Apa saja syarat dan rukun untuk menjadi imam sholat berjamaah?

Imam Sholat

Apa saja syarat dan rukun untuk menjadi imam sholat berjamaah?

Syarat -Syarat untuk menjadi seorang imam shalat yang layak telah ditetapkan oleh para ulama berdasarkan nash-nash Al-Quran dan As-Sunnah sebagai berikut:

1. Muslim.

2. Akil.

Orang gila dan tidak waras tidak syah bila menjadi imam.

3. Baligh.

Jumhur ulama termasuk di antaranya Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah dan Al-Hambali sepakat bahwa anak kecil yang belum baligh tidak sah bila menjadi imam shalat fardhu di depan jamaah yang sudah baligh. Hal itu berdasarkan hadits Nabi SAW.

“Janganlah kalian jadikan anak kecil sebagai imam shalat.”

Namun bila shalat itu hanyalah shalat sunnah seperti tarawih, bolehlah anak kecil yang baru mumayyiz tapi belum baligh untuk menjadi imam shalat tersebut. Kecuali pendapat terpilih dari kalangan Al-Hanafiyah yang bersikeras tentang tidak syahnya anak kecil yang belum baligh untuk menjadi imam dalam shalat apapun.

4. Laki-laki.

Seorang wanita tidak sah bila menjadi imam shalat buat laki-laki menurut jumhurul ulama. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW,

“Dan tempatkan mereka di belakang sebagaimana Allah SWT menempatkan mereka.” Dan juga berdasarkan hadits dari Jabir yang hukumnya marfu’, “Janganlah seorang wanita menjadi imam buat laki-laki.”

5. Mampu membaca Al-Quran dengan fasih.

Syarat ini berlaku manakala ada di antara makmum yang fasih membaca Al-Quran. Maka seharusnya yang menjadi imam adalah orang yang paling baik bacaannya. Sebab imam itu harus menanggung bacaan dari para makmum, sehingga bila bacaan imam rusak atau cacat, maka cacatlah seluruhnya.

6. Selamat dari Uzur.

Seperti luka yang darahnya masih mengalir, atau penyakit mudah keluar kencing (salasil baul), mudah buang angin (kentut). Sebab orang yang menderita hal-hal seperti di atas pada hakikatnya tidak memenuhi syarat suci dari hadats kecuali karena ada sifat kedaruratan saja. Ini adalah pendapat dari kalangan Al-Hanafiyah dan Al-Hanabilah serta sebagian dari riwayat As-syafi’iyah. Adapun mazhab Al-Malikiyah dan sebagian riwayat dari As-syafi’iyah tidak menjadikan masalah ini sebagai syarat bagi seorang imam shalat.

7. Mampu melaksanakan rukun-rukun shalat dengan sempurna.

Seseorang yang tidak mampu shalat dengan berdiri, dia boleh shalat sambil duduk, namun tidak syah bila menjadi imam untuk makmum yang shalat sambil berdiri karena mampu. Ini adalah pendapat jumhur ulama kecuali As-syafi’iyah.

Selamat dari kehilangan satu syarat dari syarat-syarat shalat. Misalnya kesucian dari hadats dan khabats. Maka tidak syah shalat seorang makmum yang melihat bahwa imamnya batal atau terkena najis saat menjadi imam. Apa yang kami sebutkan di atas adalah syarat minimal yang harus ada untuk seorang imam shalat jamaah.

Para ulama telah berhasil membuat peringkat yang paling berhak untuk menjadi imam dalam shalat. Misalnya dalam madzhab Al-Hanafiyah disebutkan peringkat itu yaitu:

1. Orang Yang Paling Baik Bacaannya

Di antara syarat yang paling utama untuk menjadi imam dalam shalat berjama’ah adalah orang yang paling baik bacaannya atau disebut dengan aqra’uhum. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits beliau:
Dari Abi Mas’ud Al-Anshari bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Yang menjadi imam shalat bagi manusia adalah yang paling baik bacaan kitabullahnya (Al-Quran Al-Karim). Bila mereka semua sama kemampuannya dalam membaca Al-Quran, maka yang paling banyak pengetahuannya terhadap sunnah” (HR. Jama’ah kecuali Bukhari)

Dari Abu Masna Al-Badri, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Jama’ah di imami oleh yang lebih pandai membaca Kitab Allah. Jika sama-sama pandai dalam membaca Kitab Allah, maka oleh yang lebih alim tentang sunnah. Jika sama-sama pula, maka oleh yang lebih tua.” (HR. Muslim dan Abu Dawud)

Sebagian ulama menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan aqra’uhum adalah yang paling paham, yakni yang paling paham dalam masalah agama, terutama dalam masalah shalat.

2. Orang Yang Paling Wara’

Lalu peringkat berikutnya adalah orang yang paling wara’, yaitu orang yang paling menjaga dirinya agar tidak jatuh dalam masalah syubhat

Dari Abi Martsad Al-ghanawi bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Rahasia diterimanya shalat kamu adalah yang jadi imam (seharusnya) ulama di antara kalian. Karena para ulama itu merupakan wakil kalian kepada Tuhan kalian.” (HR. At-Thabrani dan Al-Hakim).

Dari Ibnu Umar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Jadikanlah orang-orang yang terpilih di antara kamu sebagai imam; karena mereka adalah orang-orang perantaraan kamu dengan Tuhanmu.” (HR. Ad-Daruqutni).

“Apabila seseorang menjadi imam …, padahal di belakangnya ada orang-orang yang lebih utama daripadanya, maka semua mereka dalam kerendahan terus menerus.” (HR. Ahmad)

3. Orang Yang Lebih Tua Usianya

Peringkat berikutnya adalah yang lebih tua usianya. Dengan pertimbangan bahwa orang yang lebih tua umumnya lebih khusyu` dalam shalatnya. Selain itu memang ada dasar hadits berikut:

Hendaklah yang lebih tua diantara kalian berdua yang menjadi imam (HR. Imam yang enam).

Apabila derajat mereka semua sama, maka boleh dilakukan undian.
Intinya kita dapat ambil bahwa syarat yang paling utama dari imam itu adalah yang paling baik bacaannya dan paling paham dalam hukum-hukum shalat.

4. Hal-Hal Lain Yang Perlu Diperhatikan

  • Pembesar Negara & Tuan Rumah

    Imam bagi pembesar-pembesar negara (apabila shalat bersama-sama mereka) & tuan rumah (kecuali jika ia idzinkan yang lain sebagai imam).

    Dari Ibnu Mas’ud, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

    “Janganlah seseorang mengimami seseorang di dalam rumah tangga orang yang di imami itu dan di dalam pemerintahannya.” (HR. Muslim, hadits shahih)

  • Kaum Yang Tidak Menyukai Kita

    Janganlah mengimami suatu kaum yang tidak menyukai kita. Dari Abu Amir Ibnu Ash, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

    “Janganlah engkau mengimami suatu kaum, sedangkan mereka membencimu.” (HR. Abu Dawud).

Sumber : Adab-Adab Imam Dalam Shalat Berjama’ah | Almanhaj

Menunjuk imam adalah sebuah kewajiban syar’i dan termasuk hal-hal yang wajib menurut kesepakatan ulama. Disyaratkan seorang imam itu haruslah seorang muslim, merdeka, laki-laki, berakal, baligh, mampu, dan berasal dari suku Quraisy. Imam akan sah diangkat oleh salah satu dari tiga yaitu, atas pilihan ahlul hall al 'aqd (majelis pemberi keputusan dan ketentuan), warisan (imam karena wasiat), penguasaan dan paksaan karena darurat tanpa baiat dari ahlul hall al 'aqd.

Sifat-sifat Imam yang disyaratkan (harus ada) dalam diri seorang imam ada empat perkara, yaitu:

  • Tidak berhadats kecil dan besar.

  • Tidak ada najis di bajunya atau badanya (najis yang tidak dimaafkan).

  • Tidak meninggalkan tuma’ninah (ukuran tuma’ninah ukuran membaca tasbih).

  • Tidak meninggalkan bacaan fatihah (imam hafal fatihah).

Wahbah Az Zuhaili menuliskan dalam karyanya yang berjudul Fiqhul Islam Wa Adillatuhu, kepemimpinan seorang imam itu akan sah karena syarat-syarat sebagai berikut:

  • Islam. Tidak sah bila imam itu orang kafir, Imam Syafi’i berpendapat, jika diketahui dengan jelas bahwa seorang imam itu kafir atau dari jenis perempuan maka wajib untuk mengulangi salat.

  • Berakal. Tidak sah salat yang dilakukan di belakang seorang yang gila. Karena salat orang gila sendiri tidak sah. Jika keadaan gilanya itu kadang-kadang maka sah salat yang dilakukan di belakangnya pada saat ia sadar, namun tetap saja di makruhkan untuk mengikutinya agar salat kita terhindar dari ketidaksahan pada saat melakukanya. Orang linglung dan mabuk dihukumi seperti orang gila, tidak sah salat yang dilakukan di belakang mereka berdua, sebagaimana tidak sah salat mereka juga.

  • Baligh. Imam Syafi’i berpendapat, orang dewasa boleh mengikuti anak kecil yang mumayyiz .

  • Benar-benar laki-laki jika orang yang mengikutinya (makmum) dari jenis laki-laki ataupun waria. Tidak sah kepemimpinan salat seorang wanita ataupun waria kepada laki-laki, baik dalam salat fardhu ataupun salat sunah. Sedangkan jika makmumnya adalah kaum wanita maka tidak disyaratkan imamnya harus laki-laki, menurut mayoritas ulama. Karena itu, sah saja kepemimpinan salat seorang wanita untuk sesama kaum wanita, menurut mereka. Berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari Aisyah, Ummu Salamah, dan Atha, bahwa seorang wanita pernah mengimami kaum wanita. Ad Daruquthni juga meriwayatkan dari Ummu Waraqah, bahwa Nabi Saw telah mengizinkannya untuk mengimami para wanita di rumahnya. Menurut Imam Syafi’i, tidak dimakruhkan salat berjamaah khusus kaum wanita. Bahkan disunahkan dan berada di tengah-tengah mereka.

  • Suci dari hadas kecil dan besar. Menurut mayoritas ulama, tidak sah salatnya imam yang berhadas atau orang yang memiliki najis karena dapat membatalkan salat, baik ia mengetahui ataukah lupa akan adanya najis tersebut. Imam Syafi’i berpendapat, tidak sah mengikuti orang yang harus mengulang salatnya, seperti kasus orang yang tidak berpergian lalu bertayamum karena tidak adanya air, atau orang yang di badanya ada najis dan takut untuk mencucinya, ataupun orang yang berhadas lalu salat karena tidak adanya wudhu atau tayamum.

  • Memiliki bacaan yang bagus dan mengetahui rukun-rukun salat. Dengan kata lain hendaknya seorang imam itu pandai membaca Alquran, karena salat tidak akan sah tanpanya. Juga hendaknya imam menerapkan rukun-rukun salat.

  • Pada saat imam memimpin salat, ia sedang tidak menjadi makmum. Tidak sah mengikuti orang yang sedang menjadi makmum kepada orang lain pada saat ia mampu. Karena ia sedang mengikuti orang lain yang dapat menularkan kesalahanya. Sudah menjadi kewajiban bagi seorang imam untuk mandiri (tidak mengikuti orang lain), namun jika sendiri sedang menanggung kelalaian orang lain maka tidak akan berkumpul. ini sudah menjadi keputusan ijma. mengenai permasalahan mengikuti orang yang telah mengikuti imam, yaitu orang yang diikuti menjadi makmum masbuq setelah selesai mengikuti imam maka Imam Syafi’i berpendapat mengikuti imam akan terputus setelah imam keluar atau selesai dari salatnya, baik setelah mengucapkan salam, berhadas, atau sebab lainya, karena ikatan yang terjalin antara imam dan makmum akan terputus. Pada saat seperti itu, seseorang harus sujud sahwi untuk dirinya, lalu ia boleh mengikuti imam lainya, ataupun diikuti oleh orang lain.

Selain itu, sifat-sifat yang disunnahkan (dianjurkan) bagi seorang imam dalam salat ada enam perkara, yaitu:

  • Faqih, faham ilmu agama

  • Qira’ah, banyak hafalan dan menurut imam subki yang bagus bacaanya

  • Wara, mempunyai sifat wara, hati-hati dalam mengamalkan agama

  • Sinnun, umur lebih tua

  • Nasab, keturunan mulia

  • Hijrah, yang melakukan hijrah dengan nabi, sekarang sudah tidak ada.

Menurut mazhab Syafi’i orang yang paling berhak menjadi imam adalah pemilik di daerahnya sendiri. Berdasarkan sabda Nabi Saw:

Janganlah seseorang itu mengimami orang lain di daerahnya atau juga ketika sedang bertamu di rumahnya, kecuali atas izinya. (Dikeluarkan oleh Muslim, Dari Abi Mas’ud Al Anshari r.a)

Syaukani berkata, “Secara teks, maksud dari hadis diatas adalah sultan yang bertanggung jawab atas urusan orang, bukan pemilik rumah atau lainya, maka sultan harus didahulukan ataupun orang lain meski berada di daerah milik orang lain. Ataupun, jika orang lain itu lebih banyak hafalan Alquranya, lebih banyak fikih, wara’ , dan keutamaanya maka tetap saja penguasa di daerah kekuasaanya lebih berhak menjadi imam daripada orang yang lebih pandai ataupun pemilik.

Berikutnya adalah imam tetap, lalu orang yang benar-benar tinggal di tempat itu, jika ia memang pemiliknya. Pemilik manfaat lebih berhak menjadi imam daripada orang yang lebih pandai sekalipun. Kemudian menurut pendapat yang lebih benar, mendahulukan orang yang menyewakan daripada penyewa, orang yang meminjamkan daripada meminjam. Jika orang itu bukan pemiliknya, ia tetap berhak didahulukan.

Mengenai permasalahan siapakah yang lebih didahulukan antara imam yang afqah (lebih faham fikih) dengan yang aqra’ (lebih bagus bacaanya), dalam kitab Mukhtashar Muzanni Mazhab mengatakan bahwa yang lebih didahulukan adalah orang yang afqah daripada aqra’ , orang yang aqra ’ belum memadai jikalau ia tidak afqah. Begitu juga dengan pendapatnya Imam Nawawi dalam kitab Minhaj At- Thalibin wa 'umdah Al-Matiin yang mengatakan bahwa yang didahulukan menjadi imam adalah afqoh dari pada aqro '.

Selanjutnya mendahulukan orang yang lebih pandai, lebih bagus bacaanya, lebih wara , lalu orang yang lebih dahulu hijrah, lebih dahulu masuk Islam, lebih baik nasabnya, lebih baik riwayat hidupnya, lebih bersih bajunya, lebih bersih badanya, lebih baik perangainya, lalu lebih indah suaranya. Lantas, orang yang lebih ganteng, lalu orang yang sudah menikah.

Jika semua orang yang hadir saat itu sama dalam semua hal yang telah disebutkan dan mereka masih bertikai maka diundi diantara mereka.

Beberapa panduan dalam memilih imam sholat adalah sebagai berikut :

  • Orang yang lebih adil berhak menjadi imam daripada orang yang fasik, meskipun orang fasik itu lebih pandai dan lebih bagus bacaan Alquranya.

  • Orang dewasa lebih berhak daripada anak kecil lebih pandai dan lebih bagus bacaan Alquranya.

  • Orang merdeka lebih berhak daripada budak, orang yang tinggal lebih berhak daripada orang musafir, dan anak halal lebih berhak daripada anak zina.

  • Orang buta sama kedudukanya dengan orang yang melihat, karena orang buta tidak melihat hal-hal yang dapat menyibukkanya dan dia bisa lebih khusyu, sedangkan orang yang melihat dapat melihat kepada hal-hal yang buruk dan ia lebih bisa menghindarinya.

  • Orang yang lebih memahami fikih lebih berhak daripada orang yang bagus bacaan Alquranya

  • Orang yang lebih memahami fikih atau lebih bagus bacaan Alquranya lebih didahulukan menjadi imam daripada orang yang lebih baik keturunanya, orang yang lebih dahulu masuk Islam, dan orang yang lebih dahulu hijrah.

  • Jika didapati diantara mereka sama-sama memiliki sifat yang sudah disebutkan diatas maka yang lebih didahulukan adalah orang yang lebih bersih pakaian dan badanya, yang lebih baik pekerjaanya, yang lebih bagus suaranya, dan yang memiliki kelebihan lainya.

Referensi :

  • Ibn Manzhur, Lisan Al-Arab , Baerut: Dar al-Fikr, 1976
  • Asep Usman Ismail dkk, , Manajemen Masjid, (Bandung: Angkasa, 2010)
  • Wahbah Al-Zuhayli, Fiqhul Islam Wa Adillatuhu , terj. Abdul Hayyie al-Kattani dkk, Jilid II (Jakarta: Gema Insani, 2010 )
  • Muhammad Bin Umar Nawawi Al Jawi, Mirqotu Shu’udi At Tashdiq Syarah Sullam At Taufiq Ila Mahabbatillah 'Ala At Tahqiq, (Birut: Dar Al Kutub Al 'Ilmiyah, 1971)
  • Abdullah bin Abdurrahman bin Abdillah Al Jibrin, Ibhajul Mu minin bi Syarh Manhajus Salikin , cet. ke-4 (t.t. Madarul Wathon, 2008)
  • Imam Abi Ibrahim bin Yahya, Mukhtashar Muzanni fi furu’ asy-yah , (Beurut: Dar-Al- Kutub, 1998)
  • Imam Nawawi, Minhaju At-Thalibiin wa 'umdah Al-Matiin , (Beurut: Dar- Al-Minhaj, 2005)

1. Orang Yang Paling Baik Bacaannya

Di antara syarat yang paling utama untuk menjadi imam dalam shalat berjama’ah adalah orang yang paling baik bacaannya atau disebut dengan aqra’uhum. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits beliau:

Dari Abi Mas’ud Al-Anshari bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Yang menjadi imam shalat bagi manusia adalah yang paling baik bacaan kitabullahnya (Al-Quran Al-Karim). Bila mereka semua sama kemampuannya dalam membaca Al-Quran, maka yang paling banyak pengetahuannya terhadap sunnah” (HR. Jama’ah kecuali Bukhari)

2. Orang Yang Paling Wara’

Lalu peringkat berikutnya adalah orang yang paling wara’, yaitu orang yang paling menjaga dirinya agar tidak jatuh dalam masalah syubhat
Dari Abi Martsad Al-ghanawi bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Rahasia diterimanya shalat kamu adalah yang jadi imam (seharusnya) ulama di antara kalian. Karena para ulama itu merupakan wakil kalian kepada Tuhan kalian.” (HR. At-Thabrani dan Al-Hakim).

3. Orang Yang Lebih Tua Usianya

Peringkat berikutnya adalah yang lebih tua usianya. Dengan pertimbangan bahwa orang yang lebih tua umumnya lebih khusyu` dalam shalatnya. Selain itu memang ada dasar hadits berikut:

Hendaklah yang lebih tua diantara kalian berdua yang menjadi imam (HR. Imam yang enam).

Sumber : Kriteria Imam dalam Shalat Berjamaah - Mustofa Abi Hamid's Blog