Nihilisme
Nihilisme berasal dari bahasa Latin yang berarti nothing atau tidak ada. Sebuah doktrin yang tidak mengakui validitas alternatif yang positif. Istilah nihilisme diperkenalkan oleh Ivan Turgeniev dalam novelnya Fathers and Children yang ditulisnya pada tahun 1862 di Rusia. Dalam novel itu, Bazarov sebagai tokoh sentral mengatakan lemahnya kutukan ketika ia menerima ide nihilisme.
Doktrin mengenai nihilisme sebenarnya sudah ada sejak zaman Yunani Kuno, yaitu pada pandangan Gorgias (360−483 SM) yang memberikan tiga proposisi tentang realitas. Pertama , tidak ada sesuatu pun yang eksis. Realitas itu sebenarnya tidak ada. Kedua , bila sesuatu itu ada, ia tidak dapat diketahui. Hal ini disebabkan oleh pengindraan itu tidak dapat dipercaya, pengindraan itu sumber ilusi. Ketiga , sekalipun realitas itu dapat kita ketahui, ia tidak akan dapat kita beritahukan kepada orang lain.
Tokoh lain aliran ini adalah Friedrich Nietzsche (1844−1900 M). Dilahirkan di Rocken di Prusia dari keluarga pendeta. Nietzsche mengakui bahwa pada kenyataannya moral di Eropa sebagian besar masih bersandar pada nilai-nilai kristiani. Namun, tidak dapat dihindarkan bahwa nilai-nilai itu akan lenyap. Dengan sendirinya, manusia modern terancam nihilisme. Dengan demikian, ia sendiri harus mengatasi bahaya itu dengan menciptakan nilai-nilai baru, dengan transvaluasi semua nilai.
Agnotisisme
Paham ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat benda, baik hakikat materi maupun hakikat rohani. Kata Agnosticisme berasal dari bahasa Grik Agnostos yang berarti unknown. A artinya not , artinya know. Timbulnya aliran ini disebabkan belum diperoleh seseorang yang mampu menerangkan secara konkret akan adanya kenyataan yang berdiri sendiri dan dapat dikenal.
Aliran ini dengan tegas selalu menyangkal adanya suatu kenyataan mutlak yang bersifat trancendent . Aliran ini dapat kita temui dalam filsafat eksistensi dengan tokoh-tokohnya seperti Soren Kierkegaar (1813−1855 M) yang terkenal dengan julukan sebagai Bapak Filsafat Eksistensialisme menyatakan manusia tidak pernah hidup sebagai suatu aku umum , tetapi sebagai aku individual yang sama sekali unik dan tidak dapat dijabarkan ke dalam sesuatu lain. Martin Heidegger (1889−1976 M) seseorang filsuf Jerman mengatakan, satu-satunya yang ada itu ialah manusia karena hanya manusialah yang dapat memahami dirinya sendiri. Jean Paul Sartre (1905−1980 M), seorang filsuf dan sastrawan Perancis yang ateis sangat terpengaruh dengan pikiran ateisnya mengatakan bahwa manusia selalu menyangkal. Hakikat beradanya manusia bukan etre (ada), melainkan a etre (akan atau sedang). Segala perbuatan manusia tanpa tujuan karena tidak ada yang tetap (selalu disangkal). Segala sesuatu mengalami kegagalan. Das sein (ada/ berada) dalam cakrawala gagal.
Ternyata segala macam nilai hanya terbatas saja. Manusia tidak boleh mencari dan mengusahakan kegagalan dan keruntuhan sebab hal ini bukanlah hal yang asli. Kegagalan dan keruntuhan itu mewujudkan tulisan sandi ( chiffre ) sempurna dari “ada”. Di dalam kegagalan dan keruntuhan itu orang mengalami “ada”, mengalami yang transenden. Karl Jaspers (1883−1969 M) menyangkal adanya suatu kenyataan yang transenden. Mungkin itu hanyalah manusia berusaha mengatasi dirinya sendiri dengan membawakan dirinya yang belum sadar pada kesadaran yang sejati, namun suatu yang mutlak ( transcendent ) itu tidak ada sama sekali.
Jadi, agnostisisme adalah paham pengingkaran atau penyangkalan terhadap kemampuan manusia mengetahui hakikat benda, baik materi maupun rohani. Aliran ini mirip dengan skeptisisme yang berpendapat bahwa manusia diragukan kemampuannya mengetahui hakikat. Namun, tampaknya agnotisisme lebih dari itu karena menyerah sama sekali.