Apa saja Tarian khas Jawa Timur?

image
Pulau Jawa dibagi menjadi tiga bagian yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur. Masing-masing wilayah memiliki budaya nya sendiri-sendiri salah satunya dalam seni Tari. Apa saja Tarian khas Jawa Timur?

Beberapa Tarian khas Jawa Timur antara lain :

Tari Reog - Ponorogo


Tari Reog

Reog adalah salah satu bentuk tarian massal yang berasal dari kabupaten Ponorogo, terdiri dari 20-40 orang dengan tokoh, peran dan cerita yang berbeda-beda.

Tarian ini biasa dibawakan pada malam 1 suro (Grebeg Suro), malam bulan purnama, ulang
tahun Ponorogo, hari-hari besar nasional, penyambutan tamu-tamu negara, acara pernikahan maupun khitanan.

Kata REOG sebelum diubah susunan hurufnya dituliskan REYOG. Mengacu pada salah satu pengertian reog menurut asal katanya yaitu dari kata “riyet” atau kondisi bangunan yang hampir rubuh. Soetaryo (1960) dan Poerwowijoyo (1985)

Suara gamelan reog yang bergemuruh itulah yang diidentikkan dengan suara “bata rubuh”. Ada pula argumen yang mengatakan bahwa “riyet”/”reyot” adalah pernyataan kondisi kerajaan Majapahit waktu itu yang melemah menjelang banyaknya daerah kekuasaan yang melepaskan diri.

Dari segi konsep pertunjukan, reog ponorogo dapat dibedakan menjadi dua, yaitu : Reog Festival dan Reog Obyogan. Reog festival biasanya dipentaskan dalam acara-acara resmi dan formal seperti Festival Reog Nasional (FRN), penyambutan tamu pemerintah dan peringatan malam bulan purnama. Sedangkan reog obyogan biasanya ditanggap oleh individu, keluarga atau desa dalam acara-acara khusus seperti pernikahan, khitanan, slametan atau bersih desa.

Tari Gandrung - Banyuwangi


Tari Gandrung Banyuwangi adalah salah satu jenis tarian yang berasal dari Banyuwangi, Jawa Timur. Kata “Gandrung” diartikan sebagai terpesonanya masyarakat Blambangan yang agraris kepada Dewi Sri sebagai Dewi Padi yang membawa kesejahteraan bagi masyarakat. Tarian Gandrung Banyuwangi dibawakan sebagai perwujudan rasa syukur masyarakat setiap habis panen.

Gandrung merupakan seni pertunjukan yang disajikan dengan iringan musik khas perpaduan budaya Jawa dan Bali. Tarian dilakukan dalam bentuk berpasangan antara perempuan (penari gandrung) dan laki-laki (pemaju) yang dikenal dengan “paju”.

Tata busana penari Gandrung Banyuwangi khas, dan berbeda dengan tarian bagian Jawa lain. Ada pengaruh Bali (Kerajaaan Blambangan) yang tampak:

  1. Bagian Tubuh, busana untuk tubuh terdiri dari baju yang terbuat dari beludru berwarna hitam, dihias dengan ornamen kuning emas, serta manik-manik yang mengkilat dan berbentuk leher botol yang melilit leher hingga dada, sedang bagian pundak dan separuh punggung dibiarkan terbuka. Di bagian leher tersebut dipasang ilat-ilatan yang menutup tengah dada dan sebagai penghias bagian atas. Pada bagian lengan dihias masing-masing dengan satu buah kelat bahu dan bagian pinggang dihias dengan ikat pinggang dan sembong serta diberi hiasan kain berwarna-warni sebagai pemanisnya. Selendang selalu dikenakan di bahu.

  2. Bagian Kepala, kepala dipasangi hiasan serupa mahkota yang disebut omprok yang terbuat dari kulit kerbau yang disamak dan diberi ornamen berwarna emas dan merah serta diberi ornamen tokoh Antasena, (putra Bima) yang berkepala manusia raksasa namun berbadan ular serta menutupi seluruh rambut penari gandrung. Pada masa lampau ornamen Antasena ini tidak melekat pada mahkota melainkan setengah terlepas seperti sayap burung. Sejak setelah tahun 1960-an,ornamen ekor Antasena ini kemudian dilekatkan pada omprok hingga menjadi yang sekarang ini. Selanjutnya pada mahkota tersebut diberi ornamen berwarna perak yang berfungsi membuat wajah sang penari seolah bulat telur, serta ada tambahan ornamen bunga yang disebut cundhuk mentul di atasnya. Sering kali, bagian omprok ini dipasang hio yang pada gilirannya memberi kesan magis.

  3. Bagian Bawah, penari gandrung menggunakan kain batik dengan corak bermacam-macam. Namun corak batik yang paling banyak dipakai serta menjadi ciri khusus adalah batik dengan corak gajah oling, corak tumbuh-tumbuhan dengan belalai gajah pada dasar kain putih yang menjadi ciri khas Banyuwangi. Sebelum tahun 1930-an, penari gandrung tidak memakai kaus kaki, namun semenjak dekade tersebut penari gandrung selalu memakai kaus kaki putih dalam setiap pertunjukannya.

Personil musik pengiring tari gandrung pada mulanya hanya terdiri dari sebuah rebab, kendang, gong, kempul dan kluncing. Dalam perkembangan selanjutnya tidak banyak mengalami perbedaan. Musik pengiring kesenian gandrung baik terdiri dari :

  1. Biola
    Dua buah biola dengan dua orang penggesek pada biola yang biasa kita dapati pada musik orkes keroncong. Sudah tentu teknis penggesekan serta penyajian lagu yang di bawakannya sesuai dengan tradisi daerahnya.

  2. Gendang
    Terdiri dari sebuah atau dua buah kendang dengan seorang pemukul kendang. Peralatan kendang semacam peralatan pokok yang mampu menyatu ritme serta tempo penampilanya di samping memberikan keharmonisan penari itu sendiri dengan seorang pengendang.

  3. Kenong
    Dengan penabuh yang biasa disebut kethuk. Penampilan kethuk ini menambah manisnya irama gending yang dibawakannya.

  4. Kluncing
    Seorang penabuh kluncing mempunyai peran rangkap. Di samping penabuh peralatan, juga berfungsi sebagai pengundang atau pembimbing Gandrung dalam penampilannya.

  5. Gong dan Kempul
    Seorang penabuh gong dan kempul sebagai pemanis suara indah pada akhir suatu gending.
    Kelima peralatan musik gandrung itu merupakan suatu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Satu peralatan saja yang tidak ditemui dalam penyajiannya, bukan lagi Gandrung namanya, ciri khas ketradisionalannya menjadi hilang. Karena itu enam personil pemain musik tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh

Tari Remo


Tari Remo

Tari Remo atau Ngremo adalah tarian khas Jawa Timur berfungsi untuk mengawali pertunjukan Ludruk. Karena sebagai pembuka Ludruk maka dinamai juga tari Ludruk. Masih banyak sebutan lain seperti tari rena-rena, tari gembira, tari Ngremo Somogambar, tidak lain karena tarian ini mengalami perjalanan panjang sejajar dengan perjalanan sosio kultural masyarakat pembentuknya.

Pada awal kemunculannya (1920-an) tarian ini bersifat religiuas, kemudian sebagai penghibur masyarakat. Masih nampak sangat sederhana dilihat dari aspek gerak, busana, dan pola pemanggungannya. Kala itu tari Ngremo tidak menunjukkan karakteristik yang jelas, kecuali hanya menampilkan gerak-gerak yang tersusun secara konfensional ( Hidajat. 2001). Pada perkembangan selanjutnya ketika tari Ngremo dan Ludruk bersentuhan dengan realitas politik masa pergerakan, tari Ngremo memantapkan diri menjadi tarian yang khas sebagai tari dengan tema keprajuritan.

Tari Ngremo sebagai wujud ekspresi nilai-nilai yang hidup lebih menampakkan sikap tegas, keras, cepat, sigap yang tetap dalam pengendalian merupakan ciri-ciri ungkap yang penting. Sebagaimana terungkap dalam beberapa literatur bahwa ciri sikap masyarakat Jawa Timur adalah lugas, spontan dalam bertutur kata, cepat dalam bertindak, mudah marah dan cepat juga redanya.

Tari Jaranan Buto


Tari Jaranan Buto

Tari Jaranan Buto berasal dari dusun Cemetuk desa Cluring kecamatan Cluring, Kabupaten Banyuwangi. Kesenian ini adalah kesenian yang unik dan menarik. Istilah Jaranan Butho mengadopsi nama tokoh legendaris Minakjinggo (terdapat anggapan bahwa Minakjinggo bukan seorang yang berkepala manusia, melainkan berkepala raksasa yang mana dalam bahasa jawa disebut Buto).

Jaranan buto dimainkan oleh 16-20 orang yang dihimpun dalam 8 grup. Instrumen musik Jaranan Buto terdiri atas seperangkat gamelan yang terdiri dari 2 bonang, 2 gong (besar dan kecil) atau kempul, sompret (seruling), kecer (instrumen musik berbentuk seperti penutup gelas yang terbuat dari lempengan tembaga), dan 2 kedang.19 Sebagai instrumen peragaanya adalah replika (penampang samping) kuda kepang yang berbentuk kuda raksasa yang terbuat dari kulit lembu yang dipahatkan karakter raksasa. Wajah raksasa (jaranan butho) didominasi warna merah menyala, dengan kedua mata yang besar sedang melotot.

Kesenian ini biasanya dipertunjukkan mulai pukul 10.00 sampai dengan 16.00 WIB. Pada puncak pertunjukan, biasanya penari jaranan butho mengalami kesurupan. Penari tersebut tidak sadar dan akan mengejar orang yang menggodanya dengan siulan. Selain itu, penari yang dalam keadaan kesurupan tersebut mampu memakan kaca, api, ayam hidup dengan mengigit kepalanya hingga ayam tersebut mati dan masih banyak atraksi yang ditampilkan dalam pertunjukkan tari jaran buto.

Dalam kesenian ini didukung oleh seorang pawang yang bertanggung jawab terhadap penari-penari atau penonton yang ikut kesurupan. Ia bertugas membantu untuk menyadarkan kembali penari jaranan butho serta penonton yang ikut kesurupan.

Tari Beskalan Putri


Tari Beskalan Putri

Tari Beskalan Putri merupakan salah satu tarian ritual atau tari upacara yang berkembang di kota Malang. Biasanya Tarian ini dipertunjukkan dalam bentuk tari ritual pada saat diadakan upacara yang berkaitan dengan ritus tanah atau kesuburan tanah (Hidrajat, 2012).

Tata busana Tari Beskalan Putri ini memadukan gaya busana penari Gambyong dengan penari Topeng Malangan. Hal ini ditandai dengan beberapa ciri-ciri, yaitu dari hiasan kepala, busana, bawahan, gerakan, dan musik pengiring. Hiasan kepalanya dengan cara menata rambut dengan menggunakan sanggul dan dihias dengan cudhuk menthul yang dihias menggunakan melati.

Gerakan tarian ini lebih cendenrung lincah, dinamis dan feminin karena menggambarkan pencitraan dari tarian seorang perempuan. Dan juga tarian ini diiringi oleh musik gamelan Jawa lengkap dengan laras Slendro.

Sebelum Tari Beskalan Putri dipertunjukkan, terdapat beberapa tahap yang harus dilewati sebagai bentuk ritual. Pada saat mengawali penggalian tanah selalu diadakan upacara penanaman tumbal yang biasanya berupa kepala kerbau sebagai kurban. Pada saat itu diselenggarakan juga pertunjukkan Tayub yang diawali dengan mempertunjukkan Tari Beskalan Putri.

Beskalan dianggap sebagai simbol yang memiliki makna yang sama dengan Cok Bakal (sesajen) yang artinya simbol dari segala kehidupan. Tetapi dengan berkembangnya zaman, fungsi Tari Beskalan Putri ini sudah tidak digunakan sebagai tarian ritual. Melainkan digunakan sebagai tarian untuk menyambut tamu atau acara-acara kebudayaan.

Tari Glipang


Tari Glipang

Tari Glipang merupakan kesenian tradisional yang masih bertahan dan menjadi bagian dari warga Probolinggo, terutama warga Pendil. Tarian ini masih memegang teguh aturan yang ada dan berlaku pada masyarakat dan masih menggunakan alat yang tradisional.

Ciri khas kesenian ini yaitu tari olah nafas yang melambangkan rasa ketidakpuasan rakyat terhadap penjajah. Gerakannya merupakan paduan dari gerakan Rudat, kesenian Topeng Gethak Madura, seni hadrah, gerakan samman, dan pencak silat. Semboyan tarian ini adalah “etembeng pote matah, mongok potiah tolang”, yang artinya bahwa daripada putih mata, lebih baik putih tulang. Maksudnya adalah melambangkan watak Madura yang memegang teguh harga diri, sehingga pantang menyerah, meskipun nyawa yang menjadi taruhannya.

Memaknai kesenian tari dalam hal tata rias, yaitu melambangkan karakter seorang prajurit yang kuat, dan pantang menyerah melawan penjajah, dan siap tempur. Busana dengan warna merah dan hitam melambangkan keberanian dan tidak pernah takut yang menjadi simbol orang madura, yang tidak kenal ampun apabila ada orang yang mengganggunya. Aksesoris selain untuk memperelok penampilan, mempunyai makna sendiri seperti odeng sebagai ikat kepala, yang menjadi ciri khasnya madura. Dan sebagai identitas seorang prajurit yang berani seperti rompi, sabuk blangdang, lancor, sampur, dan peralatan perang seperti gungseng dan keris.

Alat Musik yang dipakai terdiri dari lima jenis alat musik yang berbeda, yaitu :

  1. Terbang hadrah yang jumlahnya antara tiga sampai lima terbang hadarah, dengan berbentuk lingkaran dengan diameter 30 cm. Makna dari jumlah terbang yang dipakai yaitu menandakan bahwa rukun islam ada lima, dan jumlah tiga maksudnya adalah rukun islam, rukun iman, dan rukun ikhsan.

  2. Serepoh yang menyerupai terompet, yang berfungsi sebagai pengiring irama nada syair yang dibawakan oleh penembang. Makna dari serepoh ini adalah ketika teropmet sangkakala ditiup oleh malaikat, maka dunia ini akan berakhir atau kiamat. Dan tiupan yang kedua bahwa manusia yang ada di alam kubur akan dihidupkan kembali untuk dimintai pertanggungjawabannya selama hidup di dunia.

  3. Tongtongan biasanya digunakan oleh banyak orang untuk kegiatan siskamling di desa. Ide muncul dari benak pencipta bahwa tongtongan ini bisa dijadikan alat musik Glipang. Makna alat ini adalah pemberitahuan kepada warga untuk berkumpul.

  4. Ketipung berfungsi untuk penanda setiap gerakan dan terdiri dari dua jenis yaitu ketipung laki, dan perempuan. Makna dari alat ini adalah bahwa di dunia ini ada dua hal yang saling berlawanan, misal ada siang dan malam, laki perempuan, ada buruk dan baik. Dan makna yang lain bahwa seorang perempuan harus taaat kepada suami, dan perempuan tidak boleh menjadi imam. Jumlah pemain ketipung ini ada dua, yaitu penabuh ketipung perempuan dan penabung ketipung laki.

  5. Jidor berfungsi sebagai penggema suara pada kesenian Glipang karena suaranya yang menggema. Maknanya adalah melambangkan bahwa Tuhan itu ahad, dan agung, sehingga Jidor diletakkan paling atas daripada alat musik yang lain.

Jenis gerakan Tari Glipang ada tiga yaitu Kiprah, Baris, dan Papakan. Sedangkan untuk Kiprah sendiri terbagi dari 16 yaitu : Jelen Telasan, Soge’en, Sergep, Penghormatan Pertama, Silat Teng-teng, Ngongngang Salang, Suweng, Hadarah, Glipangan, Kembengan, Semar, Samman, Nyengngok, Penghormatan Terakhir, Duduk di kursi, Kembeng Taleh. Gerakan Baris ada dua, yaitu gerakan Melangkah, dan Kobe’en, dan yang terakhir yaitu gerakan Papakan yang terdiri dari dua gerakan juga, yaitu Gerakan Bersukaria, dan Ngenangen.

Tari Topeng


tari Wayang topeng Malangan

Tari Topeng atau Wayang Topeng merupakan dramatari yang menceritakan tentang roman Panji. Roman atau Cerita Panji merupakan karya sastra klasik yang cukup dikenal luas oleh masyarakat Jawa, Indonesia, bahkan Asia Tenggara. Sebagai karya sastra klasik, cerita ini ditransformasikan ke dalam berbagai karya baru seni dan budaya. Secara historis, Cerita Panji muncul pada tengah pertama abad ke-13, pada masa kerajaan Singosari, namun beberapa peneliti menyebutkan bahwa seni topeng diperkirakan sudah muncul sejak zaman kerajaan Kediri pada abad ke-12, dan berkembang mulai zaman keemasan kerajaan Majapahit.

Relief Candi Penataran yang dibangun pada tahun 1369 yang menggambarkan adegan Panji Kartala oleh Panakawan Prasanta setidaknya dapat menjadi bukti bahwa Cerita Panji sudah populer di Jawa Timur pada abad ke-14.

Wayang topeng Malangan ini mementaskan cerita Panji seperti Sayembara Sada Lanang, Walang Sumirang, Rabine Panji, Laire Nogo Taun, dan Jenggala Mbangun Candi, dimana tokoh-tokoh utama yang sering muncul antara lain, Panji Asmarabangun, Dewi Sekartaji, Raden Gunungsari, Klana Sewandana, dan Bapang Jayasentika.

Pada tahun 1956 atau 1957, wayang topeng Malangan sering dipertunjukkan di pendopo kabupaten, karena pada saat itu bupati Malang, R. Djapan sangat berminat pada kesenian lokal.

Wayang topeng Malangan disebut sebagai “Malangan” karena memang memiliki ciri khas yang berbeda dengan topeng yang berasal dari Jawa Tengah atau Bali. Topeng yang dikenakan oleh penari/pemain wayang topeng Malangan, ditahan di kepala penari dengan seutas tali yang tersambung pada topeng, bukan menggunakan sepotong kulit yang digigit di mulut.

Berbeda dengan gaya “halus” dari Jawa Tengah, topeng Malang terbuat dari kayu yang tebal dan berat, dibentuk dengan bagian dagu lebih persegi, tulang pipi yang cukup menonjol (tinggi), dan kaya akan ukiran. Mahkota yang terletak di kepala bagian depan juga penuh dengan ukiran yang cukup kompleks (isenisen).

Kumis dari figur yang tergolong “figur gagah”, kurang lebih terdapat 21 figur, selalu diukir, sedangkan pada topeng Jawa Tengah hanya di-cat saja, atau terbuat dari rambut asli atau palsu. Topeng Malang kebanyakan mulutnya selalu lebih tertutup daripada Jawa Tengah yang lebih terbuka. Tidak hanya pada topeng sebagai properti dalam pertunjukan wayang topeng Malangan, namun pada kostum juga cukup banyak memiliki perbedaan dengan daerah lain di Indonesia, begitu juga dengan struktur pertunjukan wayang, dan juga tarinya.