Apa saja penyakit lisan dalam ajaran Islam?

Ada beberapa penyakit lisan, antara lain:

  • Ghibah: membicarakan orang lain dengan sesuatu yang a. tidak disukai jika didengar orang tersebut.
  • Namimah (adu domba) ialah orang yang mengadu domba perkataan orang lain kepada orang yang diajak bicara, bahkan membeberkan sesuatu yang tidak disukai kalau dibeberkan.
  • Dusta dalam ucapan dan sumpah; yakni suka berbohong dan sumpah palsu.
  • Ucapan keji, caci maki, dan cabul; yakni ucapan-ucapan kotor yang menyakitkan, mencaci maki, dan ucapan-ucapan cabul atau porno.
  • Ejekan dan sindiran; ucapan-ucapan untuk mengejek dan menyindir terhadap orang lain.
  • Debat kusir; adalah saling menyerang dan saling berbantah terhadap ungkapan orang lain tentang sesuatu hal tanpa ilmu pengetahuan dan tidak memedulikan kebenaran yang tujuannya hanya untuk memenangkan pembicaraan.
  • Mengutuk; baik terhadap binatang, benda-benda mati maupun manusia.
  • Tenggelam membicarakan hal-hal bathil; membicarakan kemaksiatan yang dilarang agama.
  • Pertengkaran (khushumah); adalah tekanan dalam berbicara untuk mengambil harta atau hak yang dituju (intimidasi).
  • Berbicara sesuatu yang tidak berarti, termasuk bicara berlebihan.

Lisan “لــسان“ berasal dari akar kata yang terdiri atas tiga huruf; lam - sin – nun yang dihubungkan menjadi “لــسـن “ dan mempunyai makna dasar yaitu panjang yang agak lembut. Dalam lisân al-‘Arabi, kata lisan “لــسان “ diartikan “ الكــالم جـارحة “ jârihat al-Kalâm, yaitu anggota badan yang bisa mengeluarkan perkataan.

Para ahli bahasa memaknai lisan sebagai salah satu organ tubuh yang terdapat di bagian mulut yang menghasilkan kekuatan berbicara yang dapat dimengerti oleh sesama manusia atau disebut juga “الــفـصاحة بـتحريــك “ bi tahrîk alfasâhat, yaitu ketajaman lisan oleh pengguna bahasa Arab disebut “اللســن “ al-lasan.

Ali bin Abi Tâlib berkata :

“Lisan itu sebagai ukuran yang tidak dimengerti oleh kebodohan dan dikuatkan oleh akal pikiran”

Adapun penyakit atau bahaya lisan yang sudah menjadi budaya di kalangan masyarakat saat ini adalah menggunjing, menuduh, mengolok-olok, dusta, dan sumpah palsu. Kelima hal tersebutlah yang melatarbelakangi permasalahan-permasalahan yang terjadi saat ini.

###Menggunjing

Menurut kitab al-Mu‟jam al-Mufahras li al-Fâz al-Qur‟an al-Karîm ditemukan beberapa bentuk kata yang mengandung makna menggunjing, antara lain: dalam QS. al-Hujurât (49) ayat 12, QS. al-Qalam (68) ayat 11, dan QS. alHumazah (104) ayat 1.

####1. Memakan Bangkai Dalam QS. al-Hujurat Ayat 12

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purbasangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah maha penerima taubat lagi maha penyayang.”

Asbabun Nuzul

Ibnu al-Mundzir meriwayatkan dari Ibnu Juraij yang berkata, “Orang banyak menyatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Salmân al-Fârisî. Suatu ketika, Salman memakan sesuatu kemudian tidur lalu mengorok. Seseorang yang mengetahui hal tersebut langsung menyebarkan perihal makan dan tidurnya Salmân al-Fârisî kepada orang banyak. Oleh sebab itu turunlah ayat ini”

####2. Menghambur Fitnah Dalam QS. al-Qalam Ayat 11

“yang banyak mencela, yang kian ke mari menghambur fitnah”.

####3. Neraka Wail Dalam QS. al-Humazah Ayat 1

“Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela”.

Asbabun Nuzul

Ibnu Mundzir meriwayatkan dari Ibnu Ishâq yang berkata, “Setiap kali Umayyah bin Khalaf melihat Rasulullah, maka ia selalu menghina dan mencaci maki beliau. Maka Allah menurunkan ayat-ayat dalam surah ini secara keseluruhan.

Kata yaghtab terambil dari kata ghîbah yang berasal dari kata ghayb, yakni tidak hadir. Ghîbah adalah menyebut orang lain yang tidak hadir di hadapan penyebutnya dengan sesuatu yang tidak disenangi oleh yang bersangkutan. Jika keburukan tersebut tidak terdapat oleh yang bersangkutan, maka itu termasuk buhtân/kebohongan besar.

Dalam kitab lisân al-„Arabi, ghîbah berasal dari kata alIghtiyâb, Ightâba, Igtiyâbân, yang berarti menggunjing atau menuturkan keburukan orang lain yang tidak disukai. Jika yang digunjingnya itu memang benar adanya pada diri seseorang. Maka itulah ghîbah. Dan jika yang digunjingnya itu tidak terdapat pada seseorang, maka itu disebut buhtân.

Nabi Muhammad Saw telah menerangkan definisi ghîbah sebagai berikut :

“Diceritakan dari Yahya ibn Ayub dan Qutaibah dan Ibn Hajar berkata diceritakan dari Ismâ‟îl dari al-„Alâ‟ dari bapaknya dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah bersabda: Tahukah kalian apakah ghîbah itu ? para sahabat menjawab: Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu. Lalu beliau melanjutkan: yaitu kamu menceritakan saudaramu tentang hal yang tidak disukainya. Kemudian seseorang bertanya: bagaimana pendapat tuan jika yang aku ceritakan itu memang ada pada diri saudaraku yang aku ceritakan itu?. Beliau menjawab: bila apa yang kamu ceritakan itu memang ada pada diri saudaramu, maka kamu telah melakukan ghîbah terhadapnya. Dan apabila yang kamu ceritakan itu tidak ada pada diri saudaramu, berarti kamu telah mengada-ada tentangnya” (HR. Muslim)

Yang dimaksud dengan menceritakan, menyebut-nyebut atau menggunjing dalam ayat ini adalah menggunjing secara terang-terangan atau dengan isyarat, dan lain-lain yang bisa menyakiti hati seseorang karena perkataannya. Dan bagi orang-orang yang menggunjing wajib bertaubat kepada Allah Swt dan meminta maaf kepada orang yang digunjingkannya.

Dalam ayat ini Allah Swt. memberikan perumpamaan mengenai menggunjing agar hambanya menjauhi dan berhati-hati terhadap perbuatan keji yaitu dengan perumpamaan “Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati?”.

Maka ada beberapa penekanan pada ayat ini untuk menggambarkan betapa buruknya menggunjing, yaitu :

  • Pertama, pada gaya pertanyaan yang dinamai istifhâm taqrîri yakni yang bukan bertujuan meminta informasi, tetapi mengundang yang ditanya untuk membenarkan.
  • Kedua, ayat ini menjadikan apa yang pada hakikatnya sangat tidak disenangi, dilukiskan sebagai hal yang disenangi.
  • Ketiga, ayat ini mempertanyakan kesenangan itu langsung kepada setiap orang, yakni dengan menegaskan “sukakah salah seorang di antara kamu”.
  • Keempat, daging yang dimakan bukan sekedar daging manusia melainkan daging saudara sendiri.
  • Kelima, ayat ini menyatakan bahwa daging saudara tersebut dalam keadaan mati yang tidak dapat membela diri sendiri.

Pada ayat 11 dalam QS. al-Qalam/68, Allah Swt menyebutkan menggunjing dengan kata “ــبصَّــ “ٕ Hammâz. Kata ini terambil dari kata “ضَٖاى “ alHamzu yang artinya tekanan dan dorongan yang keras atau bisa juga diartikan mendorong/menusuk dengan tangan atau tongkat. Dalam kitab lisân al-„Arabi, kata “ــبصَّــ “ٕ Hammâz berasal dari kata “ضَٖاى “ al-Hamzu, bisa diartikan dengan beberapa arti, yaitu “اىؽــض “ al-Ghaddu (yang halus), ”اىنـــسـش “ al-Kasru (bilangan), “يب عـ ـ ال ” al-„Aybu (aib, cacat, cela), “صر ع ال ” al-„Asaru (debu), dan “ ال غ ي بة” al-Ghîbahl

Dari beberapa pengertian tentang kata “ضَٖاى “ al-Hamzu, dapat disimpulkan bahwa “ضَٖاى“ al-Hamzu adalah suatu tekanan dari lidah yang mendorong orang lain untuk mengucapkan secara halus tentang aib orang lain. Dari sinilah kata tersebut dipahami dalam arti menggunjing, mengumpat, atau menyebut sisi negatif orang lain tanpa sepengetahuan yang bersangkutan/tidak dihadapan orang yang bersangkutan, atau dengan kata lain yang menunjukkan persamaan makna yaitu ghîbah.

Menurut penafsiran Quraish Shihab bahwa kata ghîbah dan hammaz dapat diartikan juga sebagai menggunjing, karena kedua-duanya mempunyai kesamaan dalam perbuatan buruk yang disebabkan oleh lidah. Dengan kata lain, sinonim dari ghîbah adalah hammâz.

Pada ayat 1 dalam QS. al-Humazah, Allah Swt. menyebutkan menggunjing dengan kata “ضحَٖاى“ humazah. Kata ini adalah bentuk jamak dari kata “ــبصَّــ“ٕ hammâz yang terambil dari kata “ضََْٖاى“ al-Hamzu yang artinya tekanan dan dorongan yang keras atau bisa juga diartikan mendorong/menusuk dengan tangan atau tongkat. Sebagaimana kalimat “ِـــٞــبطّٞاىشُ ادَضََـ“َٕ yang artinya dorongan-dorongan/bisikan setan untuk melakukan kejahatan (QS. al Mu‟minûn/23:97).

Kata “ضحَى“ lumazah adalah bentuk jamak dari “بصَّىــــ“ lammâz yang diambil dari kata “ضَْــَاىي“ al-Lamzu, yang digunakan untuk menggambarkan ejekan yang mengundang tawa atau bisa juga diartikan mengejek dengan menggunakan isyarat mata atau tangan yang disertai dengan kata-kata yang diucapkan baik secara berbisik-bisik, di hadapan maupun di belakang orang yang diejek. Dengan kata lain “ضَْــَاىي“ al-Lamzu bisa juga disebut dengan “بةٞاإلؼــزـــ“ al-Ightiyâb

Menurut al-Ghazali, ghîbah tidak terbatas hanya dengan kata-kata saja, tetapi bisa juga dengan tulisan, perbuatan, sindiran atau isyarat yang menggambarkan atau memberikan pengertian tentang keburukan atau kekurangan orang lain.

Menuduh

Menurut kitab al-Mu‟jam al-Mufahras li al-Fâz al-Qur‟an al-Karîm terdapay dua bentuk kata buhtân dalam al-Quran, antara lain: kata “ ُــزــبٖثـ “ dalam QS. al-Nûr (24) ayat 16 dan QS. al-Mumtahanah (60) ayat 12. Dan kata “ بّــزــبٖثـ “dalam QS. al-Nisâ‟ (4) ayat 20, 112, dan 156.13.

####1. Menanggung Dosa Yang Nyata QS. al-Nisâ Ayat 20 dan 112, QS. alAhzab Ayat 58

“Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata?” (QS. al-Nisâ Ayat 20)

“Dan barangsiapa yang mengerjakan kesalahan atau dosa, kemudian dituduhkannya kepada orang yang tidak bersalah, Maka sesungguhnya ia telah berbuat suatu kebohongan dan dosa yang nyata.” (QS. al-Nisâ Ayat 112)

“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, Maka Sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (QS. al-Ahzab Ayat 58)

Kata buhtânân pada ayat-ayat di atas diterjemahkan dengan tuduhan dusta. Kata ini terambil dari kata **bahata, yabhutu, bahtan, dan buhtânan**yang artinya mengherankan. Sama dengan kata dahsy dan kata hayrah yang artinya tercengang dan heran. Kata buhtân bisa juga diartikan bohong. Bohong disebut buhtân karena membuat pendengarnya merasa heran. Tuduhan atau ucapan yang tidak benar akan menyebabkan yang dituduh menjadi heran.

Menurut Abu Ishâq sebagaimana dikutip Ibnu Manzûr di dalam bukunya
lisân al-„Arabi mengatakan bahwa buhtân berarti al-bâtil alladzî yatahayyaru min butlânih (seseorang mengherankan yang kebatilan). Kata al-buht dan al-bahîtah diartikan sebagai dusta atau bohong.

Dalam QS. al-Nisa/4 ayat 112, kata khathi‟ah biasa diartikan kesalahan yang tidak disengaja, tetapi karena ayat di atas menggunakan kata yaksib yang berarti melakukan, maka ini mengisyaratkan bahwa kesalahan yang tidak disengaja itu dilakukan karena adanya kelalaian dan tanggung jawab pelakunya.

Namun, ada juga yang memahami kata khathi‟ah dalam arti dosa yang tidak menyentuh orang lain, seperti meninggalkan kewajiban shalat atau puasa, melakukan perbuatan yang haram, dan lain-lain. Sedangkan kata itsman yang diambil dari kata al-Itsm yang berarti al-Dzanbu, yaitu dosa atau kesalahan. Namun kata itsman yang dimaksud pada ayat ini adalah dosa yang berdampak terhadap orang lain, seperti membunuh atau mencuri.

Dalam QS. al-Ahzab ayat 58, Kata iktasabû terambil dari kata kasaba-yaksibu-kasban-takassaba-iktasab yang berarti Talab al-Rizq (mencari rizki) atau bisa juga Tasarrafa wajtahad (kelakuan, tingkah laku dan berusaha dengan sungguh-sungguh). Namun yang dimaksud iktasabû dalam ayat ini adalah untuk menunjuk perbuatan manusia yang disengaja.

Dan kata ihtamalû terambil dari kata hamala-yahmilu-hamlân-humlânân-mahmûlun, yang berarti **ghadib (**marah). Namun yang dimaksud ihtamalû pada ayat ini adalah mereka yang membebani diri mereka sendiri dengan suatu beban yang mestinya mereka tidak perlu memikulnya, akan tetapi karena mereka melakukan penghinaan, tuduhan, dan lain-lain, maka terpaksalah mereka memikul beban tersebut dengan susah payah.

####2. Bai’at Dalam QS. al-Mumtahanah/60 Ayat 12

“Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tiada akan menyekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang.”

Dalam QS. al-Mumtahanah ayat 12 terdapat kalimat “walâ ya‟tîna bi buhtânin yaftarînahu baina aydîhinna wa arjulihinna” mengandung beberapa kemungkinan makna. Menurut M. Quraish Shihab, dalam karyanya “Tafsir al-Misbah”, dari Thâhir ibn „Âsyûr, yaitu :

  1. Jika yang dimaksud dengan buhtân adalah berita bohong, maka kalimat di atas bermakna mengada-ada dan berbohong secara langsung di hadapan yang dituduh.
  2. Jika yang dimaksud dengan buhtân adalah sesuatu yang merupakan bahan kebohongan, maka kalimat ayat di atas bermakna mengaku hamil, yang kemudian dia memungut anak dan menyatakan bahwa anak itu adalah anak sah dari suaminya, dengan tujuan agar suaminya tidak menceraikannya atau dengan tujuan lainnya.
  3. Jika kata buhtân diartikan sebagai kedurhakaan, maka makna ini bermakna membolehkan pria selain suaminya melakukan sesuatu kedurhakaan pada diri mereka, misalnya mencium, memegang-megang, meraba-rabanya, inilah yang dimaksud “dengan mengadakan adakan antara tangan-tangan mereka”, sedangkan berzina dengannya, inilah yang dimaksud “dengan mengada-adakan antara kaki-kaki mereka”

Dalam ayat-ayat di atas mengenai buhtân sebagian besar dihubungkan dengan kata itsmân mubinân dan Adzhimân. Artinya Allah telah menetapkan bahwa buhtân salah satu perbuatan dosa besar dan Allah telah mengancam bagi hambanya yang suka menuduh dengan menanggung dosa yang besar pada hari kiamat kelak.

Mengolok-olok

Menurut kitab al-Mu‟jam al-Mufahras li al-Fâz al-Qur‟an al-Karîm terdapat beberapa kata yang mengandung makna mengolok-olok atau mencela, didalam Al-Quran, mulai dari fi‟il madi, fi‟il mudâri‟, fi‟il „amr, masdar, dan lain-lain.

Mengolok-olok terdapat dalam QS. al-Taubah (9) ayat 65, QS. al-Baqarah (2) ayat 15, QS. al-An‟âm (6) ayat 5 dan 10, QS. Hûd (11) ayat 8, QS. Hijir (15) ayat 11, QS. an-Nahl (16) ayat 34, QS. al-Anbiyâ‟ (21) ayat 41, QS. alSyu‟arâ‟ (26) ayat 6, QS. al-Rûm (30) ayat 10, QS. Yasîn (36) ayat 30, QS. al-Zumar (39) ayat 48, QS. Ghâfir (40) ayat 83, QS. al-Zukhruf (43) ayat 7, QS. alJâtsiyah (45) ayat 33, QS. al-Ahqâf (46) ayat 26, QS. al-Taubah (9) ayat 64, QS. alAn‟âm
(6) ayat 10, QS. al-Ra‟d (13) ayat 32, QS. al-Anbiyâ‟ (21) ayat 41, QS. al-Nisâ‟ (4) ayat 140, QS. al-Baqarah (2) ayat 14, QS. al-Hijir (15) ayat 95, QS. alBaqarah (2) ayat 67 dan 231, QS. al-Mâ‟idah (5) ayat 57, QS. al-Kahfi (18) ayat 56 dan 106, QS. al-Anbiyâ‟ (21) ayat 36, QS. al-Furqân (25) ayat 41, QS. Luqmân (31) ayat 6, QS. al-Jâtsiyah (45) ayat 9 dan 35.23

  1. Terombang-ambing dalam kesesatan pada QS. al-Baqarah {2}ayat 14-15

“Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan: “Kami telah beriman”. dan bila mereka kembali kepada syaitan-syaitan mereka, mereka mengatakan: "Sesungguhnya Kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-olok. Allah akan (membalas) olok-olokan mereka dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan mereka.”

Asbabun Nuzul

Diriwayatkan al-Wâhidî dan al-Tsa‟labî dari jalur Muhammad ibn marwân dan al-Sady al-Saghîr dari al-Kalbi dari Abi Sâlih dari Ibn „Abbas, berkata bahwa ayat ini diturunkan berkaitan tentang Abdullah bin Ubay dan kawan-kawannya yang pada suatu hari di saat mereka bertemu dengan beberapa sahabat Nabi SAW, Abdullah bin Ubay berkata kepada teman-temannya: “Lihatlah, bagaimana caranya aku mempermainkan mereka yang bodoh-bodoh itu!”

Ia pun mendekat dan menjabat tangan Abu Bakar sambil berkata. “Selamat penghulu Bani Taim dan Syaikhul Islam dan orang kedua beserta Rasulullah di gua (Tsaur) yang mengurbankan jiwa dan harta bendanya untuk Rasulullah.”

Kemudian ia menjabat tangan Umar sambil berkata: “Selamat penghulu Bani Adi bin Ka’b yang mendapat gelaran al-Fâruq, yang kuat memegang Agama Allah, yang mengurbankan jiwa dan harta bendanya untuk Rasulullah.”

Kemudian ia menjabat tangan Ali bin Abi Thalib sambil berkata: “Selamat saudara sepupu Rasulullah, mantunya, dan penghulu bani Hasyim sesudah Rasulullah.” Setelah itu mereka berpisah dan berkatalah Abdullah bin Ubay kepada kawan-kawannya. “Sebagaimana kamu lihat perbuatanku tadi, jika kamu bertemu dengan mereka, berbuatlah seperti apa yang telah kulakukan.” Kawan-kawannya pun memuji-muji Abdullah bin Ubay.

Setibanya Kaum Muslimin (Abu Bakar, Umar dan Ali) kepada Nabi Saw. mereka memberitahukan peristiwa tadi, maka turunlah ayat di atas.

####2. Tidak memfungsikan akal dalam QS. al-Mâ‟idah {5} ayat 58

“Dan apabila kamu menyeru (mereka) untuk (mengerjakan) sembahyang, mereka menjadikannya buah ejekan dan permainan. yang demikian itu adalah karena mereka benar-benar kaum yang tidak mau mempergunakan akal.”

####3. Neraka Jahanam dalam QS. al- Nisâ‟{4} ayat 140

“Dan sungguh Allah telah menurunkan kekuatan kepada kamu di dalam Al Quran bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. karena Sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahanam.”

####4. Balasan (adzab) yang tak bisa dihindarkan dalam QS. al-An‟âm/6 Ayat 10

“Dan sungguh telah diperolok-olokkan beberapa Rasul sebelum kamu, Maka turunlah kepada orang-orang yang mencemoohkan di antara mereka balasan (azab) olok-olokan mereka”.

####5. Ancaman adzab pedih dalam QS. at-Taubah {9} ayat 79

“(Orang-orang munafik itu) Yaitu orang-orang yang mencela orang-orang mukmin yang memberi sedekah dengan sukarela dan (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan) selain sekedar kesanggupannya, Maka orang-orang munafik itu menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka itu, dan untuk mereka azab yang pedih”.

Asbabun Nuzul

al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dalam bâb al-Zakâh dari Ibnu Mas‟ûd berkata, “Ketika turun ayat sedekah, kami memikul harta benda kami di atas punggung kami. Lalu datanglah seseorang yang menyedekahkan hartanya yang banyak. Dan orang-orang pun berkata, “Dia mau pamer”. Kemudian datang pula seseorang yang menyedekahkan satu dan mereka berkata, “sungguh Allah tidak memerlukan sedekah orang ini”. Maka turunlah ayat ini.

####6. Adzab yang menghinakan dalam QS. Luqmân/31 Ayat 6

“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan Perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan. Dan menjadikan jalan Allah itu olok olokan mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan”.

Asbabun Nuzul

Juwaibir meriwayatkan dari Ibnu Abbâs bahwa Ayat ini turun tentang al-Nasr ibn al-Harits yang membeli seorang budak wanita penyanyi. Setiap kali ia mendengar ada orang yang hendak masuk Islam, ia membawanya kepada penyanyinya itu dan berkata, “beri ia makan dan minum serta nyanyikan lagu untuknya. Ini lebih baik dari apa yang diserukan oleh Muhammad kepadamu: shalat puasa, dan berperang untuk membelanya.” Maka turunlah ayat ini.

Jalaluddin as-Suyuthi mengutip dari al-Qurthubi, bahwa ayat ini turun tentang al-Nasr ibn al-Harits sebab ia membeli buku-buku bangsa asing yang berisi kisah-kisah tentang Rustum dan Spandiar dari Persia. Dia bangga dengan kandungan buku itu, sehingga ia mengundang orang untuk mendengarnya agar mereka berdalih dari alQuran. Dan kalau orangorang Quraisy mengatakan bahwa Muhammad berkata ini-itu, dia tertawa lalu Ia mengatakan, “kisahku ini lebih baik daripada perkataan Muhammad.” Hal ini dituturkan oleh al-Kalbi.

####7. Mengolok termasuk perbuatan dzhalim dalam QS. al-Hujurât {49} ayat 11

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh Jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan Barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim”.

Asbabun Nuzul

Dari Abu Jabir Ibn al-Dahâk berkata, “Adakalanya seorang lakilaki memiliki dua atau tiga nama panggilan. Boleh jadi ia kemudian dipanggil dengan nama yang tidak disenanginya. Sebagai responnya, turunlah ayat, “…dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk…”. Imam at-Tirmidzî menyatakan bahwa riwayat ini berkualitas hasan.

Dalam riwayat lain dari Imam Ahmad yang juga dari Abu Jabirah disebutkan, ayat ini turun berkenaan dengan kami, Bani Salamah. Pada saat Nabi Saw. Sampai di Madinah, setiap laki-laki dari Bani Salamah memiliki dua atau tiga nama panggilan. Suatu ketika, Nabi saw. memanggil salah seorang dari mereka dengan nama tertentu, kemudian orang-orang berkata kepada Rasulullah, “wahai Rasulullah, sesungguhnya ia marah dengan panggilan tersebut.” Maka tidak lama kemudian turunlah ayat ini.

Dalam kitab lisân al-„Arabi kata yastahzi‟u terbentuk dari kata
tahazza-a’istahja’a yang di ambil dari kata, haza a-yahja u-huz‟ân, yang artinya adalah sakhira, alSukhriyah, al-Sukhriyyu, yaitu olok-olokan, ejekan atau ejekan yang menimbulkan tertawaan orang, atau bisa juga diartikan perkataan pedas yang menyakitkan hati.

Dalam ayat lain juga terdapat dua kata yang berbeda namun mempunyai arti yang sama, yaitu: kata istuhzi‟a terbentuk dari kata tahazza‟a-istahja’a, yang di ambil dari kata haza‟a-yahja‟uhuz‟ân, yang mengandung arti ejekan. Dan kata sakhirû terambil dari kata, sukhriyah-sukhriyyân-sikhriyyân-sukhratan yang mempunyai arti huz‟u, dahiktu minhu wa dahiktu bih, yaitu ejekan yang menjadi bahan tertawaan orang atau bisa juga diartikan ejekan yang disertai pelecehan dan penghinaan terhadap yang dicemoohkan.

Maksud firman Allah Swt. Dalam QS. al-Baqarah/2 ayat 15, “….Allah memperolok-olok mereka…”, ini merupakan pernyataan Allah terhadap orang munafik, bahwa Allah sendiri yang akan membalas mereka setimpal dengan apa yang mereka lakukan. Jika mereka memperolok-olok dengan berbagai sikap dan tingkah, maka Allah pun akan mengambil tindakan yang serupa dengan memperolok-olokan mereka.

Makna Allah akan membalas dengan tindakan serupa, bukan berarti Allah mengolok-olok mereka dengan perkataan-Nya. Kata memperolok-olok disini hanya merupakan majaz dari kata memperolok-olok sebelumnya, karena untuk mengisyaratkan bahwa sanksi itu setimpal dengan dosa yang mereka lakukan.

Salah satu cara Allah Swt. memperolok-olok mereka adalah Allah membiarkan mereka terjerumus dalam kesesatan di dunia sehingga mereka tidak mampu sadar akan kesesatannya. Namun Allah tetap memperlakukan mereka sama dengan perlakuan Allah terhadap orang-orang beriman, tetapi di akhirat nanti mereka akan mendapatkan siksa yang amat pedih.

Dalam QS. al-Nisa/4 ayat 140, terdapat kata “masuk ke dalam sesuatu yang cair”. Artinya seseorang yang terjerumus ke dalam ejekan atau olok-olokan mereka, maka ia tidak akan mendapatkan kebahagiaan, jalan kebahagiaan itu selalu tertutup karena terhalang oleh pembicaraan yang tidak pernah memberikan solusi terbaik.

Hal ini diumpamakan ketika seseorang menepuk air sungai, maka air tersebut tidak membelah. Air itu langsung menyatu kembali tanpa ada kesempatan untuk membuat celahan atau belahan dari hasil tepukan seseorang. Inilah yang dimaksud dengan kata yakhûdû. ( M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah)

Kalimat “tentulah kamu serupa dengan mereka”. Maksudnya, jika seseorang duduk bersama orang-orang yang sedang mengolok-olok, mencela ayat-ayat Allah atau tentang syari‟at Islam, maka ia termasuk ke dalam kelompok mereka, karena telah rela mendengar kebatilan dan kekufuran yang mereka ucapkan. Akibatnya, Allah akan mengumpulkan mereka bersama-sama di dalam neraka jahanam. Inilah balasan orang yang suka menghina, mencela, memperolok-olok ayat-ayat Allah.

Dalam QS. al-An’am/6 ayat 10, Kata hâqa yang artinya menimpa, beberapa ulama tafsir ada yang memahaminya dalam arti “menjadi kepastian” yang tidak bisa dihindarkan. Namun, ada juga yang memahaminya dalam arti “meliputi”. Artinya apa yang menimpa mereka tidak hanya sentuhan atau siksa yang mengenai bagian tertentu dari diri mereka atau hanya mengenai sebagian dari mereka, tetapi siksa itu menimpa secara keseluruhan yang terlibat dalam olok-olok dan tidak satupun yang dapat lolos dari siksa-Nya.

Kata lahw al-Hadîs dalam QS. Luqman/31 ayat 6 adalah kalimat murakkab yang terdiri dari dua kata, yaitu lahw yang berakar dari fi‟il madi lahâ, yang mempunyai arti al-La‟ib, yaitu permainan, bermain-main, senda gurau, tidak berguna atau bisa juga diartikan sembarangan.

Sedangkan al-Hadîs diambil dari kata hadatsa, yahdutsu, hudûsân, yaitu omongan, perkataan, pembicaraan, obrolan, dan sejenisnya.

Dalam koneks ayat di atas, Allah sedang menjelaskan bahwa di antara manusia lainnya masih banyak yang menggunakan perkataaannya untuk hal-hal yang tidak berguna, main-main, sembarangan, untuk menyesatkan manusia lainnya dari jalan Allah Swt. Kebanyakan mereka menggunakan perkataannya dengan tidak dilandasi pengetahuan yang benar sehingga menyebabkan ajaran Allah Swt dijadikan bahan olok-olokan.

Dalam QS. al-Hujurat/49 ayat 11 Quraish Shihab mengutip dari Ibnu „Asyur, mengartikan dengan arti ejekan yang langsung dihadapkan kepada yang diejek, baik dengan isyarat, bibir, tangan atau kata-kata yang dipahami sebagai ejekan atau ancaman.

Berbeda dengan kata tanâbazû (saling memberi gelar buruk) yang terbentuk dari kata al-Nabzu (gelar buruk) dan diambil dari kata nabadza, yang artinya membuang. Namun dalam lisân al-„Arabi kata nabadza diartikan melemparkan atau mengutarakan kejelekan seseorang tentang kedudukannya, baik dihadapannya ataupun dibelakangnya. Dan bisa juga diartikan dengan melakukan perbuatan ataupun dengan perkataan tentang yang ada pada dirinya.

Ada tiga makna dari keterangan diatas, yaitu:

  • Janganlah mengejek orang lain, karena mereka sama dengan dirimu sendiri, ejekanmu terhadap mereka berarti ejekan terhadap dirimu sendiri.
  • Jangan mengejek orang lain, karena ejekan itu dapat mengundang yang diejek untuk mengejek kamu pula
  • Jangan mengejek dirimu sendiri, dengan jalan melakukan suatu perbuatan yang mengundang orang lain menertawakan dan mengejekmu.

###Dusta atau Bohong

Menurut kitab al-Mu‟jam al-Mufahras li al-Fâz al-Qur‟an al-Karîm ditemukan banyak sekali bentuk kata yang mengandung makna dusta.

####1. Dosa Yang Nyata Dalam QS. al-Nisâ‟/4 Ayat 50

“Perhatikanlah, betapa mereka mengada-adakan dusta terhadap Allah? dan cukuplah perbuatan itu menjadi dosa yang nyata (bagi mereka)”.

####2. Siksa Yang Sangat Menghinakan Dalam QS. al-An‟âm/6 Ayat 93

“Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat kedustaan terhadap Allah atau yang berkata: “Telah diwahyukan kepada saya”, Padahal tidak ada diwahyukan sesuatupun kepadanya, dan orang yang berkata: “Saya akan menurunkan seperti apa yang diturunkan Allah.”
Alangkah dahsyatnya Sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zalim berada dalam tekanan sakratul maut, sedang Para Malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata): “Keluarkanlah nyawamu” di hari ini kamu dibalas dengan siksa yang sangat menghinakan, karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayatNya.”

Asbabun Nuzul

Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ikrimah mengenai firman-Nya, “Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat kedustaan terhadap Allah atau yang berkata: “Telah diwahyukan kepada saya”…”. Ia berkata, Ayat ini turun berkenaan dengan Musailamah, sedangkan ayat, “…dan orang yang berkata, Saya akan menurunkan seperti apa yang diturunkan Allah…" turun berkenaan dengan Abdullah bin Sa‟ad bin Abi Sarh. Dia dahulu menulis surat kepada Nabi Saw., berisi ungkapan “„Azîzun hakîm”, lalu Nabi Saw. membalas surahnya dan berisi ungkapan “ghafûrun rahîm”. Tatkala surat balasan itu dibacakan kepadanya, dia berkata, “ya, sama saja”. Maka dia pun keluar dari Islam dan bergabung dengan orang-orang kafir Quraisy. Al-Suddi meriwayatkan hal senada dan ia menambahkan bahwa Abdullah ini berkata, “kalau Muhammad diberi wahyu, akupun diberi wahyu. Kalau Allah menurunkan wahyu kepadanya, akupun menerima seperti apa yang diturunkan Allah itu, Muhammad berkata, “samî‟ân „alîmân”, akupun berkata, „alîmân hakîmân.”

####Kekal Di Dalam Neraka dan Tidak Akan Masuk Surga Dalam QS. alA‟râf/7 Ayat 36, 40

“Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya, mereka itu penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.

“Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat kami dan menyombongkan diri terhadapnya, sekali-kali tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit dan tidak (pula) mereka masuk surga, hingga unta masuk ke lubang jarum. Demikianlah kami memberi pembalasan kepada orang-orang yang berbuat kejahatan.”

####4. Kemunafikan Dalam Hati Dalam QS. at-Taubah/9 Ayat 77

“Maka Allah menimbulkan kemunafikan pada hati mereka sampai kepada waktu mereka menemui Allah, karena mereka telah memungkiri terhadap Allah apa yang telah mereka ikrarkan kepada-Nya dan juga karena mereka selalu berdusta.”

####5. Disegerakan Masuk Ke Neraka Dalam QS. al-Nahl/16 Ayat 62.

“Dan mereka menetapkan bagi Allah apa yang mereka sendiri membencinya, dan lidah mereka mengucapkan kedustaan, Yaitu bahwa Sesungguhnya merekalah yang akan mendapat kebaikan. Tiadalah diragukan bahwa nerakalah bagi mereka, dan Sesungguhnya mereka segera dimasukkan (ke dalamnya).”

####6. Neraka Jahannam Dalam QS. al-Ankabut/29 Ayat 68

“Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang mengada-adakan kedustaan terhadap Allah atau mendustakan yang hak tatkala yang hak itu datang kepadanya? Bukankah dalam neraka Jahannam itu ada tempat bagi orang-orang yang kafir?”

Kata al-Kadzib di sini adalah sesuatu yang diucapkan lisan, namun pada kenyataannya tidak sesuai dengan isi hati. Kata al-Kadzib sendri berasal dari kata kadzaba-yukadzibu-kadzibân, yang artinya diddu al-Sidq, yaitu tidak benar.

Kata ghamarât yang diartikan sakarat al-maut atau al-Harb al-Maut adalah bentuk jamak dari ghamrat yang diambil dari akar kata ghamara-al-Ghamru yang artinya al-Mâ‟u al-Katsîr, yaitu banyak air, membanjiri, atau menggenangi. Maksudnya adalah memenuhi sesuatu, atau menutupi dan menghilangkan bekas-bekasnya.

Kata ini mengandung makna kesungguhan dan ketiadaan ampun yang diberikan oleh para malaikat yang sedang mencabut nyawa seorang pendusta. Hal ini menggambarkan betapa kasar dan kejamnya malaikat ketika menghadapi seorang yang pendusta, dan lain-lain, sambil berkata “keluarkanlah nyawamu untuk menghadapi siksaan yang akan kamu hadapi”. Inilah balasan bagi orang-orang yang berbuat dusta kepada Allah.

Maksud mendustakan ayat-ayat Allah pada ayat surat al-A’raf adalah mendustakan pokok-pokok dan hukum-hukum agama, seperti yang berhubungan dengan adanya Allah dan ke-Esaan-Nya, dan yang berhubungan dengan kenabian, hari kiamat, hari kebangkitan dan lain-lainnya. Maka orang seperti inilah yang tidak akan dibukakan pintu langit dan tidak akan masuk surga.

Ada beberapa pengertian tentang tidak dibukakannya pintu langit, diantaranya adalah tidak akan diterima amal mereka dan tidak akan sampai kepada Allah. Bahkan bukan saja amal dan usahanya yang tidak sampai kepada Allah, do‟a dan permintaan pun tidak akan sampai kepada Allah. M. Quraish Shihab mengutip dari Thahir Ibn Âsyûr yang berpendapat bahwa kalimat abwâbas sama‟ atau pintu-pintu langit ini hanya untuk mengisyaratkan bahwa mereka tidak akan memperoleh aneka limpahan karunia ilahi yang bersifat ruhaniah atau spiritual.

Demikianlah istilah tersebut menggambarkan keadaan mereka yang mendapatkan kesesatan sehingga tidak menemukan kemudahan untuk masuk surga.

Sedangkan maksud perumpamaan kata “hingga unta masuk ke dalam lubang jarum” dalam ayat tersebut, penulis berpendapat bahwa ini adalah sebuah penekanan bahwa tidak akan dibukakan pintu langit dan tidak akan masuk surga selama-lamanya. Sebagaimana unta tidak akan pernah masuk selama-lamanya ke dalam lubang jarum tersebut.

Ada tiga penekanan pada ayat ini tentang keburukan kaum musyrikin.

  • Pertama, kata iftarâ, yang artinya mengada-ada, berbohong.
  • Kedua, kebohongan yang dimaksud bukan kebohongan terhadap makhluk, tetapi terhadap Allah Swt.
  • Ketiga, kebohongan ini bukan kebohongan yang kecil tapi kadzibân atau kebohongan besar.

###Sumpah Palsu

####1. Tidak akan dilihat oleh Allah Swt. dalam QS. ali „Imrân/3 Ayat 77

“Sesungguhnya orang-orang yang menukar janji (nya dengan) Allah dan sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit, mereka itu tidak mendapat bahagian (pahala) di akhirat, dan Allah tidak akan berkatakata dengan mereka dan tidak akan melihat kepada mereka pada hari kiamat dan tidak (pula) akan mensucikan mereka. bagi mereka azab yang pedih.”

Asbabun Nuzul

Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ikrimah bahwa ayat ini turun berkaitan dengan Huyai bin Akhtab, Ka‟ab ibn al-Asyraf, dan orang-orang Yahudi lainnya yang menyembunyikan Taurat asli yang diturunkan oleh Allah. Lalu mereka mengubahnya dan bersumpah bahwa itu adalah dari Allah.

####2. Membinasakan Diri Sendiri dan Allah yang menjadi saksi atas sumpah seseorang Dalam QS. at-Taubah/9 Ayat 42, 107

“Kalau yang kamu serukan kepada mereka itu Keuntungan yang mudah diperoleh dan perjalanan yang tidak seberapa jauh, pastilah mereka mengikutimu, tetapi tempat yang dituju itu Amat jauh terasa oleh mereka. Mereka akan bersumpah dengan (nama) Allah: “Jikalau Kami sanggup tentulah Kami berangkat bersama-samamu.” mereka membinasakan diri mereka sendiri dan Allah mengetahui bahwa Sesungguhnya mereka benar-benar orang-orang yang berdusta.”

“Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudharatan (pada orang-orang mukmin), untuk kekafiran dan untuk memecah belah antara orang-orang mukmin serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. Mereka sesungguhnya bersumpah: “Kami tidak menghendaki selain kebaikan.” dan Allah menjadi saksi bahwa Sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya).”

Asbabun Nuzul

Ayat 107 ini diturunkan kepada Bani Ghunum bin Auf dari suku Khazaj yang membangun masjid dhirar atas perintah pendeta Abu Amir sebagai ungkapan rasa dengki kepada Bani Amru bin Auf dari suku „Aus yang telah membangun masjid Quba. Mereka meminta Nabi Saw. untuk shalat di dalamnya sebagaimana beliau telah shalat di masjid Quba‟. Nabi meminta maaf tidak bisa shalat di sana sampai sekembalinya beliau dari perang tabuk. Maka kemudian ayat ini turun kepada beliau yang memberitahukan maksud didirikannya masjid dirar itu, dan memerintahkan kepada beliau untuk merobohkan serta membakar masjid itu.