Apa yang anda ketahui tentang ilmu sejarah?


Apa saja teori-teori dalam ilmu sejarah?

Teori-teori dalam Ilmu Sejarah


Ilmu pengetahuan (sains) adalah suatu disiplin yang mempunyai tahap-tahap dan prosedur tertentu, yang sering disebut dengan pendekatan ilmiah. Di antaranya adalah: rasionalisme, empirisme, determinisme, hipotesis dan pembuktian, asumsi, pengamatan, penelitian, dan lainnya (Lihat Denzin dan Lincoln, 1995).

Pendekatan saintifik biasanya menggunakan teori tertentu dalam mengkaji fenomena alam, biologi, sosial, budaya, dan lain-lainnya. Teori memiliki peran penting dalam pendekatan ilmiah. Dengan teori seorang ilmuwan dibekali dasar-dasar bagaimana mencari dan mengolah data sehingga didapatkan kesimpulan yang absah. Teori menurut Marckward (1990) memiliki tujuh pengertian:

  • sebuah rancangan atau skema pikiran,
  • prinsip dasar atau penerapan ilmu pengetahuan,
  • abstrak pengetahuan yang antonim dengan praktik,
  • rancangan hipotesis untuk menangani berbagai fenomena,
  • hipotesis yang mengarahkan seseorang,
  • dalam matematika adalah teorema yang menghadirkan pandangan sistematik dari beberapa subjek, dan
  • ilmu pengetahuan tentang komposisi musik. Jadi dengan demikian, teori berada dalam tataran ide orang, yang kebenarannya secara empiris dan rasional telah diujicoba terutama oleh pakar teori tersebut. Dalam dimensi waktu teori-teori dari sernua disiplin ilmu terus berkembang.

Teori dan metodologi merupakan landasan yang paling penting dalam ilmu sejarah. Dalam metodologi terkandung makna mengenai teori, pengembangan teori, penelitian, lingkup kajian, dan lain-lain. Definisi metodologi menurut Machlup adalah sebagai berikut.

The study of principles that guide student of any field of knowledge, and specially of any branch of higher learning (science) in deciding wheter to accept or reject certain proposition as a part of the body of ordered knowledge in general or their own discipline (science) (Machlup, 1978:55).

Metodologi menurut Machlup adalah kajian mengenai prinsip- prinsip yang mengarahkan para penuntut ilmu kepada berbagai lapangan ilmu, dan khususnya berbagai cabang atau pelajaran yang lebih tinggi (yang sering disebut sains) dalam rangka memutuskan secara pasti untuk menerima atau menolak proposisi sebagai bagian dari pengembangan pengetahuan secara umum atau khusus disiplin yang dikajinya.

Metodologi membahas aturan-aturan tertentu dalam konteks prosedur intelektual dalam komunitas ilmiah termasuk di dalamnya pembentukan konsep-konsep, membangun model-model, merumuskan hipotesis-hipotesis, dan menguji teori-teori (Machlup, 1978).

Metodologi atau filsafat sejarah formal, yang menurut konsep Bauer atau disebut filsafat sejarah kritis, menarik minat Nash, seorang guru besar filsafat di Western Kentucky University. Tajuk-tajuk kajian yang dibahasnya adalah: (1) positivisme dan idealisme, yaitu penekanan pada masalah pemahaman sejarah: (2) masalah eksplanasi sejarah; (3) masalah objektivitas sejarah; (4) masalah sebab-sebab dalam sejarah; dan (5) determinisme sejarah (Ibrahim Alfian, 1993).

Dalam tulisan mengenai filsafat sejarah, Ankersmit mengemukakan antara lain mengenai filsafat sejarah kritis, yang di dalamnya juga dibahas mengenai teori pengetahuan atau epistemologi sejarah. Buku ini dalam judul aslinya asalah Denken over Geschiedenis: Een overzicht van moderne geschiedfilo-sofische opvattiegn , 1984, diterjemahkan dengan baik oleh Pater Dick Hartoko dari Indonesia, dengan judul Refleksi tentang Sejarah: Pendapat-pendapat Modern tentang Sejarah (Hartoko, 1987).

Bailey mengemukakan bahwa perbedaan antara ilmu-ilmu eksakta (pasti dan alam) dengan ilmu-ilmu sosial terpusat pada metodologi, bukan berkisar pada metode. Metodologi adalah falsafah mengenai proses penelitian, yang di dalamnya termasuk hal-hal berikut.

Assumptions and values that serve as a rationale for research and the standars or criteria the researcher uses for the interpreting data and reaching conclusions. A researcher’s methodology determines such factors as how he or she writes hypotheses and what level of evidence is necessary to make decision wheter or not to reject a hypothesis (Bailey, 1982).

Menurut seorang antropolog ternama, Pelto, perlu dibedakan antara teknik-teknik penelitian yaitu hal-hal yang menyangkut masalah pragmatis dalam koleksi data dengan metodologi. Menurut Pelto, “methodology denotes ‘logical in-use’ involved in selecting particular observational techniques, assering their yield of data, and relating these data to theoretical propositions (Pelto, 1970). Jadi ringkasnya,

metodologi berkaitan dengan masalah filsafat fundamental dalam ilmu sejarah, sedangkan metode berkaitan dengan cara atau teknik membangun disiplin ilmu sejarah. Selanjutnya kita kaji teori dalam ilmu sejarah.

Seperti sudah dideskripsikan di atas, metodologi berkaitan erat dengan masalah teori. Teori dalam disiplin sejarah sering juga disebut dengan kerangka referensi, atau kadangkala disebut skema referensi atau presuposisi atau personal equation —yang merupakan suatu perangkat kaidah yang memandu sejarawan (ilmuwan sejarah) untuk menyelidiki atau meneliti masalah yang akan diteliti, alam menyusun bahan-bahan yang telah diperolehnya dari analisis sumber, kemudian mengevaluasi hasil temuannya (Social Science Research Council (SSRC) 195).

Hook mencatat ada empat hal tentang kerangka referensi (teori) dalam ilmu sejarah ini, yaitu:

  • Kerangka referensi adalah hipotesis yang menjelaskan faktor(- faktor) apa yang menentukan terjadinya sebuah situasi sejarah;

  • Kerangka referensi juga menentukan hipotesis mana yang harus diseleksi oleh seorang sejarawan, dan kadang-kadang juga seleksi mengenai jenis masalah sejarah yang hendak ditelitinya;

  • Kerangka referensi dapat juga menunjukkan lingkup ( scoupe ) minat sejarawan. Misalnya sejarah sosial, intelektual, budaya, atau politik;

  • Kerangka referensi adalah filsafat hidup atau nilai yang dianut oleh sejarawan yang tercermin di dalam kara-karyanya (SSRC, 1946:125-127).

Menarik dicatat bahwa Sartono Kartodirdjo tidak memakai kata kerangka referensi tetapi mempergunakan istilah kerangka analitis untuk menjelaskan pendekatan yang dipakainya (Kartodirdjo, 1973). Sebaliknya, seorang sejarawan Amerika Serikat, Berkhofer, Jr. mempergunakan istilah kerangka konseptual ( conceptual frameworks ) (Berkhofer, Jr, 1971) yang mengacu pada makna teori dalam ilmu sejarah.

Fungsi teori dalam disiplin sejarah seperti yang termaktub dalam SSRC di New York dalam sebuah laporan Panitia Historiografi, adalah sama dengan yang terdapat dalam disiplin-disilin lain, yaitu untuk mengidentifikasi masalah yang hendak diteliti, menyusun kategori-kategori untuk mengorganisasikan hipotesis-hipotesis, dan melalui proses tersebut berbagai-bagai macam interpretasi data dapat diuji, serta memperlihatkan ukuran-ukuran atau kriteria yang dijadikan dasar untuk membuktikan sesuatu. Teori tidak dapat memberikan jawaban kepada peneliti, akan tetapi teori dapat membekali peneliti dengan pertanyaan- pertanyaan yang diajukannya terhadap fenomena yang hendak ditelitinya (SSCR, 1954).

Jika seorang sejarawan mengemukakan teorinya secara eksplisit dalam penelitiannya, maka tidaklah sulit bagi pembaca karyanya untuk menyimak keseluruhan teori yang dipakainya itu. Kita dapat melihat apakah teori itu dapat dibuktikan dalam kajiannya ataukah ia hanya dapat membuktikan sebahagiannya saja. Kita lihat berbagai contoh kasus.

Dalam karyanya yang bertajuk Protest Movements in Rural Java (1973), Sartono Kartodirdjo mempergunakan sebahagian kerangka analitis yang pernah dikemuakan Landsberger dalam “The Role of Peasant Movements and Revolts in Development: An Analitical Framework” dalam Landsberger ( ed .) Latin American Movements (1968) untuk memahami asal-usul, perkembangan, dan berbagai dampak pergerakan yang bersifat protes sosial. Dalam semua kasus yang kompleks, faktor-faktor harus dikaji, serta fenomena keresahan sosial hanya dapat dijelaskan melalui kombinasi sebab-sebab yang terpisah. Aspek-aspek analitis yang merupakan kerangka penelitian Kartodirdjo adalah:

  • struktur politik ekonomi pedesaan Jawa abad ke-19 dan 20;
  • basis massa pergerakan sosial;
  • kepemimpinan pergerakan- pergerakan sosial;
  • ideologi-ideologi pergerakan; dan
  • dimensi budaya yang bersifat mendorong pergerakan sosial ( cultural conduciveness ).

Dari sembilan butir hal yang dikemukakan Landsberger hanya empat yang diambilnya, yaitu: (a) peristiwa-peristiwa atau kejadian- kejadiannya; (b) sekutu-sekutu dan musuh-musuh gerakan tani; © cara- cara aksi gerakan tani; (d) gerakan sebagai organisasi; dan (e) pemikiran mengenai berhasil serta gagalnya gerakan tani dan dampaknya.

Sebuah pendekatan ilmu sejarah lainnya adalah menggunakan teori perilaku kolektif atau dalam bahasa Inggris disebut collective behaviour . Contoh aplikasi ini dalam tulisan sejarah adalah apa yang ditulis oleh Ibrahim Alfian, yang mengkaji peperangan yang berlangsung antara kerajaan Aceh melawan kerajaan Belanda 1873-1912. Buku yang ditulis Ibrahim Alfian bertajuk Perang di Jalan Allah (1987). Teori perilaku kolektif ini ia adopsi dari tulisan sosiolog Amerika Serikat, Neil J. Smelser, dalam buku yang berjudul Theory of Collective Behaviour , 1962 (lihat Alfian, 1993:6).

Teori lainnya yang lazim digunakan dalam ilmu sejarah adalah teori etiologi perang internal . Dalam konteks Indonesia teori ini relevan digunakan untuk mengkaji mengenai pergerakan perjuangan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia atau Perang Rakyat Semesta yang biasa disingkat menjadi PRRI/Permesta. Atau dalam peristiwa sejarah sosial Indonesia terkini adalah pergerakan kemerdekaan atau separatisme oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang dipimpin oleh Hasan Tiro yang bermarkas di Swedia. Kemudian tanggal 15 Agustus 2005 ini mereka kembali ke pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dengan perundingan di Helsinki, Finlandia, yang difasilitasi oleh Marti Artisaari mantan Presiden Finlandia. Teori ini cocok digunakan untuk mengkaji hal-hal mengenai seperatisme di suatu negara atau kawasan. Untuk peristiwa sosial di luar negeri, mungkin teori ini cocok digunakan untuk mengkaji fenomena separatisme di Irlandia Utara melawan pemerintah Britania Raya, masyarakat Chechnya melawan Rusia, gerakan muslim MORO di Filipina Selatan; gerakan sandinista melawan pemerintah Nikaragua; atau lingkup yang lebih global adalah gerakan Al-Qaeda melawan Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya di seantero dunia, dan lainnya.

Teori yang pada masa kini sering digunakan oleh para ilmuwan sejarah adalah teori behavioralisme atau teori perilaku manusia . Teori ini awal kali dikemukakan oleh Robert F. Berkhofer, Jr., yang dituangkannya dalam buku yang bertajuk A Behavioral Approach to History Analysis (1971). Buku yang memuat teori behavoralisme ini menarik bukan hanya karena isinya termasuk dalam arah gejala mutakhir dalam historiografi, tetapi ia mengemban misi untuk membuat pendekatan baru dalam studi sejarah dengan kemampuan luar biasa mengetengahkan eksposisi teori secara jelas dan menarik. Berkhofer menganjurkan pentingnya penggunaan konsep dan teori ilmu-ilmu sosial dalam ilmu sejarah. Para

sejarawan harus mengikuti debat yang terjadi di antara para pakar ilmu- ilmu sosial, terutama debat mengenai sifat dasar dan eksplanasi fenomena sosial. Sejarawan yang mengadopsi ilmu-ilmu sosial, mau atau tidak harus menerima perselisihan di antara para pakar ilmu sosial, dan harus berdiri di salah satu pihak yang berselisih itu. Namun demikian, Berkhofer mengingatkan bahwa meskipun para ilmuwan sejarah mengambil berbagai teori, konsep, dan teknik ilmu sosial, namun tidak menjadikan sejarah menjadi bagian dari ilmu sosial tertentu, hanya menjadikannya lebih berkarakter ilmiah sebagai sebuah sains. Dalam filsafat sejarah, disebutkan bahwa manusia baik secara individu maupun kolektif, adalah kompleks. Kajian mengenai manusia sebagai makhluk sosial mengharuskan kita mengenal konsep-konsep dan teori-teori ilmu sosial dan manusia dapat dikaji sebagai entitas analitis melalui sebuah kerangka konseptual.

Berkhofer menjelaskan bahwa organisme manusia memberi jawaban terhadap sebuah situasi dengan memberi definisi atau menginterpretasi suatu situasi. Termasuk di dalam definisi atau interpretasi situasional ini, adalah sikap yang diambil orang mengenai bagaimana cara bertindak; memanfaatkan lingkungan fisik; penilaian baik, benar, dan indah; pengorganisasian aktivitas; siapa yang harus memerintah; apa tindak pidana itu; siapa yang harus memiliki simbol-simbol kekayaan; dan berbagai perilaku lainnya. Analisis situasional mengkaji perilaku manusia dalam reaksinya terhadap totalitas situasi sebagaimana diinterpretasikan oleh organisme.

image

Sejarah dalam arti luas akan memberikan beberapa pengertian dasar mengenai makna
atau arti sejarah itu sendiri. Sejarah sebagai suatu realita peristiwa, kejadian yang berkaitan dengan perilaku dan pengalaman hidup manusia di masa lampau adalah suatu realita yang obyektif, artinya suatu peristiwa yang benar-benar terjadi apa adanya.

Istilah “sejarah” berasal dari bahasa Arab, yakni dari kata “syajaratun” (dibaca”
syajarah), yang memiliki arti “pohon kayu”. Pengertian “pohon kayu” di sini adalah adanya suatu kejadian, perkembangan/pertumbuhan tentang sesuatu hal (peristiwa) dalam suatu kesinambungan (kontinuitas). Selain itu ada pula peneliti yang menganggap bahwa arti kata “syajarah” tidak sama dengan kata “sejarah”, sebab sejarah bukan hanya bermakna sebagai “pohon keluarga” atau asal-usul atau silsilah. Walaupun demikian diakui bahwa ada hubungan antara kata “syajarah” dengan kata “sejarah”, seseorang yang mempelajari sejarah tertentu berkaitan dengan cerita, silsilah, riwayat dan asal-usul tentang seseorang atau kejadian (Sjamsuddin, 1996). Dengan demikian pengertian “sejarah” yang dipahami sekarang ini dari alih bahasa Inggeris yakni “history”, yang bersumber dari bahasa Yunani Kuno “historia” (dibaca “istoria”) yang berarti “belajar dengan cara bertanya-tanya”. Kata “historia” ini diartikan sebagai pertelaan mengenai gejala-gejala (terutama hal ikhwal manusia) dalam urutan kronologis (Sjamsuddin dan Ismaun, 1996).

menurut Ismaun (1993)Para ahli sejarah pada umumnya sepakat untuk membagi peranan dan kedudukan sejarah yang terbagi atas tiga hal, yakni :

  1. sejarah sebagai peristiwa
    Sesuatu yang terjadi pada masyarakat manusia di masa lampau. Pengertian pada ‘masyarakat manusia’ dan ‘masa lampau’ sesuatu yang penting dalam definisi sejarah. Sebab kejadian yang tidak memiliki hubungan dengan kehidupan masyarakat manusia, dalam pengertian di sini, bukanlah merupakan suatu peristiwa sejarah. Sebaliknya juga peristiwa yang terjadi pada umat manusia namun terjadi pada sekarang, bukan pula peristiwa sejarah. Karena itu konsep siapa yang yang menjadi subyek dan obyek sejarah serta konsep waktu, dua-duanya menjadi penting.

  2. sejarah sebagai cerita
    Sejarah itu pada hakikatnya merupakan hasil rekonstruksi sejarawan terhadap sejarah sebagai peristiwa berdasarkan fakta-fakta sejarah yang dimilikinya. Dengan demikian di dalamnya terdapat pula penafsiran sejarawan terhadap makna suatu peristiwa. Perlu diketahui bahwa buku-buku sejarah yang kita baca, baik buku pelajaran di sekolah, karya ilmiah di perguruan tinggi, maupun bukubuku sejarah lainnya, pada hakekatnya merupakan bentuk-bentuk konkrit sejarah sebagai peristiwa (Ismaun, 1993).
    Dengan demikian pula bahwa dalam sejarah sebagai cerita, merupakan sesuatu karya yang dipengaruhi oleh subyektivitas sejarawan. Sebagai contoh, tentang biografi Diponegoro. Jika ditulis oleh sejarawan Belanda yang propemerintah kolonial, maka Diponegoro dalam pikiran dan pendapat sejarawan tersebut dipandang sebagai “pemberontak” bahkan mungkin “penghianat”. Sebaliknya jika biografi itu ditulis oleh seorang sejarawan yang pro-perjuangan bangsa Indonesia, sudah dapat diduga bahwa Diponegoro adalah “pahlawan” bangsa Indonesia. Di sinilah letak sejarah sebagai cerita lebih bersifat subyektif. Artinya memuat unsur-unsur dari subyek, si penulis/sejarawan sebagai subyek turut serta mempengaruhi atau memberi “warna”, atau “rasa” sesuai dengan “kacamata” atau selera subyek (Kartodirdjo, 1992).

  3. sejarah sebagai ilmu
    Bury (Teggart, 1960) secara tegas menyatakan “History is science; no less, and no more”. Sejarah itu adalah ilmu, tidak kurang dan tidak lebih. Pernyataan ini mungkin tidak bermaksud untuk memberikan penjelasan batasan tentang sesuatu konsep, melainkan hanya memberikan tingkat pengkategorian sesuatu ilmu atau bukan. Penjelasan tersebut jelas tidak memadai untuk untuk memperoleh sesuatu pengertian. Definisi yang cukup simple dan mudah dipahami diperoleh dari Carr (1982). yang menyatakan, bahwa “history is a continous process of interaction between the historian and his facts, and unending dialogue between the present and the past”.

Kemudian jika ditilihat dari ruang lingkupnya terutama pembagian sejarah
secara tematik, sejarah yang memiliki cakupan yang luas, Sjamsuddin (1996), Burke (2000), dapat dikelompokkan menjadi sebelas jenis:

  1. sejarah sosial

  2. sejarah ekonomi

  3. sejarah kebudayaan

  4. sejarah demografi

  5. sejarah politik

  6. sejarah kebudayaan rakyat

  7. sejarah intelektual

  8. sejarah keluarga

  9. sejarah etnis

  10. sejarah psikologi dan psikologi histori

  11. sejarah pendidikan

  12. sejarah medis