Apa Saja Nilai Filosofis dari Ketupat?

ketupat

Ketupat, makanan yang tidak pernah absen disaat lebaran tiba. Ketupat merupakan olahan beras yang menggunakan daun kelapa sebagai media cetak. Ketupat pun memiliki berbagai bentuk, bentuk yang seringkali digunakan adalah belah empat. Biasanya ketupat disajikan bersama opor ayam dan sambal goreng kentang sebagai pelengkap. Apa makna dibalik ketupat?

1 Like

Ketupat adalah makanan utama ketika hari raya lebaran umat islam, yakni 1 syawal. Biasanya makanan ini menjadi makanan yang ditunggu-tunggu saat lebaran. Bentuknya yang unik dan menarik ini memiliki makna-makna yang luhur bagi masyarakat Indonesia. Berikut penjelasan nilai-nilai yang terkandung didalamnya :

  1. Nilai estetis yang terkandung dalam bentuk kemasan ketupat tersebut tidak sebatas muncul dari keindahan bentuknya, pengertian nilai estetisnya dapat menjadi luas, misalnya nilai estetis yang hadir justru dari unsur budaya teradat atau nilai tradisi dari bentuk kemasan makanan tersebut.

  2. Nilai tradisi atau nilai filosofi dari sebuah kemasan, pada kemasan ketupat merupakan salah satu unsur nilai keindahan karena dengan melihat kemasan tersebut dapat menggugah perasaan orang kepada tradisi pembuatan ketupat pada hari Idul Fitri dan ritual agama lainnya. Nilai estetisnya muncul bukan dari segi rupa saja melainkan dari sisi tradisi yang dikandungnya yang dapat membangkitkan ingatan seseorang pada kereligiusan hari ritual keagamaan yang ada di Nusantara.

Sebagai salah satu makanan tradisional, ketupat memiliki nilai filosofis karena makanan tradisional tertentu erat kaitannya dengan kegiatan upacara dalam masyarakat. Nilai filosofis yang menjadi bagian dari budaya Jawa dan Hindu tersebut tidak dapat dipisahkan dari falsafah hidup orang Jawa dan Hindu secara keseluruhan.

Bagi sebagian masyarakat Jawa, bentuk ketupat (persegi) diartikan dengan keblat papat lima pancer. Pembagian kosmos semacam ini dipakai manusia untuk menentukan keberadaanya dalam sistem waktu dan ruang kosmos yang membetuk kesatuan yang tak terpisahkan antara dirinya dengan alam semesta. Pandangan ini oleh masyarakat Jawa dikenal dengan keblat papat lima pancer, dalam kosmologi Jawa; Bumi (tanah) dilambangkan dengan warna hitam dengan arah utara menunjukkan nafsu lawwamah.

Nafsu lawwamah berarti angongso (serakah), menimbulkan dahaga, kantuk, lapar dsb. Tempatnya adalah perut, lahirnya dari mulut, di ibaratkan sebagai hati yang bersinar hitam (Simuh 1988). Api dilambangkan dengan warna merah dengan arah selatan bersifat nafsu amarah.

Nafsu amarah artinya garang memiliki watak angkara, murka, iri, amarah dsb. Bersumber dari empedu, timbul dari telinga ibarat hati bersinar merah. Angin dilambangkan dengan warna kuning dengan barat menunjukkan nafsu supiyah; artinya birahi, menimbulkan watak rindu, membakitkan keinginan, kesenangan, dsb, bersumber pada limpa, timbul dari mata, ibarat hati bersinar kuning. Air dilambangkan dengan warna putih dengan arah timur bersifat mutmainah (jujur) artinya ketentraman, punya watak loba akan kebaikan, tanpa mengenal batas kemampuan, sumbernya dari tulang, timbul dari hidung, ibarat hati bersinar putih (Simuh 1988: 340), pusat bumi dilambangkan dengan warna hijau bersifat kama (budi), merupakan penggambaran subjek dari nafsu batin manusia. Kelima sifat tersebut ada pada diri manusia, sehingga tergantung pada diri kita, bagaimana menjaga keseimbangan atau mengendalikan diri (Dharsono, 2008).

Harun Hadiwijaya, T (1967) dalam bukunya Kebatinan Jawa dalam abad 19 menyatakan bahwa: Manusia untuk mencapai kesempurnaan jati (kesempurnaan hidup sejati) apabila dapat menindas hawa nafsu (pengendalian keempat nafsu diatas), maka manusia akan memiliki hati yang waskita (awas dan selalu ingat), tentu akan mendatangkan anugerah kemulian sangkan paran (kehendak-Nya) (Dharsono, 2008).

Ajaran kosmologi Jawa memberikan arti, bahwa keempat unsur hidup alam pada hakekatnya ada dalam diri manusia (mikrokosmos), sehingga lambang-lambang yang digambarkan baru akan memperoleh makna, apabila manusia mampu mengkaji dan mengendalikan diri. Sifat pengendalian inilah di dalam religi Jawa disebut Nur-rasa, yaitu dasar kehendak (Nur), yaitu yang menggerakkan cipta rasa (Kehendak Jiwa) dan cipta karya (Budaya). (Dharsono 2008).

Di masyarakat sendiri, untuk membuat ketupat terutama anyamannya, diperlukan daya kreatif tersendiri agar dapat menghasilkan kantong-kantong anyaman jamur yang memiliki nilai seni. Hingga perwujudan bentuk berasal dari pengamatan bentuk ketupat, hal tersebut menjadi sumber penulis untuk mencoba menuangkan gagasan tersebut ke dalam karya seni keramik. Bentuk ketupat yang beragam, menceminkan berbagai kebudayaan dan filosofi yang berbeda di masing-masing daerah yang ada di Nusantara. Ketupat sebagai karya budaya dikaitkan dengan suatu hasil dengan beraneka macam bentuk.

image

Salah satu hidangan yang ada di meja makan saat Lebaran adalah ketupat atau kupat. Makanan ini biasanya dikonsumsi dengan cara dipadukan bersama makanan lain, terutama sayuran berkuah.

Sejarawan dari Universitas Padjajaran Bandung, Fadly Rahman, mengungkapkan bahwa pada dasarya bentuk ketupat yang persegi empat dikaitkan pada bahasa Austronesia. “Kupat kalau dalam bahasa Austronesia turunan dari kata ‘epat’ yang artinya empat. Kalau kita melihat ketupat, bentuknya persegi dan memiliki empat sudut,”

Di balik bentuknya yang unik dan rasanya yang khas, ternyata ketupat memiliki banyak makna filosofi di dalamnya. Dimulai dari bahan yang digunakan untuk membuat ketupat, yaitu janur.

Menurut Hermanus Johannes de Graaf, seorang sejarawan Belanda yang mengkhususkan diri menulis sejarah Jawa, dalam karya tulisnya Malay Annual, ketupat yang terbuat dari beras yang dibungkus anyaman daun kelapa muda itu pertama kali muncul di Tanah Jawa sejak abad ke-15, pada masa pemerintahan Kerajaan Demak.
Menurut filosofi dari masyakat Jawa, janur merupakan singkatan dari frasa " sejatine nur " yang melambangkan seluruh manusia berada dalam kondisi yang bersih dan suci setelah melaksanakan ibadah puasa. daun kelapa muda yang dalam bahasa Jawa disebut juga sebagai janur merupakan akronim dari “Jannah Nur” atau “Cahaya Surga”. Selain itu, menurut mereka janur memiliki kekuatan magis sebagai suatu benda yang dapat menolak bala.

Alasan itulah yang menyebabkan beberapa orang menggantungkan ketupat di depan pintu rumah mereka, sebagai salah satu upaya permohonan kepada Allah swt. agar dijauhkan dari malapetaka.

Anyaman ketupat yang cukup rumit memiliki arti bahwa hidup manusia dipenuhi dengan rintangan dan lika-liku. Bentuk segi empat yang ada pada ketupat, menggambarkan empat jenis nafsu dunia.

Empat nafsu tersebut adalah nafsu emosi, nafsu untuk memuaskah rasa lapar, nafsu untuk memiliki sesuatu yang indah dan nafsu untuk memaksa diri. Seseorang yang memakan ketupat, digambarkan sebagai orang yang telah bisa mengendalikan keempat nafsu tersebut setelah melaksanakan ibadah puasa.