Apa saja Unsur-Unsur Drama?

drama

Drama adalah hidup yang dilukiskan dengan gerak (life presented in action).

Apa saja Unsur-Unsur Drama ?

Unsur-unsur yang ada pada drama antara lain :

  1. Tema adalah ide pokok atau gagasan utama sebuah cerita drama.

  2. Alur yaitu jalan cerita dari sebuah pertunjukkan drama mulai babak pertama hingga babak terakhir.

  3. Tokoh atau pelaku drama terdiri dari tokoh utama dan tokoh pembantu. Tokoh utama atau peran utama disebut primadona sedangkan peran pembantu disebut figuran.

  4. Watak adalah perilaku yang diperankan oleh tokoh drama. Watak protagonis adalah watak (periku) baik yang diperankan oleh tokoh drama. Contohnya : penyabar, kasih sayang, santun, pemberani, pembela yang lemah, baik hati dan sebagainya. Sedangkan watak antagonis adalah watak (perilaku) jahat yang diperankan oleh tokoh drama. Contohnya : sifat iri dan dengki, kejam, penindas dan sebagainya

  5. Latar adalah gambaran tempat, waktu dan situasi peristiwa dalam cerita drama

  6. Amanat adalah pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada penonton. Amanat drama atau pesan disampaikan melalui peran para tokoh drama.

Unsur-unsur dalam drama meliputi :

1. Tema

Tema adalah ide pokok yang ingin disampaikan dari sebuah cerita dan inti permasalahan yang hendak dikemukakan pengarang dalam ceritanya. Walaupun dalam sebuah drama terdapat banyak peristiwa yang masing-masingnya mengemban permasalahan, tetapi hanya ada sebuah tema sebagai intisari dari permasalahan-permasalahan. Permasalahan ini dapat juga muncul melalui perilaku-perilaku para tokoh ceritanya yang terkait dengan latar dan ruang.

Tema sering pula dikatakan dengan nada dasar drama. Sebuah tema tidak terlepas dari manusia dan kehidupan, misalkan cinta, maut, dan sebagainya. Jika ada yang menyebutkan temanya romantis itu bias pengertian. Romantis bukan tema, tetapi gaya yang digunakan oleh penulis. Dalam kasus dimaksud sebenarnya temanya adalah cinta/percintaan. Jalan ceritanya yang dibuat jadi romantis, ini hanya perkara gaya atau style.

2. Alur

Hubungan antara satu peristiwa dengan peristiwa lainnya yang saling berhubungan secara kausalitas akan menunjukkan kaitan sebab akibat. Jika hubungan kausalitas peristiwa terputus dengan peristiwa yang lainnya maka dapat dikatakan bahwa alur tersebut kurang baik.

Karakteristik alur drama jika ingin membedakannya, mungkin dapat dikategorikan dengan alur konvensional dan alur nonkonvensional. Persoalannya, terdapat perbedaan penyajian alur oleh pengarang-pengarang drama Indonesia pada tahun-tahun awal dengan drama-drama yang lebih mutakhir. Pengertian alur konvensional adalah jika peristiwa yang disajikan lebih dahulu selalu menjadi penyebab munculnya peristiwa yang hadir sesudahnya.

Peristiwa yang muncul kemudian selalu menjadi akibat dari peristiwa yang terjadi lebih dahulu menjadi akibat dari peristiwa yang terjadi sesudahnya. Sedangkan alur nonkonvensional adalah alur yang dibentuk berdasarkan rangkaian peristiwa yang tidak berdasarkan runutan sebagaimana alur konvensional. masing-masing dari alur tersebut mempunyai fungsi dan peran tersendiri, terutama dengan kaitan teks dramanya.

Alur juga sering disebut sebagai tahapan cerita yang bersambungan. Meliputi Pemaparan, pertikaian, penggawatan, klimaks, peleraian. Dilihat dari cara menyusun yakni, alur maju/lurus, alur mundur, alur sorot balik, alur gabungan.

Menurut Wiyanto (2002), menyatakan bahwa perkembangan plot ada enam tahap, yaitu :

  • Eksposisi, tahap ini disebut tahap perkenalan, karena penonton mulai diperkenalkan dengan lakon drama yang akan ditontonnya meskipun hanya dengaan gambaran selintas.
  • Konflik, pemain drama sudah terlibat dalam persolan pokok.
  • Komplikasi, insiden kemudian berkembang dan menimbulkan konflik-konflik yang semakin banyak dan ruwet.
  • Krisis, dalam tahap ini berbagai konflik sampai pada puncaknya (klimaks).
  • Resolusi, dalam tahap ini dilakukan penyelesaian konflik.
  • Keputusan, dalam tahap terakhir ini semua konflik berakhir dan sebentar lagi cerita selesai.

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa sebuah drama akan mempunyai beberapa tahap dalam plot dan tidak sama bagi tiap-tiap lakon drama.

3. Tokoh

Tokoh dalam drama disebut tokoh rekaan yang berfungsi sebagai pemegang peran watak tokoh. Itulah sebebanya istilah tokoh juga disebut karakter atau watak. Istilah penokohan juga sering disamakan dengan istilah perwatakan atau karakterisasi

Berdasarkan peranannya di dalam alur cerita tokoh dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam yakni:

  1. Antagonis, tokoh utama berprilaku jahat.
  2. Protagonis, tokoh utama berprilaku baik.
  3. Tritagonis, tokoh yang berperanan sebagai tokoh pembantu.

Selain itu, berdasarkan fungsinya di dalam alur cerita tokoh dapat diklasifikasi menjadi tiga macam juga, yakni:

  • Sentral, tokoh yang berfungsi sebagai penentu gerakan alur cerita.
  • Utama, tokoh yang berfungsi sebagai pendukung tokoh antagonis atau protagonis,
  • Tokoh pembantu, tokoh yang berfungsi sebagai pelengkap penderita dalam alur cerita.

Masih berkaitan dengan tokoh, ada istilah yang lazim digunakan yakni penokohan dan teknik penokohan. Penokohan merujuk kepada proses penampilan tokoh yang berfungsi sebagai pembawa peran watak tokoh cerita dalam drama. Sedangkan teknik penokohan adalah teknik yang digunakan penulis naskah lakon, sutradara, atau pemain dalam penampilan atau penempatan tokoh-tokoh wataknya dalam drama. Teknik penokohan dilakukan dalam rangka menciptakan citra tokoh cerita yang hidup dan berkarakter.

Watak tokoh cerita dapat diungkapkan melalui salah satu lima teknik di bawah ini, yaitu :

  1. Apa yang dipikirkan, dirasakan, atau dikehendaki tentang dirinya atau tentang diri orang lain.
  2. Lakuan, tindakan,
  3. Cakapan, ucapan, ujaran,
  4. Kehendak, perasaan, pikiran,
  5. Penampilan fisik.

Dalam hal penokohan, di dalamnya termasuk hal-hal yang berkaitan dengan penamaan, pemeranan, keadaan fisik tokoh (aspek fisiologis), keadaan kejiwaan tokoh (aspek psikologis) , keadaan sosial tokoh (aspek sosiologi), serta karakter tokoh. Di dalam drama unsur penokohan merupakan aspek penting. Selain melalui aspek inilah aspek-aspek lain di dalam drama dimungkinkan berkembang, unsur penokohaan di dalam drama terkesan lebih tegas dan jelas pengucapannya dibandingkan dengan fiksi.

Tokoh watak atau karakter dalam drama adalah bahan baku yang paling aktif dan dinamis sebagai penggerak alur cerita. Para tokoh dalam drama tidak hanya berfungsi sebagai penjamin bergeraknya semua peristiwa cerita, tetapi juga berfungsi sebagai pembentuk, dan pencipta alur cerita. Tokoh demikian disebut tokoh sentra Penokohan, gerak, dan cakapan adalah tiga komponen utama yang menjadi dasar terjadinya konflik (tikaian) dalam drama.

Pada hakekatnya, konflik (tikaian) merupakan unsur instrinsik yang harus ada di dalam sebuah drama. Tokoh cerita dalam drama dapat diwujudkan dalam bentuk 3 dimensi, meliputi :

  1. Dimensi fisiologi, yakni ciri-ciri fisik yang bersifat badani atau ragawi, seperti usia, jenis kelamin, keadaan tubuh, ciri wajah, dan ciri-ciri fisik lainnya.
  2. Dimensi psikologi, yakni ciri-ciri jiwani atau rohani, seperti mentalitas, temperamen, cipta, rasa, karsa, IQ, sikap pribadi, dan tingkah laku.
  3. Dimensi sosiologis, yakni ciri-ciri kehidupan sosial, seperti status sosial, pekerjaan, jabatan, jenjang pendidikan, kehidupan pribadi, pandangan pribadi, sikap hidup, perilaku masyarakat, agama, ideologi, sistem kepercayaan, aktifitas sosial, aksi sosial, hobby pribadi, organisasi sosial, suku bangsa, garis keturunan, dan asal usul sosial.

4. Latar

Latar atau setting adalah bagian dari cerita yang menjelaskan waktu dan tempat kejadian ketika tokoh mengalami peristiwa. Tempat terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah drama. Latar tidak hanya merujuk kepada tempat, tetapi juga ruang, waktu, alat-alat, benda-benda, pakaian, sistem pekerjaan, dan sistem kehidupan yang berhubungan dengan tempat terjadinya peristiwa yang menjadi latar ceritanya.

Latar juga merupakan identitas permasalahan drama sebagai karya fiksionalitas yang secara samar diperlihatkan penokohan dan alur. Latar atau setting memperjelas suasana, tempat, serta waktu peristiwa itu berlaku dan juga memperjelas pembaca untuk menidentifikasi permasalahan drama.

Secara langsung latar berkaitan dengan penokohan dan alur. Sehubungan dengan itu, latar harus saling menunjang dengan alur dan penokohan dalam membangun permasalahan dan konflik. Latar yang konkret biasanya berhubungan dengan peristiwa yang konkret. Sebaliknya latar yang abstrak dan tokoh-tokoh yang abstrak akan berhubungan dengan yang abstrak pula.

Dalam sebuah drama latar ikut membangun permasalahan drama dan menciptakan konflik. Bagi pembaca, latar haruslah dipandang sebagai suatu unsur yang mengarahkan dan memperjelas permasalahan drama. Karena hakikat drama yang ditulis dengan tujuan untuk dipentaskan menyebabkan latar pada drama berbeda dengan latar pada cerpen atau novel.

5. Amanat

Amanat adalah pesan atau sisipan nasihat yang disampaikan pengarang melalui tokoh dan konflik dalam suatu cerita. Amanat juga dapat diartikan sebagai pesan yang hendak disampaikan penulis dari sebuah cerita. Jika tema bersifat lugas, objektif, dan khusus, amanat lebih umum, kias, dan subjektif.

Amanat di dalam drama dapat terjadi lebih dari satu, asal kesemuanya itu terkait dengan tema. Pencarian amanat pada dasarnya identik atau juga merupakan kristalistik dari berbagai peristiwa, perlaku tokoh, latar, dan ruang cerita. Pencarian amanat sama halnya seperti tema yaitu hanyalah diperlukan bagi pelajar, pembaca, atau kritikus pemula. Bagi peneliti dan kritikus maupun hal semacam pencarian tema dan amanat bukanlah hal yang utama dan penting. Begitu juga dalam hal analisis drama, amanat tidak diperlukan dan tidak dipentingkan.

Unsur-unsur intrinsik drama adalah sebagai berikut.

Tokoh, Peran, dan Karakter


Dalam hal penokohan, di dalamnya termasuk hal-hal yang berkaitan dengan penamaan, pemeranan, keadaan fisik tokoh (aspek fisikologis), keadaan sosial tokoh (aspek sosiologi), serta karakter tokoh. Hal-hal yang termasuk di dalam permasalahan penokohan ini saling berhubungan dalam upaya membangun permasalahan-permasalahan atau konflik-konflik kemanusiaan yang merupakan persyaratan utama drama. Bahkan di dalam drama, unsur penokohan merupakan aspek penting.

Melalui aspek inilah aspek-aspek lain di dalam drama dimungkinkan berkembang, unsur penokohan di dalam drama terkesan lebih tegas dan jelas pengungkapannya dibandingkan dengan fiksi (Hasanuddin, 1996).

Untuk membangun kesan dalam sebuah cerita, pemilihan tokoh sangatlah penting. Para penonton akan memberikan kesan memuaskan apabila pemain dapat memerankan tokoh dengan karakter yang pas atau cocok. Tokoh di dalam drama sangat berkaitan erat dengan permasalahan atau konflik yang disampaikan dalam cerita drama.

Permasalahan dan konflik kemanusiaan di dalam drama tidak akan muncul melalui tokoh, tetapi dari pertemuan dua peran yang berpasangan atau yang berlawanan. Jadi pada prinsipnya seorang tokoh akan memunculkan beberapa permasalahan sesuai dengan peran yang “dibebankan” pengarang kepadanya.

Dalam menjalankan fungsinya sebagai peran tertentu, tokoh dituntut untuk menciptakan kesesuaian karakter dengan peran itu (Hasanuddin, 1996). Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa permasalahan dan konflik yang ada di dalam drama terjadi karena adanya pertemuan tokoh-tokoh yang mempunyai peran sesuai dengan keinginan pengarang dan tokoh tersebut harus mempunyai karakter sesuai dengan perannya.

Motif, Konflik, Peristiwa, dan Alur


Pada segi pementasan, unsur laku terasa lebih jelas dan konkret, dibandingkan pada teksnya. Hal ini menjadi jelas karena unsur laku di atas pentas merupakan tindakan pemvisualisasian. Gerakan atau tindakan-tindakan para tokoh dapat membentuk suatu peristiwa. Gerakan atau tindakan para tokoh itu sendiri merupakan suatu kejadian yang dapat dikaitkan telah berlangsung jika seseorang tokoh atau sekelompok tokoh melakukan kegiatan pada suatu tempat dan pada suatu waktu tertentu.

Peristiwa-peristiwa atau pada kejadiannya membentuk permasalahan-permasalahan drama (Hasanuddin, 1996). Jadi, peristiwa yang ada di atas panggung terjadi karena adanya gerakan atau tindakan-tindakan dari para tokoh. Peristiwa-peristiwa tersebut akan membentuk permasalahan yang disampaikan cerita drama.

Menurut Oemarjati, motif dapat muncul dari berbagai sumber, antara lain:

  1. Kecenderungan-kecenderungan dasar (basic instinct) yang dimiliki manusia, misalnya kecenderungan untuk dikenal, untuk memperoleh suatu pengalaman tertentu, untuk pemuasan libido tertentu.

  2. Situasi yang melingkupi manusia, yaitu keadaan fisik dan keadaan sosial.

  3. Interaksi sosial, yaitu rangsangan yang ditimbulkan karena hubungan sesama manusia.

  4. Watak manusia itu sendiri, sifat-sifat intelektualnya, emosionalnya, persepsi dan resepsinya, dan ekspresif serta sosial kulturalnya.

Dengan mengetahui motif, maka pembaca mendapat dasar yang lebih kuat dalam mempresentasikan suatu laku atau suatu peristiwa dalam drama. Mungkin saja suatu tindakan yang secara universal dilakukan oleh seorang tokoh dapat dinilai tidak baik, tetapi jika motif yang mendasari tindakan tokoh tersebut beralasan, maka mungkin tindakan tokoh yang secara universal itu salah, oleh pembaca dapat dibenarkan.

Permasalah drama haruslah dicari pada peristiwa yang dominan yang menjadi penyebab munculnya konflik. Peristiwa atau kelompok peristiwa yang mendominasi peristiwa lain, yang menyebabkan muncul konflik dalam drama, merupakan inti permasalahan drama yang hendak diketengahkan pengarang. Melalui dialog, tindakan, dan laku para tokoh, pengarang seolah-olah berkata,

“Perhatikanlah peristiwa ini yang menjadi penyebab beberapa peristiwa lainnya yang akhirnya bermuara pada terciptanya konflik” (Hasanuddin, 1996).

Konflik muncul karena peristiwa-peristiwa yang terjadi di atas panggung. Peristiwa yang dominan terjadi dan paling sering memunculkan konflik merupakan inti dari permasalahan drama yang ingin disampaikan oleh pengarang.

Hubungan antara satu peristiwa atau sekelompok peristiwa dengan peristiwa yang lain disebut alur atau plot. Alur sebagai rangkaian peristiwa-peristiwa atau sekelompok peristiwa yang saling berhubungan secara kausalitas akan menunjukkan kaitan sebab-akibat. Karakteristik alur drama, jika ingin membedakannya, mungkin dapat dikategorikan dengan istilah alur konvensional dan alur nonkonvensional.

Pengertian alur konvensional di sini adalah jika peristiwa yang disajikan lebih dahulu selalu menjadi penyebab munculnya peristiwa yang hadir sesudahnya. Sedangkan yang dimaksudkan dengan alur yang nonkonvensional adalah alur yang dibentuk berdasarkan rangkaian peristiwa yang tidak berdasarkan runutan sebagaimana alur konvensional (Hasanuddin, 1996).

Jadi, dapat disimpulkan bahwa alur drama terdiri dari rangkaian peristiwa- peristiwa yang saling berhubungan dan menunjukkan hubungan sebab-akibat. Dalam drama terdapat dua jenis alur, yaitu alur konvensional dan nonkonvensional. Alur konvensional menyajikan peristiwa-peristiwa secara urut, yaitu peristiwa yang lebih dahulu muncul selalu menjadi penyebab munculnya peristiwa berikutnya. Alur nonkonvensional manyajikan peristiwa-peristiwa tidak secara urut, berbanding balik dengan alur konvensional.

Menurut Gustav Freitag, alur cerita drama adalah, bahwa alur cerita drama dapat digambarkan sebagai sebuah piramida, seperti terlihat pada gambar berikut ini :

Piramida Struktur Drama Gustav Freitag
Gambar Piramida Struktur Drama Gustav Freitag

Penjelasannya adalah sebagai berikut :

  • Pada babak pertama (pembukaan) disampaikan hal-hal yang berkaitan dengan waktu, tempat dan tokoh-tokoh yang ada di dalamnya, juga tampak tanda-tanda akan adanya konflik.

  • Pada babak kedua (kesulitan/komplikasi) digambarkan adanya perbedaan pendapat dan tindakan para tokoh.

  • Pada babak ketiga (puncak) pertentangan pendapat dan tindakan para tokoh sampai pada puncaknya dan menjadi konflik terbuka.

  • Pada babak keempat (krisis) konflik mulai menurun dan sudah ada tanda- tanda akan adanya penyelesaian.

  • Pada babak kelima (keputusan) diungkapkan penentuan nasib tokoh utamanya, apakah ia berbahagia atau sebaliknya, mati terbunuh.

Latar dan Ruang


Jika permasalahan drama sudah diketahui melalui alur atau penokohan, maka latar dan ruang memperjelas suasana, tempat, serta waktu peristiwa itu berlaku. Latar dan ruang di dalam drama memperjelas pembaca untuk mengidentifikasikan permasalah drama.

Secara langsung latar berkaitan dengan penokohan dan alur. Sehubungan dengan itu, latar harus saling menunjang dengan alur dan penokohan dalam membangun permasalahan dan konflik. Latar yang konkret biasanya berhubungan dengan tokoh-tokoh yang konkret dan peristiwa- peristiwa yang konkret. Sebaliknya latar yang abstrak akan berhubungan dengan peristiwa yang abstrak dan tokoh-tokoh yang abstrak pula. Latar ikut membangun permasalahan drama dan menciptakan konflik (Hasanuddin, 1996).

Latar dan ruang merupakan tempat berlangsungnya kejadian atau peristiwa-peristiwa yang menggambarkan cerita drama. Latar dan ruang akan memperjelas suasana, tempat, serta waktu tentang peristiwa yang terjadi. Latar dan ruang juga harus saling menunjang dengan alur dan penokohan, supaya dapat menciptakan permasalahan dan konflik yang sesuai dengan cerita drama.

Penggarapan Bahasa


Dialog merupakan situasi bahasa utama. Pengertian penggarapan bahasa di sini bukanlah tentang dialog itu sendiri, melainkan bagaimana bahasa dipergunakan pengarang sehingga terjadi situasi bahasa. Mungkin lebih tepat jika yang dimaksudkan dengan penggarapan bahasa adalah biasa disebut dengan style.

Penggunaan bahasa harus relevan dan menunjang permasalahan-permasalahan yang hendak dikemukakan; harus serasi dengan teknik-teknik yang digunakan; dan harus tepat merumuskan alur, penokohan, latar dan ruang, dan tentu saja semua itu bermuara pada ketepatan perumusan tema.

Gaya bahasa cenderung dikelompokkan menjadi empat jenis, yaitu penegasan, pertentangan, perbandingan, dan sindiran. Penggunaan jenis bahasa ini akan membantu pembaca mengidentifikasi perwatakan tokoh. Tokoh yang menggunakan gaya bahasa penegasan dalam ucapan-ucapannya tentu akan berbeda letaknya dengan tokoh yang menggunakan gaya bahasa sindiran ataupun pertentangan dan perbandingan (Hasanuddin, 1996).

Gaya bahasa yang digunakan pengarang dalam menulis cerita drama haruslah menarik hati, harus pula membuatnya baik dan wajar serta lebih terarah. Hal ini disebabkan gaya bahasa juga berpengaruh pada unsur-unsur drama yang lainnya.

Jenis-jenis gaya bahasa dalam drama secara umum sama dengan di dalam karya sastra lainnya, yaitu penegasan, pertentangan, perbandingan, dan sindiran.

Gaya bahasa bisa menggambarkan perwatakan tokoh, karena setiap tokoh pasti mempunyai gaya bahasa yang berbeda dengan tokoh yang lainnya. Salah satu usaha untuk memahami drama yaitu dengan mengamati ciri khas gaya bahasa yang ditunjukkan para tokoh-tokohnya.

Tema (Premisse) dan Amanat


Tema dan amanat dapat dirumuskan dari berbagai peristiwa, penokohan, dan latar. Tema adalah inti permasalah yang hendak dikemukakan pengarang dalam karyanya. Tema merupakan hasil konklusi dari berbagai peristiwa yang terkait dengan penokohan dan latar. Dalam sebuah drama ada sebuah tema sebagai intisari dari permasalahan-permasalahan tersebut. Permasalahan ini dapat juga muncul melalui perilaku-perilaku para tokoh ceritanya yang terkait dengan latar dan ruang.

Amanat merupakan opini, kecenderungan, dan visi pengarang terhadap tema yang dikemukakannya. Amanat di dalam drama dapat terjadi lebih dari satu, asal kesemuanya itu terkait dengan tema. Pencarian amanat pada dasarnya identik atau sejalan dengan teknik pencarian tema. Amanat juga merupakan kristalistik dari berbagai peristiwa, perilaku tokoh, latar, dan ruang cerita (Hasanuddin, 1996).

Dari pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa tema dan amanat yang terkandung di dalam drama merupakan hal yang sejalan. Tema merupakan intisari dari cerita drama yang terdiri dari peristiwa- peristiwa yang menimbulkan konflik dan permasalahan, sedangkan amanat selalu

berkaitan dengan tema. Amanat merupakan pesan yang disampaikan pengarang pada pembaca.
Agar kita dapat memberikan penilaian dan penghargaan yang pantas terhadap karya sastra drama, diharapkan juga kita mengetahui jenis-jenis drama. Dalam Budianta, terdapat lima jenis-jenis drama yaitu tragedi, komedi, tragikomedi, melodrama, dan farce.
a. Tragedi adalah sebuah drama yang ujung kisahnya berakhir dengan kedukaan atau dukacita.
b. Komedi adalah sebuah drama yang ujung kisahnya berakhir dengan sukacita.
c. Tragikomedi adalah sebuah sajian drama yang menggabungkan antara tragedi dan komedi.
d. Melodrama adalah sebuah pementasan yang ketika tanpa ada cakapan apapun, emosi dibangun melalui musik.
e. Farce adalah yang secara umum dapat dikatakan sebagai sebuah sajian drama yang bersifat karikatural (Budianta, 2002: 113-114).

Dari uraian-uraian di atas disimpulkan bahwa drama tragedi adalah drama yang ceritanya sedih penuh kemalangan, drama komedi adalah drama yang lucu dan menggelitik penuh keceriaan, tragikomedi adalah drama yang menggabungkan antara tragedi dan komedi, melodrama berasal dari alur opera yang dicakapkan dengan iringan musik, farce hampir sama dengan komedi yaitu secara umum dapat dikatakan sebagai sajian drama yang bersifat karikatural.

Definisi Drama


Clay Hamilton (dalam Satoto, 2000) berpendapat bahwa tiap karya drama merupakan suatu cerita yang dikarang dan disusun untuk dipertunjukkan oleh pelaku-pelaku di atas panggung di depan publik. Dasar naskah drama adalah konflik manusia yang digali dari kehidupan. Penuangan gambaran kehidupan itu diberi warna oleh penulisnya. Menurut Sudjiman (1990), drama adalah karya sastra yang bertujuan melukiskan kehidupan dengan mengemukakan tikaian dan emosi melalui lakuan dan dialog, dan lazim dirancang untuk pementasan di panggung.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat dikemukakan bahwa drama yaitu suatu karya sastra yang menggambarkan konflik kehidupan dengan bermediakan bahasa dalam wujud cakapan baik dialog, monolog maupun soliloqui, dan dirancang untuk dipentaskan di depan publik penonton.

Unsur-unsur Drama


Di dalam naskah drama, terdapat struktur yang bersifat literer yang membangun karya sastra drama tersebut. Struktur naskah drama itu terdiri dari struktur mental dan struktur fisik. Struktur mental dibina oleh unsur-unsur drama, sedangkan struktur fisiknya berbentuk penulisan naskah secara teknis.

Unsur-unsur terpenting dalam membina struktur sebuah naskah drama, yaitu penokohan (karakterisasi dan perwatakan), alur, latar yang meliputi aspek ruang, dan aspek waktu, tema, dan cakapan (dialog dan monolog) (Waluyo, 2001).

  • Tokoh dan Penokohan (Characters)
    Tokoh menjadi materi utama untuk menciptakan plot dalam drama. Tokoh juga merupakan sumber action dan percakapan. Yang dimaksud dengan tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau kejadian di dalam berbagai peristiwa. Penokohan adalah masalah bagaimana cara menampilkan tokoh- tokoh, bagaimana membangun dan mengembangkan watak tokoh- tokoh tersebut di dalam bentuk acting. Jadi, antara pengertian tokoh dan penokohan memiliki makna yang berbeda, tokoh berbentuk suatu individu dan penokohan adalah proses menampilkan individu tersebut dalam sebuah kisah.

    Ada dua macam cara memperkenalkan tokoh dan perwatakan tokoh dalam sebuah kisah drama, yaitu:

    1. secara analitik, yaitu pengarang langsung memaparkan tentang watak atau karakter tokoh. Pengarang langsung menyebutkan tokoh tersebut keras hati, keras kepala, penyayang, dan lain-lain

    2. secara dramatik, yaitu penggambaran perwatakan yang tidak dipaparkan langsung, tetapi melalui:

      • pilihan nama tokoh

      • penggambaran fisik atau postur tubuh, cara berpakaian, dan sebagainya

      • melalui dialog

      Karakteristik seorang tokoh dapat dirumuskan dalam tiga dimensi, yaitu:

      1. dimensi fisiologis atau badaniah, misalnya usia, jenis kelamin, keadaan tubuh, perawakan, tinggi-rendah, ciri-ciri muka, warnna kulit, dan ciri-ciri fisik yang lain.

      2. dimensi sosiologis atau ciri-ciri dalam kaitannya dengan hubungan masyarakat, misalnya status sosial, pekerjaan, jabatan, tingkat pendidikan, pandangan hidup, agama, ideologi, aktivitas sosial, organisasi, suku, dan etnik.

      3. dimensi psikologis atau latar belakang kejiwaan, misalnya mentalitas, moralitas, temperamen, perasaan pribadi, sikap, perilaku, tingkat kecerdasan, dan keahlian pada bidang tertentu.

    Tokoh-tokoh dalam drama dapat diklasifikasikan menjadi empat, yaitu:

    1. tokoh protagonis; peran utama, yang menjadi pusat atau sentral cerita

    2. tokoh antagonis peran lawan, ia suka menjadi musuh atau penghalang tokoh protagonis yang menyebabkan timbulnya konflik atau tikaian

    3. tokoh tritagonis, peran penengah

    4. tokoh pembantu; peran yang tidak secara langsung terlibat dalam konflik atau tikaian yang terjadi, tetapi ia diperlukan untuk membantu penyelesaian cerita.

  • Alur (Plot)
    Alur atau plot adalah jalinan peristiwa di dalam karya sastra untuk mencapai efek tertentu. Pertautannya dapat diwujudkan oleh hubungan waktu dan oleh hubungan sebab akibat, yang direka dan dijalin dengan seksama sehingga menggerakkan jalan cerita melalui konflik ke arah klimaks dan penyelesaian.

    Terdapat bermacam alur dalam karya sastra yang dapat dilihat setelah orang menikmatinya. Menurut Hudson (dalam Satoto, 2000), struktur alur lakon terdiri dari:

    1. eksposisi; bagian cerita yang berfungsi sebagai pembuka agar penonton atau pernbaca mendapat gambaran selintas mengenai dram yang ditontonnya atau dibacanya, agar mereka terlibat dalam penstiwa cerita;

    2. konflik; pelaku cerita terlibat dalam suatu pokok persoalan. Di sini sebenarnya mula pertama terjadi insiden (kejadian atau peristiwa) akibat timbulnya tikaian;

    3. komplikasi; terjadinya persoalan baru dalam cerita, atau disebut juga rising action. Di sini persoalan mulai merumit dan gawat maka tahap ini sering disebut “perumitan” atau "penggawatan”;

    4. krisis; dalam tahap ini, persoalan telah mencapai Puncaknya atau klimaks. pertikaian harus diimbangi dengan upaya mencari jalan keluar;

    5. resolusi; tahap ini kebalikan dari tahap komplikasi. Pada tahap ini masalah sudah mencapai tahap peleraian. Tegangan akibat konflik telah menurun;

    6. keputusan; dalam tahap ini persoalan telah memperoleh penyelesaian dan konflik telah diakhiri.

  • Latar (Setting)
    Latar atau setting berkaitan dengan waktu dan tempat penceritaan. Waktu dapat berarti siang atau malam, tanggal, bulan, dan tahun, dan dapat juga berarti lama berlangsungnya cerita. Aspek tempat dalam naskah drama kadang meliputi tempat yang luas dan kecil, misalnya sebuah ruangan, taman, kota, daerah, negara, dunia, atau bahkan mungkin mengambil latar di khayangan atau di sebuah negeri antah berantah yang tidak pemah ada di dunia. Aspek waktu juga meliputi waktu yang sempit dan lapang, misalnya: jam, hari, siang atau malam, tahun, musim, atau periode sejarah. Aspek suasana, misalnya berkaitan-dengan suasana ramai, sepi, tegang, mewah, sederhana, haru dan lucu. Masing-masing aspek tidak dapat berdiri sendiri.

    Latar harus ditentukan secara cermat, sebab naskah drama harus juga memberikan kemungkinan untuk dipentaskan. Seperti lazimnya latar dalam genre fiksi, latar cerita dalam drama dapat dilukiskan secara eksplisit dan dapat pula dilukiskan secara implisit. Namun demikian, latar sebuah naskah drama biasanya ditemukan baik dari dialog tokoh-tokohnya, prolog yang terdapat di awal naskah, dari penggambaran suasana pradegan maupun teks sampingan atau prolog (teks pembimbing sebelum tokoh mengucapkan dialog).

    Cara penyajian drama berbeda dari genre sastra lainnya yakni fiksi dan puisi. Novel dan cerpen, misalnya, menceritakan kisah yang melibatkan tokoh-tokoh lewat kombinasi antardialog dan narasi, serta merupakan karya yang dicetak. Sebuah drama hanya terdiri atas dialog. Terkadang ada semacam penjelasan tetapi hanya berisi petunjuk pementasan untuk dijadikan pedoman oleh sutradara dan para pemain (aktor/aktris). Dialog para tokoh itu disebut hauptext atau teks utama sedangkan petunjuk pementasannya disebut nebentext atau teks sampingan.

    Penomoran yang terdapat di depan nama tokoh fungsinya juga sama dengan nebentext. Dengan menyebut nomor dialog, sutradara dapat memberikan perintah-perintah kepada pemeran untuk melakukan sesuatu hal (acting). Dengan merujuk pada nomor dialog pula seorang pemeran dapat secara efisien melakukan pengulangan-pengulangan dialog, dan lain sebagainya.

  • Tema (Theme)
    Tema merupakan ide dasar atau gagasan sentral dalam sebuah karya sastra termasuk genre drama. Dari tema inilah sebuah naskah drama disusun dalam jalinan cerita yang sambung- sinambung membentuk suatu keutuhan dan kebulatan struktur cerita. Oleh karena itu, seperti halnya pada genre sastra yang lain, tema memiliki peran penting dalam sebuah naskah drama.

    Berbeda dengan fiksi (cerpen dan novel), dalam naskah drama yang bentuknya berupa dialog-dialog, tema disisipkan dalam dialog para tokoh cerita. Dengan kata lain, tema dalam naskah drama dikemukakan oleh pengarang dengan teknik dramatik (melalui dialog para tokoh) saja dan sama sekali tidak ada yang dikemukakan dengan teknik analitik (melalui narasi oleh pengarang). Di sinilah diperlukan kecermatan dan kelihaian pengarang dalam mengemas dialog para tokoh agar tidak terkesan menggurui pembaca/penonton atau berkhutbah di hadapan audiens. Hal ini perlu diperhatikan karena drama sebagai karya sastra yang memiliki gagasan tertentu bukanlah teks khutbah atau pidato yang menyampaikan petunjuk atau tuntutan secara langsung (direct) melainkan karya sastra yang disusun dalam struktur yang mengedepankan aspek estetik. Keteledoran dalam menyusun dialog tersebut dapat berakibat dialog drama terkesan mengguri pembaca/penonton sehingga terasa menjemukan audiens.

    Tema cerita drama, seperti juga pada fiksi, lazim terdiri atas dua jenis tema yakni tema sentral (utama) dan subtema atau tema sampingan yang berupa motif-motif cerita. Tema sentral itulah yang menjadi acuan bagi pengarang untuk menciptakan motif- motif cerita sehingga membentuk keutuhan dan kebulatan cerita yang menarik dan indah. Kumpulan dari motif-motif cerita itulah kemudian lazim membentuk tema sentral yang menjadi gagasan utama sebuah naskah drama. Kemampuan pengarang dalam mengangkat tema itulah salah satu factor yang akan menentukan bobot literer sebuah naskah drama.

  • Dialog (Percakapan)
    Percakapan pada sebuah naskah drama, dibagi atas dialog dan monolog. Monolog sendiri dibagi kembali menjadi monolog, sampingan, dan soliloqui. Dialog adalah percakapan yang melibatkan dua tokoh atau lebih, sedangkan monolog adalah berbicara seorang diri dengan membicarakan hal-hal yang telah lampau. Dapat juga monolog berupa pengutaraan gagasan, kesan, khayalan seorang tokoh dalam sebuah drama/teater yang dikemukakan dalam percakapan seorang diri. Sampingan adalah berbicara seorang diri tetapi ditujukan kepada pembaca atau penonton, sedangkan soliloqui adalah berbicari seorang diri, membicarakan hal-hal yang akan datang, yang sebenarnya merupakan perwujudan dari perbincangan dalam batin tokoh.

    Dalam fiksi, ketiga bentuk monolog tersebut sering dipakai secara bersama-sama dalam arti ketiganya ada dalam sebuah fiksi. Drama-drama karya Putuwijaya misalnya memperlihatkan hal itu. Dalam karyanya, Putuwijaya sering menggunakan monolog interior (dalaman), yakni monolog seorang tokoh dengan cara mengung- kapkan gagasan, pikiran, pengalaman kepada atau dalam dirinya sendiri. Teknik ini banyak digunakan oleh para pengarang novel atau drama yang beraliran arus kesadaran (stream of consciousness), yakni sebuah aliran sastra yang menganggap pikiran atau persepsi tokoh sebagai rentetan keadaan pikir yang terus bergerak sesuai dengan urutan waktu. Putuwijaya misalnya dalam novelnya Telegram dan Pabrik menggunakan teknik arus kesadaran tersebut