Apa saja tahapan-tahapan dalam Ilmu Makrifat?

Makrifat

Makrifat adalah mengetahui bahwa gerakan dan diamnya manusia bergantung kepada Tuhan. Makrifat merupakan sifat-sifat orang yang mengenal Allah dengan nama dan sifat-Nya, kemudian membenarkan Allah dengan melaksanakan ajarannya dalam perbuatan.

Apa saja tahapan-tahapan dalam Ilmu Makrifat ?

Di tinjau dari segi bahasa, para ulama mengartikan makrifat (ma’rifah) sebagai ilmu („ilm). Jadi dalam pandangan mereka semua ilmu adalah makrifat, dan semua makrifat adalah ilmu, dan setiap orang yang mempunyai ilmu („alīm) tentang Tuhan adalah seorang „arīf (ahli makrifat).

Di kalangan sufi, makrifat adalah sifat dari orang yang mengenal Allah SWT dengan nama-nama serta sifat-sifat-Nya dan berlaku tulus kepada Allah dengan perbuatan-perbuatannya, yang lalu mensucikan dirinya dari sifat-sifat yang rendah serta cacat-cacat, yang berdiri lama dipintu, dan senantiasa mengundurkan hatinya dari hal-hal duniawi.

Makrifah terkadang dipandang sebagai maqām dan terkadang sebagai ḥāl. „Al-Tusi di dalam kitabnya Al-Luma‟ Al-Junaid, makrifah merupakan ḥāl. Sedangkan al-Qusyairi di dalam kitabnya al-Qusyairiyah, makrifah disebut sebagai maqām.

Di dalam Suluk Linglung terdapat pesan yang tersirat dan tersurat mengenai ilmu makrifah dan tahapan-tahapan pengajaran yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga di dalam memperoleh makrifah itu sendiri. Sunan kalijaga menjalaninya dengan baik dan memiliki guru spiritual yang baik pula. Sehingga pada akhirnya Sunan Kalijaga merasakan keilmuan yang beliau cari selama ini, tanpa ada pertanyaan lagi.

Menikmati dan merasakan keilmuan yang luar biasa untuk kehidupannya. Dalam pembahasan tasawuf ada tiga tahapan proses pembelajaran untuk mencapai tujuan sufistik (Ma’rifat):

Fase Takhalli

Fase Takhalli: fase makrifat dimana seorang harus menjauhkan diri dari perbuatan tercela di masa hidupnya.

Pada fase ini Sunan Kalijaga berjanji dan melebur dosanya dengan bertapa, melupakan perbuatan yng dulunya, seperti: merampok, judi, mabuk, dan berbohong.

Arti menjalankan tapa adalah menyakiti badan dari waktu muda sampai tua, masuk hutan yang sunyi, masuk gua bersemadi di tempat yang sepi, membunuh jiwa raga. Dengan begitu bila mendapat hidayah Ilahi, maka pengetahuan tentang Allah akan sampai kepadanya, begitulah yang dilakukan Sunan Kalijaga. Manfaat orang yang suka prihatin, seluruh cita-citanya akan dikabulkan Allah, apabila belajar ilmu akan mudah paham, apabila mencari rizki akan mudah didapatkan dan apabila melakukan sesuatu pekerjaan akan cepat selesai.

Tapa brata adalah serangkain kegiatan membersihkan diri dari nafsu untuk melaksanakan
tujuan tertentu. Tapa-tapa yang dianjurkan Sunan Kalijaga diantaranya:

  • Badan, tapanya berlaku sopan santun, zakatnya gemar berbuat kebajikan,
  • Hati atau budi, tapanya rela dan sabar, zakatnya bersih dari prasangka buruk,
  • Nafsu, tapanya berhati ikhlas, zakatnya tabah menjalani cobaan dalam sengsara dan mudah mengampuni kesalahan orang,
  • Nyawa atau roh, tapanya belaku jujur, zakatnya tidak mengganggu orang lain dan tidak mencela,
  • Rahsa, tapanya berlaku utama, zakatnya duka diam dan menyesali kesalahan atau bertaubat,
  • Cahaya atau Nur, tapanya berlaku suci dan zakatnya berhati ikhlas,
  • Atma atau hayu, tapanya berlaku awas dan zakatnya selalu ingat.

Kemudian dilanjutkan dengan “Laku Kijang”. Atas saran dari Sunan Bonang melakukan Laku Kijang dikarenakan Sunan Kalijaga tidak merasa menemukan tentang kata Iman Hidayat tersebut. Pada saat ini dijelaskan bahwa Sunan Kalijaga melakukan mematikan rasa yang baik (kalau kamu ingin keterangan yang jelas tuntas, matikanlah dirimu sendiri).

Fase Tahalli

Fase Tahalli: fase makrifat dimana seorang manusia menghiasi diri dengan perbuatan yang baik dan terpuji.

Di dalam Suluk Linglung di jelaskan ketika Sunan Kalijaga bersungguh untuk merubah diri, belajar keilmuan dengan baik, dan belajar untuk lebih baik lagi. Laku pertapaan yang telah dilakukan oleh Sunan Kalijaga memberikan suatu kenikmatan di dalam batin diri Sunan Kalijaga.

Sunan Bonang memberikan setiap ajaran yang di berikan melibatkan laku pertapaan, kemudian baru melakukan pengendalian diri. Setelah selesai pertapaan Sunan Kalijaga memberikan pertanyaan kepada Sunan Bonang, dan jika belum paham Sunan Kalijaga diperintahkan untuk melakukan pertapaan. Dan akhirnya di samping itu melakukan perbuatan yang baik dan mensyiarkan ajaran dan ilmu yang telah di berikan oleh Sunan Bonang.

Fase Tajali

Fase Tajalli: fase makrifat dimana pengetahuan yang telah di ketahui semua, tidak ada pertanyaan yang membuat keraguan lagi di dalam diri (terbukanya hijab pengetahuan tentang Allah).

Fase di sini ketika Sunan Kalijaga berguru kepada Nabi khidir, kemudian Nabi Khidir sebagai guru spiritual memberikan wejangan yang mendalam, tentang ketuhanan, tentang Iman Hidayat, tentang kematian dan tentang keyakinan. Mulai tentang Syariat, Tarekat dan bahkan sampai ke (Ma’rifat) hakikat manusia.

Dari segi istilah makrifat bukan hanya berupa pengetahuan yang diperoleh hasil batin dan spiritual manusia, namun berupa pengalaman orang yang menempuh jalan tarikat tujuannya adalah untuk sampai kepada Allah yang diibaratkan sebagai musyafir atau salik. Yakni berasal dari bahasa arab salaka al-thariqa (menempuh jalan tasawuf). Memasuki wilayah tarekat ini di Indonesia sering disebut dengan suluk (memasuki tarekat).

Kemudian untuk mencapai Makrifat telah ada dalam diri manusia, yaitu qalb (hati), karena qalb selain alat untuk merasa adalah juga alat untuk berfikir. Bedanya qalb dengan akal adalah akal tidak bisa memperoleh pengetahuan yang sebenarnya tentang Tuhan, sedangkan qalb bisa mengetahui hakikat dari segala yang ada dan jika dilimpahi cahaya Tuhan, bisa mengetahui rahasia Tuhan. Qalb yang telah di bersihkan dari segala dosa dan maksiat melalui dzikir dan wirid secara teratur akan dapat mengetahui rahasia-rahasia Tuhan, yaitu setelah hati tersebut di sinari cahaya Tuhan (emanasi).

Dalam tasawuf ada tahapan-tahapan untuk mencapai makrifat yaitu :

1. Syariat

Secara harfiah syariat berarti jalan yang lempeng atau jalan yang seperti air terjun. Dalam konteks Islam, syariat pada awalnya berarti segala ketentuan yang ditetapkan oleh Allah untuk para hambanya melalui rasul-Nya, baik ketentuan mengenai perbuatan lahiriah, yaitu ibadah dan muamalat maupun bathiniah, seperti akidah, akhlak dan tasawuf yang mengatur hubungan manusia dengan pencipta-Nya. Syariat juga merupakan cara formal untuk melaksanakan peribadatan kepada Allāh yang dirujuk oleh al-Qur’an sebagai tujuan utama penciptaan manusia.

Menurut Seyyed Hossein Nasr menjelaskan bahwa syariat diturunkan secara etimologis dari kata “jalan”. Maksudnya adalah jalan yang membawa orang kepada Tuhan.

Intinya adalah syariat ini berisi perintah agung yang mengatur segala keadaan dalam kehidupan. Hukum sesuai dengan mana manusia harus hidup seperti yang diinginkan oleh-Nya. Oleh karena itu, syariat menjadi petunjuk bagi tindakan manusia dan mencakup segala segi kehidupan. Syariat juga mengajarkan kepada manusia agar mengetahui pengetahuan tentang baik dan buruknya jalan yang akan ia tempuh.

2. Tarekat

Kehidupan spiritual umat Islam banyak yang berhenti pada syariat, padahal sebaiknya berkembang ke jenjang berikutnya, yaitu tarekat. Tarekat yang berasal dari bahasa arab yaitu al-Tharq, jamaknya al-Thurūq merupakan isim Musytarāq, yang secara etimologi berarti jalan, tempat lalu atau metode. Istilah tarikat atau tarekat juga diartikan sebagai organisasi persaudaraan sufi, seperti Qadariyah, Naqsyabandiyah, dan sebagainya. Tarekat baik dalam arti yaitu jalan spiritual maupun organisasi persaudaraan sufi, yang memerlukan bimbingan guru yang disebut Mursyid, Syekh atau Pir.

Menurut istilah tasawuf sendiri, tarekat ialah perjalanan khusus bagi para sufi yang menempuh jalan menuju Allah Swt. Perjalanan yang mengikuti jalur yang ada melalui tahap dan seluk-beluknya. Tarekat juga merupakan suatu ilmu yang mengkaji kaitannya pengamalan zikir kepada Allah dengan praktek dalam beribadah setiap waktu yang telah ditentukan.

Dalam membahas tarekat biasanya sufi membedakan antara hal (kondisi spiritual) dengan maqam (jenjang spiritual). Menurut Amatullah Armstrong, menjelaskan kondisi spiritual yang masuk ke dalam hati sebagai anugerah dan karunia dari rahmat Allah yang tidak terbatas kepada hamba-nya. Kondisi spiritual tidak bisa dicapai melalui usaha, keinginan atau undangan, ia datang tanpa diduga-duga dan pergi juga tanpa diduga-duga. Sedangkan maqam diperoleh dan dicapai melalui upaya dan ketulusan sang penempuh jalan spiritual. Tetapi pencapaian ini sebenarnya terjadi berkat rahmat Allah.

Tetapi, menurut Mustaha Zahri, dalam buku Kunci Memahami Ilmu Tasawuf menjelaskan bahwa tarikat dikalangan sufiyah berarti sistem dalam rangka mengadakan latihan jiwa, membersihkan diri dari sifat-sifat yang tercela dan mengisinya dengan sifat-sifat yang teruji dan memperbanyak zikir dengan penuh ikhlas semata-mata untuk mengharakan bertemu dan bersatu secara ruhiah dengan Tuhan.

Intinya adalah tarekat merupakan jalan yang ditempuh untuk mendekatkan diri kepada Allah yang sedekat-dekatnya atau mendapat maqam (kedudukan yang harus ditempuh hambanya agar bisa sampai kepada Allah) yang mempunyai sifat mahmudah (sifat baik). Dalam tingkatan ini bahwa menghidupkan syariat itu sebagai amalan lahir atau amalan batin secara sungguh-sungguh dan istiqamah dalam menguatkan keimanan dalam hati.

3. Hakikat

Perjalanan spiritual sebaiknya tidak berhenti pada tarekat, tetapi dapat berkembang ke tahap berikutnya, yaitu hakikat atau haqiqah. Hakikat mengacu pada makna terdalam dari praktek dan bimbingan yang dibangun dalam syariat dan tarekat. Istilah hakikat mengandung banyak arti, yaitu kebenaran, kenyataan, keaslian, hakiki (bukan kiasan), sesungguhnya, sebenarnya, senyatanya, tentu dan pasti. Hakikat adalah kebenaran atau benar-benar ada (Allah) sebagai sumber kebenaran dan tiada yang lebih indah kecuali mencintai Allah. .Hakikat juga merupakan pengalaman langsung kondisi mistis dalam tasawuf dan pengalaman langsung dari kehadiran Tuhan dalam diri.

Di dalam perjalanan menuju Hakikat itu, orang memulai dari dalam dirinya sendiri untuk mengenal Allah, sebelum mengenal Allah maka manusia harus mengenali dirinya sendiri. Perjalanan itu dimulai dari dalam dan ke dalam. Sehingga Alam dengan keindahan, hanyalah untuk jadi saksi untuk pencari diri. Apabila Thariqat telah dijalani dengan segenap kesunguhan, dan setia memegang segala syarat, maka tentulah bertemu dengan Hakikat.

4. Makrifat

Dari segi bahasa makrifat berasal dari kata arafa, ya’rifu, irfan, makrifat yang artinya pengetahuan atau pengalaman. Makrifat adalah pengetahuan yang obyeknya bukan pada hal-hal yang bersifat zahir, tetapi lebih mendalam terhadap batinnya dengan mengetahui rahasianya. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa akal manusia sanggup mengetahui hakikat ketuhanan dan hakikat itu satu dan segala yang maujud berasal dari yang satu.26 Jadi, manusia harus menyadari bahwa semua dan segala yang ada di alam ini yang menciptakan dan menggerakan adalah Allāh.

Makrifat merupakan salah satu aspek dari kajian disiplin ilmu tasawuf yang disandarkan kepada sumber ajaran Islam, yaitu al-Qur‟an dan Hadis atau sunnah yang tercermin dalam praktek kehidupan Rasulullah saw. Kata makrifat yang secara khusus menjadi konsep spiritual Islam di dalam al-Qur‟an memang tidak ditemukan secara harfiahnya.

Menurut Al-Ghazali, makrifat itu sendiri ialah memandang kepada wajah Allah swt. Artinya mengetahui segala peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada. Selanjutnya al-Ghazali menjelaskan bahwa makrifat inilah setinggi-tingginya tingkat yang dapat dicapai oleh seorang sufi. Dan pengetahuan yang diperoleh dari makrifat lebih tinggi mutunya dari pengetahuan yang diperoleh dengan akal. Makrifat tidak bisa sepenuhnya diusahakan manusia. Pada tahap akhir semuanya tergantung pada kemurahan Tuhan. Manusia hanya bisa melakukan persiapan dengan cara membersihkan diri dari segala dosa dan penyakit-penyakit jiwa lainnya atau akhlak yang tercela.

Dalam pandangan Harun Nasution (wafat 1998 Masehi.) makrifat berarti mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati sanubari dapat memandang Tuhan, hal itu memiliki ciri sebagai berikut :

  1. Orang arif adalah bangga dalam kepapaannya, apabila disebut nama Allah SWT dia bangga. Apabila disebut nama dirinya dia merasa miskin.

  2. Jika mata yang terdapat dalam hati terbuka, mata kepalanya akan tertutup, dan saat itu yang dilahatnya hanya Allah SWT.

  3. Makrifat merupakan cermin, jika seorang arif melihat ke cermin maka yang dilihatnya hanyalah Allah SWT.

  4. Semua yang dilihat orang arif baik waktu tidur maupun saat terjaga hanyalah Allah SWT.

  5. Seandainya makrifat berupa bentuk materi, semua orang yang melihat padanya akan mati karena tak tahan melihat betapa sangat luar biasa cantik, serta indahnya, dan semua cahaya akan dikalahkan dengan cahaya keindahan yang sangat gemilang tersebut.

Dalam buku yang berjudul Falsafat dan Mistisime dalam Islam, beberapa tokoh berbeda jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah, seperti:

  1. Abu Hamid al-Ghazali, tobat- sabar- kefakiran- zuhud- tawakal- cinta- makrifat- kerelaan.

  2. Abu Bakr Muhammad al-Kalabadi, tobat- zuhud- sabar- kefakiran- kerendahan hati- takwa- tawakal- kerelaan- cinta- makrifat.

  3. Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi, tobat- wara‟- zuhud- kefakiran- sabar- tawakal- kerelaan hati.

Menurut Muhammad Solikhin ada empat hal metode untuk mengenal Allah, yaitu :

  1. Memohon kepada Allah
    Memohon kepada Allah agar Allah berkenan menjadikan kita mengenal-Nya dengan sebenar-benarnya.

  2. Janganlah sombong dan berbohong
    Kesombongan adalah ketika kita meremehkan orang lain dan menolak kebenaran. Bohong tentang kebenaran dan tentang hal yang sudah kita lakukan tentang kebenaran itu. Maksudnya adalah berbohong sudah melakukan kebenaran hanya untuk menutupi rasa malu, jika diketahui bahwa belum melakukannya.

  3. Gemar mencari ilmu
    Untuk mengenal Allah membutuhkan ilmu untuk diamalkan. Allah menyuruh orang mukmin untuk menanyakan segala sesuatu hanya kepada ahlinya.34

  4. Amalkan setiap titik ilmu yang sudah diperoleh
    Ketika mengetahui ilmu yang benar, maka cepatlah diamalkan. Jangan menyediakan ruang alasan untuk tidak mengamalkannya. Semua ilmu yang tidak diamalkan oleh Allah maka tidak memiliki arti apapun di sisi-Nya.

Empat hal tersebut menjadi pengetahuan tentang asal mulanya kehidupan dan pengetahuan tentang alam semesta serta pengetahuan tentang kehidupan yang sejati. Empat hal tersebut juga merupakan cara menempuh lima kunci (tahapan utama) untuk menggapai makrifatullah, yang meliputi dzikrūllah, tafakkur, murāqabah, muhasabah dan wirid. Inilah metode dasar makrifat dalam bentuk ilmu hening oleh Syekh Siti Jenar, sebagai berikut :

  1. Dzikrullah, tujuan dzikir adalah memusatkan perhatian. Maksudnya adalah mengingat Allah menghapus ingatan dari segala sesuatu selain-Nya. Jika seseorang sudah memusatkan perhatiannya, maka ia akan menyadari adanya berbagai godaan jiwa.

  2. Tafakkur adalah perenungan mendalam, yang menjadikan pembuka atau awal proses meditasi (hening). Intinya, tafakkur ini untuk merenungkan diri dari pikiran yang negatif agar pikiran menjadi bersih atau positif.

  3. Muqarabah adalah saling berdekatan. maksudnya adalah dua pihak yang saling melindungi. Jadi sikap Allah menjaga dan melindungi manusia, agar manusia di dalam hatinya juga menjaga dan melindungi Allah.

  4. Muhasabah adalah menyeimbangkan perhitungan atau tepat dalam perhitungan. Maksudnya adalah memperhitungkan perbuatan dan pikiran manusia untuk mengetahui bahwa Allah yang selalu mencatat apa yang dilakukan manusia di dunia ini.

  5. Wirid
    Wirid bukan hanya mencakup do’a kepada Allah, tetapi juga memohon ampunan di haribaan-Nya. Jika sikap manusia terus menerus dalam mengamalkan wirid, maka seluruh ingatannya akan terpusat hanya kepada Allah, baik dalam keadaan menyendiri ataupun ditengah-tengah orang lain.

Referensi
  • Nasaruddin Umar, Tasawuf Modern (Jakarta: Republika, 2014).
  • Simuh, Sufisme Jawa : Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa, (Yogyakarta : Yayasan Bentang Budaya, 1995).
  • Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia, (Jakarta : Rajawali Pers, 2012).
  • Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006).
  • Sudirman Tebba, Merengkuh Makrifat : Menuju Ekstase Spiritual (Jakarta: Pustaka Irvan,
  • 2006).
  • Ris’an Rusli, Tasawuf dan Tarekat (Jakarta: Rajawali Pers, 2013).
  • Alwi Shihab, Akar Tasawuf di Indonesia (Depok: Pustaka IIMaN, 2009).
  • Hamka, Tasawuf Modern (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983).
  • Mustaha Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf (Surabaya : Bina Ilmu, 1995).
  • Hamka, Tasawuf Perkembangan Pemurniannya (Jakarta: Citra Serumpun Padi, Jakarta, 1994).
  • Harun Nasution, Falsafah dan Mistisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1992).
  • Muhammad Solikhin, Ajaran Makrifat Syekh Siti Jenar : Panduan Menuju Kemenyatuan dengan Allah, Refleksi dan Pengalaman Syekh Siti Jenar, (Yogyakarta : Narasi, 2014).