Apa saja Unsur-Unsur Puisi?

puisi

Puisi merupakan karya sastra yang memiliki karakteristik unik dibandingkan dengan genre karya sastra lainnya, yakni prosa dan drama. Keunikan puisi antara lain disebabkan oleh sifatnya yang cenderung berubah dan berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat yang menghasilkan kebudayaan.

Apa saja Unsur-Unsur Puisi ?

1 Like

Sama halnya dengan karya sastra prosa, puisi juga berfungsi sebagai media untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan pengarangnya. Namun harus diakui bahwa untuk mengetahuinya lebih sulit karena bentuk puisi umumnya menggunakan kata-kata kias atau perlambangan dan kata-kata padat. Karena itu, untuk mengetahuinya diperlukan kecerdasan dan kejelian pembaca untuk menafsirkan kiasan atau perlambangan yang digunakan penyair (Suharianto 2005).

Pernyataan tersebut menegaskan bahwa memahami prosa lebih mudah daripada memahami puisi. Bahasa puisi yang penuh kiasan dan lambang-lambang mensyaratkan penikmatnya untuk memiliki kepekaan dan kecermatan dalam memahami puisi yang sedang dihadapi.

Menurut Wellek, unsur pembentuk atau pembina puisi yang utama ialah: bunyi (termasuk rima dan irama) dan kata (meliputi makna, diksi, pigura bahasa, dan citraan).

Berbeda dengan pernyataan Wellek, Waluyo (1987) mengemukakan temuannya secara lebih rinci dan lebih bisa dipahami tentang unsur atau struktur pembangun puisi. Menurutnya, unsur pembangun puisi ada dua, yakni struktur fisik yang terdiri atas diksi, pengimajian, kata konkret, bahasa figuratif (majas), versifikasi, dan tata wajah (tipografi); dan struktur batin yang mencakupi tema, nada, perasaan dan suasana, serta amanat (pesan).

Berikut penjelasan mengenai struktur fisik dan struktur batin puisi.

Unsur Fisik Puisi


1. Diksi

Diksi adalah kata-kata dalam puisi yang telah dipilih dan disusun oleh penyair dengan mempertimbangkan maknanya, komposisi bunyi dalam rima dan irama, kedudukan kata-kata itu di tengah konteks kata lainnya dan kedudukan kata dalam keseluruhan puisi. (Waluyo 2003)

Diksi adalah pemilihan kata dalam sajak. Diksi digunakan untuk mencurahkan pikiran setepat-tepatnya, mengekspresikan perasaan yang dapat menjelmakan pengalaman jiwa penyairnya (Pradopo 2002).

Oleh karena itu, unsur diksi berfungsi teramat penting dalam penulisan puisi. Kekuatan utama puisi terletak pada kecermatan penyair dalam dalam memilih kata untuk dapat mewakili ungkapan penyairnya setepat-tepatnya. Jadi, diksi adalah kata-kata yang dipilih dalam menulis puisi yang memiliki makna setepat-tepatnya untuk dapat mewakili perasaan, pikiran, dan maksud penyair.

2. Pengimajian

Pengimajian adalah kata atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman sensoris, seperti penglihatan,pendengaran, dan perasaan. Melalui pengimajian, apa yang dikatakan seolah-olah dapat dilihat (imaji visual), didengar (imaji auditif), atau dirasa (imaji taktil).

  • Imaji visual menampilkan kata-kata yang menyebabkan apa yang digambarkan penyair lebih jelas seperti bisa dilihat.

  • Imaji auditif adalah penciptaan ungkapan penyair sehingga pembaca seolah-olah mendengarkan suara seperti yang digambarkan.

  • Imaji taktil adalah penciptaan ungkapan penyair yang mampu memengaruhi perasaan sehingga pembaca terpengaruh perasaannya. (Waluyo 1987)

Senada dengan pernyataan Waluyo, Jabrohim, dkk. (2009) menyatakan bahwa pengimajian digunakan untuk memberikan gambaran yang jelas, menimbulkan suasana khusus, membuat lebih hidup gambaran dalam pikiran dan penginderaan, menarik perhatian pembaca, serta memberi bayangan visual penyair dengan menggunakan gambaran-gambaran angan.

Imaji adalah kata atau kelompok kata yang dapat mengungkapkan pengalaman indrawi, seperti penglihatan, pendegaran, dan perasaan (Siswanto 2008).

Pengimajian adalah kata atau kumpulan kata pada puisi yang disusun untuk memberikan gambaran yang jelas, menimbulkan kesan konkret, dan menghidupkan apa yang diungkapkan oleh penyair sehingga terkesan nyata.

3. Kata Konkret

Kata konkret digunakan untuk membangkitkan imaji pembaca terhadap puisi yang tengah dihadapi. Imaji ini akibat dari pengimajian yang diciptakan penyair. Adapun kata konkret dihadirkan oleh pengarang untuk menciptakan imaji pembaca. Kata konkret juga erat kaitannya dengan penggunaan kiasan dan lambang. Jika penyair lihai mengonkretkan kata-kata, pembaca akan seolah-olah melihat, mendengar, atau merasa apa yang dilukiskan oleh penyair sehingga pembaca terlibat penuh secara batin ke dalam puisi (Waluyo 1987).

Sejalan dengan pendapat Waluyo, Jabrohim, dkk. (2009) mengungkapkan bahwa kata konkret merupakan kata-kata yang digunakan oleh penyair untuk menggambarkan lukisan keadaan atau suasana batin dengan maksud membangkitkan imaji pembaca.
Berdasar pada berbagai pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa kata konkret dalam puisi merupakan kata-kata yang digunakan setiap penyair untuk menggambarkan lukisan keadaan atau suasana batin dengan maksud membangkitkan imaji pembaca, sehingga pembaca terlibat penuh secara batin ke dalam puisi.

4. Bahasa Figuratif (Majas)

Pradopo (2002) menyatakan bahwa dengan bahasa figuratif sajak menjadi menarik perhatian, menimbulkan kesegaran, hidup, dan memberikan kejelasan gambaran angan. Bahasa kias mempersamakan suatu hal dengan hal lain supaya gambaran menjadi lebih jelas, lebih menarik, dan hidup.

Bahasa figuratif ialah bahasa yang digunakan penyair untuk mengatakan sesuatu dengan cara yang tidak biasa, yakni secara tidak langsung mengungkapkan makna. Kata atau bahasanya bermakna kiasa atau lambing. Waluyo (1987)

Demi mendapatkan kepuitikan bahasa puisi, penyair melakukan pemilihan kata dan mengolahnya dengan berbagai cara, salah satunya adalah dengan menggunakan bahasa figuratif (figurative language) atau biasa disebut majas. Bahasa figuratif menyebabkan puisi menjadi menarik perhatian, menimbulkan kesegaran, hidup, dan terutama menimbulkan kejelasan gambaran angan. Ada berbagai macam jenis bahasa figuratif.

Adapun pembagian bahasa figuratif menurut Altenbarnd adalah: simile, metafora, simile epik, alegori, personifikasi, metonimia, dan sinekdok. (Baribin 1990).

Berikut beberapa majas yang sering digunakan penyair dalam puisinya, yaitu simile, metafora, personifikasi, dan repetisi/pengulangan.

  • Simile atau Majas Perbandingan

    Simile atau majas perbandingan ialah menyamakan suatu hal dengan suatu hal lain dengan menggunakan kata pembanding, misalnya seperti, bagai, bak, seumpama, laksana, dan sebagainya.

    Angin Lembut
    akan kuberi nama siapakah dia, Tuhan
    angin lembut yang ramah itu
    ia tidak kasar seperti angin kemarau
    ia tidak menyakitkan seperti badan
    ia lembut dalam setetes embun

    Pada bait puisi Sadono di atas terdapat majas perbandingan dengan kata pembanding seperti sekaligus terdapat repetisi.

  • Metafora

    Metafora adalah majas yang menyamakan sesuatu hal dengan sesuatu hal lain tanpa menggunakan kata pembanding (Baribbin, 1990).

    bumi ini perempuan jalang
    yang menarik laki-laki jantan dan pertapa
    ke rawa-rawamesum ini
    dan membunuhnya pagi hari
    (Subagio)

    Majas metafora pada puisi di atas adalah bumi dibandingkan dengan perempuan jalang, Kemudian pada baris berikutnya terdapat majas personifikasi, yaitu yang menarik laki-laki jantan dan pertapa.

  • Personfikasi

    Majas personifikasi sering digunakan penyair untuk menghidupkan puisinya. Baribin (1990) berpendapat bahawa personifikasi ialah mempersamakan benda dengan manusia, hal ini menyebabkan lukisan menjadi hidup, berperan menjadi lebih jelas, dan memberikan bayangan angan yang konkret.

  • Repetisi

    Majas repetisi adalah majas yang mengulang-ulang kata. Majas pengulangan digunakan untuk intensitas makna dan menjadikan puisi itu lebih indah.

Beberapa pemaparan di atas memberikan fungsi yang jelas tentang bahasa figuratif dalam puisi. Bahasa figuratif adalah susunan kata dalam puisi untuk mempersamakan satu hal dengan yang lain demi menimbulkan kesegaran bahasa, kesan hidup, dan kejelasan gambaran angan, serta untuk menarik perhatian.

5. Versifikasi

Menurut Jabrohim, dkk. (2009), versifikasi terdiri atas ritma, rima, dan metrum. Secara umum ritma (rhythm) dikenal sebagai irama, yaitu pergantian panjang-pendek, turun-naik, keras-lembut ucapan bunyi bahasa yang teratur. Irama menyebabkan aliran perasaan atau pikiran tidak terputus dan terkonsentrasi sehingga menimbulkan bayangan angan (imaji) yang jelas dan hidup. Irama diwujudkan dalam bentuk tekanan-tekanan pada kata.

Tekanan tersebut dibedakan menjadi tiga, yaitu

  1. dinamika, yakni tekanan keras lembutnya ucapan pada kata tertentu;
  2. nada, yakni tekanan tinggi rendahnya suara; dan
  3. tempo, yakni tekanan cepat lambatnya pengucapan kata.

Waluyo (1987) mengemukakan bahwa rima (rhyme) adalah pengulangan bunyi dalam puisi untuk membentuk musikalitas atau orkestrasi dengan mempertimbangkan lambang bunyi. Pemilihan bunyi-bunyi ini mendukung perasaan dan suasana puisi.

Marjorie Boulton menyebutkan rima sebagai phonetic form. Jika bentuk fonetik itu berpadu dengan ritma, maka akan mampu mempertegas makna puisi. Rima adalah perulangan bunyi yang sama dalam puisi untuk menambah keindahan suatu puisi. Dalam rima dikenal perulangan bunyi yang cerah, ringan, dan mampu menciptakan suasana kegembiraan atau kesenangan. Bunyi semacam ini disebut euphony. Selain itu, ada pula bunyi-bunyi yang berat, menekan, membawa suasana kesedihan yang disebut cacophony.

Contoh efoni adalah

Adakah suara cemara
Mendesing menderu padamu
Adakah melintas sepintas
Gemersik daunan lepas

Puisi di atas sangat efoni karena adanya perpaduan bunyi vokal a, e, u. Kalau dibaca menimbulkan musik yang menarik, apalagi bila diiringi musik. Beberapa karya puisi seperti karya Taufik Ismail, Ebiet G Ade sering dinyanyikan.

Sedangkan kakafoni dapat dilihat pada contoh berikut ini.

Menjelang dinihari
Malam yang pucat
Di bawah bulan yang pucat
Pelan-pelan
menggelap

Bayangan bumi
Diam-diam
Merayap

Kemerduan bunyi asonansi (persamaan bunyi vokal) dan aliterasi (persamaan bunyi konsonan) pada kutipan puisi di atas dikacaukan oleh kehadiran bunyi /k/,/p/,/t/,/s/ .

Selain itu, ada pula persamaan bunyi akhir setiap baris puisi yang sering disebut sajak. Contoh sajak akhir adalah sebagai berikut.

Ibuku janganlah kau cemburu
Hari sabtu yang akan datang ku akan membawanya padamu Panggillah ia dengan kata anakku
(Waluyo, 1987).

Ritma merupakan pertentangan bunyi: tinggi/rendah, panjang/pendek, keras/lemah, yang mengalun dengan teratur dan berulang-ulang sehingga membentuk keindahan (Slametmuljana dalam Waluyo 1987). Contohnya adalah pada puisi lama yang disebut pantun. Berikut ini contoh ritma dalam puisi lama:

Dari mana / punai melayang
Dari sawah / turun ke kali
Dari mana / kasih sayang
Dari mata / turun ke hati

Adapun metrum adalah irama yang tetap; pergantian irama yang sudah tetap menurut pola tertentu; pengulangan tekanan kata yang tetap yang sifatnya statis (Waluyo 1987).

Rima merupakan persamaan bunyi pada puisi, baik di awal, tengah, maupun akhir baris puisi.
Ritma merupakan tinggi-rendah, panjang-pendek, keras-lembutnya bunyi. ―

6. Tata Wajah (Tipografi)

Tipografi merupakan ukiran bentuk, yakni cara untuk menuliskan sebuah puisi atau sajak. Secara umum maksud tipografi yang pertama adalah untuk keindahan indrawi dan yang kedua dimaksudkan untuk lebih mengintensifkan makna, rasa, atau suasana puisi. Suharianto (1981).

Aminuddin (2009) mengemukakan bahwa tipografi adalah cara penulisan puisi untuk menampilkan bentuk-bentuk tertentu yang dapat diamati secara visual. Peranan tipografi di samping untuk menampilkan aspek artistik secara visual, juga digunakan untuk menciptakan nuansa makna dan suasana tertentu. Tipografi juga berperan menunjukkan adanya loncatan gagasan dan memperjelas satuan makna tertentu yang ingin diungkapkan penyair.

Tipografi mencakupi penataan baris dan bait dalam puisi. Adapun penataan baris puisi berkaitan erat dengan enjambemen. Enjambemen merupakan peristiwa keterkaitan antara isi dua larik sajak yang berurutan; dua baris sajak yang menerangkan keterkaitan peristiwa (Lelasari 2008).

Aminuddin (2009) mengemukakan bahwa enjambemen merupakan pemenggalan larik suatu puisi yang dilanjutkan pada larik berikutnya. Ini menunjukkan bahwa enjambemen merupakan bagian dari unsur tipografi yang menjadi ciri khas penulisan puisi.

Tipografi diartikan sebagai perlambangan rasa, makna, dan nuansa tertentu dalam puisi yang divisualisasikan dalam tata bentuk baris dan bait puisi untuk memperjelas satuan makna tertentu yang ingin diungkapkan penyair.

puisi

Unsur Batin Puisi

1. Tema

Definisi secara umum mengenai tema menurut Keraf (2004) adalah suatu amanat utama yang disampaikan oleh penulis melalui karangannya. Amanat utama ini dapat diketahui misalnya bila seseorang membaca roman atau yang lainnya (dilihat dari sudut pandang karangan yang telah selesai). Adapun jika dipandang dari sudut proses penyusunan sebuah karangan, tema merupakan suatu perumusan dari topik yang akan dijadikan landasan pembicaraan dan tujuan yang akan dicapai melalui topik tersebut.

Richards menyamakan tema dengan makna (sense) yakni puisi itu mempunyai subject matter yang mengemukakan sesuatu kepada pembaca, sesuatu kejadian yang dialaminya, dipersoalkan dengan cara sendiri. Makna yang terkandung dalam subject matter itulah yang disebut dengan sense.

Waluyo (1987) menyatakan bahwa tema merupakan gagasan pokok atau subjek-matter yang dikemukakan oleh penyair. Pokok-pokok pikiran itu begitu kuat mendesak dalam jiwa penyair, sehingga menjadi landasan utamapengucapannya.

Tema merupakan pokok pikiran yang mendasari atau menjiwai suatu karangan. Suatu karangan yang tercipta tentunya mengandung atau mengusung pikiran pokok tertentu.

2. Nada dan Suasana

Nada adalah sikap penyair terhadap pembaca dan persoalan dalam puisi. Nada berhubungan erat dengan tema dan rasa yang terkandung dalam sajak tersebut. Adapun suasana merupakan keadaan jiwa pembaca setelah membaca puisi tersebut, atau dampak psikologis yang ditimbulkan puisi tersebut terhadap pembaca.

Tentang nada, Jabrohim dkk. (2009) mencontohkan sikap penyair dalam puisi adakalanya menggurui, menasihati, mengejek, menyindir, atau hanya bersikap lugas, menceritakan sesuatu kepada pembacanya. Dapat dipahami bahwa nada dan suasana dalam puisi memiliki hubungan yang erat. Nada merupakan sikap penyair terhadap persoalan dan pembaca, suasana adalah keadaan perasaan atau jiwa pembaca yang timbul setelah membaca sebuah puisi.

3. Perasaan

Waluyo (1987) menyatakan bahwa puisi mengungkapkan perasaan penyair. Nada dan perasaan penyair akan dapat ditangkap melalui pembacaan puisi (poetry reading) atau deklamasi. Membaca puisi seperti ini dapat membantu pengungkapan perasaan penyair yang melatarbelakangi terciptanya puisi tersebut. Perasaan yang menjiwai puisi bisa perasaan gembira, sedih, terharu, marah, tersinggung, sombong, patah hati, tercekam, cemburu, takut, kesepian, menyesal, dan sebagainya.

Aminuddin (2009) mengemukakan bahwa perasaan adalah sikap penyair terhadap pokok pikiran yang ditampilkannya. Hal itu terkandung dalam lapis makna puisi sejalan dengan terdapatnya pokok pikiran. Pada setiap pokok pikiran pada umumnya dilatarbelakangi oleh sikap tertentu.

Perasaan dalam puisi merupakan perasaan penyair yang terungkapkan dalam puisi sebagai akibat dari sikapnya terhadap objek tertentu. Perasaan tertentu penyair melatarbelakangi terciptanya sebuah puisi.

4. Amanat

Mengenai amanat, Richards menyatakan bahwa setiap penyair mempunyai tujuan dengan sajak-sajaknya, baik disadari maupun tidak. Tujuan ini diungkapkan oleh penyair berdasarkan pandangan hidupnya.

Amanat atau tujuan adalah hal yang mendorong penyair untuk mencipta puisinya. Waluyo menyatakan bahwa amanat tersirat di balik kata-kata yang disusun dan juga berada di balik tema yang diungkapkan. Amanat yang hendak disampaikan oleh penyair mungkin secara sadar berada dalam pikiran penyair, namun lebih banyak penyair tidak sadar akan amanat yang diberikan.

Amanat merupakan pesan yang secara implisit ingin disampaikan penyair kepada pembaca melalui puisinya.

Unsur puisi adalah unsur-unsur yang berasal dari dalam naskah puisi tersebut. Adapun unsur-unsur suatu puisi meliputi:

  • Tema (sense) adalah gagasan utama dari puisi baik yang tersirat maupun tersurat.

  • Tipografi disebut juga ukiran bentuk puisi. Tipografi adalah tatanan larik, bait, kalimat, frase, kata dan bunyi untuk menghasilkan suatu bentuk fisik yang mampu mendukung isi, rasa dan suasana.

  • Amanat (intention) atau pesan adalah sesuatu yang ingin disampaikan penyair melalui karyanya.

  • Nada (tone), yaitu sikap penyair terhadap pembacanya, misalnya sikap rendah hati, menggurui, mendikte, persuasif, dan lain-lain.

  • Rasa atau emosional adalah sentuhan perasaan penulisannya dalam bentuk kepuasan, keheranan, kesedihan, kemarahan atau yang lain.

  • Perasaan (feeling) adalah sikap pengarang terhadap tema (subjek matter) dalam puisinya, misalnya simpatik, konsisten, senang, sedih, kecewa, dan lain-lain.

  • Enjambemen adalah pemotongan kalimat atau frase diakhir larik, kemudian meletakkan potongan itu pada awal larik berikutnya. Tujuannya adalah untuk memberi tekanan pada bagian tertentu ataupun sebagai penghubung antara bagian yang mendahuluinya dengan bagian berikutnya.

  • Kata konkret (imajinasi) adalah penggunaan kata-kata yang tepat (diksi yang baik) atau bermakna denotasi oleh penyair.

  • Diksi adalah pilihan kata yang dipakai untuk mengungkapkan perasaan dalam puisi.

  • Akulirik adalah tokoh aku (penyair) di dalam puisi.

  • Rima adalah pengindah puisi dalam bentuk pengulangan bunyi baik awal, tengah maupun akhir.

  • Verifikasi adalah berupa rima (persamaan bunyi pada puisi, di awal, di tengah, dan di akhir); ritma (tinggi-rendah, panjang-pendek, keras-lemahnya bunyi).

  • Majas adalah cara penyair menjelaskan pikirannya melalui gaya bahasa yang indah dalam bentuk puisi.

  • Citraan (pengimajian) adalah gambar-gambar dalam pikiran, atau gambaran angan si penyair. Setiap gambar pikiran disebut citra atau imaji (image). Gambaran pikiran ini adalah sebuah efek dalam pikiran yang sangat menyerupai gambaran yang dihasilkan oleh penangkapan kita terhadap sebuah objek yang dapat dilihat oleh mata (indra penglihatan).