Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya social phobia yaitu interaksi antara faktor kerentanan psikologis dan biologis, peristiwa traumatis atau tekanan hidup, serta adanya siklus yang berulang dari pikiran negatif, perasaan dan perilaku menghindar yang menyebabkan kecemasan bertahan (Barlow dalam Kashdan dan Herbert, 2001).
1. Kerentanan Genetik
Beberapa hasil penelitian membuktikan peran faktor genetik terhadap social phobia . Salah satunya adalah sebuah penelitian yang dilakukan terhadap saudara kembar, berdasarkan hasil ditemukan kecocokan sebesar 24.4% untuk kembar monozigot perempuan dan 15.3% untuk kembar monozigot laki-laki (Kendler dkk dalam Kashdan dan Herbert, 2001). Penelitian lainnya dilakukan untuk mengetahui faktor resiko social phobia dalam sebuah keluarga dengan cara membandingkan antara individu yang memiliki kerabat pasien social phobia dengan individu yang tidak memiliki kerabat pasien social phobia . Hasil penelitian menyatakan bahwa adanya peningkatan rata-rata social phobia pada individu yang memiliki kerabat pasien social phobia (Fyer dkk; Mannuza dkk; Reich dan Yates; Stein dkk dalam Kashdan dan Herbert, 2001). Meskipun demikian, ternyata banyak juga individu yang memiliki kerabat pasien social phobia dan saudara kembar dari pasien social phobia tidak mengalami gangguan ini. Dengan demikian faktor lain mungkin turut berperan dalam terjadinya social phobia . Dilaporkan juga dari hasil pencitraan otak dan teknik genotyping bahwa serotonin pengangkut protein dan kepadatan reseptor dopamine berpengaruh pada patogenesis social phobia dan generalized anxiety disorder (Schmidt dkk; Tiihonen dalam Kashdan dan Herbert, 2001).
2. Temperamen Behavioral Inhibition
Beberapa studi menemukan bahwa tipe temperamen dengan karakteristik pemalu, cenderung menahan diri dan menghindar merupakan faktor resiko bagi berkembangnya social phobia di kemudian hari (Stemberger dkk, Turner dkk dalam Kashdan dan Heirbert, 2001). Meskipun usia munculnya social phobia rata-rata 15 tahun, namun karakteristik pemalu sudah muncul sejak usia 21 bulan (Kagan dalam Kashdan dan Heirbert, 2001). Kagan menggunakan istilah behavioral inhibition (BI) untuk menggambarkan kecenderungan bada bayi dan anak-anak untuk menarik diri dari situasi, orang maupun objek yang baru baginya. Anak dengan temperamen ini semasa bayinya digambarkan sebagai bayi yang mudah terganggu dan kurang tidur, mudah cemas di masa balita, dan menarik diri sejak masa anak-anak hingga dewasa (Kagan dkk dalam Kashdan dan Heirbert, 2001). Fakta menyebutkan adanya hubungan antara BI dengan berkembangnya gangguan kecemasan (Biederman dalam Kashdan dan Heirbert, 2001). Hayward dkk (dalam Kashdan dan Heirbert, 2001) meneliti 2.242 mahasiswa dalam kurun waktu 4 tahun, dan ia menemukan bahwa mahasiswa dengan riwayat BI di masa kanak-kanaknya beresiko empat kali lebih besar dibandingkan mahasiswa lainnya untuk mengalami social phobia .
BI juga dikatakan berhubungan dengan tingginya negative affect (NA) dan rendahnya positive affect (PA) yang merupakan ciri dari individu dengan social phobia (Brown dkk; Watson dkk dalam Kashdan dan Heirbert, 2001). Anak dengan temperamen ini memiliki ambang batas reaksi fisiologis yang rendah, NA yang tinggi dikarakteristikkan menunjukkan reaksi fisiologis yang berlebihan, mudah takut terhadap situasi maupun orang yang baru baginya. PA yang rendah bersumber dari kecenderungan menghindari situasi maupun orang baru. Sesuatu hal yang baru dikatakan tidak hanya menimbulkan kecemasan dan penolakan, akan tetapi juga dapat memunculkan emosi positif seperti minat, ketertarikan dan kesenangan (Izard dan Hyson; Spielberger dan Starr dalam Kashdan dan Heirbert, 2001). Anak dengan temperamen BI cenderung mudah curiga dan sangat berhati-hati sehingga saat menghadapi situasi yang baru mereka kurang bereksplorasi dengan lingkungan. Namun demikian tidak semua anak dengan temperamen BI akan mengalami social phobia . Schwartz (dalam Kashdan dan Heirbert, 2001) dalam penelitiannya menemukan hanya 34% remaja yang semasa anak-anaknya tergolong dalam temperamen BI yang menunjukkan simptom social phobia pada usia 13 tahun. Hal ini berarti terdapat faktor lainnya yang dapat mempengaruhi berkembangnya social phobia termasuk diantaranya pengalaman hidup (Stein dalam Kashdan dan Heirbert, 2001).
3. Pengalaman dari lingkungan
Pengalaman hidup yang sering dikatakan berpengaruh dalam berkembangnya simptom-simptom social phobia diantaranya adalah lingkungan keluarga yang maladaptif, tingginya kritikan dan kontrol dari orang tua (Bruch & Heimberg; Whaley dkk dalam Kashdan dan Heirbert, 2001), penolakan dari teman sebaya dan pengalaman menjadi bulan-bulanan (La Greca & Lopez; Slee; Vernberg dkk dalam Kashdan dan Heirbert, 2001), serta trauma akibat pengalaman panik pada suatu situasi sosial (Barlow; Hofman dkk dalam Kashdan dan Heirbert, 2001). Setiap pengalaman tersebut berpotensi untuk menciptakan umpan balik negatif terkait dengan kecemasan, perilaku menghindar dan hambatan dalam kemampuan sosial.
Orang tua berpengaruh terhadap resiko berkembangnya simptom-simptom social phobia pada anak melalui beberapa cara seperti dengan menurunkan kecenderungan negative affect kepada anak, menunjukkan sikap penolakan terhadap anak, tidak memiliki kedekatan emosional dengan anak atau sikap yang terlampau melindungi dan posesif. Selain itu orang tua juga dapat mencontohkan keyakinan negatif mengenai ancaman yang ada di lingkungan, sikap terlalu mementingkan penilaian dari orang lain kepada anak (Chorpita dkk; Ginsburg dkk; dalam Kashdan dan Heirbert, 2001). Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa individu dengan social phobia cenderung mempersepsikan orang tuanya sebagai sosok dengan pergaulan yang terbatas dan kerap menghindar dari situasi sosial serta jarang berkumpul bersama teman ataupun keluarga (Bruch & Heimberg dalam Kashdan dan Heirbert, 2001). Lebih lanjut dikatakan bahwa pengasuhan yang menekankan pentingnya penilaian dari orang lain atau kurangnya komunikasi dan ekspresi emosional dapat mengembangkan sifat pemalu dan rendahnya kemampuan bersosialisasi pada anak (Melfsen dkk dalam Kashdan dan Heirbert, 2001).
Pada penelitian lainnya, Vernberg dkk (dalam Kashdan dan Heirbert, 2001) menemukan bahwa saat anak dengan social phobia masuk ke sekolah baru ia lebih mengalami kesulitan untuk berteman dibandingkan dengan anak yang tidak mengalami social phobia . Kecemasan sosial yang tinggi secara signifikan menyebabkan kurangnya interaksi dan kedekatan yang merupakan faktor penting untuk mengembangkan hubungan pertemanan. Sebuah fakta yang menarik ditemukan yaitu bahwa kecemasan pada anak dengan social phobia juga muncul terhadap teman- teman yang sudah dikenalnya dengan baik bukan semata-mata terhadap situasi atau orang yang baru dikenalnya (Vernberg dkk dalam Kashdan dan Heirbert, 2001).
Peristiwa traumatis pada situasi sosial yang dialami oleh anak-anak dan remaja seperti presentasi yang kacau di depan kelas, menjadi bulan-bulanan oleh teman sebaya juga dapat memicu simptom-simptom social phobia (Albano & Barlow dalam Kashdan dan Heirbert, 2001). Meskipun belum banyak penelitian yang dilakukan mengenai masalah ini namun fakta yang ada menunjukkan bahwa cemoohan dari teman sebaya berhubungan positif dengan kecemasan sosial dan perilaku menghindar pada anak laki-laki maupun perempuan (Asher & Coie; Slee dalam Kashdan dan Heirbert, 2001). Pada sebuah penelitian terhadap orang dewasa dengan karakter pemalu, dilaporkan bahwa pengalaman dicemooh dan dipermalukan oleh teman sebaya dianggap sebagai peristiwa di masa kanak-kanak yang memunculkan ketakutan dan perilaku menghindar (Ishiyama dalam Kashdan dan Heirbert, 2001).