Tujuan-tujuan dan hikmah yang kita dapat dari pelaksanaan pernikahan dalam rangka membentuk lembaga keluarga (rumah tangga) adalah sebagai berikut:
Mendekatkan Diri ( taqarrub ) Kepada Allah Swt.
Manfaat yang diperoleh dari melangsungkan pernikahan adalah dapat meningkatkan ibadah kepada Allah Swt. Akan tetapi hal yang banyak diingat dan dijadikan dasar dalam pernikahan adalah untuk menyalurkan kebutuhan- kebutuhan biologisnya, memperoleh keturunan atau untuk menjaga dari perbuatan maksiat. Padahal Allah Swt. sendiri telah menjelaskan dan menegaskan dalam al-Qur’an, bahwa Dia menciptakan manusia dan jin hanyalah untuk beribadah kepada-Nya. Sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an berikut:
Artinya: ’ Tidaklah Aku jadikan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.’ (QS. Adz-Dzariyat: 56)
Pernikahan janganlah menjadikan manusia semakin jauh dengan ibadah terhadap Allah, tetapi justru dengan melangsungkan pernikahan dan berumah tangga itu ia harus semakin banyak beribadah. Seorang suami yang memberikan nafkah kepada istrinya, membimbing dan mendidik istrinya, menjaga dan menyayangi istrinya berarti telah melakukan ibadah, bahkan menggauli istrinya pun termasuk ibadah. Begitu pula dengan seorang istri dalam berumah tangga, maka seluruh kegiatan dalam mengurus rumah tangga suaminya termasuk menyambut ajakan suami untuk bersetubuh merupakan ibadah.
Menyalurkan Kebutuhan Biologis
Islam sangat menganjurkan agar kita memupuk rasa cinta. Rasa kesenangan dan kebahagiaan yang dipengaruhi oleh faktor fisik. Termasuk hal-hal yang terkait dengan penampilan, kebersihan, kelembutan ucapan, dan kepuasan hubungan biologis. Salah satu tujuan perkawinan adalah untuk menyalurkan hasrat secara lebih mulia dan terhormat, karena melalui pernikahanlah dapat menghindarkan dari perbuatan zina.
Sudah menjadi kodrat iradah Allah Swt., manusia diciptakan berjodoh-jodoh dan diciptakan oleh Allah Swt. mempunyai keinginan untuk berhubungan antara pria dan wanita, sebagaimana firman Allah Swt.:
Artinya: ‘Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak…’ (QS. Ali Imran: 14)
Dalam al-Qur’an dilukiskan bahwa pria dan wanita bagaikan pakaian, artinya yang satu memerlukan yang lain, sebagaimana yang tersebut pada surat al-Baqarah: 187 yang menyatakan
Artinya: ‘Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu, mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka…’ (QS. al-Baqarah: 187)
Melangsungkan Keturunan
Salah satu tujuan disyari’atkannya melakukan pernikahan pada umat manusia adalah agar tidak ada kekosongan di muka bumi ini, yakni dari makhluk yang bernama manusia. Umat Islam dianjurkan untuk memperbanyak keturunan, sebab dengan banyaknya keturunan, maka jumlah umat Islam akan lebih banyak dan besar bila dibandingkan dengan umat-umat Nabi lain.
Sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah Saw. dalam sebuah haditsnya,
'Dari Anas bin Malik r.a., ia berkata: Rasulullah Saw. menyuruh kita supaya nikah dan melarang dengan keras membiarkan perempuan (merana). Beliau bersabda:‘Hendaklah kamu memiliki perempuan yang tidak mandul dan penyayang, sebab aku berharap umatku akan lebih banyak daripada umat para Nabi yang lain, di hari kiamat’.
(Hadis diriwayatkan oleh Imam Ahmad) dan Imam Ibnu Hibban, dan menyatakan ‘Shahihunya’ hadis ini dan baginya ada saksi dari riwayat Imam Abu Daud, Imam Nasa’i, Imam Ibnu Hibban dari hadits Ma’qil putera Yasar.)
Rumah tangga yang baik dan bahagia adalah rumah tangga yang sejak awal sudah diorientasikan untuk mencapai tujuan yang baik dan bahagia. Itulah rumah tangga yang dilandasi dengan tujuan ibadah, salah satunya adalah menghasilkan keturunan yang shalih dan shalihah. Al-Qur’an menganjurkan agar manusia selalu berdo’a agar dianugerahi putra yang menjadi mutiara dari istrinya, sebagaimana tercantum dalam surat al-Furqan ayat
Artinya: ‘Dan orang-orang yang berkata: Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati, dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.’ (QS. al-Furqan: 74)
Anak sebagai keturunan bukan saja menjadi buah hati, tetapi juga sebagai pembantu-pembantu dalam hidup di dunia, bahkan akan memberi tambahan amal kebajikan di akhirat nanti, manakala dapat mendidiknya menjadi anak yang shaleh, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Muslim:
'Apabila anak adam meninggal dunia maka putuslah amalnya kecuali tiga hal: shadaqah jariyah, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak yang shaleh yang selalu mendoakannya.
Menahan Berbuat Maksiat
Dalam menjalani kehidupan di muka bumi ini, manusia tidak akan lepas dari godaan musuh yang nyata, yakni setan. Setan selalu menggoda dan mengajak manusia untuk melanggar peraturan-peraturan yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Salah satu bentuk ajakan tersebut yakni mengajak untuk melakukan atau berbuat maksiat (mengumbar nafsu birahi). Sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah Saw. dalam sebuah haditsnya,
‘Sesungguhnya setan itu berjalan pada anak adam pada saluran darah.’ (HR. Bukhari dan Muslim)
Dan digambarkan dalam al-Qur’an surat al-A’raf ayat 20, yang berbunyi:
Artinya: 'Maka setan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk menampakkan kepada keduanya apa yang tertutup dari mereka, yaitu auratnya dan setan berkata, “Tuhan kamu tidak melarangmu mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang-orang yang kekal (dalam surga).” (QS. al-A’raf: 20)
Bagi mereka yang telah berumah tangga, ajakan setan tersebut dapat dipatahkan. Sebagaimana dalam sebuah hadits dari Anas bin Malik, ia berkata bahwa Rasulullah Saw. bersabda:
'Jika seseorang menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh agamanya. Karenanya, bertakwalah pada Allah pada separuh yang lainnya.’
Meringankan Keperluan Sehari-hari
Manusia adalah makhluk yang lemah. Artinya manusia merupakan makhluk yang memerlukan teman untuk hidup dan untuk memenuhi segala tuntutan kebutuhan hidupnya. Manusia merupakan makhluk Allah Swt. yang paling sempurna diantara makhluk-makhluk lainnya di muka bumi ini, karena hanya manusia yang dibekali oleh Allah Swt. dengan kelengkapan-kelengkapan dan kelebihan- kelebihannya, yakni berupa akal pikiran, hati, perasaan dan agama. Namun untuk mengerjakan semua pekerjaan atau aktifitas sehari-hari, maka manusia tidak mungkin dapat hidup seorang diri. Sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an:
Artinya: ‘Manusia diciptakan sebagai makhluk lemah…’ (QS. An-Nisa: 28)
Oleh karena itu, dalam mengarungi kehidupan ini manusia saling membantu dan bekerja sama. Dijelaskan pula dalam ayat al-Qur’an sebagai berikut:
Artinya: ‘Orang-orang yang beriman, baik lelaki maupun perempuan setengahnya menjadi penolong bagi setengah lainnya, menganjurkan kebaikan dan mencegah kemungkaran.’ (QS. At-Taubah: 71)
Dari penjelasan ayat di atas, maka jelaslah bahwa manusia itu harus saling membantu. Salah satu wadah yang tepat untuk saling membantu dalam kehidupan sehari-hari untuk menyelesaikan tugas-tugasnya dan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, yakni melalui pernikahan.
Referensi
- Al-Hafidh Ibnu Hajar al-Asqalani, Bulûg al-Marâm , (Semarang: Toha Putra, t. th), bab Nikah.
- Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat , (Jakarta: Kencana, 2010).
- Muhammad Fuad Abdul Baqi, al-Lu’lu’ wal Marjan Himpunan Hadits Shahih disepakati oleh Bukhori dan Muslim, (Surabaya: PT. bina ilmu, 1993), juz II.
- Tim Baitul Kilmah, Ensiklopedia Pengetahuan Al-Qur’an dan Hadits Jilid 6, (Jakarta: Kamil Pustaka, 2013).