Apa saja pendekatan dalam Ilmu Politik?

gambarhttps://image.slidesharecdn.com/pengantarilmupolitik-130130211445-phpapp02/95/pengantar-ilmu-politik-27-638.jpg?cb=1359580592

  1. Pendekatan Legal/Institusional

    Disebut juga pendekatan tradisional. Dalam Pendekatan ini negara menjadi fokus pokok, terutama dalam segi konstitusional dan yuridisnya. Bahasan tradisionalnya menyangkut antara lain sifat dari undang-undang dasar, masalah kedaulatan, kedudukan dan kekuasaan formal serta yuridis dari lembaga-lembaga kenegaraan. Dengan demikian pendekatan tradisional ini mencangkup baik unsur legal maupun institusional.

    Para peneliti tradisional tidak mengkaji apakah lembaga itu memang terbentuk dan berfungsi seperti yang dirumuskan dalam naskah-naskah resmi tersebut. Pada saat bersamaan, pendekatan tradisional tidak menghiraukan organisasi informal. Bahasan ini lebih bersifat statis dan deskriptif daripada analitis, dan banyak memakai ulasan sejarah. Lagi pula dalam proses pembahasan, fakta kurang dibedakan dengan norma.

    Yang terjadi, pendekatan tradisional lebih sering bersifat normatif dengan mengansumsikan norma-norma demokrasi Barat. Menurut penglihatan ini, negara ditafsirkan sebagai suatu badan dari norma-norma konstitsional yang formal.

  2. Pendekatan Perilaku

    Salah satu pemikiran pokok dari pelopor-pelopor pendekatan perilaku adalah bahwa tidak ada gunanya membahas lembaga-lembaga formal karena bahasan itu tidak banyak memberi informasi mengenai proses politik yang sebenarnya. Sebaliknya, lebih bermanfaat bagi peneliti untuk mempelajari manusia itu sendiri serta perilaku politiknya, sebagai gejala yang benar-benar dapat diamati. Pembahasan mengenai perilaku bisa saja terbatas pada perilaku perorangan saja, tetapi dapat juga mencangkup kesatuan-kesatuan yang lebih besar.

    Ciri-Ciri Pendekatan Tingkah Laku:
    1.Pendekatan ini cenderung bersifat interdisipliner, maksudnya tidak saja mempelajari dampak faktor pribadi tetapi juga dampak dari faktor sosial, ekonomi, dan budaya.
    2.Merupakan suatu orientasi kuat untuk lebih mengilmiahkan ilmu politik. Orientasi ini mencakup beberapa konsep pokok (David Easton dan Albert Somit), antara lain:
    a. Perilaku politik menampilakan keteraturan (regularities).
    b. Generalisasi-generalisasi ini pada dasarnya harus dapat dibuktikan keabsahan atau kebenarannya (verification).
    c. Teknik-teknik penelitian yang cermat harus digunakan untuk mengumpulkan dan menganalisis data.
    d. Pengukuran dan kuantifikasi (antara lain melalui statistik dan matematika ) harus digunakan untuk mencapai kecermatan dalam penelitian.
    e. Harus ada usaha untuk membedakan secara jelas antara norma (ideal atau standard yang harus menjadi pedoman untuk tingkah laku) dan fakta (sesuatu yang dapat dibuktikan berdasarkan pengamatan atau pengalaman).
    f. Penelitian harus bersifat sistematis dan berkaitan dengan pembinaan teori.
    g. Ilmu politiik harus bersifat murni (pure science) dalam arti bahwa usaha untuk memahami dan menjelaskan perilaku politik harus mendahului usaha untuk menerapkan pengetahuan itu bagi penyelesaian masalah-masalah social.
    h. Dalam penelitian politik diperlukan sikap terbuka serta integrasi dengan konsep-konsep dan teori-teori ilmu lainnya.

  3. Pendekatan Neo-Marxis

    Para Marxis ini, yang sering dinamakan Neo-Marxis untuk memmbedakan mereka dari orang Marxis klasik yang lebih dekat dengan komunisme, bukan merupakan kelompok yang ketat organisasinya atau mempunyai pokok pemikiran yang sama.

    Kebanyakan kalangan Neo-Marxis adalah cendekiawan yang berasal dari kalangan “borjuis” dan seperti cendekiawan di mana-mana, enggan menggabungkan diri dalam organisasi besar seperti partai politik atau terjun aktif dalam kegiatan politik praktis. Hanya ada satu atau dua kelompok yang militan antara lain golongan Kiri Baru (New Left).

    Salah satu kelemahan yang melekat pada golongan Neo-Marxis adalah bahwa mereka mempelajari Marx dalam keadaan dunia yang sudah banyak berubah. Marx dan Engels tidak mengalami bagaimana pemikiran mereka dijabarkan dan diberi tafsiran khusus oleh Lenin. Tafsiran ini kemudian dibakukan oleh Stalin dan diberi nama Marxisme-Leninisme dan Komunisme. Selain itu karya Marx dan Engels sering ditulis dalam keadaan terdesak waktu sehingga tidak tersusun secara sistematis, sering bersifat fragmentaris dan terpisah-pisah. Dengan demikian banyak masalah yang oleh golongan Neo-Marxis dianggap masalah pokok, hanya disinggung sepintas lalu atau tidak disinggung sama sekali.

    Fokus analisis Neo-Marxis adalah kekuasaan serta konflik yang terjadi dalam negara. Mereka mengecam analisis struktural-fungsional dari para behavioralis karena terlampau mengutamakan harmoni dan keseimbangan sosial dalam suatu sistem politik. Menurut pandangan struktural-fungsional, konflik dalam masyarakat dapat diatasi melalui rasio, iktikad baik, dan kompromi, dan ini sangat berbeda dengan titik tolak pemikiran Neo-Marxis.

  4. Dependency Theory

    Kalangan lain yang juga berada dalam rangka teori-teori kiri, yang kemudian dikenal sebagai Teori Ketergantungan, adalah kelompok yang menkhususkan penelitiannya pada hubungan antara negara Dunia Pertama dan Dunia Ketiga.

    Bertolak dari konsep Lenin mengenai imperalisme, kelompok ini berpendapat bahwa imperalisme masih hidup, tetapi dalam bentuk lain yaitu dominasi ekonomi dari negara-negara kaya terhadap negara-negara yang kurang maju.

    Pembangunan yang dilakukan negara-negara yang kurang maju atau Dunia Ketiga, hampir selalu berkaitan erat dengan kepentingan pihak Barat. Pertama, negara bekas jajahan dapat menyediakan sumber daya manusia dan sumber daya alam. Kedua, negara kurang maju dapat menjadi pasar untuk hasil produksi negara maju, sedangkan produksi untuk ekspor sering ditentukan oleh negara maju.

  5. Pendekatan Pilihan Rasional (Rational Choice)

    Pendekatan ini muncul dan berkembang belakangan sesudah pertentangan antara pendekatan-pendekatan yang dibicarakan di atas mencapai semacam konsensus yang menunjukkan adanya plularitas dalam bermacam-macam pandangan. Ia juga lahir dalam dunia yang bebas dari peperangan besar selama empat dekade, di mana seluruh dunia berlomba-lomba membangun ekonomi negaranya. Berbagai variasi analisis telah mengembangkan satu bidang ilmu politik tersendiri, yaitu Ekonomi Politik (Political Economy). Dikatakan bahwa Manusia Ekonomi (Homo Economicus) karena melihat adanya kaitan erat antara faktor politik dan ekonomi, terutama dalam penentuan kebijakan publik. Teknik-teknik formal yang dipakai para ahli ekonomi diaplikasikan dalam penelitian gejala-gejala politik. Metode induktif akan menghasilkan model-model untuk berbagai tindakan politik.

    Inti dari politik menurut mereka adalah individu sebagai aktor terpenting dalam dunia pollitik. Sebagai makhluk rasional ia selalu mempunyai tujuan-tujuan (goal-seeking atau goal-oriented) yang mencerminkan apa yang dianggap kepentingan diri sendiri. Ia melakuaan hal itu dalam situasi terbatasnya sumber daya dan karena itu ia perlu menbuat pilihan. Pelaku Rational Action ini, terutama politisi, birokrat, pemilih dan aktor ekonomi, pada dasarnya egois. Optimalisasi kepentingan dan efisiensi merupakan inti dari teori Rational Choice.

  6. Pendekatan Institusionalisme Baru

    Institusionalisme Baru (New Institutionalism) berbeda dengan pendekatan-pendekatan yang diuraikan sebelumnya. Ia lebih merupakan suatu visi yang meliputi beberapa pendekatan lain. Institusionalisme Baru mempunyai banyak aspek dan variasi seperti Institusionalisme Baru Sosiologi, Institusionalisme Baru Ekonomi, dan sebagainya.

    Institusionalisme Baru merupakan penyimpangan dari Institusionalisme Lama. Institusionalisme Lama mengupas lembaga-lembaga kenegaraaan seperti apa adanya secara statis. Berbeda dengan itu Institusionalisme Baru melihat institusi negara sebagai hal yang dapat diperbaiki ke arah suatu tujuan tertentu misalnya membangun masyarakat yang lebih makmur.

    Institusionalisme Baru sebenarnya dipicu oleh pendekatan behavioralis yang melihat politik dan kebijakan publik sebagai hasil dari perilaku kelompok besar atau massa, dan pemerintahan sebagai institusi yang hanya mencerminkan kegiatan massa itu. Bentuk dan sifat dari institusi ditentukan oleh para aktor serta pilihannya.
    Pendekatan Institusionalisme Baru menjelaskan bagaimana organisasi institusi itu, apa tanggung jawab dari setiap peran dan bagaimana peran dan intitusi berinteraksi.

    Perbedaan Institusionalisme Baru dengan Institusionalisme Lama ialah perhatian Institusionalisme Baru lebih tertuju pada analisis ekonomi, kebijakan fiskal dan moneter, pasar dan globalisasi ketimbang pada masalah konstitusi yuridis. Dapat dikatakan bahwa ilmu politik, dengan mengembalikan fokus atas negara termasuk aspek legal/institusionalnya, telah mengalami suatu lingkaran penuih (full circle).

sumber: Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, ( Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2015 )