Apa saja penyebab Fobia Sosial ?

Fobia Sosial

Fobia Sosial atau Social Anxiety Disorder (SAD) merupakan sebuah gangguan rasa kecemasan berlebihan yang terjadi pada penderita saat mereka sedang sedang dalam lingkungan sosial. Hal ini membuat penderita mengalami rasa gugup, grogi, dan tangan gemetaran yang akhirnya berkakibat buruk terhadap kehidupan bersosial mereka.

Lantas apa saja penyebab seseorang dapat memiliki kepribadian seperti itu ?

Penyebab Fobia Sosial.

Gangguan kecemasan sosial merupakan gangguan yang paling mungkin terjadi sebagai hasil dari kombinasi faktor genetik dan lingkungan. Gangguan kecemasan sering menurun di keluarga.

Penyebab Fobia Sosial:

  1. Kondisi Biologis
    Orang bisa terkena Fobia Sosial diakibatkan karena mendapatkan dari anggota keluarganya yang juga mengalaminya. Jadi kalau orang yang terkena Fobia Sosial karena keturunan/gen bisa diketahui saat masih anak-anak ketika akan memasuki dunia sosial.

  2. Kondisi Lingkungan Sosial
    Seseorang bisa terkena Fobia Sosial karena pengaruh lingkungan. Trauma sosial yang dimaksud seperti, dikucilkan/dibully di lingkungannya. Atau mengalami suatu tragedi yang menyebabkan rasa malu yang amat sangat. Penderita sering berada dalam kondisi atau situasi sosial yang tidak berpihak, tidak mendidik, dan tidak memberinya kesempatan untuk berinteraksi sosial.

  3. Kondisi Psikologis
    Orang yang menderita fobia sosial biasanya merasa harga dirinya rendah (low self-esteem). Takut untuk ditolak atau tidak diterima oleh sekitar/sosial. Tidak memiliki rasa percaya diri yang cukup, baik dalam hal penampilan fisik (appearance) maupun performa diri (performance).

  4. Kondisi Tradisi
    Banyak ditemukan pada penderita fobia sosial cenderung memiliki kepribadian yang tertekan sejak mereka anak-anak. Orangtua yang tidak mendidik mereka dengan keterampilan sosial. Domisili yang sering berpindah-pindah juga sebagai pemicunya. Mereka tidak memiliki cukup waktu untuk mengakrabkan diri dengan lingkungan sekitar.

  5. Cara Berpikir dan Karakter
    Cara berpikir sebenarnya juga dipengaruhi oleh karakter seseorang. Cara berpikir instan misalnya, dapat membuat seseorang memiliki harapan berlebih pada suatu usaha yang dilakukannya. Namun ketika hasil tidak dicapai dengan cepat, dia lalu merasa malu, rendah diri, atau bersalah. Menyalahkan diri sendiri terlalu mendalam dan tidak berkesudahan.

Gejala-gejala demikian tersebut di atas juga merupakan bagian dari gangguan kecemasan secara umum.

1. Psikologis Kejiwaan

Penyeba utama phobia sosial tentunya adalah kondisi psikologis kejiwaan penderita. Orang yang mengalami fobia sosial biasanya adalah orang yang merasa dirinya rendah, tidak percaya diri, bermental lemah, dan takut akan penolakan terhadap dirinya sendiri.

2. Genetik

Orang yang menderita phobia sosial juga dapat disebabkan oleh genetic yang didapat dari keluarganya. Sebuah penilitan di Shanghai, Cina, mengemukakan bahwa keturunan dari keluarga yang memiliki riwayat fobia sosial memiliki presentase besar mengidap fobia sosial juga. Hal ini diakibatkan oleh tidak stabilnya hormon 5-hidroxytryptamine, hormon yang bertugas untuk menyampaikan informasi ke sel-sel otak.

3. Trauma Masa Lalu

Ada juga penyebab fobia sosial lainnya yaitu trauma masa lalu yang sangat membekas di pikiran. Pada penderita fobia sosial ini biasanya terjadi akibat suatu kejadian tidak mengenakkan pada kehidupan sosial dimasa lalunya, yang akhirnya memberi luka pada hati dan pikirannya. Luka ini kemudian membuat mereka merasa was-was dan takut saat akan bersosialisasi dengan orang lain.

4. Karakter dan Pribadi Masing Masing Orang

Penyebab phobia sosial yang terkahir sebenarnya bukan disebabkan oleh psikologis, gen, maupun trauma. Tapi memang karena hal tersebut merupakan karakter dan pribadi orang tersebut. Ada orang yang memang suka bersosialisasi dengan orang lain, tetapi ada juga orang yang merasa takut bersosialisasi dengan orang lain, contohnya introvert.

Permulaan fobia sosial sering terjadi pada remaja, tapi mungkin juga mulai dini hari nanti atau nanti di masa dewasa.

Faktor-faktor berikut dapat menyebabkan seseorang lebih rentan terhadap fobia sosial:

  • Rasa malu, timidity and withdrawal; menghadapi berbagai situasi sosial yang memalukan saat remaja bersamaan dengan kurangnya kepercayaan diri secara bertahap berkembang menjadi fobia sosial.

  • Memiliki pengalaman yang tidak menyenangkan atau menakutkan dalam situasi sosial dapat menyebabkan ketakutan pada situasi yang serupa.

  • Kesempatan untuk memiliki fobia sosial lebih tinggi jika ada anggota keluarga yang memilikinya.

  • Anak-anak terlindungi atau dikendalikan oleh orang tua, dan orang-orang yang sering
    ditertawakan, diintimidasi atau ditolak cenderung memiliki fobia sosial.


Gambar Diagram Alir Fobia Sosial

Apa penyebab fobia sosial ?

Mirip dengan gangguan emosional lainnya, fobia sosial dikembangkan oleh banyak faktor, termasuk faktor fisiologis dan lingkungan seperti:

  • Faktor keturunan

    Fobia sosial entah bagaimana berhubungan dengan keturunan, namun penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memverifikasi apakah memang terkait dengan gen herediter. Di sisi lain, beberapa peneliti menyatakan bahwa perilaku fobia sosial bisa jadi hasil menirukan beberapa anggota keluarga.

  • Neurotransmiter di otak

    Para ilmuwan telah menemukan bahwa fobia sosial memiliki hubungan yang erat dengan ketidakseimbangan neurotransmitter otak, misalnya neurotransmiter mungkin sangat sensitif terhadap serotonin yang bertanggung jawab untuk memantau dan mengatur emosi. Selain itu, pasien dengan fobia sosial mungkin memiliki lebih sedikit dopamin, yang merupakan jenis neurotransmitter lain di otak, dari biasanya. Semua ini dapat membuat pasien lebih rentan terhadap fobia sosial.

  • Respons ketakutan yang terlalu reaktif

    Struktur di otak yang disebut amygdala berperan dalam memantau dan mengatur respons ketakutan. Beberapa penelitian menganggap bahwa pasien dengan fobia sosial memiliki amigdala yang terlalu reaktif, yang menyebabkan respons ketakutan mereka meningkat dan mudah menjadi panik dalam situasi sosial.

Fobia sosial adalah suatu ketakutan yang bermakna dan terus-menerus atas satu atau lebih situasi-situasi sosial atau perbuatan/ penampilan (performance) tatkala orang tersebut dihadapkan/dipertemukan dengan orang-orang yang tak dikenalnya, atau kemungkinan untuk diperhatikan dengan cermat oleh orang lain. Individu tersebut takut bahwa dia akan berbuat sesuatu (menunjukkan gejala ansietas) yang memalukan.

Terdapat beberapa faktor yang perlu diperhatikan sebagai penyebab terjadinya gangguan fobia sosial ini, yaitu :

  1. Faktor Perilaku

    Beberapa penelitian melaporkan adanya kemungkinan ciri tersendiri pada anak-anak yang mempunyai pola perilaku menahan diri (behavioral inhibition). Anak-anak yang mempunyai sifat demikian sering mempunyai orang tua menderita gangguan panik dan anak tersebut akan berkembang menjadi sangat pemalu. Beberapa orang fobia sosial juga menunjukkan perilaku menahan diri semasa kanak-kanaknya. Juga ada data yang menunjukkan bahwa orang tua pasien fobia sosial kurang memperhatikan/menjaga anaknya (less caring), lebih menolak (more rejecting) atau over protective terhadap anak-anaknya.

  2. Faktor Psikoanalitik

    Sigmund Freud mengatakan bahwa gangguan ansietas (salah satunya gangguan fobia) sebagai akibat konflik yang berasal dari kejadian-kejadian pada fase perkembangan psikoseksual yang tidak terselesaikan dengan baik; pada pasien fobia mekanisme pertahanan ego yang dipakai adalah displacement (memindahkan situasi yang tidak bisa diterima ke situasi yang lebih bisa diterima). Beberapa penelitian melaporkan hubungan dengan kebiasaan menghalang- halangi anak pada masa kecilnya .

    Freud pertama kali membahas rumusan teoritis terbentuknya fobia pada kasusnya yang terkenal, “Little Hans”, bercerita tentang seorang anak laki-laki usia 5 tahun yang takut terhadap kuda. Hans pernah melihat seekor kuda jatuh dan kemudian berkembang satu ketakutan bahwa kuda akan jatuh dan menggigitnya. Freud dapat menunjukkan bahwa kuda tidak ada hubungannya dengan ketakutan Hans yang sebenarnya, tetapi sebagai simbol menggantikan ayahnya yang ditakutinya secara tidak sadar. Gigitan kuda menjadi simbol (secara tidak sadar) ancaman kastrasi oleh ayahnya. Ketakutan terhadap si ayah telah direpresi dan diganti ke objek lain.

    Freud percaya bahwa baik dorongan seksual atau agresif, atau gabungan keduanya bersamaan, menjadikan adanya kekuatan bertahan dalam melawan dorongan tersebut. Prinsip teori psikoanalitik adalah ide/pikiran yang merupakan sumber asli ketakutan telah digantikan (replaced) menjadi fobia objek lain yang memunculkan (represent) sumber aslinya secara simbolik; melalui represi dan displacement, sumber asli ketakutan tersebut tidak diketahui oleh individu.

  3. Faktor Neurokimiawi

    Hipersensitif terhadap penolakan oleh orang lain diperkirakan dipengaruhi oleh sistem dopaminergik. Kekurangan dopamin telah ditemukan pada tikus yang punya sifat pemalu dan inilah yang membedakannya dari mereka yang bersifat lebih agresif; bila sistem dopamin pada tikus yang agresif diputus secara farmakologik maka binatang tersebut akan menjadi lebih patuh/tunduk.

    Penelitian lain menunjukkan bahwa kadar metabolit dopamin dalam cairan spinal meninggi pada orang-orang ekstrovert dengan gangguan depresif dibandingkan dengan orang-orang introvert. Dopamin bertanggung jawab terhadap beberapa fungsi motivasi dan dorongan/ rangsangan (incentive) susunan saraf pusat, minat sosial yang tinggi; keinginan berteman/ berkumpul dengan kelompok dan kepercayaan diri bisa mencerminkan pengaruh tersebut.

    Pasien fobia penampilan/perbuatan (performance anxiety) melepaskan lebih banyak norepinefrin dan epinefrin sentral ataupun perifer dibandingkan orang non- fobik; pasien ini bisa sangat sensitif terhadap rangsang adrenergik normal. Keadaan ini berhubungan dengan tanda karakteristik, seperti denyut jantung yang cepat, banyak keringat, dan tremor jika penderita tampil.

  4. Faktor Neuroendokrin

    Anak-anak dengan defisiensi hormon pertumbuhan (growth hormone deficiency, GHD) mempunyai kecenderungan mengidap gangguan penyesuaian psikologik. Anak- anak tersebut mempunyai sifat imatur, tergantung (dependent), pemalu (shy), menarik diri (withdrawal), dan terisolasi sosial (socially isolated).

    Anak-anak ini menunjukkan ketidakmampuan kognitif dan perilaku. Orang dewasa pengidap growth hormone deficiency yang diobati dengan pemberian growth hormone melaporkan adanya perbaikan status kesehatan dan perasaan senang (wellbeing) secara psikologik. Berdasarkan hal ini, diduga growth hormone punya pengaruh terhadap neuroendokrin sentral. Di kelompok dewasa yang pernah mengalami defisiensi growth hormone, ditemukan insidens fobia sosial yang cukup tinggi.

  5. Faktor Genetik

    Keluarga tingkat pertama (first degree relatives) penderita fobia sosial kira-kira tiga kali lebih sering menderita fobia sosial dibandingkan keluarga tingkat pertama orang tanpa gangguan mental/kontrol.

    Penelitian pada 1.427 orang anak kembar (898 monozigot dan 529 dizigot) menemukan kasus gangguan kepribadian menghindar sebanyak 2,7% dan fobia sosial 5%. Meta-analisis ikatan gen pada pasien gangguan fobia menemukan kelainan pada kromosom 16q (Gelernter et al, 2001- 2004).

Referensi :

  1. Kaplan & Sadock’s. Anxiety disorder. In: Synopsis of psychiatry. 10th ed. Philadelphia-USA: Lippincott Williams & Wilkins; 2007.
  2. Shelton RC. Anxiety disorder. In: Ebert MH, Nurcombe B, Loosen PT, Leckman JF, editors. Current diagnosis & treatment psychiatry. 2nd ed. The Mc Graw Hill Co. Inc.; 2008.
  3. SmollerJW, Sheidley BK, Tsuang MI. Anxiety disorder. In: Psychiatry genetics application in practical practice. USA: American Psychiatric Publishing Inc.; 2008.
  4. The relationship between avoidant personality disorder and social fhobia: A population-based twin study. Amer J Psychiatr. 2007;164(11):1722-8.

Penyebab fobia sosial masih belum jelas. Terdapat beberapa pendapat yang berusaha menjelaskan tentang hal ini dimana faktor genetik dan lingkungan diduga saling berinteraksi di dalamnya. Keterbatasan utama dalam mencari penyebab neurobiologinya adalah kesulitan menentukan apakah hal yang diteliti merupakan akibat atau faktor risiko dari timbulnya fobia sosial.

Fobia sosial memiliki awitan pada saat remaja, kemudian berlanjut seumur hidup secara kronis dengan disertai beberapa penyakit psikiatris lainnya. Keadaan terkait gen yang hampir selalu berkembang menjadi kelainan ini adalah perilaku terhambat, yaitu kecenderungan anak-anak untuk menunjukkan ketakutan atau menarik diri dari situasi yang baru. Penelitian Jerome Kagan (2004 dalam Cottraux 2005) tentang temperamen menguatkan pendapat ini. Hasil yang didapat menunjukkan bahwa bayi dengan temperamen terhambat cenderung berkembang menjadi anak yang menghindari hal-hal baru dan berlanjut sebagai penderita fobia sosial saat mencapai masa remaja.

Penemuan ini menekankan pentingnya deteksi dan intervensi dini pada anak-anak yang berisiko dengan beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, masih kurangnya penelitian tentang manfaat deteksi dan penanganan dini fobia sosial pada anak-anak. Kedua, diperlukan penelitian genetik lebih lanjut untuk mengetahui gen mana yang berperan sehingga dapat dijadikan target intervensi.

Temperamen terhambat diduga disebabkan oleh respon amigdala yang berbeda pada tiap orang terhadap sesuatu yang baru. Dugaan ini didukung oleh penelitian Schwartz & Rauch (2004 dalam Cottraux 2005) menggunakan magnetic resonance imaging yang menemukan bahwa orang dewasa yang saat kecilnya memiliki temperamen terhambat, amigdalanya memberikan respon lebih besar terhadap wajah baru dibanding wajah yang sudah dikenal.

Jadi dapat disimpulkan bahwa fobia sosial erat hubungannya dengan amigdala. Hal ini sesuai dengan penelitian Furmark dkk. (2002 dalam Cottraux 2005) yang menemukan bahwa terapi fobia sosial menurunkan aliran darah otak pada daerah tersebut sehingga aktivitas sarafnya turut berubah. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengerti lebih baik tentang daerah ini, kemungkinan keterlibatan komponen otak lain, dan hubungan antara amigdala dengan komponen tersebut dalam menimbulkan fobia sosial.

Selain itu, terdapat dugaan bahwa neurotransmiter otak ikut berperan dalam fobia sosial, kebanyakan diantaranya berhubungan dengan amigdala baik langsung maupun tidak langsung. Dugaan ini didukung oleh fakta bahwa obat-obatan untuk terapi fobia sosial menyeimbangkan substansi tersebut. Tetapi masih belum jelas bagaimana keadaan masing-masing neurotransmiter dalam tiap tahap perkembangan fobia sosial dan bagaimana interaksi antar substansi ini dalam menimbulkan fobia sosial.

Selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI) menghambat pengambilan kembali serotonin dari sinapsis sehingga neurotransmiter ini dapat bekerja lebih lama . Hal ini menunjukkan kemungkinan kekurangan serotonin dalam fobia sosial .

Fungsi monoamine oxidase inhibitor (MAOI) dan reversible monoamine oxidase (RIMA) adalah mengikat enzim pemecah monoamine (meliputi dopamin, serotonin, norepinefrin dan epinefrin) sehingga aktivitas neurotransmiter ini meningkat. Hal ini menunjukkan kemungkinan kekurangan monoamine dalam fobia sosial . Pendapat ini ditopang oleh penelitian Rickel dkk (2004 dalam Cottraux 2005) yang menemukan bahwa dual serotonin-norepinephrine reuptake inhibitor (obat penghambat pengambilan kembali serotonin dan norepinefrin dari sinapsis) terbukti efektif untuk terapi kelainan ini.

Tetapi dugaan ini dilemahkan oleh fakta bahwa benzodiazepines dan analog GABA menurunkan distribusi norepinefrin ke amigdala; dan bahwa beta blocker menghambat masuknya epinefrin ke amigdala (Best 2003). Kedua fakta tersebut menunjukkan bahwa norepinefrin dan epinefrin meningkat pada fobia sosial.

Fakta yang saling bertentangan ini mungkin berkaitan dengan tahap perkembangan fobia sosial. SSRI, MAOI dan RIMA termasuk obat-obatan anti depresi yang bekerja dengan jalan meningkatkan aktivitas monoamine . Jadi kekurangan monoamine dapat menyebabkan depresi yang merupakan salah satu komplikasi dari fobia sosial. Sebaliknya benzodiazepine dan beta blocker termasuk obat anti cemas yang bekerja dengan jalan menurunkan aktivitas norepinefrin dan epinefrin. Jadi kelebihan norepinefrin dan epinefrin dapat menyebabkan kecemasan yang merupakan gejala utama fobia sosial.

Faktor lingkungan berupa overprotektif atau reaksi penolakan orang tua dalam mengasuh anak juga dapat meningkatkan risiko terjadinya fobia sosial (Franklin 2003).

Sedangkan teori belajar menduga bahwa fobia sosial dipelajari sebagai usaha untuk menghindari hukuman, dalam hal ini berupa penolakan atau pandangan rendah orang lain (Veale 2003). Kelainan ini juga dapat timbul sebagai manifestasi pada body dysmorphic disorder ataupun olfactory reference syndrome dimana penderita merasa malu untuk mengungkapkan kepada dokternya bahwa sebenarnya bentuk tubuh atau bau badanlah yang merupakan sumber kekhawatiran mereka (Veale 2003).

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya social phobia yaitu interaksi antara faktor kerentanan psikologis dan biologis, peristiwa traumatis atau tekanan hidup, serta adanya siklus yang berulang dari pikiran negatif, perasaan dan perilaku menghindar yang menyebabkan kecemasan bertahan (Barlow dalam Kashdan dan Herbert, 2001).

1. Kerentanan Genetik

Beberapa hasil penelitian membuktikan peran faktor genetik terhadap social phobia . Salah satunya adalah sebuah penelitian yang dilakukan terhadap saudara kembar, berdasarkan hasil ditemukan kecocokan sebesar 24.4% untuk kembar monozigot perempuan dan 15.3% untuk kembar monozigot laki-laki (Kendler dkk dalam Kashdan dan Herbert, 2001). Penelitian lainnya dilakukan untuk mengetahui faktor resiko social phobia dalam sebuah keluarga dengan cara membandingkan antara individu yang memiliki kerabat pasien social phobia dengan individu yang tidak memiliki kerabat pasien social phobia . Hasil penelitian menyatakan bahwa adanya peningkatan rata-rata social phobia pada individu yang memiliki kerabat pasien social phobia (Fyer dkk; Mannuza dkk; Reich dan Yates; Stein dkk dalam Kashdan dan Herbert, 2001). Meskipun demikian, ternyata banyak juga individu yang memiliki kerabat pasien social phobia dan saudara kembar dari pasien social phobia tidak mengalami gangguan ini. Dengan demikian faktor lain mungkin turut berperan dalam terjadinya social phobia . Dilaporkan juga dari hasil pencitraan otak dan teknik genotyping bahwa serotonin pengangkut protein dan kepadatan reseptor dopamine berpengaruh pada patogenesis social phobia dan generalized anxiety disorder (Schmidt dkk; Tiihonen dalam Kashdan dan Herbert, 2001).

2. Temperamen Behavioral Inhibition

Beberapa studi menemukan bahwa tipe temperamen dengan karakteristik pemalu, cenderung menahan diri dan menghindar merupakan faktor resiko bagi berkembangnya social phobia di kemudian hari (Stemberger dkk, Turner dkk dalam Kashdan dan Heirbert, 2001). Meskipun usia munculnya social phobia rata-rata 15 tahun, namun karakteristik pemalu sudah muncul sejak usia 21 bulan (Kagan dalam Kashdan dan Heirbert, 2001). Kagan menggunakan istilah behavioral inhibition (BI) untuk menggambarkan kecenderungan bada bayi dan anak-anak untuk menarik diri dari situasi, orang maupun objek yang baru baginya. Anak dengan temperamen ini semasa bayinya digambarkan sebagai bayi yang mudah terganggu dan kurang tidur, mudah cemas di masa balita, dan menarik diri sejak masa anak-anak hingga dewasa (Kagan dkk dalam Kashdan dan Heirbert, 2001). Fakta menyebutkan adanya hubungan antara BI dengan berkembangnya gangguan kecemasan (Biederman dalam Kashdan dan Heirbert, 2001). Hayward dkk (dalam Kashdan dan Heirbert, 2001) meneliti 2.242 mahasiswa dalam kurun waktu 4 tahun, dan ia menemukan bahwa mahasiswa dengan riwayat BI di masa kanak-kanaknya beresiko empat kali lebih besar dibandingkan mahasiswa lainnya untuk mengalami social phobia .

BI juga dikatakan berhubungan dengan tingginya negative affect (NA) dan rendahnya positive affect (PA) yang merupakan ciri dari individu dengan social phobia (Brown dkk; Watson dkk dalam Kashdan dan Heirbert, 2001). Anak dengan temperamen ini memiliki ambang batas reaksi fisiologis yang rendah, NA yang tinggi dikarakteristikkan menunjukkan reaksi fisiologis yang berlebihan, mudah takut terhadap situasi maupun orang yang baru baginya. PA yang rendah bersumber dari kecenderungan menghindari situasi maupun orang baru. Sesuatu hal yang baru dikatakan tidak hanya menimbulkan kecemasan dan penolakan, akan tetapi juga dapat memunculkan emosi positif seperti minat, ketertarikan dan kesenangan (Izard dan Hyson; Spielberger dan Starr dalam Kashdan dan Heirbert, 2001). Anak dengan temperamen BI cenderung mudah curiga dan sangat berhati-hati sehingga saat menghadapi situasi yang baru mereka kurang bereksplorasi dengan lingkungan. Namun demikian tidak semua anak dengan temperamen BI akan mengalami social phobia . Schwartz (dalam Kashdan dan Heirbert, 2001) dalam penelitiannya menemukan hanya 34% remaja yang semasa anak-anaknya tergolong dalam temperamen BI yang menunjukkan simptom social phobia pada usia 13 tahun. Hal ini berarti terdapat faktor lainnya yang dapat mempengaruhi berkembangnya social phobia termasuk diantaranya pengalaman hidup (Stein dalam Kashdan dan Heirbert, 2001).

3. Pengalaman dari lingkungan

Pengalaman hidup yang sering dikatakan berpengaruh dalam berkembangnya simptom-simptom social phobia diantaranya adalah lingkungan keluarga yang maladaptif, tingginya kritikan dan kontrol dari orang tua (Bruch & Heimberg; Whaley dkk dalam Kashdan dan Heirbert, 2001), penolakan dari teman sebaya dan pengalaman menjadi bulan-bulanan (La Greca & Lopez; Slee; Vernberg dkk dalam Kashdan dan Heirbert, 2001), serta trauma akibat pengalaman panik pada suatu situasi sosial (Barlow; Hofman dkk dalam Kashdan dan Heirbert, 2001). Setiap pengalaman tersebut berpotensi untuk menciptakan umpan balik negatif terkait dengan kecemasan, perilaku menghindar dan hambatan dalam kemampuan sosial.

Orang tua berpengaruh terhadap resiko berkembangnya simptom-simptom social phobia pada anak melalui beberapa cara seperti dengan menurunkan kecenderungan negative affect kepada anak, menunjukkan sikap penolakan terhadap anak, tidak memiliki kedekatan emosional dengan anak atau sikap yang terlampau melindungi dan posesif. Selain itu orang tua juga dapat mencontohkan keyakinan negatif mengenai ancaman yang ada di lingkungan, sikap terlalu mementingkan penilaian dari orang lain kepada anak (Chorpita dkk; Ginsburg dkk; dalam Kashdan dan Heirbert, 2001). Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa individu dengan social phobia cenderung mempersepsikan orang tuanya sebagai sosok dengan pergaulan yang terbatas dan kerap menghindar dari situasi sosial serta jarang berkumpul bersama teman ataupun keluarga (Bruch & Heimberg dalam Kashdan dan Heirbert, 2001). Lebih lanjut dikatakan bahwa pengasuhan yang menekankan pentingnya penilaian dari orang lain atau kurangnya komunikasi dan ekspresi emosional dapat mengembangkan sifat pemalu dan rendahnya kemampuan bersosialisasi pada anak (Melfsen dkk dalam Kashdan dan Heirbert, 2001).

Pada penelitian lainnya, Vernberg dkk (dalam Kashdan dan Heirbert, 2001) menemukan bahwa saat anak dengan social phobia masuk ke sekolah baru ia lebih mengalami kesulitan untuk berteman dibandingkan dengan anak yang tidak mengalami social phobia . Kecemasan sosial yang tinggi secara signifikan menyebabkan kurangnya interaksi dan kedekatan yang merupakan faktor penting untuk mengembangkan hubungan pertemanan. Sebuah fakta yang menarik ditemukan yaitu bahwa kecemasan pada anak dengan social phobia juga muncul terhadap teman- teman yang sudah dikenalnya dengan baik bukan semata-mata terhadap situasi atau orang yang baru dikenalnya (Vernberg dkk dalam Kashdan dan Heirbert, 2001).

Peristiwa traumatis pada situasi sosial yang dialami oleh anak-anak dan remaja seperti presentasi yang kacau di depan kelas, menjadi bulan-bulanan oleh teman sebaya juga dapat memicu simptom-simptom social phobia (Albano & Barlow dalam Kashdan dan Heirbert, 2001). Meskipun belum banyak penelitian yang dilakukan mengenai masalah ini namun fakta yang ada menunjukkan bahwa cemoohan dari teman sebaya berhubungan positif dengan kecemasan sosial dan perilaku menghindar pada anak laki-laki maupun perempuan (Asher & Coie; Slee dalam Kashdan dan Heirbert, 2001). Pada sebuah penelitian terhadap orang dewasa dengan karakter pemalu, dilaporkan bahwa pengalaman dicemooh dan dipermalukan oleh teman sebaya dianggap sebagai peristiwa di masa kanak-kanak yang memunculkan ketakutan dan perilaku menghindar (Ishiyama dalam Kashdan dan Heirbert, 2001).