Apa saja nilai-nilai yang ada di dalam budaya Jawa?

Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi, dan akal manusia.

Apa saja nilai-nilai yang ada di dalam budaya Jawa?

Nilai-nilai budaya JAWA, antara lain:

  • Nilai Keyakinan ( keteguhan)
  • Nilai Pencapaian (harapan dan cita-cita)
  • Nilai Kesabaran
  • Nilai Keselarasan

Keyakinan (Keteguhan)

Dalam pemikiran masyarakat Jawa, penanaman nilai-nilai spritual dalam setiap tindakannya menjadi hal yang utama. Sebab, semua hal yang terjadi dalam kehidupan manusia tak luput dari kehendak Tuhan. Pada intinya dapat dikatakan bahwa masyarakat Jawa memilki pemahaman khusus terhadap aspek keyakinan yang melandasi suatu hubungan yang saling percaya.

Keberadaan aspek nilai ini melandasi sikap maupun pandangan hidup manusia. Dengan pemahaman ini, setiap pribadi Jawa berusaha menjaga pola kekeluargaan.

Pencapaian (Harapan dan Cita-cita)

Untuk mencapai sebuah tujuan dalam hidup, diperlukan suatu usaha yang meliputi kerja keras serta permohonan terhadap Tuhan. Permohonan yang dimaksud terwujud melalui beberapa tindakan , yaitu doa dan laku. Doa sebagai sikap dasar dari memohon merupakan suatu usaha pendekatan diri terhadap Sang Pencipta agar keinginan seseorang dapat terkabul. Laku merupakan salah satu bentuk aplikasi doa menurut paham Jawa, yang menekankan diri pada proses pendekatan terhadap Tuhan.

Sudah pasti menjadi rumus bahwa untuk mencapai sebuah keberhasilan harus diimbangi dengan kebulatan tekad dan kesungguhan. Hanya saja dalam prosesnya harus sesuai dengan tatanan dan aturan yang berlaku. Ini dapat dikaitkan dalam hubungan yang memperoleh suatu harapan maupun cita-cita pada jalannya suatu kerukunan rumah tangga.

Kesabaran

Munculnya suatu kesabaran menurut paham Jawa, yaitu mengenal adanya sikap rila, nrima, dan sabar.

  • Rila merupakan langkah pertama untuk mengikhlaskan hati melalui rasa bahagia. Sikap rila ini mengarahkan perhatian kepada segala sesuatu yang telah tercapai dengan daya upaya sendiri,
  • Sikap nrima menekankan “apa yang ada” dari faktualitas dalam hidup. Suatu tindakan dengan rela hati dan menerima segala sesuatunya dengan senang hati, maka itu sudah dikategorikan bersikap sabar.
  • Kesabaran merupakan kelapang dada yang merangkul segala pertentangan. Kesabaran itu seperti laksana samudera yang tidak bertumpah, tetap sama, sekalipun banyak sungai (dengan segala isinya) bermuara padanya.

Hal ini tergantung terhadap individu yang bersangkutan. seperti adanya suatu usaha yang memberikan keadaan pada sisi dalam membina suatu hubungan saling menyatu dalam usaha-usaha melatarbelakangi perkawinan.

Keselarasan

Paham Jawa yang selalu mengedepankan keselarasan hidup senantiasa menganjurkan masyarakatnya untuk mengupayakan segala bentuk kebaikan. Setiap individu diharapkan memiliki kesadaran untuk menjaga hubungan baik dengan sesamanya. Dengan ini keselarasan yang diinginkan dalam latar perkawinan akan mudah tercapai.

Sumber :
Maya Intan Oktaviani, Nilai-nilai budaya Jawa dalam ungkapan-ungkapan Jawa yang berlatar perkawinan, 2010

Budaya Jawa bersifat sinkretis yang menyatukan unsur-unsur pra-Hindu, Hindu- Jawa, dan Islam serta animisme. Menurut Achmadi seperti dikutip Endraswara (2005), bahwa dalam segala perkembangannya itu, kebudayaan Jawa masih tetap pada dasar hakikinya, yang menurut berbagai kitab Jawa Klasik dan peninggalan lainnya dapat dirumuskan dengan singkat sebagai berikut:

  • Orang Jawa percaya dan berlindung kepada Sang Pencipta, Zat Yang Mahatinggi, penyebab dari segala kehidupan, adanya dunia dan seluruh alam semesta dan hanya ada Satu Tuhan, Yang awal dan Yang akhir;

  • Orang Jawa yakin bahwa manusia adalah bagian dari kodrat alam. Manusia dan kodrat alam senantiasa saling mempengaruhi namun sekaligus manusia harus sanggup melawan kodrat untuk mewujudkan kehendaknya, cita-cita, atupun fantasinya untuk hidup selamat sejahtera dan bahagia lahir batin. Hasil perjuangannya (melawan kodrat) berarti kemajuan dan pengetahuan bagi lingkungan atau masyarakatnya. Maka terjalin kebersamaan dan hidup rukun dengan rasa saling menghormati, tenggang rasa, budi luhur, rukun damai;

  • Rukun damai berarti tertib pada lahirnya dan damai pada batinnya, sekaligus membangkitkan sifat luhur dan perikemanusiaan. Orang Jawa menjunjung tinggi amanat semboyan memayu hayuning bawana yang artinya memelihara kesejahteraan dunia.

Dasar hakiki kebudayaan Jawa mengandung banyak unsur, termasuk adab pada umumnya, adat-istiadat, sopan santun, kaidah pergaulan (etik), kesusastraan, kesenian, keindahan (estetika), mistik, ketuhanan, falsafah dan apapun yang termasuk unsur kebudayaan pada umumnya (Endraswara, 2005).

Menurut Magnis-Suseno, dalam bukunya yang berjudul Etika Jawa, 1988, nilai budaya jawa dapat diwakili dalam empat sikap, yaitu ; (1) sikap batin yang tepat, (2) tindakan yang tepat, (3) tempat yang tepat, dan (4) pengertian yang tepat.

  1. Sikap batin yang tepat

    Sikap batin yang tepat, dapat diartikan sebagai cara berfikir yang benar, direalisasikan melalui perilaku mawas diri, yaitu sikap batin untuk introspeksi tentang keadaan diri individu itu sendiri. Hasilnya ialah sikap manusia Jawa yang waspada, suatu keadaan yang selalu siap menghadapi segala sesuatu yang mungkin terjadi, dan kondisi eling, ialah keadaan selalu ingat akan keberadaan dirinya sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Orang Jawa wajib selalu sadar dari mana asal-usul dirinya, kewajiban apa yang harus dilakukan, dan ke mana arah tujuan hidupnya (sangkan paraning dumadi).

    Godaan untuk mempertahankan sikap eling dan waspada adalah bekerjanya dorongan nafsu-nafsu naluriah dan sikap egoisme atau keinginan pribadi ( pamrih). Nafsu-nafsu naluriah atau kebutuhan jasmaniah secara normal dan menurut etika Jawa wajib dipenuhi, agar manusia tetap hidup dan dapat mengembangkan diri dan jenisnya, agar mampu menjalankan kewajibannya.

    Sementara itu, pamrih adalah keinginan-keinginan untuk memenuhi kebutuhan
    jasmaniah dan kehendak memiliki sarana-sarana penunjang pemenuhan itu. Sepanjang upaya-upaya pemenuhan keinginan naluriah itu berada dalam batas rambu-rambu keseimbangan, upaya itu tidak menyebabkan gangguan dan kekacauan sosial. Akan tetapi, ketika upaya demikian melampaui batas nilai budaya itu, batin manusia mulai kacau, masyarakat mulai teracam ketertibannya. Situasi masyarakat Indonesia kini mencerminkan keadaan seperti ini.

    Dorongan-dorongan jasmaniah dan pamrih, menurut nilai budaya Jawa, tidak perlu dilenyapkan, tetapi dijaga keseimbangan pemenuhannya. Ungkapan sepi ing pamrih, bukan berarti melenyapkan keinginan-keinginan pribadi individu, melainkan orang jangan sampai memperbesar keinginan melebihi kemampuannya, lebih-lebih menginginkan sesuatu yang bukan haknya. Pengendalian efektif untuk upaya itu ialah mawas diri dan laku tirakat, yaitu “sekedar laku tapa sedikit: mengurangi makan dan tidur, menguasai diri di bidang seksual”, serta mengendalikan letupan emosi, dan mengatur tutur kata. Upaya- upaya mawas diri ini akan menjadi lebih sempurna, jika disertai dengan sikap: sabar, nrima, temen, rila, dan budiluhur.

  2. Tidakan yang tepat

    Sikap batin yang tepat menentukan tindakan yang tepat. Tindakan yang tepat adalah perwujudan dari ungkapan rame ing gawe atau dharma, yang berarti rajin bekerja menjalani kewajiban untuk kepentingan keseluruhan masyarakat, yaitu: bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat dan kesejahteraan manusia pada umumnya. Manakala banyak orang telah mampu mawas diri, artinya memiliki sikap batin yang tepat, dengan sendirinya orang itu telah bekerja menjalankan kewajibannya. Orang-orang demikian dapat dipandang berada di tempat yang tepat dalam struktur kosmos.

    Dalam konteks ini, orang dituntut melakukan tidak-tanduk sesuai dengan kedudukan yang ditempati itu, dan juga setiap orang dituntut mampu menempatkan diri secara tepat dalam struktur hubungan-hubungan masyarakat. Kondisi yang diharapkan adalah keserasian hidup bermasyarakat dan tatanan kosmos.

  3. Tempat yang tepat

    Begitu manusia Jawa mampu bertindak secara benar berarti ia telah memenuhi kewajiban tugas hidupnya. Tindak-tanduk yang dilakukan itu merupakan kewajiban yang ditentukan oleh posisi sosial yang ia tempati. “Diharapkan setiap orang memenuhi dharmanya dengan setia demi kesejahteraan masyarakat, demi pemeliharaan keselarasan kosmos, dan demi mencapai ketenteraman batin” (Magnis-Suseno, 1988: 152). Menjalankan dharma seperti itu, berarti sekaligus memayu hayuning bawana, yang secara tersirat bermakna menyelamatkan ketertiban dan ketenteraman masyarakat, serta berarti memelihara tatanan kosmos.

  4. Pengertian yang tepat

    Pengertian yang tepat berkenaan dengan kemampuan manusia memahami bagaimana ia harus bersikap batin yang tepat, bagaimana ia harus bertindak yang benar, dan di mana ia harus menempatkan diri secara tepat dalam struktur hubungan-hubungan sosial dan keselarasan lingkungan alam. “Siapa yang mengerti tempatnya dalam masyarakat dan dunia, dia juga mempunyai sikap batin yang tepat dan dengan demikian juga akan betindak dengan tepat. Sebaliknya, siapa yang membiarkan diri dibawa oleh nafsu-nafsu dan pamrihnya, yang melalaikan kewajiban-kewajibannya dan acuh tak acuh terhadap rukun dan hormat, dengan demikian memberi kesaksian bahwa ia belum mengerti tempatnya secara keseluruhan”. Ia belum memiliki pengertian yang tepat.

    Persoalan yang timbul kini adalah bahwa gambaran ideal filosofis itu ternyata terusik oleh globalisasi dan situasi krisis multidimensi di Indonesia. Maka untuk memperkuat daya tahan moral dan akhlak bangsa, perlu ditekankan jika nilai budaya di atas dapat direvitalisasi dan diintegrasikan dalam konstelasi struktur budaya nasional. Konsepsinya dapat dirumuskan melalui cara reinvensi tradisi, dan sosialisasinya dapat dilakukan melalui pendidikan budi pekerti dan lewat pentas seni wayang kulit.