Para ahli fiqh sepakat bahwa haji wajib dilakukan oleh seseorang mukallaf ketika lima syarat wajib haji terpenuhi, yaitu Islam, baligh, berakal, merdeka (bukan budak), dan mampu.
Syarat-syarat ada yang merupakan syarat kewajiban dan keabsahan atau pelaksanaan (islam dan berakal), ada pula yang merupakan syarat kewajiban dan ijza’ (kecukupan) tapi bukan syarat keabsahan (yaitu baligh dan merdeka), dan ada pula yang merupakan syarat kewajiban saja, yaitu kemampuan.
Islam
Haji tidak wajib atas orang kafir, maka dari itu dia tidak dituntut mengerjakannya di dunia ketika dia masih kafir, dan juga tidak sah jika dia mengerjakannya sebab dia tidak punya kelayakan untuk menunaikan ibadah. Jika orang kafir pernah menunaikan haji kemudian dia masuk Islam dia wajib menunaikan haji lagi, haji yang pernah di lakukannya pada saat dirinya masih kafir tidak terhitung sah.
Demikian pula haji tidak wajib atas orang kafir, menurut madzhab Hanafi dalam hal-hal yang berkaitan dengan hukum akhirat. Jadi, dia tidak diazab lantaran tidak berhaji sebab orang kafir tidak di-khittab (dituntut) untuk mengerjakan amal-amal furu’ dalam syariat Islam. Sedangkan menurut Jumhur orang kafir di azab diakhirat lantaran meninggalkan haji, sebab dia dituntut untuk mengerjakan hal- hal furu’.
Mazhab Maliki berpendapat bahwa Islam adalah syarat keabsahan, bukan syarat kewajiban. Jadi, haji wajib atas orang kafir tapi tidak sah dikerjakannya kecuali jika dia masuk Islam. Mazhab Syafi’i mewajibkan haji atas orang murtad, tapi tidak sah dikerjakannya kecuali jika dia telah kembali ke Islam, adapun orang kafir asli tidak wajib haji atasnya.
Taklif (baligh dan berakal)
Haji tidak wajib atas anak kecil dan orang gila sebab keduanya tidak dituntut mengerjakan hukum-hukum syariat. Karena itu, keduanya tidak harus menunaikan haji. Haji atau umrah juga tidak sah dilakukan oleh orang gila,sebab dia tidak memiliki kelayakan untuk mengerjakan ibadah. Seandainya mereka berdua telah menunaikan haji kemudian si anak kecil mencapai umur baligh dan si orang gila menjadi waras, mereka tetap wajib menunaikan haji Islam, dan haji yang kerjakan si anak kecil tadi sebelum baligh terhitung sebagai amal tathawwu’ (sunnah)
Merdeka
Haji tidak wajib atas hamba sahaya, sebab haji adalah ibadah yang lama temponya, memerlukan perjalanan jauh, dan disyariatkan adanya kemampuan dalam hal bekal dan kendaraan, hal ini mengkibatkan terabaikannya hak-hak majikan yang berkaitan dengan si hamba. Karena itu, haji tidak wajib atasnya, sama seperti jihad.
Kesanggupan (fisik, finansial dan keamanan dalam perjalanan haji).
Menurut mazhab Hanafi kesanggupan meliputi tiga hal yaitu: fisik, finansial dan keamanan. Kesanggupan fisik artinya kesehatan badan. Jadi tidak wajib haji atas orang sakit, orang yang berpenyakit kronis, orang cacat. Yang dimaksud kesanggupan ini adalah kesanggupan taklif, yaitu terpenuhinya faktor-faktor dan sarana-sarana untuk mencapai tanah suci, dan termasuk diantara faktor-faktor tersebut adalah badan tidak mengalami cacat/penyakit yang menghalangi pelaksanaan hal-hal yang diperlukan dalam perjalanan haji.
Kesanggupan finansial adalah memiliki bekal dan kendaraan. Yakni, mampu menanggung biaya pulang pergi serta punya kendaraan, yang merupakan kelebihan dari biaya tempat tinggal serta keperluan-keperluan lain.
Ibadah haji diwajibkan kepada setiap muslim dan muslimat. Tetapi ada syarat-syarat tambahan yang harus dipenuhi jika yang menunaikannya adalah wanita yaitu adanya seorang muhrim yang mendampinginya, karena wanita tidak boleh melakukan perjalanan haji dan perjalanan lainnya tanpa didampingi oleh seorang muhrim.
Kewajiban haji baru terletak diatas pundak setiap muslim sesuai dengan yang diperintahkan Allah SWT bila telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan. Disamping syarat umum untuk dipikulkan kewajiban kepada seseorang, yaitu Islam, telah terpenuhi syarat kesanggupan atau istita’ah.
Ringkasannya, syarat-syarat wajib haji ialah Islam, baligh, berakal, merdeka dan sanggup mengerjakannya. Bagi orang-orang yang tidak terdapat padanya syarat-syarat tersebut ini, tidaklah diwajibkan ibadah haji. Dan dengan semikian syarat-syarat ini menjadi wajiblah seseorang melaksanakan ibadah haji.
Rukun dan Wajib Haji
Rukun dan wajib adalah dua istilah yang digunakan oleh semua ulama fiqh hanya dalam ibadah haji. Keduanya sama-sama mesti dikerjakan. Namun ada perbedaan diantara keduanya, meskipun dalam banyak hal keduanya adalah sama. Rukun dalam haji adalah sesuatu yang sama sekali tidak boleh tertinggal dalam arti bila salah satu rukun yang ditentukan tertinggal, hajinya batal dan oleh karenanya harus diulang kembali tahun berikutnya. Wajib adalah perbuatan yang mesti dilakukan, namum bila satu diantaranya tertinggal tidak membawa kepada batalnya haji itu, hanya diwajibkan melakukan perbuatan lain sebagai penggantinya.
Yang menjadi dasar hukum itu adalah dalil yang kuat dari al-Qur’an atau hadits Mutawatir, sedangkan dasar hukum dari yang wajib itu hanyalah dalil yang tidak kuat seperti hadits ahad.
Rukun-rukun yang tidak sah haji kecuali dengan mengerjakannya, ada lima: Ihram, Thawaf, Sa’i (setelah thawaf), wukuf di padang ‘Arafah dan bercukur.
Adapun hal-hal yang wajib (yakni yang apabila tidak dikerjakan dapat dan harus diganti dengan dam ) ada enam:
-
Ihram dari miqat (tempat yang ditentukan untuk memulai haji). Maka barang siapa melampaui miqat tanpa ber-ihram, diwajibkan membayar dam (denda) seekor domba.
-
Melempar Jumroh. Barangsiapa tidak melakukannya, diwajibkan membayar dam , seekor domba.
-
Meneruskan wukuf di ‘Arafah sampai setelah matahari terbenam.
-
Menginap (mabit) di Muzdalifah.
-
Menginap (mabit) di Mina.
-
Thawaf wada’ (thawaf peerpisahan sebelum meninggalkan Makkah).
Meninggalkan keempat hal terakhir wajib membayar dam, menurut suatu pendapat, tetapi dalam pendapat lainnya hanya dianjurkan saja (tidak wajib).41
Namun didalam kitab lain disebutkan ada 4 rukun haji yang paling utama yaitu:
-
Ihram
Yang dimaksud dengan ihram itu ialah kesengajaan haji yang diiringi dengan perbuatan untuk mengerjakan rangkaian ibadah haji dari awal sampai akhir. Dalam ibadah lainnya disebut niat.
-
Wuquf
Yaitu berada dalam waktu tertentu di ‘Arafah, yaitu suatu tempat di luar Makkah, yang menurut riwayatnya tempat bertemu Adam dan Hawa di bumi setelah keduanya disuruh keluar dari surga. Wuquf di ‘Arafah itu berlaku pada setiap tanggal 9 Zulhijjah, mulai dari tergelincir matahari sampai terbenam matahari.
Kewajiban wuquf di Arafah ini pernah disinggung sepintas oleh Allah dalam firman-Nya pada surat Al-Baqarah ayat 198:
“Maka apabila kamu telah bertolak dari 'Arafat, berdzikirlah kepada Allah di Masy’arilharam.
-
Tawaf Ifadhah
Yaitu berjalan cepat di sekililing ka’bah sebanyak tujuh kali. Kewajiban tawaf ini didasarkan pada firman Allah dalam surat Al- Baqarah ayat 158 yang berbunyi:
“Maka Barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber- 'umrah, Maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya. dan Barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikandengan kerelaan hati, Maka Sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha mengetahui.”
-
Sa’i
Yaitu berjalan cepat dari bukit Shafa ke bukit Marwah bolak balik selama 7 kali dan dimulai dari bukit Shafa. Dasar kewajiban sa’i itu adalah firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 158, yang merupakan pangkal dari ayat yang dikutip atas yang berbunyi:
“Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebahagian dari syi’ar Allah”
Haji ialah salah satu rukun Islam, dan haji hukumnya wajib berdasarkan ijma’. Ia merupakan rukun Islam yang diwajibkan melaksanakannya sekali seumur hidup. Kedudukan haji ini sama persis dengan shalat, puasa, dan zakat. Orang yang mengingkarinya berarti telah keluar dari agama Islam berdasarkan kitab, sunnah, dan ijmak. Dengan demikian wajibnya haji bukanlah tempat ijtihad atau taklid, sebab dia termasuk badihiyat (hal-hal yang sangat jelas).
Dasar wajibnya haji adalah beberapa firman Allah yang menuntut untuk melaksanakan ibadah haji itu yaitu terletak pada surat Ali Imran, 97:
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang yang sanggup Mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam”. (Q.S. Ali Imran:97)
Para ulama sepakat bahwa haji tidak perlu dilakukan berkali-kali. Haji diwajibkan hanya satu kali selama hidup, kecuali jika sebelumnya diawali dengan nazar , maka hukum untuk melakukan haji adalah wajib (meskipun untuk yang kedua kalinya). Sementara haji yang dilakukan lebih dari satu kali, maka hajinya besifat sunnah. Abu Hurairah berkata:
Rasulullah SAW menyampaikan khutbah kepada kami seraya bersabda:
“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah SWT telah menetapkan kepada kalian kewajiban haji, maka berhajilah kalian.”
Seseorang bertanya kepada beliau, “Apakah setiap tahun wahai Rasulullah?”
Rasulullah SAW terdiam sesaat lalu mengulangi perkataan yang telah beliau ucapkan sebelumnya sampai tiga kali. Setelah itu, beliau bersabda,
“Biarkan, apa yang telah aku sampaikan kepada kalian. Sesungguhnya umat sebelum kalian hancur karena seringnya mereka mengajukan pertanyaan dan perselisihan diantara mereka dengan Nabinya. Jika aku memerintahkan sesuatu kepada kalian, maka kerjakanlah sesuai kemampuan kalian dan jika aku melarang sesuatu kepada kalian, maka jauhilah larangan tersebut. (HR Bukhari dan Muslim).
Syafi’i, Tsauri, Auza’i dan Muhammad bin Hasan berpendapat bahwa haji merupakan suatu kewajiban yang pelaksanaannya boleh ditunda. Dengan kata lain, haji boleh dilakukan kapan saja selama umur manusia. Orang yang mengakhirkan haji tidak berdosa selama ia telah melaksanakannya sebelum meninggal dunia.
Rasulullah SAW mengakhirkan haji hingga tahun kesepuluh Hijriyah. Ketika itu beliau bersama dengan istri-istri beliau dan para sahabat, padahal haji telah diwajibkan pada tahun keenam Hijriyah. Jika haji wajib dilakukan secara langsung ketika seseorang telah mampu, maka Rasulullah SAW tidak mengakhirkan ibadah hajinya.
Syafii’i mengatakan, “ Dengan begitu kami ber-istidlal bahwa haji wajib dilakukan sekali seumur hidup. Batas awalnya adalah ketika seseorang baligh dan batas akhirnya adalah ketika wafat.”
Menurut Abu Hanifah, Malik, Ahmad, sebagai pengikut Syafi’i dan Abu Yusuf, kita wajib untuk segera melaksanakan haji ketika syarat- syaratnya telah terpenuhi, karena Ibnu Abbas r.a. meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Barang siapa hendak menunaikan haji, hendaklah dilakukannya dengan segera, karena mungkin diantaramu ada yang sakit, hilang kendaraannya atau ada keperluan lainnya”.(Riwayat Ahmad, Baihaqi, Thahawi dan Ibnu Majah).
Referensi
- Imam Syafi’i Abu Abdullah Muhammad bin Idris, Mukhtashar Kitab al Umm Fil Fiqhi , (Jakarta: Putaka Azam, 2004)
- Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah 5 , (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2009)
- Shalaih bin Fauzan bin Abdullah Ali Fauzan, Ringkasan Fikih Syaikh Al Fauzan , (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006)
- Hasbi Ash- Shiddieqy, Pedoman Haji , (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1994)
- Abu Hamid Al-Ghazali, Rahasia Haji dan Umroh , (Bandung, Karisma. 1993)
- Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh al- Imam Ja’far al-Shadiq , (Jakarta: Lentera Basritama, 1996)