklasifikasikan lagi menjadi: gaya “dia” maha tahu dan gaya “dia” terbatas atau tidak maha tahu. Bila berbagai hal yang dialami tokoh (-tokoh) cerita, termasuk apa pun yang dipikirkan atau dirasakan atau dipendam dalam hati, diketahui oleh pencerita sehingga diceritakan dalam suatu fiksi, maka sudut pandang itu termasuk gaya “dia” maha tahu. Namun bila pencerita tidak menceritakan hal- hal yang ada dalam pikiran atau batin tokoh- tokoh cerita, maka termasuk dalam gaya “dia” terbatas. Gaya “dia” terbatas pengamat.

Pada karya sastra yang berbentuk drama (teks drama), yakni karya sastra yang menekankan dialog dan ditulis dengan tujuan untuk dipentaskan, unsur-unsur intrinsiknya sedikit berbeda dengan jenis prosa fiksi.

Menurut Luxemburg (1989) ada tiga aspek yang harus diperhatikan dalam teks drama, yakni sebagai berikut.

  1. Menurut situasi bahasanya ada teks pokok (berisi dialog para tokohnya) dan teks samping (berisi penjelasan dari penulis tentang teknik pementasan drama sehingga berlaku sebagai pelengkap),

  2. Penyajian secara khusus pada beberapa unsur seperti alur, tokoh dan latar,

  3. Dalam beberapa hal penyajian teks drama dapat identik dengan penyajian jenis naratif (prosa).

Teks pokok yakni teks dalam drama yang berisi dialog para tokohnya, merupakan bagian yang terpenting dalam drama. Bahkan ada sejumlah teks drama yang hanya berisi teks pokok saja tanpa teks samping. Drama seperti inilah yang oleh Luxemburg dkk. disebut drama mutlak. Dalam bentuk drama mutlak itu kekhasan unsur alur, tokoh dan latar menjadi jelas. Alur drama dibina melalui adegan-adegan dan babak-babak yang berisi dialog- dialog para tokohnya. Bila terjadi sorot balik, tokohlah yang bercerita tentang masa lalu. Penokohan dalam drama hanya dapat ditafsirkan dari dialog-dialog saja, karena tidak ada penjelasan langsung secara deskriptif dari pengarang teks drama. Demikian pula latar drama itu juga hanya ditafsirkan melalui dialog-dialog yang ada.

Dalam teks drama yang menyertakan teks samping, semakin banyak teks sampingnya, semakin mudah menangkap maknanya, karena semakin banyak penjelasan yang diberikan. Namun demikian bila teks itu hendak dipentaskan, maka teks itu semakin mengikat sutradara dan pemain (pelaku)-nya

Walau berbeda, seperti halnya dalam karya sastra yang berbentuk prosa, dalam drama dapat diteliti unsur-unsurnya yang meliputi tema, alur, penokohan, latar, amanat, simbolisme dan sebagainya. Terutama dalam drama tradisional, berbagai hal yang bersifat konvensional harus lebih diperhatikan. Misalnya dalam wayang purwa, hampir semua unsur yang ada sangat terikat oleh berbagai konvensi yang ada (Widayat, 1995).

Dalam wayang purwa, misalnya, kebanyakan temanya dipengaruhi oleh konvensi filosofis seperti “becik ketitik ala ketara” (yang baik dan yang buruk akan tampak), “sura dira jayaning rat lebur dening pangastuti” (kejahatan akan terkalahkan oleh kebaikan), “yen temen mesthi tinemu” (kalau betul-betul diupayakan pasthi ada jalan), dan sebagainya. Alur wayang purwa dipengaruhi oleh urutan adegan konvensional, yakni adegan negara besar (Jejer I), adegan di ruang permaisuri (Kedhatonan), adegan di luar istana (Paseban jawi), dst. Penokohan dalam wayang purwa terikat oleh penokohan konvensional yang ada dalam tradisi (terutama dalam hubungannya dengan cerita Ramayana dan Mahabharata), dst. Oleh karena itu bagi drama tradisional, pendekatan struktural yang menekankan otonomi karya sastra akan menemui banyak kendala, terutama yang menyangkut berbagai unsur ekstrinsik.

Konvensi pada drama tradisional sangat mengikat dan menyangkut berbagai unsur yang ada. Oleh karena itu sering kali teks drama hanya ditulis secara singkat sebagai pedoman pengadegan atau pembabakannya saja. Hal ini dikarenakan baik penonton maupun sutradara atau dhalang, sudah mengetahui secara pasti kelengkapannya, berdasarkan konvensi yang ada. Dengan demikian isi dialognya tidak dituliskan secara langsung (dialog dalam bentuk kalimat langsung).

Dialog hanya disebutkan dalam bentuk inti dari isi dialognya saja. Dalam wayang purwa teks semacam itu dikenal sebagai pakem balungan (kerangka adegan sebagai pedoman pementasan). Adapun dialognya juga hanya disebutkan intinya (wosing rembag) saja. Bentuk pakem balungan itu dibedakan dengan jenis teks pakem jangkep (pedoman pementasan secara lengkap).

Pada karya sastra yang berbentuk puisi, unsur-unsur intrinsiknya antara lain berupa strata norma, yang menyangkut

  1. Strata bunyi,
  2. Unit makna,
  3. Obyek-obyek yang dikemukakan: latar, pelaku dan dunia yang diciptakan pengarang,
  4. Strata “dunia” yang secara implisit ada dalam puisi,
  5. Lapis metafisis (Ingarden).

Strata ke-4 dan ke-5 menurut Wellek & Warren (1993) termasuk dalam strata ketiga. Strata bunyi adalah suara yang sesuai dengan konvensi bahasa yang disusun sedemikian rupa sehingga menimbulkan arti. Bunyi yang disusun itu menyangkut jeda, tekanan, persajakan, urutan atau rangkaian bunyi dsb. Jeda dalam hal ini bisa jeda panjang dan jeda pendek.

Tekanan dalam hal ini bisa berupa perulangan bunyi atau kata, susunan kata yang dibalik dsb. Persajakan merupakan persamaan bunyi yang berefek estetis tertentu. Urutan atau rangkaian bunyi bisa berupa kakofoni atau efoni. Kakofoni yakni kombinasi bunyi-bunyi yang tidak merdu, parau dsb. yang dapat memperkuat seasana yang kacau, tidak teratut, memuakkan. Sedang efoni merupakan kombinasi bunyi-bunyi vokal (asonansi) atau bunyi-bunyi konsonan bersuara yang menimbulkan bunyi merdu dan berirama, yang dapat mendukung suasana yang mesra, gembira, bahagia, kasih sayang, dsb.

Dalam pandangan lain B. Rahmanto (2003) mencatat bahwa bangunan struktur puisi memiliki tubuh dan jiwa yang bersifat organik, keduanya harus ada dan saling mendukung. Unsur tubuhnya terdiri atas diksi, citraan, kata-kata konkret, bahasa kias, rima dan irama. Sedang unsur jiwanya berupa: rasa, nada, amanat dan tema.

  • Diksi adalah pemilihan kata yang dilakukan penyair, untuk menyampaikan perasaan dan pikirannya, dengan secermat-cermatnya atau setepat-tepatnya, agar terjelma ekspresi jiwa seperti yang dikehendakinya secara maksimal.

  • Citraan (imagery) adalah gambaran angan-angan atau pikiran. Citra (image) adalah sebuah efek dalam gambaran angan-angan atau pikiran yang sangat menyerupai gambaran yang dihasilkan oleh ungkapan penyair terhadap obyek yang dapat ditangkap oleh indera, pikiran dan gerakan.

  • Kata-kata konkret adalah kata-kata khusus yang menyangkut denotasi dan konotasi.

  • Bahasa kiasan (Jawa: tembung entar) adalah bahasa perbandingan atau bahasa simbol.

  • Rima atau sajak (dalam bahasa Jawa: purwakanthi) adalah persamaan bunyi yang dapat berbentuk assonansi, aliterasi, resonansi, rima berangkai, dsb.

  • Irama adalah tinggi-rendahnya, panjang pendeknya, dan cepat lambatnya suara. Nada puisi bisa nada ketegaran, kedewasaan sikap, menyesakkan, memilukan, dsb. Nada merupakan sikap penyair dihadapan pembacanya.

  • Rasa merupakan sikap penyair terhadap obyek yang ditulisnya.

  • Amanat merupakan pesan penyair yang disampaikan pada pembaca.

  • Tema adalah pokok persoalan yang ditulis penyair dalam puisinya.

Referensi

Sumber : Afendy Widayat, Teori Sastra Jawa, Universitas Negeri Yogyakarta