Apa saja syarat-syarat pernikahan menurut Hukum Islam ?

Pernikahan menurut Hukum Islam

Apa saja syarat-syarat pernikahan menurut Hukum Islam ?

  1. Ada persetujuan kedua calon mempelai.
  2. Ada izin kedua orang tua/wali bagi calon mempelai yang belum berusia 21 tahun.
  3. Usia calon mempelai pria mencapai 19 tahun dan usia calon mempelai wanita sudah mencapai 16 tahun.
  4. Antara calon mempelai pria dan calon mempelai wanita tidak dalam hubungan darah/keluarga yang tidak boleh kawin.
  5. Tidak berada dalam ikatan perkawinan dengan pihak lain.
  6. Bagi suami isteri yang telah bercerai, lalu kawin lagi satu sama lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, agama dan kepercayaan mereka tidak melarang mereka kawin untuk ketiga kalinya.
  7. Tidak berada dalam waktu tunggu bagi calon mempelai wanita yang janda.

sumber: fh upnvj

Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, memberikan definisi bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dari pengertian di atas, maka unsur-unsur perkawinan ada 3 (tiga), yaitu:

  1. Unsur Agama
    Unsur agama ini dapat dilihat dalam Sila pertama Pancasila yang menyebutkan “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Jelaslah bahwa perkawinan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan agama atau kerohanian, yang merupakan tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah.

  2. Unsur Hukum
    Unsur hukum dalam perkawinan dapat dilihat dari adanya pencatatan perkawinan bagi yang beragama Islam dilakukan di Kantor Urusan Agama ( KUA ) dan bagi yang beragama non Islam pencatatannya di Kantor Catatan Sipil. Dengan perkawinan antara suami isteri telah terjadi hubungan hukum, sehingga apapun yang akan dilakukan seperti perceraian, waris dan lain-lain akan diatur menurut hukum yang berlaku.

  3. Unsur Sosial
    Yang dimaksud dengan unsur sosial adalah bahwa dengan membentuk keluarga, maka nantinya akan bersosialisasi dalam hubungan hidup bermasyarakat. Kehidupan suami isteri tidak dapat dipisahkan dari kehidupan dan perkembangan lingkungan masyarakat. Tingkah laku anggota-anggota keluarga harus sesuai dengan perubahan dan perkembangan yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat.

Rukun dan Syarat Perkawinan menurut Hukum Islam


Menurut jumhur ulama rukun perkawinan itu ada lima, dan masing- masing rukun itu mempunyai syarat-syarat tertentu. Syarat dari rukun tersebut adalah :

1. Calon suami, syarat-syaratnya :

  • Beragama Islam;
  • Laki-laki;
  • Jelas orangnya;
  • Dapat memberikan persetujuan dan;
  • Tidak terdapat halangan perkawinan

2. Calon isteri, syarat-syaratnya :

  • Beragama Islam;
  • Perempuan;
  • Jelas orangnya;
  • Dapat dimintai persetujuannya dan;
  • Tidak terdapat halangan perkawinan

3. Wali nikah, syarat-syaratnya :

  • Laki-laki;
  • Dewasa;
  • Mempunyai hak perwalian dan;
  • Tidak terdapat halangan perwaliannya

4. Saksi nikah, syarat-syaratnya :

  • Minimal dua orang laki-laki;
  • Hadir dalam Ijab Qabul;
  • Dapat mengerti maksud akad;
  • Islam dan;
  • Dewasa

5. Ijab Qabul, syarat-syaratnya :

  • Adanya pernyataan mengawinkan dari wali;
  • Adanya pernyataan menerima dari calon mempelai;
  • Memakai kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan dari kedua kata tersebut;
  • Antara ijab dan qabul bersambungan;
  • Orang yang terkait ijab dan qabul tidak sedang ihram atau umrah dan;
  • Majelis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimal empat orang calon mempelai atau wakilnya, wali dari mempelai wanita, dan dua orang saksi.

Mahar (mas kawin) kedudukannya sebagai kewajiban perkawinan dan sebagai syarat sahnya perkawinan. Bila tidak ada mahar, maka pernikahannya menjadi tidak sah. Dasarnya adalah Q.S an-Nissa ayat 4 dan 24, adalah :

“Berikanlah mas kawin (shadaq, nihlah ) sebagai pemberian yang wajib. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagai mas kawin itu senang hati, maka gunakanlah ( makanlah ) pemberian itu dengan sedap dan nikmat” (Q.S an-Nissa ayat 4 ).

“Dihalalkan bagimu ( mengawini ) perempuan- perempuan dengan hartamu (mahar), seperti beristri dengan dia, dan bukan berbuat jahat. Jika kamu telah menikmati (bersetubuh) dengan perempuan itu, hendaklah kamu memberikan kepadanya mas kawin (ujur, Faridah ) yang telah kamu tetapkan” (Q.S an-Nissa ayat 24).

Rukun dan syarat adalah sesuatu bila ditinggalkan akan menyebabkan sesuatu itu tidak syah. Di dalam rukun dan syarat pernikahan terdapat beberapa pendapat, yaitu sebagai contoh menurut Abdullah Al-Jaziri dalam bukunya Fiqh ‘Ala Madzahib Al-‘arba’ah menyebutkan yang termasuk rukun adalah Al–ijab dan Al–qabul dimana tidak ada nikah tanpa keduanya. Menurut Sayyid Sabiq juga menyimpulkan menurut fuqoha’, rukun nikah terdiri dari Al-ijab dan Al-qabul sedangkan yang lain termasuk ke dalam syarat.

Menurut Hanafiyah, rukun nikah terdiri dari syarat-syarat yang terkadang dalam Sighat, berhubungan dengan dua calon mempelai dan berhubugan dengan kesaksian. Menurut Syafiiyyah meliht syarat perkawinan itu ada kalanya menyangkut Sighat, wali, calon suami-istri dan juga Syuhud. Menurut Malikiyah, rukun nikah ada 5: wali, mahar, calon suami-istri, dan Sighat. Jelaslah para ulama tidak saja membedakan dalam menggunakan kata rukun dan syarat tetapi juga berbeda dalam detailnya. Malikiyah tidak menetapkan saksi sebagai rukun, sedangkn syafi’i menjadikan 2 orang saksi menjadi rukun.

Jadi rukun dan syarat perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam yaitu, calon mempelai laki-laki dan perempuan, wali, saksi, ijab dan kabul serta mahar.

Di dalam Kompilasi Hukum Islam Rukun dan Syarat Perkawinan diatur dalam Pasal 14 yang menyatakan harus ada :

  1. Calon suami
  2. Calon isteri
  3. Wali nikah
  4. Dua saksi
  5. Ijab dan qabul

Dalam hal ini akan diperjelas lagi mengenai hal tersebut diatas, yaitu :

1) Sifat-sifat/syarat calon kedua mempelai yang baik

Sifat-sifat calon mempelai yang baik seperti yang digambarkan oleh nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh Bukhari, yang artinya :

“Nikahilah seorang wanita yang mempunyai ciri-ciri empat dari hartanya, dari keturunannya, dari kecantikannya, dari agamanya.

Untuk syarat seorang laki-laki sama dengan sifat yang dimiliki oleh seorang wanita tinggal kebalikanya.

Syarat-syarat calon suami lainnya adalah:

  • Tidak dalam keadaan ihrom, meskipun diwakilkan.
  • Kehendak sendiri
  • Mengetahui nama, nasab, orang, serta keberadaan wanita yang akan dinikahi.
  • Jelas laki-laki

Syarat-syarat calon istri:

  • Tidak dalam keadaan ihrom
  • Tidak bersuami
  • Tidak dalam keadaan iddah (masa penantian)
  • Wanita.

2) Wali

Wali adalah rukun dari beberapa rukun pernikahan yang lima, dan tidak syah nikah tanpa wali laki-laki. Dalam KHI Pasal 19 menyatakan wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya.

Dalam hadis nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Hiban, yang artinya :

“Tidak ada pernikahan kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil. Jika ada pernikahan tanpa itu maka pernikahan itu dianggap batal”

Syarat-syarat wali :

  • Islam
  • Sudah baligh
  • Berakal sehat
  • Merdeka
  • Laki-laki
  • Adil
  • Sedang tidak melakukan ihram

Yang diprioritaskan menjadi wali:

  1. Bapak.
  2. Kakek dari jalur Bapak
  3. Saudara laki-laki kandung
  4. Saudara laki-laki tunggal bapak
  5. Kemenakan laki-laki (anak laki-lakinya saudara laki-laki sekandung)
  6. Kemenakan laki-laki (anak laki-laki saudara laki-laki bapak)
  7. Paman dari jalur bapak
  8. Sepupu laki-laki anak paman
  9. Hakim, bila sudah tidak ada wali-wali tersebut dari jalur nasab.

Wali dapat dipindah oleh hakim bila:

  • Jika terjadi pertentangan antar wali.

  • Jika tidak adanya wali, ketidak adanya di sini yang dimaksud adalah benar-benar tidak ada satu kerabat pun, atau karena jauhnya tempat sang wali sedangkan wanita sudah mendapatkan suami yang kufu’.

Pasal 20 ayat 1 KHI menyatakan yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni, muslim, aqil, baligh.

Wali nikah terdiri dari: wali nasab dan wali hakim.

Pada Pasal 21 KHI dibahas empat kelompok wali nasab yang pembahasanya sama dengan fikih Islam seperti pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus keatas. Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki saudara kandung, seayah dan keturunan laki-laki mereka. Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka. Kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki- laki seayah kakek dan keturunan laki-laki mereka.

Jadi wali nasab yaitu laki-laki garis lurus ke atas atau ayah, laki-laki saudara sekandung, kakak atau adik dan seterusnya keturunan laki-laki, selain itu juga bisa dari kerabat paman, jika dari yang di atas sudah tidak ada.

Menyangkut dengan wali hakim dinyatakan pada Pasal 23 KHI yang berbunyi:

a) Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadiri atau tidak diketahui tempat tinggal atau ghaibnya atau ‘adhalnya atau enggan.

b) Dalam hal wali ‘adalah atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan pengadilan agama tentang wali tersebut.10
Jadi wali hakim ada jika wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadiri atau tidak diketahui tempat tinggalnya, jika wali nasab tidak mau, maka wali nikah ada jika ada putusan pengadilan.

3) Saksi

Imam Abu Hanifah, Imam Syafii, dan Imam Malik bersepakat bahwa saksi termasuk syarat dari beberapa syarat syahnya nikah. Dan ulama’ jumhur berpendapat bahwa pernikahan tidak dilakukan kecuali dengan jelas dalam pengucapan ijab dan qabul, dan tidak boleh dilaksanakan kecuali dengan saksi-saksi hadir langsung dalam pernikahan agar mengumumkan atau memberitahukan kepada orang-orang.

KHI menyatakan Dalam Pasal 24 ayat 1 saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah. Dalam KHI Pasal 26 saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani akta pada waktu dan di tempat akad nikah dilangsungkan. Dalam KHI Pasal 24 ayat 2: setiap perkawinan harus disaksikan 2 orang saksi.

Dalam hal kesaksian seorang wanita, Syafiiyyah dan Hanabilah mensyaratkan dalam kesaksian adalah seorang laki-laki. Jika pernikahan saksinya adalah seorang laki-laki dan dua orang wanita maka tidak syah pernikahan itu.

4) Shighat (Ijab-Qabul)

Pengertian akad nikah menurut KHI dalam Pasal 1 bagian c akad nikah ialah: rangkaian ijab yang diucapkan oleh wali dan qabul yang diucapkan oleh mempelai pria atau wakilnya disaksikan oleh 2 orang saksi.

Di dalam fiqh ‘ala mazahibul ‘arba’ah syarat Ijab-Qabul adalah:

  • Jika dengan lafadz yang khusus seperti ankahtuka atau zawwajtuka

  • Jika pengucapan Ijab-Qabul pada satu majlis

  • Jika tidak bertentangan antara ijab dan Qobul. Contohnya ketika seorang wali mengatakan saya nikahkan kamu dengan anak perempuanku dengan mas kawin seperangkat alat shalat dibayar tunai, lalu calon suami menjawab saya terima nikahnya tapi saya tidak menyetujui mas kawin tersebut.

  • Tidak boleh lafadz Ijab-Qabul terbatas waktu. Kalau lafadz Ijab-Qabul terbatas waktu maka hukumnya menjdi nikah mut’ah.

Jadi Shighat atau ijab qabul adalah rangkaian ijab yang diucapkan oleh wali dan qabul yang diucapkan oleh mempelai pria dan disaksikan oleh dua orang saksi.

Syarat-syarat Perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan


Syarat-syarat Perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terdapat dalam beberapa Pasal , yaitu :

1) Pasal 6 menyebutkan :

  1. Perkawinan harus didasarkan atas perjanjian kedua calon mempelai.

  2. Untuk melangsungkan perkawinan seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin dari kedua orang tua.

  3. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) Pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.

  4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama kedua orang tua tersebut masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.

Jadi perkawinan dilangsungkan oleh seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan harus mendapat izin kedua orang tua, jika orang tua telah meninggal dunia atau tidak mampu menyatakan kehendaknya maka izin dapat diperoleh oleh wali.

2) Pasal 7 menyebutkan :

  1. Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dari pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.

  2. Dalam hal ini penyimpangan terhadap ayat (1) Pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita.

Jadi perkawinan diizinkan jika pihak pria berumur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita berumur 16 (enam belas) tahun.

3) Pasal 8 menyebutkan :

  1. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas.

  2. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya.

  3. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri.

  4. Berhubungan susuan, orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan.

  5. Behubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang.

  6. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.

Jadi, perkawinan dapat berlangsung jika seagama, jika tidak segama maka dilarang kawin serta tidak terkait hubungan darah maupun hubungan persusuan.

4) Pasal 9 menyebutkan :

“Seorang yang masih terkait tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-Undang ini”.

Jadi, perkawinan tidak dapat terjadi jika masih terkait perkawinan dengan orang lain.

5) Pasal 10 menyebutkan :

“Apabila isteri telah yang cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan berceri lagi untuk kedua kalinya, maka diantaranya tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menyebutkan lain”.

Jadi, apabila telah cerai untuk kedua kalinya, maka diantaranya tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, menurut agama dan kepercayaannya masing-masing.

6) Pasal 11 menyebutkan :

  1. Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu.

  2. Tenggang waktu tunggu ayat (1) akan diatur dalam Peraturan Pemerintah lebih lanjut.

7) Pasal 12 menyebutkan :

“Tata cara pelaksanaan perkawinan diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri.

Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dari kedua Pasal tersebut yaitu Pasal 11 dan Pasal 12, bagi wanita yang putus perkawinannya maka berlaku jangka waktu tunggu dan pelaksanaan perkawinan diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri.

Referensi :

  • Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, Liberty, Yogyakarta, 2007
  • Mardani, Hukum Perkawinan Islam Di Dunia Modern, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2011
  • UU RI nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawianan dan Kompilasi Hukum Islam, Citra Umbara, Bandung
  • EM. Yusmar, Wanita dan Nikah Menurut Urgensinya, Pustaka ‘Azm, Kediri, 2006
  • Nuruddin dan Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Prenada Media, Jakarta, 2004
  • R. Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme dalam Perundang-Undangan Perkawinan Di Indonesia, Airlangga University Press, Jakarta, 1988.