Apa saja sumber-sumber Hukum Internasional?

Hukum internasional adalah hukum bangsa-bangsa, hukum antarbangsa atau hukum antarnegara. Hukum bangsa-bangsa dipergunakan untuk menunjukkan pada kebiasaan dan aturan hukum yang berlaku dalam hubungan antara raja-raja zaman dahulu.

Hukum antarbangsa atau hukum antarnegara menunjukkan pada kompleks kaedah dan asas yang mengatur hubungan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa atau negara.

Menurut Statuta Mahkamah Internasional (International Court of Justice) pasal 38, ayat 1, dinyatakan bahwa tata urutan sumber-sumber material hukum internasional, yaitu :

  1. Traktat-traktat dan konvensi-konvensi
  2. Kebiasaan internasional
  3. Prinsip-prinsip umum hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab
  4. Keputusan-keputusan yudisial dan opini-opini hukum, sebagai alat tambahan bagi penetapan kaidah hukum.

Dalam Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional tidak memasukkan keputusan-keputusan badan arbitrasi sebagai sumber hukum internasional karena dalam prakteknya penyelesaian sengketa melalui badan arbitrasi hanya merupakan pilihan hukum dan kesepakatan para pihak dalam perjanjian.

Dilain pihak, prinsip- prinsip umum hukum dimasukkan kedalam Pasal 38 tersebut sebagai sumber hukum, sebagai upaya memberikan wewenang kepada Mahkamah Internasional untuk membentuk kaidah-kaidah hukum baru apabila ternyata sumber-sumber hukum lainnya tidak dapat membantu Mahkamah dalam menyelesaikan suatu sengketa.

Prinsip-prinsip umum tersebut harus digunakan secara analog dan diperoleh dengan jalan memilih konsep-konsep umum yang berlaku bagi semua sistem hukum nasional (Mauna, 2005:8-9).

Hukum internasional diakui sebagai pedoman global dalam mengatur tingkah laku dan perbuatan negara-negara, organisasi-organisasi internasional dan sejenisnya, secara tegas menyandarkan pada sumber hukum internasional Pasal 38 Statuta International Court of Justice (ICJ).

Ayat (1) pengadilan yang fungsinya memutus berbagai sengketa harus mengacu dan menerapkan pada sumber hukum berikut:

(a). konvensi internasional, apakah bersifat umum atau khusus, menetapkan aturan-aturan yang diakui oleh Negara-negara pihak. (international conventions, whether general or particular establishing rules expressly recognized by the contesting state:

(b) kebiasaan internasional sebagai bukti adanya praktek umum yang diteroima sebagai hukum (international custom as evidence of general practice accepted as law;

( c) prinsip-prinsip umum hukum yang diakui Negara-negara beradap (general principles recognized by civilized nations;

(d) keputusan-keputusan pengadilan (pasal 59), dan ajaran ahli-ahli hukum internasional yang memiliki kelayakan dan publikasi luas dari berbagai Negara, sebagai alat pelengkap untuk menentukan hukum internasional.

1. Perjanjian internasional (International Treaty)

Perjanjian internasional (International Treaty) adalah persetujuan antara dua atau lebih negara dalam bentuk tertulis, diatur sesuai dengan prinsip-prinsip hukum internasional. Secara umum perjanjian internasional dikelompokan menjadi dua, yaitu

  • Perjanjian Multilateral yaitu sebuah persetujuan yang disepakati oleh lebih dari dua negara.
  • Ketika perjanjian ini merupakan cerminan dari pendapat masyarakat internasional pada umumnya, maka perjanjian tersebut bisa menjadi apa yang disebut dengan traktat yang membuat hukum (Law-Making Treaty). Traktat yang membuat Hukum. Perjanjian ini menciptakan norma umum hukum yang akan dipakai oleh masyarakat internasional sebagai prinsip utama di masa mendatang guna menyelesaikan suatu perkara di antara mereka.

Perjanjian Internasional dapat berfungsi sebagai bukti adanya kebiasaan internasional ketik ada beberapa perjanjian bilateral terhadap kasus yang serupa yang memakai prinsip-prinsip yang sama atau ketentuan-ketentuan yang serupa sehingga bisa menimbulkan akibat hukum yang sama.

Sebuah perjanjian yang ditandatangani oleh beberapa negara bisa menjadi sebuah kebiasaan jika aturan yang disepakati merupakan generalisasi dari praktek negara-negara dan persyaratan bahwa hal tersebut dianggap sebagai sebuah hukum dapat dipenuhi.

Sebuah perjanjian yang ditandatangani beberapa negara yang merupakan hasil kodifikasi dari beberapa prinsip dalam kebiasaan internasional dan secara konsekuen telah mengikat pihak-pihak yang tidak terlibat dalam perjanjian tersebut.

2. Kebiasaan Internasional (customary law)

Kebiasaan Internasional (customary law) sebagai praktek yang diterima oleh Negara-negara sebagai hukum, memiliki dua elemen yang harus terpenuhi untuk bisa digunakan sebagai sumber hukum internasional. Unsur-unsur yang dilihat dalam praktek negara adalah seberapa lama hal itu sudah dilakukan secara terus menerus (duration and continuation), keseragaman atau kesamaan dari praktek tersebut dalam berbagai kesempatan dan berbagai pihak yang terlibat (uniformity) serta kadar kebiasaan yang dimunculkan oleh tindakan tersebut (generality).

Dari pendekatan psikologis, dikemukakan dalil, Opinio Juris sive Necessitatis.

Ini adalah pengakuan subyektif dari negara-negara yang memberlakukan kebiasaan internasional tertentu dan kehendak untuk mematuhi kebiasaan internasional, sebagai sebuah aturan hukum yang memberikan hak dan kewajiban bagi negara-negara tersebut.

Bukti keberadaan sebuah kebiasaan internasional ialah: Korespondensi Diplomatik, pernyataan kebijakan, siaran pers, pendapat dari pejabat yang berwenang tentang hukum, keputusan eksekutif dan prakteknya, komentar resmi dari pemerintah tentang rancangan yang dibuat oleh ILC, Undang-undang nasional, keputusan pengadilan nasional, kutipan dalam sebuah perjanjian internasional, praktek lembaga-lembaga internasional, dan resolusi yang dikeluarkan Sidang Umum PBB.

Suatu negara bisa secara terus menerus melakukan penolakan terhadap sebuah kebiasaan internasional (persistent objector). Bukti penolakan tersebut harus jelas.9 Namun demikian, suatu negara yang diam saja ketika proses pembentukan kebiasaan internasional berlangsung tidak dapat menghindar dari pemberlakuan kebiasaan tersebut terhadapnya. Suatu kebiasaan internasional bisa saja “exist” di wilayah tertentu saja, misal antar dua negara atau regional saja.

3. Prinsip-Prinsip Hukum Umum diakui oleh Negara-negara beradap

Prinsip-Prinsip Hukum Umum diakui oleh Negara-negara beradap (General Principle of Law recognized by civilized states), Sumber hukum ini digunakan ketika perjanjian internasional dan kebiasaan yang ditemukan tidak kuat dipakai sebagai dasar untuk memutuskan suatu perkara.

Hal ini penting dijadikan rujukan agar pengadilan tidak berhenti begitu saja ketika tidak ada aturan yang mengatur (non liquet). Namun, sampai saat ini belum terlalu jelas apakah yang dimaksud sebagai prinsip hukum hanya yang telah diakui oleh msayarakat internasional ataukah prinsip hukum nasional tertentu saja sudah cukup.

Prinsip hukum umum seringkali berguna dan berfungsi sebagai keterangan untuk menginterpretasikan sebuah kebiasaan atau perjanjian internasional. Hal ini terutama ditemukan dalam naskah persiapan suatu perjanjian internasional.

Prinsip-prinsip yang pernah digunakan oleh Mahkamah Internasional antara lain adalah:

  • Good Faith, adalah bahwa perjanjian yang mengikat para pihak harus dilaksanakan dengan itikad baik;

  • Estoppel, adalah bahwa apabila suatu pihak memberikan pernyataan dan pihak lainnya mengambil suatu tindakan yang berkaitan dengan pernyataan pihak pertama, maka pihak pertama tidak diperbolehkan untuk menarik pernyataan yang telah dikeluarkannya, hal ini timbul disebabkan karena kerugian bagi pihak kedua;

  • Res Judicata, dimaksudkan bahwa putusan hakim harus dianggap benar sampai memperoleh kekuatan hukum tetap atau diputus lain oleh pengadilan yang lebih tinggi;

  • Dalam menyelesaikan suatu sengketa internasional, para pihak dapat menggunakan pembuktian tidak langsung (circumstantial evidence);

  • Equity, adalah mekanisme untuk menyelesaikan persoalan yang seharusnya diisyaratkan oleh hukum; (f) Pacta Sunt Servanda, adalah bahwa perjanjian internasional mempunyai kekuatan mengikat dan harus ditepati oleh para pihak, dan;

  • Effective occupation, adalah prinsip terkait penguasaan atau pendudukan suatu wilayah oleh suatu negara secara efektif, dimana wilayah tersebut tidak dikuasai oleh negara lain atau tidak ditelantarkan oleh penguasa sebelumnya.

4. Keputusan Pengadilan, Ajaran Para Ahli, dan Keputusan Badan Internasional

Keputusan Pengadilan, Ajaran Para Ahli, dan Keputusan Badan Internasional, Keputusan Pengadilan Pasal 59 Statuta Mahkamah Internasional menegaskan bahwa

“the decision of the Court shall have no binding effect except between the parties and in respect of that particular case”.

Konsekuensinya: Mahkamah tidak mengakui prinsip Preseden dan keputusan sebelumnya tidak mengikat secara teknis. Tujuannya adalah bahwa mencegah sebuah prinsip yang sudah dipakai Mahkamah, dalam putusannya digunakan untuk negara lain atas kasus yang berbeda.

Keputusan Mahkamah bukan merupakan sumber formal dari sumber hukum internasional. Keputusan Peradilan hanya memiliki nilai persuasif. Sementara keputusan peradilan nasional berfungsi sebagai acuan tidak langsung adanya opinio juris terhadap suatu praktek negara tertentu.

Hal yang sama juga berlaku untuk ajaran para ahli hukum internasional. Selain dilihat sebagai sebuah doktrin yang melengkapi interpretasi sebuah perjanjian, kebiasaan maupun prinsip umum hukum, sekaligus juga merupakan buki tidak langsung dari praktek dan opinio juris dari suatu negara.

Sebagai contoh putusan Norwegian fisheries case mengenai batas wilayah laut, putusan pengadilan tersebut menjadi sumber hukum internasional karena penentuan batas wilayah internasional secara sepihak tidak dapat diberlakukan secara efektif, terkecuali ada perselisihan dari Negara tetangganya.

Ajaran para ahli hukum Internasional dalam hukum internasional kontemporer, berfungsi terbatas hanya dalam analisa fakt-fakta, pembentukan pendapat-pendapat dan kesimpulan- kesimpulan yang mengarah kepada terjadinya kecenderungan umum dalam hukum internasional. Tentu saja pendapat dan ajaran-ajaran tersebut bersifat pribadi dan subyektif, namun dengan semakin banyaknya ajaran yang menyetujui akan suatu prinsip tertentu maka bisa dikatakan akan membentuk suatu kebiasaan baru.

Pendapat dari para pejabat di bagian hukum masing-masing negara, tidak bisa dianggap sebagai ajaran para ahli hukum internasional namun justru bisa dilihat sebagai bagian dari praktek negara-negara. Contoh lain, penggunaan prinsip-prinsip “Pre- emptive strike”, atau penangkapan tanpa bukti atau petunjuk bagi teroris sudah jauh diakui.

Sumber hukum yang bersandar pada ahli-ahli hukum yang memiliki reputasi dari berbagai dunia sebagai instrumen pelengkap bagi penentuan peraturan hukum (the rule of law).

Sumber hukum dan para ahli ini digunakan hanya apabila dalam semua sumber tidak mengaturnya. Karena itu, menurut Hugh Thrilway pada saat hakim-hakim di pengadilan tidak memiliki sumber-sumber hukum lain, pengadilan tetap terikat dengan pandangan ahli tersebut.

Namun, jika terdapat suatu perubahan substantif dari pemikir hukum internasional terkait sumber hukum tersebut, pengadilan bisa saja mempertimbangkan pemikiran tersebut ketika piagam tidak memiliki kemampuan untuk mengatur persoalan yang ada.

Dari keempat sumber hukum tersebut, model penerapannya mengenal hirarki dan pengutamaan. Artinya setiap persoalan dan kasus yang timbul pertama harus ditinjau dalam perjanjian internasional. Jika tidak terdapat di dalamnya, maka kebiasaan hukum internasional baru digunakan.

Selain pembagian menurut Statuta ICJ, masih terdapat sumber hukum internasional lainnya.

a. Putusan Organisasi Internasional

Putusan-putusan organisasi internasional dapat menjadi sumber hukum internasional. Organisasi internasional sebagai suatu lembaga, memiliki organ-organ yang terstruktur menurut kebutuhan organisasi itu sendiri dalam rangka mencapai tujuannya.

Supaya semua organ tersebut dapat melaksanakan tugasnya dengan baik dan demi terjalinnya hubungan antar organ- organnya itu, dibutuhkan adanya peraturan yang berfungsi sebagai aturan permainan (rule of procedure) yang berlaku intern bagi organisasi internasional itu sendiri.

Disamping itu ada pula yang berupa kesepakatan-kesepakatan yang mengikat sebagai norma hukum terhadap negara- negara anggotanya. Dan dalam hal tidak memiliki kekuatan mengikat pun resolusi Majelis Umum memiliki nilai-nilai normatif.

b. Equity

Sumber-sumber hukum lainnya yang merupakan perluasan dari sumber yang ada adalah prinsip equity yang termasuk bagian dari kategori prinsip hukum umum. Namun, penggunaan equity bersifat terbatas hanya dalam hal keadaan mendesak yakni dalam hal penggunaan hukum umum untuk mendapat keadilan.

Secara teoritik fungsi equity bisa dibagi menjadi tiga.

  • Pertama, equity dapat digunakan untuk mengadaptasikan ketentuan hukum terhadap fakta-fakta yang terdapat dalam kasus-kasus individual (equity infra legem).

  • Kedua, ditujukan untuk mengisi kekosongan dalam hukum (equity praeter legem).

  • Ketiga, digunakan sebagai dalih untuk tidak diterapkannya sebuah hukum yang tidak adil (equity contra legem).

Akehurst menyatakan bahwa equity bukanlah sumber hukum formal.18 Lebih dekat sebagai nilai-nilai moralitas,kode etik baik bersifat nasional maupun internasional.

Jadi, penggunaan equity adalah demi tercapainya keadilan bagi kedua belah pihak. Dikenalnya equity dalam hukum internasional dinyatakan oleh Hakim Hudson dalam kasus [the] Diversion of the Water from the Meuse sebagai berikut,

‟that under art. 38 of the Statute, if not independently of that article, the Court has some freedom to consider principles of equity as part of international law which it must apply‟.

Sedangkan yang dimaksud dengan equity „adalah mekanisme untuk menyelesaikan persoalan yang seharusnya diisyaratkan oleh hukum‟.

c. Kode Etik dan Moral

Prinsip-prinsip etika dan pertimbangan atas dasar-dasar nilai-nilai kemanusiaan sebenarnya merupakan warisan dari ajaran hukum alam. Nilai atau prinsip etika dan moral universal ini telah berhasil ditanamkan dikalangan masyarakat. Nilai etika dan moral universal ini disamping mengandung universalitas dan kemuliaan, juga bersifat luwes dan abadi.

Dia merupakan nilai yang mendasar dan fundamental. Oleh karena itulah dia berumur relatif lama atau abadi sepanjang zaman. Karena nilai-nilai tersebut luhur, mulia dan agung, maka sifatnya menjadi sangat abstrak dan umum sekali. Nilai-nilai luhur, dan agung inilah yang memancar dan fungsinya adalah menjiwai norma-norma hukum maupun norma-norma lainya, yang secara riil dan nyata berlaku dan mengikat masyarakat internasional.

Agama moralitas dan ideologi selalu muncul dan member pengaruh penting dalam pertumbuhan hukum internasional.

Seiring dengan itu, Mashood a Baderin menegaskan bahwa ajaran agama dalam evolusi
hukum internasional masih tetap relevan.

“The current growing wav of scholarship on religion and international law in strong indicator that religion us still very relevant to the modern evolution and future development of international relation and international law.

d. Hukum Lunak ( Soft Law )

Penggunaan istilah soft law pada dasarnya ditujukan untuk memberikan pembedaan pengertian antara instrumen hukum keras (hard law) yang dibuat dan ditujukan untuk mendapatkan kepatuhan secara paksa terhadap para negara-pesertanya.

Sedangkan hukum lunak atau soft law adalah instrumen hukum yang mengandung norma-norma yang diharapkan suatu saat nanti dapat menjadi bimbingan bagi aktor-aktor internasional tanpa memiliki kekuatan hukum yang memaksa.

Beberapa contoh hukum lunak adalah deklarasi-deklarasi yang dihasilkan suatu organisasi internasional atau regional. Dalam gilirannya hukum kurang mengikat dapat menjadi keras, keadaan ini tercermin pada kedudukan yang dimiliki oleh Deklarasi Universal HAM yang pada saat ini sudah bukan lagi sekedar „deklarasi‟. Melainkan
dalam perkembangan di Millenium ketiga, negara-negara tidak dapat mengabaikan deklarasi HAM.

e. Jus Cogen

Prinsip jus cogen adalah anggapan akan adanya sebuah norma yang memiliki keutamaan dibanding dengan norma-norma lainnya. Dalam hal suatu norma telah memiliki status sebagai jus cogen tidak dimungkinkan untuk mengalami pembatalan atau modifikasi oleh tindakan apapun.

Konsep ini dinyatakan oleh pasal 53 dari the Vienna Convention on the Law of Treaties, yang berbunyi sebagai berikut:

a treaty is void if, at the time of its inclusion, it conflicts with a peremptory norm of general international law. . . . a peremptory norm of general international law is a norm accepted and recognized by the international community of states as a whole as a norm from which no derogation is permitted and which can be modified only by a subsequent norm of general international law having ther same character.’

Dengan kata lain, Jus Cogen sebagai sumber hukum tertinggi tidak dapat dibatalkan oleh suatu kekuatan politik apapun. Persoalan mengenai bagaimana suatu norma dapat mencapai status jus cogen masih bersifat kontroversial.

Akan tetapi, beberapa norma telah menjadi jus cogen seperti genosida, diskriminasi rasial, agresi, penyiksaan, dan perbudakan. Kembali pada persoalan pertama bagaimana untuk mencapai status jus cogen para penulis berbeda pendapat ada yang mengkaitkannya dengan kebiasaan bahkan ketentuan dalam traktat itu sendiri.

Ada pula yang mendasarkan pada prinsip-prinsip hukum umum. Sedangkan ICJ dalam kasus the North Sea Continental Shelf dan kasus Barcelona Traction membedakan antara kewajiban yang dimiliki oleh suatu negara terhadap negara lainnya dan dengan kewajiban terhadap komunitas internasional (erga omnes).

Referensi :

  • Lotus Case (1927) PCIJ reports, Series A, No. 10
  • North Sea Continental Shelf Cases (1969) ICJ Report,
  • Fisheries Jurisdiction (Merits) Case (1974) ICJ Reports, hal 3 dan North Sea Continental Shelf Cases (1969) ICJ Report,
  • Anglo Norwegian Fisheries Case (1951) ICJ Reports,
  • Asylum Case (1950) ICJ Reports, dan The Rights of Passage over Indian Territory Case (1960) ICJ Reports,
  • Kasus Barcelona Traction dalam karya Malcolm D. Evans, 2003,
  • Diversion of Water from the Meuse Case (1937) PCIJ Reports, Series A/B, no 70; Temple of Preah Vihear Case (Merits) (1962) ICJ Reports, hal 6 dan the Corfu Channel Case (Merits) (1949) ICJ Reports
  • Certain German Interest in Polish Upper Silesia Case (1926) PCIJ Reports, Series A, no 7.
  • Jawahir Thontowi, Terorisme Negara dan kerjasama men islam fundamentalis. Yogyakarta. UII press 2013.
  • Michael Akehurst, „Equity and General Principles of Law‟, dalam 25 International Comparative and Law Quarterly 1976.
  • Mashood Baderin, Religion And International Law; Analitical Survey of the Relationship. Dalam David Amstrong, Routledge Handbook of International Law. New York. Routledge 2009;
  • Thomas Buergenthal, ‘International Human Rights in an Historical Perspective’, dalam Janusz Symonides(ed.), Human Rights: Concept and Standards, Aldershot: UNESCO Publishing dan Ashgate, 2000.
  • Louis B. Sohn, ‘The New Intenational Law: Protection of the Rightsof the Individuals Rather than States’, dalam 32 American University Law Review 1 (1982).

Sumber :

  • Centre For Local Law Development Studies

Menurut J.G Starke, sumber hukum internasional ada lima, yaitu:

  1. Kebiasaan

  2. Traktat

  3. Keputusan pengadilan atau badan-badan arbitrasi

  4. Karya-karya hukum

  5. Keputusan atau ketetapan organ-organ/lembaga internasional

Sedangkan menurut pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional menetapkan bahwa sumber hukum internasional adalah:

  1. Perjanjian internasional

    Perjanjian-perjanjian internasional atau konvensi-konvensi internasional yang merupakan sumber utama hukum internasional adalah konvensi yang berbentuk law making treaties yaitu perjanjian-perjanjian internasional yang bersikan prinsip-prinisip dan ketentuan-ketentuan yang berlaku secara umum. Seperti Konvensi PBB tentang Hukum Laut tahun 1982 dan Konvensi senjata-senjata kimia tahun 1993.

  2. Kebiasaan internasional

    Hukum kebiasaan berasal dari praktik negara-negara melalui sikap dan tindakan yang diambilnya terhadap suatu persoalan. Bila suatu negara mengambil suatu kebijaksanaan dan kebijaksanaan tersebut diikuti oleh negara-negara lain dan dilakukan berkali-kali serta tanpa adanya protes atau tentangan dari pihak lain maka secara berangsur-angsur terbentuklah suatu kebiasaan.

  3. Prinsip-prinsip hukum umum yang dipakai oleh negara-negara beradab.

    Walaupun hukum nasional setiap negara berbeda, namun prinsip-prinsip pokoknya tetap sama. Seperti prinsip-prinsip hukum administrasi, perdagangan dan kontrak kerja.

  4. Keputusan-keputusan Peradilan

    Keputusan-keputusan peradilan memainkan perananyang cukup penting dalam membantu pembentukan norma-norma baru hukum internasional. Contohnya seperti keputusan Mahkamah Internasional dalam sengketa-sengketa ganti rugi dan penangkapan ikan yang telah memasukkan unsur-unsur baru ke dalam hukum interansional.