Apa saja teori politik perkotaan?

image

Dalam mengatur perkotaan tentu terdapat cara untuk mengatasinga. Salah satunya yaitu politik perkotaan, Apa saja teori politik perkotaan?

Teori dalam studi perkotaan selalu berkembang dan tidak statis. Hal ini karena setiap teori memiliki asumsi yang berbeda dalam pertanyaan “apa yang dimaksud power” dan cara menjelaskan itu. Dan mereka mengklaim paling benar dalam menjelaskan hal tersebut. Kondisi seperti situasi yang saling berdebat dan berkompetisi untuk memenangkan pertarungan konseptual ini membawa pembangunan teori menjadi maju. Debat tersebut dapat dilihat seperti debat antara teori pluralis dan elitis yang merupakan perdebatan awal dalam studi politik perkotaan. Dua teori jenis normatif ini mengasumsikan “siapa yang paling berhak memerintah di kota”. Teori pluralism meyakini bahwa kekuasaan harus disebar dan tidak terkonsentrasi pada segelintir orang. Sedangkan teori elitisme meyakini bahwa “kekuasaan sebaiknya dimiliki oleh segelintir orang saja yang pantas untuk itu”.

Perkembangan selanjutnya muncul teori baru pada periode 1980-an, yaitu teori rezim. Teori ini mengubah asumsi tentang “siapa yang berhak memerintah” menjadi “kekuasaan itu untuk apa”. Teori ini melihat bagaimana sebuah tujuan dicapai atau bagaimana sebuah koalisi pemerintahan dilakukan untuk mendapatkan pembangunan yang panjang dan stabil. Teori ini lebih fokus pada dinamika yang terjadi dalam pemerintahhan itu… beberapa contoh perkembangan ini setidaknya menunjukan bagaimana sebuah teori terus berkembang. Hal ini dilakukan sebagai penyesuaian atas perkembangan realiitas poitik perkotaan, dan tuntutan untuk menjawab itu.

Teori pluralis menggaris bawahi bahwa hal yang terpenting dari asumsi teori tersebut adalah adalah tidak adanya kelompok minoritas yang terpojok. Terutama dalam pembuatan kebijakan. Hal yang menjadi “musuh” dari pluralisme adalah praktek kekuasaan yang oligarki dimana hanya segelintir orang yang menguasai kebijakan. Ini adalah bentuk politik di perkotaan yang tidak ideal. Bentuk politik yang seperti itu akan menimbulkan kesenjangan di masyarakat. untuk mengakhiri kondisi demikian perlu ada kontestasi agar semua pihak dapat masuk dalam proses pengambilan kebijakan. Teori ini sangat dipenagruhi oleh paradigma politik dan ekonomi liberal. Dengan demikian, kekuasaan politik di perkotaan dapat diisi oleh beragam orang yang tak terbatasi institusi. Studi ini dikembangkan oleh Robert Dahl dalam studinya di New Haven, AS.

Teori elit memiliki asumsi utama bahwa keputusan politik di perkotaan ditentukan oleh segelintir elit. Secara struktural terdapat dua golongan di masyarakat, yaitu kelompok elit yang minoritas, ia adalah kelompok yang memiliki sumber daya dan kebanyakan penduduk yang mayoritas dan tidak meiliki sumber daya. Kelompok minoritas dalam hal ini berada di stratifikasi lebih tinggi daripada kelompok mayoritas. Oleh karena itu, ia memiliki kans yang lebih besar untuk mempengaruhi atau memegang kekuasaan di perkotaan. Ini menjadi studi yang empirik saat kenyataan di lapangan mengatakan hal demikian.

Berhubungan dengan itu, growth machine (mesin pertumbuhan) melihat bahwa perkembangan kota lebih di- drive oleh pertumbuhan ekonomi. Kepentingan ekonomi ini dijalankan oleh kelompok elit yang memiliki sumber daya ekonomi. Berbeda dengan teori elit yang fokus pada kekuasaan politik. Asumsi utama dari teori ini adalah pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, kota menjadi ajang kontestasi kepentingan ekonomi yang tidak bisa dikontrol oleh sebagian besar masyarakat. studi ini memfkuskan pada pertumbuhan yang terjadi tersebut.

Teori Rezim (Regime Theory) datang dalam konteks masyarakat urban politik pada pertengahan tahun 1980-an. Teori rezim adalah kekuatan teoritis relatif baru dan juga tidak dapat diklaim sebagai pengembangan dari salah satu dari kedua arus mainstream utama yaitu studi mengenai pluralism dan elitism. Teori ini menyediakan kerangka kerja untuk analisis yang menangkap aspek kunci dari tata kelola perkotaan. Fokus dari teori rezim adalah aktor-aktor yang tergabung dalam seperangkat institusi pemerintahan. David Judge berpendapat bahwa teori ini sedikit banyak terinspirasi dari karya-karya Marxis pada tahun 1970-an. Namun, para teoretisi rezim menentang determinisme ekonomi seperti yang diutarakan oleh Peterson dan Marx.

Premis utama teori rezim adalah bahwa pengambil keputusan diperkotaan memiliki otonomi yang relatif. Kekuatan sistemik dalam satu sisi menghambat tetapi dalam cakupannya (karena pengaruh kekuatan politik dan aktivitas) agendanya cenderung tetap. Teoretisi Rezim berpendapat bahwa organisasi politik juga menyebabkan bentuk yang sangat tidak memadai bagi kontrol popular dan membuat pemerintah kurang responsif terhadap keadaan sosio ekonomi kelompok-kelompok yang kurang beruntung. Kompleksitas merupakan pusat dari peskpektif teori rezim ini. Institusi dan aktor pasti sangat mempengaruhi dan menentukkan pilihan-pilihan yang akan diambil oleh pemerintah. Tidak sepert teori elit, teori rezim mengakui bahwa setiap kelompok tidak mungkin dapat melakukan kontrol yang komprehensif dalam dunia yang komple

Masalah krusial yang bisa dicermati dari perkembangan itu, mungkin yang belum clear bagi saya ada shifting tren teori politik itu digunakan. Ini berhubungan dengan apa kritik tiap-tiap teori dan sebab perubahan tren studi perkotaan beralih dari satu teori ke teori berikutnya. Terlepas dari kontekstualitasnya dengan realitas. Entah saya belum menangkapnya, atau teks ini belum jelas, tetapi itu menurut saya belum terjelaskan dengan baik. Permasalahan kedua, seperti diakui di bagian akhir bab pendahuluan bahwa tidak setiap teori bisa menjadi general , maka apakah studi perkotaan harus selalu mengacu pada teori-teori ini? atau hingga saat ini hanya terbatas pada empat pendekatan besar ini? Mungkinkah pendekatan ini di -mixed ? Itu beberapa tanggapan yang belum saya dapatkan dari teks yang saya review ini. Atau mungkin itu pertanyaan bodoh yang sok tahu semata, tapi saya percaya bahwa awal mula orang mengerti dan paham adalah bodoh terlebih dahulu.

Semangat desentralisasi memberikan sebuah angin segar perubahan dari suatu niat kemandirian berdiri sendiri pemerintahan, baik nasional maupun daerah dalam rangka menjalankan roda pemerintahanya sendiri.

Tentulah ini akan memberikan suatu kontribusi baik dalam penyelenggaraan pelayanan publik sebagai wujud nyata dari kerja birokrat, terlebih lagi kewenangan desentralisasi tidak hanya melalui pelayanan publik, juga kebijakan sudah menjadi kewenangan pemerintah daerah dalam menyelenggarakan pemerintah sendiri.

Tentulah ini menjadi sebuah gerbang pembuka akan kedaulatan rakyat yang sesungguhnya selama ini diartikan sebagai partisipasi politik hanya menggunakan hak pilihnya dalam pelaksanaan Pemilu saja akan tetapi desentralisasi membawa sebuah warna baru bagi politik, kebijakan dan partisipasi masyarakat itu sendiri.

Berdasarkan UU no 32 tahun 2004 tentang pemerintahan Daerah sangat banyak kewenangan yang akan diberikan oleh pemerintah pusat kepada daerah dalam rangka menjalankan, mengatur serta mengevaluasi kinerja pemerintahan sendiri sesuai dengan badan-badan yang akan dibentuk dengan kebutuhan.

Konsep demokrasi modern sekarang, kebijakan tidak lagi serrtamerta di cetuskan oleh para pejabat penyelenggara negara saja melalui perwakilan-perwakilan rakyat yang ada, akan tetapi opini publik (public opinion) juga mempunyai porsi yang sama besarnya untuk ambil andil di dalam kebijakan-kebijakan negara. Setiap kebijakan negara harus selalu berorientasi kepada kepentingan publik (M. Irfan Islamy, 1992).

Dalam rangka otonomi daerah tentunya ada beberapa proses penyelenggaraan pemerintah yang ditangani oleh daerah sendiri yang sifatnya desentralisasi. Kota mempunyai kehidupan politiknya tersendiri, terlepas dari kehidupan nasional dan karenanya bisa menjadi bidang studi dan analisis akademik (June Sager Speakman “Politik Urban”).

Pendekatan teoritis dalam politik urban (urban politics) ini mencakup berbagai subjek ; tata pemerintahan, kebijakan publik, kepemimpinan dan manajemen, pendidikan, pembangunan, dan sebagainya.

Dalam teori ini akan menjelaskan elemen-elemen didalam system yang akan mempengaruhi warna produk dari sebuah kebijakan pemerintah. Lingkungan politik dalam kebijkan terdapat beberapa factor sebelum membuat sebuah kebijakan.

Menurut Robert Dahl(1963) Dalam penelitian politik perkotaan ada cara untuk memahaminya, dengan cara meneliti keputusan yang dibuat oleh pembuat kebijakan dan melacak hal-hal yang mempengaruhi kebijakan tersebut Dari analisis Dahl tersebut apa yang terjadi dipemerintah kota adalah hasil dari persaingan antar kelompok diberbagai area kebijakan.

Teori Modern Political Economi

Teori ekonomi politik modern disini akan mengambarkan beberapa perspektif, karena didalam polik perkotaan yang mempengaruhi kebijakan itu adalah beberapa system atau kelompok(institussi), disini akan dibahas tentang personalnya serta cara-cara mengkonsolidasikan kepentingan dalam area kebijakan.

Ekonomi politik modern disini menggunakan empat komponen: menjelaskan actor dan tujuannya, menetapkan actor yang terpilih, menentukan bagaimana mereka mengelompakan dirinya, dan mengikuti interaksi dengan institusi social lainnya.

Jeffry Frieden juga menambahkan bahwa selain dari para aktor/personal dalam pengaruh kebijakan tersebut maka juga ada tujuan aktor/pelaku politik duduk ditataran pembuat kebijakan serta mengkoalisikan diri menjadi kekuatan politik yang dapat mempengaruhi setiap kebijakan sesuai dengan tujuan yang diharapkanya, termasuk dalam hal ini adalah kapital/pemodal.