Apa saja Sumber Hukum Diplomatik?

Sumber Hukum Diplomatik

Hukum diplomatik merupakan cabang dari hukum kebiasaan internasional yang terdiri dari seperangkat aturan-aturan dan norma-norma hukum yang menetapkan kedudukan dan fungsi para diplomat, termasuk bentuk-bentuk organisasional dari dinas diplomatik.

Apa saja Sumber Hukum Diplomatik ?

Sumber Hukum Diplomatik


Menurut Syahmin A.K mengatakan tentang sumber hukum diplomatik, sama sekali tidak dapat dilepaskan dari sumber hukum internasional publik, lagi pula hukum diplomatik itu pada hakikatnya merupakan bagian dari hukum internasional yang paling mapan. Ini berarti bahwa membahas sumber hukum diplomatik tidak dapat dipisahkan dari ketentuan Pasal 38 (1) Statuta International Court of Justice (ICJ) yang telah diakui oleh para ahli hukum internasional sebagai sumber hukum internasional dalam arti formal yang berbunyi sebagai berikut:

“Bagi Mahkamah Internasional yang fungsinya memutuskan perkaraperkara yang diajukan kepadanya sesuai dengan hukum internasional, akan menerapkan:

  • Perjanjian-perjanjian internasional, baik yang umum maupun khusus, yang secara tegas mengatur dan diakui oleh negaranegara pihak;
  • Kebiasaan internasional yang terbukti merupakan praktik umum yang diterima sebagai hukum;
  • Prinsip-prinsip Hukum Umum yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab; dan
  • Sesuai ketentuan-ketentuan Pasal 59, keputusan-keputusan pengadilan dan ajaran para ahli hukum ternama dari berbagai bangsa, sebagai sumber tambahan untuk menetapkan kaidah hukum.”

Meskipun di atas dikatakan bahwa hukum diplomatik merupakan bagian dari hukum internasional yang paling mapan dan sudah lama berkembang dalam pergaulan dan kehidupan masyarakat antarbangsa, namun dalam praktiknya bidang hukum ini memiliki kekhususan tersendiri. Oleh karena itu, dalam hubungannya dengan sumber hukum dalam butir 1) Perjanjian-perjanjian internasional, baik yang umum maupun khusus dalam bidang hubungan diplomatik dan konsuler antara lain dalam bentuk berikut:

  1. The Final Act of the Congress of Vienna (1815) on diplomatic ranks ;

  2. Vienna Convention on Diplomatic Relations on Optional Protocols (1961), beserta:

  • Vienna Convention on Diplomatic Relations;
  • Optional Protocol Concerning Acquisition of nationality; dan
  • Optional Protocol Concerning the Compulsory Settlement of Disputes.
  1. Vienna Convention on Consular Relations and Optional Protocol (1963), beserta:
  • Vienna Convention on Consular Relations;
  • Optional Protocol Concerning Acquisition of nationality; dan
  • Optional Protocol Concerning the Compulsory Settlement of Disputes.
  1. Convention on Special Mission and Optional Protocol (1969), beserta:
  • Convention on Special Mission;
  • Optional Protocol Concerning the Compulsory Settlement of Disputes .
  1. Convention on the Prevention and Punishment of Crimes Againts Internationally Protected Persons, Including Diplomatic Agents (1973).

  2. Vienna Convention on the Representation of States in their Relations with International Organization of a Universal Character (1975).

Di samping konvensi-konvensi tersebut di atas, masih terdapat Resolusi dan Deklarasi yang dikeluarkan oleh organ-organ utama PBB. Secara tradisional Resolusi dan Deklarasi yang tidak memiliki sifat-sifat seperti perjanjian haruslah dianggap tidak mempunyai kekuatan hukum karena itu tidak menciptakan hukum ( law making treaties ). Di lain pihak, tampaknya kini berkembang kecenderungan “teori” dari hasil kesepakatan sampai pada konsensus yang menjadi dasar bagi negaranegara penerima beban kewajiban-kewajiban hukum.

Adanya kekuatan yang mengikat bagi sesuatu resolusi memang masih belum jelas batasannya. Majelis Umum bukanlah suatu badan yang menciptakan hukum. Resolusi yang dihasilkan dengan jalan biasa tidak akan menjadikan, merumuskan atau menguba resolusi itu menjadi hukum internasional baik secara maju atau surut. Di dalam hal-hal yang luar biasa dimana resolusi Majelis Umum PBB dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan hukum internasional, dapat dianggap mempunyai kekuatan mengikat jika resolusi itu benar-benar memperoleh dukungan secara universal atau jika anggota Majelis Umum PBB mempunyai maksud dan menyatakan resolusi itu menciptakan hukum atau menyatakan sebagai hukum dan jika isi resolusi itu tercermin di dalamnya kebiasaan-kebiasaan umum negara.

Persetujuan maupun penerimaan sesuatu resolusi secara konsensus oleh semua anggota Majelis Umum PBB, pada hakikatnya dapat merupakan suatu proses transisi atau langkah pertama ke arah terciptanya suatu aturan baru dalam hukum konvensional, apalagi jika resolusi atau deklarasi itu menyangkut prinsip-prinsip umum hukum internasional, dapat mendorong perkembangan kemajuan hukum internasional dan usaha kodifikasi aturan-aturan kebiasaan internasional.

Disamping kebiasaan dan perjanjian yang keduanya dapat merupakan sumber pokok dalam hukum diplomatik, masih ada sumber lainnya yang bersifat subsider, seperti prinsip-prinsip umum dalam hukum yang diakui oleh negara-negara dan keputusan-keputusan Mahkamah. Khusus mengenai keputusan Mahkaham ini pada hakikatnya tidak mempunyai kekuatan yang mengikat kecuali bagi pihak-pihak tertentu terhadap sesuatu kasus.