Apa saja penyebab keruntuhan Kerajaan Kutai ?

Kerajaan Kutai

Kutai Martadipura adalah kerajaan bercorak Hindu di Nusantara yang memiliki bukti sejarah tertua. Berdiri sekitar abad ke-4. Kerajaan ini terletak di Muara Kaman, Kalimantan Timur, tepatnya di hulu sungai Mahakam. Kerajaan kutai runtuh pada saat raja kutai yang terakhir bernama Maharaja Dharma tewas di tangan raja Kutai Kertanegara yang ke 13 yang bernama Aji Pangeran Anum mendapa. Kerajaan kutai menjadi kerajaan Islam yang bernama kesultanan Kutai Kertanegara.

Apa saja penyebab keruntuhan Kerajaan Kutai ?

Dahulu terdapat dua Kerajaan, yaitu Kerajaan Kutai Martadipura yang mempunyai basis kekuatan di hulu Sungai Mahakam, dan yang kedua yaitu Kerajaan Kutai Kartanegara, yang mempunyai basis di muara Sungai Mahakam, Tepian Batu, Kutai Lama. Pemimpin pada saat itu Kerajaan Kutai Kartanegara adalah Aji Batara Agung Dewa Sakti (1300-1325).

Runtuhnya Kerajaan Kutai Martadipura


Sering terjadi konflik antara Kutai Martadipura dan Kerajaan Kutai Kertanegara yang disebabkan oleh proses asimilasi yang gagal. Konflik inilah yang menjadi pemicu perang antar kedua Kerajaan ini. Kekalahan pun harus diterima di pihak Kerajaan Kutai Martadipura. Sebagai pihak yang menang dalam perang, Kerajaan Kutai Kartanegara menggabungkan Kerajaannya dengan Kerajaan Kutai Martadipura. Lalu kemudian Aji Batara Agung Dewa Sakti mengubah nama Kerajaannya menjadi Kerajaan Kutai Kartanegara ing Martadipura.

Uniknya Kerajaan Kutai yang baru, mengumumkan bahwa Kutai Martadipura bukanlah sebuah jajahan dari Kerajaan Kutai Kartanegara, melainkan juga bagian dari Kerajaannya yang memiliki satu visi, misi dan pemikiran.

Sejak masa kepemimpinan Raja Aji Batara Agung Dewa Sakti, Kerajaan ini memiliki hubungan dengan Kerajaan Majapahit, karena Raja-Raja pada masa itu sering mengadakan perjalanan ke Kerajaan Majapahit. Hal ini membuktikan bahwa Kerajaan Kutai Kartanegara pada tahun 1380 masih menganut Agama Hindu atau juga masih bercorak Animisme (Sebuah kepercayaan kepada Roh yang mendiami semua benda, contoh: pohon, batu, sungai, gunung, dsb) dan belum masuknya Agama Islam.

Aji Batara Agung Dewa Sakti memimpin hingga tahun 1320 M. Setelah itu Ia meninggal, lalu pemimpin Kerajaan Kutai Kartanegara selanjutnya adalah Aji Batara Agung Paduka Nira (1320-1370 M). Aji Batara Agung Nira diceritakan mempunyai 7 orang anak, 5 laki-laki dan 2 perempuan. Dari kelima anak laki-laki tersebut, hanya dua orang saja yang tampak paling menonjol atau berkualitas memimpin kerajaan dibandingkan dengan para saudaranya, yaitu Maharaja Sakti (anak sulung) dan Maharaja Sultan (anak kelima).

Bergabung bersama Kerajaan Majapahit


Ketika Aji Batara Agung Paduka Nira meninggal, tampuk kepemimpinan Kerajaan Kutai Kartanegara tidak diserahkan kepada putra sulungnya, Maharaja Sakti, akan tetapi jatuh ke tangan Maharaja Sultan. Keputusan untuk menempatkan Maharaja Sultan sebagai pewaris tahta memang menjadi keputusan bersama di antara ketujuh bersaudara tersebut. Di sisi lain, para saudara Maharaja Sultan tetap mendampingi sebagai menteri, jadi tidak ada perselisihan disana. Maharaja Sultan memimpin di Kerajaan Kutai Kartanegara antara tahun 1370-1420 Masehi. Pada masa pemerintahan Maharaja Sultan dijalin hubungan yang erat dengan Kerajaan Majapahit di Jawa. Salah satu bentuk hubungan tersebut adalah kunjungan Maharaja Sultan bersama dengan Maharaja Sakti ke Kerajaan Majapahit untuk belajar tentang adat istiadat dan tatacara pemerintahan.

Kerajaan Majapahit yang waktu itu diperintah oleh Hayam Wuruk menyambut baik kedatangan Maharaja Sultan dan Maharaja Sakti. Kedua putra Borneo ini kemudian diperlakukan layaknya tamu dan diajarkan tentang adat istiadat dan tatacara mengelola sebuah pemerintahan kerajaan. Setelah selesai menimba ilmu di Kerajaan Majapahit, dua saudara kandung ini kembali ke Kerajaan Kutai Kartanegara untuk mengaplikasikan ilmu yang didapatkan dari Kerajaan Majapahit.

Interaksi antara dua kerajaan tersebut berujung pada hubungan saling mempengaruhi. Di satu sisi Kerajaan Kutai Kartanegara mendapat pengaruh Hindu dari Kerajaan Majapahit. Di sisi lain, Kerajaan Majapahit mendapatkan tempat tersendiri di Kerajaan Kutai Kartanegara, yaitu kedudukan Majapahit sebagai negara induk, sedangkan Kerajaan Kutai Kartanegara adalah negara taklukan.

Sebagai cara untuk mempertegas pengakuan tersebut, maka Kerajaan Majapahit menempatkan seorang patih sebagai representasi pengakuan kekuasaan di Kerajaan Kutai Kartanegara.

Runtuhnya Kerajaan Kutai


Masa keruntuhan atau mundurnya Kerajaan Kutai diawali dengan kontaknya dengan dua bangsa Eropa pada tahun 1844, ketika kapal Inggris dibawah pimpinan Erskine Murray datang ke wilyah ini. Rakyat Kutai merasa tidak senang dengan kesombongan orang-orang Inggris tersebut, sehingga rakyat Kutai melakukan perlawanan terhadap orang-orang Inggris. Dalam perlawanan itu rakyat Kutai mencapai kemenangan, bahkan Erskine Murray mati terbunuh dalam peristiwa ini.

Ketika Belanda datang dari Makassar dan menyerang Tenggarong yang merupakan sebagai pusat Kesultanan Kutai, tidak seperti sebelumnya akhirnya dapat dikuasai oleh bangsa Eropa. Tenggarong berhasil dihancurkan Belanda pada tahun 1844. Sultan Muhammad Salihuddin terpaksa melakukan perjanjian damai, yang dikenal dengan perjanjian “Tepian Pandat Traktat”. Perjanjian ini merupakan akhir dari kemerdekaan Kutai, karena setelah perjanjian tersebut berarti otomatis Kesultanan Kutai tunduk dibawah residen Belanda.

Referensi :

  • Syaukani HR, Kerajaan Kutai Kertanegara , Kutai: Pulau Kumala, 2002, hlm. 10.
  • Drs. BambangSuwondo dkk, Sejarah Daerah Kalimantan Timur , Jakarta: Depdiknud.
  • M. Nasir dkk, Perkembangan Islam di Kalimantan Timur ; Samarinda: STAIN, 2004.