Apa saja ruang lingkup penelitian antropologi sastra?

Penelitian antropologi sastra adalah celah baru penelitian sastra.

Bagaimanakah ruang lingkup penelitian antropologi sastra?

Penelitian yang mencoba menggabungkan dua disiplin ilmu ini tampaknya masih jarang diminati, padahal sesungguhnya banyak hal yang menarik dan dapat digali dari model ini. Maksudnya, peneliti sastra dapat mengungkap berbagai hal yang berhubungan dengan kiasan-kiasan antropologis. Peneliti juga dapat mengadakan interdisipliner kedua bidang itu secara leluasa karena baik sastra maupun antropologi sama-sama berbicara tentang manusia.

Penelitian semacam itu perlu dilakukan, tetapi tidak berarti peneliti sastra tergolong serakah. Namun, banyak hal dalam karya sastra yang memuat aspek-aspek etnografi kehidupan manusia dan sebaliknya, tidak sedikit karya etnografi yang memuat kiasan-kiasan sastra. Jadi, penelitian antropologi sastra dapat menitikberatkan pada dua hal. Pertama, meneliti tulisan-tulisan etnografi yang berbau sastra untuk melihat estetikanya. Kedua, meneliti karya sastra dari sisi pandang etnografi, yaitu untuk melihat aspek-aspek budaya masyarakat.

Penelitian karya-karya etnografi estetis yang bersifat literer dapat diteliti dengan paradigma penelitian sastra. Peneliti dapat memusatkan pada tokoh-tokoh dan gaya hidup mereka serta kehidupannya secara menyeluruh. Budaya masyarakat yang tergambar dalam karya etnografi tersebut diungkap melalui teori resepsi (cermin). Tampaknya memang penelitian semacam ini mengada-ada, tetapi jika peneliti dapat sampai pada sarana estetika yang digunakan seorang etnografer, jelas akan lebih berharga.

Hal ini akan membuktikan bahwa penulis etnografi pun tidak akan lepas dari bahasa sastra. Apalagi etnografi yang estetis dan berbau posmodern, jelas akan mampu didekati dari dunia sastra. Bahkan, Bruner (1993:1) menyugestikan bahwa makna sebuah fenomena penelitian budaya maupun sastra bersifat secara radikal akan bersifat plural, terbuka, dan kadang-kadang memang bersifat politis.

Dalam kaitan itu, antropolog Edward Sapir dan Ruth Benedict pernah mempublikasikan etnografi realisme dan puisi subjektifnya ke dalam jurnal antropologi dan ke dalam jurnal sastra. Hal ini berarti batas antropologi dan sastra memang tipis ibarat selembar uang yang berbeda permukaan, tetapi esensinya sama. Karena itu, kerja sama dalam penelitian antropologi dan sastra memang suatu aktivitas yang sulit terelakkan.

Seperti halnya dasar penulisan drama Sophocles (Bruner, 1993:16) yang berjudul Antigone adalah adanya pertentangan antara individu dengan negara. Hal semacam ini pun sering terjadi pada dunia sastra kita, yaitu para pengarang memberikan kritik tajam melalui karyanya. Buktinya, ketika beredar di era Orde Baru, karya-karya Pramoedya Ananta Toer sering dipandang “berbahaya”. Akibatnya, ia sampai dimasukkan ke penjara.

Penelitian ke arah demikian akan memandang karya etnografi sebagai teks estetis. Namun, peneliti memang perlu hati-hati karena karya sastra seringkali bersifat fiktif dan etnografi ada yang realis. Etnografi adalah fakta, sedangkan karya sastra bersifat imajinasi. Baik sastra maupun etnografi, kadang-kadang batasnya juga kabur atau abstrak. Karena itu, ada etnografi yang estetis dan atau bernilai sastra dan sebaliknya, ada karya sastra yang bersifat etnografis. Itulah sebabnya titik temu keduanya amat menarik dalam penelitian antropologi sastra.

Penelitian antropologi sastra, misalkan, dapat melihat karya sastra dari pandangan antropologis atau sebaliknya. Perkawinan erat keduanya sangat diharapkan untuk melihat lebih jauh kandungan karya sastra dan etnografi. Misalkan saja penelitian A Tree That Stands Burning (Ridington, 1993:49), yaitu sebuah narasi etnografis yang mengambil objek sebuah tradisi. Dari penelitian tersebut, dapat diungkap berbagai hal, antara lain tentang sejumlah kejadian dalam kehidupan tokoh. Dalam kaitan ini, seorang tokoh, Pole misalnya, amat tertarik kepada Wokanda. Peneliti dapat menjelaskan mengapa mereka tertarik. Ketertarikan itu ternyata oleh pengarang digambarkan lewat sebuah puisi. Dalam puisi tersebut diterangkan bahwa

“Wakonda is the spirit of life the universe. Wakonda has the authority of cause and effect. Wakonda is blessing, but it is also a powerful force of nature.”

Dari kutipan tersebut tampak bahwa tokoh Wakonda merupakan sumber semangat hidup bagi tokoh lain. Ia tokoh yang disegani dan menyenangkan, bahkan boleh dikatakan ia tokoh yang banyak berpengaruh secara batiniah. Kekuatan dan daya tarik tokoh ini muncul secara alamiah. Penelitian demikian sebenarnya mengarah ke pembahasan aspek-aspek psikologis tokoh. Hal ini akan memperluas pula cakrawala pandang psikologi sastra. Berarti ada keterkaitan erat antara penelitian antropologi sastra dan psikologi sastra.

Penelitian antropologi sastra tidak hanya berhubungan dengan psikologi sastra, tetapi juga dengan sosiologi sastra. Jika sosiologi sastra menitikberatkan karya sastra sebagai refleksi kehidupan masyarakat dalam interaksinya, antropologi sastra mengarah ke penelitian etnografi dalam karya sastra. Kaitan ini pernah dicontohkan oleh Angrosino (1993:73) yang meneliti puisi-puisi (dub poetry) Indian. Dari penelitiannya, tampak bahwa puisi- puisi yang telah dimusikalisasikan akan melukiskan kehidupan politik dan sosial masyarakatnya, bahkan di dalamnya akan sangat tajam dikemukakan masalah pertentangan masyarakat elite dan nonelite.

Puisi yang dilisankan dan juga puisi lisan (oral poetry) justru akan memberikan efek komunikatif terhadap audiens. Dengan cara ini, pengaruh puisi bagi sebuah komunitas amat jelas dan akan menyentuh pada hubungan interpersonal. Puisi dapat mendorong untuk berbuat sesuatu, maka banyak orang menghafal puisi dengan mudah karena terdorong untuk berbuat sesuai kehendak puisi itu.

Referensi

http://staffnew.uny.ac.id/upload/131872518/penelitian/metodologi-antropologi-sastra.pdf