Apa saja prinsip-prinsip dasar sistem ekonomi syariah?

ekonomi syariah

Ekonomi syariah atau sering disebut juga dengan Ekonomi Islam adalah bentuk percabangan ilmu ekonomi yang berlandaskan nilai-nilai Islam.
Apa saja prinsip-prinsip dasar sistem ekonomi syariah?

1 Like

Para pemikir ekonomi Islam berbeda pendapat dalam memberikan kategorisasi terhadap prinsip-prinsip ekonomi Islam.

  • Khurshid Ahmad mengkategorisasi prinsip-prinsip ekonomi Islam pada: Prinsip tauhid, rub-biyyah, khilafah, dan tazkiyah.

  • Mahmud Muhammad Bablily menetapkan lima prinsip yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi dalam Islam, yaitu: al-ukhuwwa (persaudaraan), al-ihsan (berbuat baik), al-nasihah (memberi nasihat), al-istiqamah (teguh pendirian), dan al-taqwa (bersikap takwa).

  • M. Raihan Sharif dalam Islamic Social Framework sebagaimana dikutip Muslim H. Kara, struktur sistem ekonomi Islam didasarkan pada empat kaidah struktural, yaitu: (1) trusteeship of man (perwalian manusia); (2) co-operation (kerja sama); (3) limite private property (pemilikan pribadi yang terbatas); dan (4) state enterprise (perusahaan negara).

  • Prinsip ekonomi Islam juga dikemukakan Masudul Alam Choudhury, dalam bukunya, Constributions to Islamic Economic Theory sebagaimana dikutip Muslim H. Kara.
    Ekonomi Islam menurutnya didasarkan pada tiga prinsip, yaitu:

    1. the principle of tawheed and brotherhood (prinsip tauhid dan persaudaraan),
    2. the principle of work and productivity (prinsip kerja dan produktifitas),
    3. the principle of distributional equity (prinsip pemerataan dalam distribusi).
  • Menurut Adiwarman Karim, bangunan ekonomi Islam didasarkan atas lima nilai universal, yakni tauhid, keadilan, kenabian, khilafah, dan Ma’ad (hasil).

  • Menurut Metwally, prinsip-prinsip ekonomi Islam itu secara garis besar dapat diuraikan sebagai berikut:

    1. Dalam ekonomi Islam, berbagai jenis sumber daya dipandang sebagai pemberian atau titipan Tuhan kepada manusia. Manusia harus memanfaatkannya seefisien dan seoptimal mungkin dalam produksi guna memenuhi kesejahteraan bersama di dunia, yaitu untuk diri sendiri dan untuk orang lain. Namun yang terpentirig adalah bahwa kegiatan tersebut akan dipertanggung-jawabkan di akhirat nanti.

    2. Islam mengakui kepemilikan pribadi dalam batas-batas tertentu, termasuk kepemilikan alat produksi dan faktor produksi. Pertama, kepemilikan individu dibatasi oleh kepentingan masyarakat, dan kedua, Islam menolak setiap pendapatan yang diperoleh secara tidak sah, apalagi usaha yang menghancurkan masyarakat.

    3. Kekuatan penggerak utama ekonomi Islam adalah kerja sama. Seorang Muslim, apakah ia sebagai pembeli, penjual, penerima upah, pembuat keuntungan dan sebagainya, harus berpegang pada tuntunan Allah SWT
      dalam Al Qur’an:

      Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan batil, kecuali dengan perdagangan yang dilakukan secara suka sama suka di antara kalian…’ (QS 4:29).

    4. Pemilikan kekayaan pribadi harus berperan sebagai kapital produktif yang, akan meningkatkan besaran produk nasional dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Al Qur’an mengungkapkan bahwa

      “Apa yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya sebagai harta rampasan dari penduduk negeri-negeri itu, adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak- anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kalian…,” (QS:57:7).

      Oleh karena itu, sistem ekonomi Islam menolak terjadinya akumulasi kekayaan yang dikuasai oleh beberapa orang saja. Konsep ini berlawanan dengan sistem ekonomi kapitalis, di mana kepemilikan industri didominasi oleh monopoli dan oligopoli, tidak terkecuali industri yang merupakan kepentingan umum.

    5. Islam menjamin kepemilikan masyarakat, dan penggunaannya direncanakan untuk kepentingan orang banyak. Prinsip ini didasari Sunnah Rasulullah yang menyatakan bahwa, “Masyarakat punya hak yang sama atas air, padang rumput dan api.” Sunnah Rasulullah tersebut menghendaki semua industri ekstraktif yang ada hubungannya dengan produksi air, bahan tambang, bahkan bahan makanan, harus dikelola oleh negara. Demikian juga berbagai macam bahan bakar untuk keperluan dalam negeri dan industri tidak boleh dikuasai oleh individu.

    6. Seorang Muslim harus takut kepada Allah dan hari akhirat, seperti diuraikan dalam Al Qur’an:

      Artinya: Dan peliharalah dirimu dari azab yang terjadi padas hari yang
      padsa waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian maing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidask dianiaya (dirugikan).(QS 2:281).

      Oleh karena itu Islam mencela keuntungan yang berlebihan, perdagangan yang tidak jujur, perlakuan yang tidak adil, dan semua bentuk diskriminasi dan penindasan.

    7. Seorang Muslim yang kekayaannya melebihi ukuran tertentu (nisab) diwajibkan membayar zakat. Zakat merupakan alat distribusi sebagian kekayaan orang kaya (sebagai sanksi atas penguasaan harta tersebut), yang ditujukan untuk orang miskin dan mereka yang membutuhkan. Menurut pendapat para ulama, zakat dikenakan 2,5% (dua setengah persen) untuk semua kekayaan yang tidak produktif (idle assets), termasuk di dalamnya adalah uang kas, deposito, emas, perak dan permata, pendapatan bersih dari transaksi (net earning from transaction), dan 10% (sepuluh persen) dari pendapatan bersih investasi

    8. Islam melarang setiap pembayaran bunga (riba) atas berbagai bentuk pinjaman, apakah pinjaman itu berasal dari teman, perusahaan perorangan, pemerintah ataupun institusi lainnya. Al Qur’an secara bertahap namun jelas dan tegas memperingatkan kita tentang bunga.

      Islam bukanlah satu-satunya agama yang melarang pembayaran bunga. Banyak pemikir zaman dahulu yang berpendapat bahwa pembayaran bunga adalah tidak adil. Bahkan meminjamkan uang dengan bunga dilarang pada zaman Yunani kuno Aristoteles adalah orang yang amat menentang dan melarang bunga, sedang Plato juga mengutuk praktek bunga. Dalam Perjanjian Lama, larangan riba tercantum dalam Leviticus 25:27, Deutronomi 23:19, Exodus 25:25 dan dalam Perjanjian Baru dapat dijumpai dalam Lukas 6:35.

Benang merah dari prinsip-prinsipekonomi Islam diatas adalah sebagai berikut :

  1. Manusia adalah makhluk pengemban amanat Allah untuk memakmurkan kehidupan di bumi, dan diberi kedudukan sebagai khalifah (wakilnya) yang wajib melaksanakan petunjuk-petunjuk-Nya.

  2. Bumi dan langit seisinya diciptakan untuk melayani kepentingan hidup manusia, dan ditundukkan kepadanya untuk memenuhi amanat Allah. Allah jugalah pemilik mutlak alas semua ciptaan-Nya.

  3. Manusia wajib bekerja untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya.

  4. Kerja adalah yang sesungguhnya menghasilkan (produktif).

  5. Islam menentukan berbagai macam bentuk kerja yang halal dan yang haram. Kerja yang halal saja yang dipandang sah.

  6. Hasil kerja manusia diakui sebagai miliknya.

  7. Hak milik manusia dibebani kewajiban-kewajiban yang diperuntukkan bagi kepentingan masyarakat. Hak milik berfungsi sosial.

  8. Harta jangan hanya beredar di kalangan kaum kaya saja, tetapi diratakan, dengan jalan memenuhi kewajiban-kewajiban kebendaan yang telah ditetapkan dan menumbuhkan kepedulian sosial berupa anjuran berbagai macam shadaqah.

  9. Harta difungsikan bagi kemakmuran bersama tidak hanya ditimbun tanpa menghasilkan sesuatu dengan jalan diperkembangkan secara sah.

  10. Harta jangan dihambur-hamburkan untuk memenuhi kenikmatan melampaui batas. Mensyukuri dan menikmati perolehan usaha hendaklah dalam batas yang dibenarkan syara’.

  11. Memenuhi kebutuhan hidup jangan berlebihan, jangan kurang tetapi secukupnya.

  12. Kerja sama kemanusiaan yang bersifat saling menolong dalam usaha memenuhi kebutuhan ditegakkan.

  13. Nilai keadilan dalam kerjasama kemanusiaan ditegakkan.

  14. Nilai kehormatan manusia dijaga dan dikembangkan dalam usaha memperoleh kecukupan kebutuhan hidup.

  15. Campur tangan negara dibenarkan dalam rangka penertiban kegiatan ekonomi menuju tercapainya tujuan, terwujudnya keadilan sosial.

Referensi
  • Muslimin H. Kara, Bank Syariah Di Indonesia Analisis Terhadap Pemerintah Indonesia Terhadap Perbankan Syariah, Yogyakarta: UII Press, 2005
  • Mahmud Muhammad Bablily, Etika Bisnis: Studi Kajian Konsep Perekonomian Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah, terj. Rosihin A. Ghani, Solo: Ramadhani, 1990
  • Adiwarman Karim, Ekonomi Mikro Islami, Jakarta: III T Indonesia, 2002
  • Zainul Arifin, Dasar-Dasar Manajemen Bank Syari’ah, Jakarta: Alvabet, 2003,
  • Eko Suprayitno, Ekonomi Islam, Pendekatan Ekonomi Makro Islam dan Konvensional, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2005.

Berikut ini merupakan prinsip-prinsip dasar ekonomi syariah / ekonomi Islam:

  1. Nilai-nilai Universal : Teori Ekonomi
    Nilai-nilai ini menjadi dasar inspirasi untuk membangun teori-teroi Ekonomi Islami, rinciannya:

    • Tauhid (Keesaan Tuhan)
      Tauhid adalah fondasi ajaran Islam. Ini bermakna bahwa segala apa yang di alam semesta ini didesain dan dicipta dengan sengaja oleh Allah SWT, bukan kebetulan dan semuanya pasti memiliki tujuan. Tujuan diciptakannya manusia adalah untuk beribadah kepada-Nya. Karena kepada-Nya kita akan mempertanggungjawabkan segala perbuatan kita, termasuk aktivitas ekonomi dan bisnis.

    • Adl (Keadilan)
      Dalam banyak ayat, Allah memerintahkan manusia untuk berbuat adil. Dalam Islam adil didefinisikan sebagai „tidak menzalimi dan tidak dizalimi.” Implikasinya ekonomi dari nilai ini adalah bahwa pelaku ekonomi tidak boleh untuk mengejar keuntungan pribadi bila hal itu merugikan orang lain atau merusak alam. Tanpa keadilan, manusia akan terkelompok-kelompok dalam berbagai golongan.

    • Nubuwwah (Kenabian)
      Fungsi Rasul adalah untuk menjadi model terbaik yang harus diteladani manusia agar mendapat keselamatan dunia dan akhirat. Untuk umat Muslim, Allah telah mengirimkan “manusia model” yang terakhir dan sempurna untuk diteladani sampai akhir zaman, Nabi Muhammad SAW. Sifat-sifat utama sang model yang harus diteladani oleh manusia pada umumnya dan pelaku ekonomi dan bisnis pada khususnya adalah Siddiq (benar, jujur), Amanah (tanggung jawab, kepercayaan, kredibilitas), Fathanah (kecerdikan, kebijaksanaan, intelektual), dan Tabligh (komunikasi, keterbukaan, pemasaran).

    • Khilafah (Pemerintah)
      Dalam Al-Qur‟an, Allah berfirman bahwa manusia diciptakan untuk menjadi khalifah dibumi. Artinya, untuk menjadi pemimpin dan pemakmur bumi. Oleh karena itu, pada dasarnya setiap manusia adalah pemimpin. Dalam islam, pemerintah memainkan peranan yang kecil, tetapi sangat penting dalam perekonomian. Peran utamanya adalah untuk menjamin perekonomian agar berjalan sesuai syariah, dan untuk memastikan supaya tidak terjadi pelanggaran terhadap hak-hak manusia.

    • Ma’ad (Hasil)
      Walaupun sering kali diterjemahkan sebagai “kebangkitan”, tetapi secara harfiah ma’ad berarti “kembali”. Karena kita semua akan kembali kepada Allah. Hidup manusia bukan hanya didunia, tetapi harus berlanjut hingga alam akhirat. Ma’ad diartikan juga sebagai imbalan/ganjaran. Implikasi nilai ini dalam kehidupan ekonomi dan bisnis misalnya, diformulasikan oleh Imam Al-Ghazali yang menyatakan bahwa motivasi para pelaku bisnis adalah untuk mendapatkan laba dunia dan akhirat.

  2. Prinsip-prinsip Derivatif: Ciri-ciri Sistem Ekonomi Islam

    • Multiple ownership (kepemilikan multijenis)
      Prinsip ini adalah terjemahan dari nilai tauhid: pemilik primer langit, bumi dan seisinya adalah Allah, sedangkan manusia diberi amanah untuk mengelolanya. Jadi manusia dianggap sebagai makhluk sekunder. Dengan demikian, konsep kepemilikan swasta diakui, dan kepemilikan negara dan nasionalisasi juga diakui. Sistem kepemilikan campuran juga mendapat tempat dalam islam, baik campura swasta-negara, swasta domestik-asing, atau negara asing. Semua konsep ini berasal dari filosofi, norma dan nilai-nilai islam.

    • Freedom to act (kebebasan bertindak/berusaha)
      Dari keempat nilai-nilai Nubuwah diatas, bila digabungkan dengan nilai keadilan dan nilai Khalifah (good governance) akan melahirkan prinsip freedom to act pada setiap Muslim, khususnya pelaku bisnis dan ekonomi. Freedom to act bagi setiap individu akan menciptakan mekanisme pasar dalam perekonomian. Karena itu, mekanisme pasar adalah keharusan dalam Islam, dengan syarat tidak ada distorsi (proses penzaliman) seperti mafsadah (segala yang merusak), riba, gharar, tadlis dan maysir.

    • Social Justice (Keadilan sosial)
      Dalam Islam, keadilan diartikan dengan suka sama suka (antarraddiminkum) dan satu pihak tidak menzalimi pihak lain (latazlimuna wa la tuzlamun). Islam menganut sistem mekanisme pasar, namun tidak semuanya diserahkan pada mekanisme harga. Karena segala distorsi yang muncul dalam perekonomian tidak sepenuhnya dapat diselesaikan, maka Islam memperbolehkan adanya beberapa intervensi, baik berupa intervensi harga maupun pasar. Selain itu, islam juga melengkapi perangkat berupa instrumen kebijakan yang difungsikan untuk mengatasi segala distorsi yang muncul.