Apa Saja Monumen Purbakala di Jawa?

candi di jawa
Apa Saja Monumen Purbakala di Jawa ?

Candi Prambanan

Candi Prambanan merupakan peninggalan kerajaan Mataram Hindu. Kepercayaan orang Jawa pun mengalami perubahan. Dalam agama Hindu dikenal sistem kekuasaan yang berupa konsep dewa raja. Konsep dewa raja menganggap bahwa penguasa kerajaan adalah penjelmaan dewata dari kahyangan (Cudami, 1989: 35). Peninggalan bangunan kuno yang terbuat dari susunan batu berbentuk candi umumnya terbagi menjadi dua ragam, yaitu: ragam Jawa Tengah dan ragam jaawa Timur.

Ciri-ciri ragam Jawa Tengah ialah bentuk bangunan-nya tambun, atasnya berundak-undak, puncak berbentuk ratna atau stupa, gawang pintu dan relung berhias Kalamakara, reliefnya timbul agak tinggi berlukiskan naturalis, letak candi di tengah halaman, menghadap ke timur, dan terbuat dari batu andesit. Ciri-ciri ragam Jawa Timur, ialah: bentuk bangunan ramping, atapnya merupakan perpaduan tingkatan, puncak berbentuk kubus, makara tidak ada, relief timbul sedikit dengan lukisan simbolis menyerupai wayang kulit, letak candi di belakang halaman, menghadap ke barat, kebanyakan terbuat dari bata.

Candi Prambanan adalah candi Hindu terbesar di Jawa Tengah, namun seperti halnya dengan candi-candi yang lain, Candi Prambanan ditemukan kembali dalam keadaan runtuh dan hancur serta ditumbuhi semak belukar. Hal ini karena telah ditinggalkan manusia pendukungnya beratus-ratus tahun silam. Secara administratif kompleks candi ini berada di perbatasan Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Masyarakat sering menyebut candi ini dengan nama candi Larajonggrang, suatu sebutan yang sebenarnya keliru karena seharusnya Rara Jonggrang. Kata rara dalam bahasa Jawa untuk menyebut anak gadis. Dalam cerita rakyat Rara Jonggrang dikenal sebagai putri Prabu Ratubaka yang namanya diabadikan sebagai nama peninggalan kompleks bangunan di perbukitan Saragedug sebelah selatan Candi Prambanan. Dikisahkan dalam cerita tersebut ada seorang raksasa Bandung Bandawasa namanya. Ia mempunyai kekuatan supranatural dan ingin mempersunting putri Rara Jonggrang.

Candi Borobudur

Candi Borobudur merupakan peninggalan Mataram Buda. Agama Buda dipeluk oleh sebagian pujangga Jawa, misalnya Empu Prapanca. Pujangga ini menyebut raja Majapahit sebagai titisan Siwa – Buda (Diputhera, 1985: 99). Berdasarkan atas tulisan yang terdapat pada “kaki” tertutup dari Candi Borobudur yang berbentuk huruf Jawa kuno yang berasal dari huruf pallawa, maka dapat diperkirakan tahun berdirinya Candi tersebut, yaitu pada tahun 850 Masehi, pada waktu pulau Jawa dikuasai oleh keluarga raja-raja Sailendra antara tahun 832-900. Jadi umurnya sudah lebih dari 1.000 tahun.

Candi itu terdiri dari 2 juta bongkah batu, sebagian merupakan dinding-dinding berupa relief yang mengisahkan ajaran Mahayana. Candi tersebut berukuran sisi-sisinya 123 meter, sedang tingginya termasuk puncak stupa yang sudah tidak ada karena disambar petir 42 m. Yang ada sekarang tingginya 31,5 m. Pada hakekatnya Borobudur itu berbentuk stupa, yaitu bangunan suci agama Buddha yang dalam bentuk aslinya merupakan kubah (separoh bola) yang berdiri atas alas dasar dan diberi payung di atasnya. Candi itu mempunyai 9 tingkat, yaitu: 6 tingkat di bawah, tiap sisinya agak menonjol berliku-liku, sehingga memberi kesan bersudut banyak. 3 tingkat diatasnya’ berbentuk lingkaran.

Candi Gedong Songo

Berada di komplek Candi Gedong Songo di kaki Gunung Ungaran seperti terlempar ke masa lalu dengan segala kekunoannya. Tujuh buah candi berdiri membisu yang satu dengan lainnya terpisah sekitar 100 meter terasa memancarkan aura kedamaian yang abadi. Segarnya aroma getah pinus dan wangi mawar yang datang terbawa semilir angin membuat kepala terasa ringan. Komplek Candi Gedong Songo memang dikitari hamparan kebun bunga di kanan kirinya, mengingatkan pada keindahan kahyangan tempat dewa-dewa bersemayam dalam cerita pewayangan. Di kejauhan nampak hijaunya hutan pinus yang merayapi kaki hingga puncak Gunung Ungaran.

Sesuai namanya komplek candi ini sebenarnya terdiri atas sembilan candi, berderet dari bawah ke atas yang dihubungkan dengan jalan setapak bersemen. Satu candi yang berada di puncak paling tinggi disebut Puncak Nirwana. Sayang sekali dari sembilan candi dua diantaranya sudah rusak hingga sekarang tinggal tujuh buah. Komplek Candi Gedong Songo ini diperkirakan dibangun oleh Raja Sanjaya, raja Mataram kuno pada sekitar abad 8 Masehi. Melihat langgam arsitektur dan pendirinya yang beragama Hindu Candi Gedong Songo jelas merupakan candi Hindu yang dibangun untuk tujuan pemujaan.

Berbagai patung dewa yang ada di sini seperti Syiwa Mahaguru, Syiwa Mahadewa, Syiwa Mahakala, Durgamahesa-suramardhani dan Ganesya makin menegaskannya sebagai bangunan pemujaan umat Hindu. Juga ditemukan Lingga dan Yoni yang merupakan ciri khas candi Hindu di Indonesia. Setelah berabadabad tak pernah disebut keberadaan Candi Gedong Songo untuk pertama kali dilaporkan oleh Gubernur Jenderal Raffles pada tahun 1740. Seorang arkeolog Belanda, Dr EB. Volger, selanjutnya melakukan studi dan diteruskan oleh beberapa arkeolog Indonesia. Pemugaran candi dan penataan lingkungan secara menyeluruh dilakukan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1972-1982.

Dilihat dari letaknya komplek Candi Gedong Songo termasuk istimewa karena berada pada ketinggian sekitar 1000 meter dpl. Dari tempat ini wisatawan yang berkunjung dapat menyaksikan kota Ambarawa dan genangan air Rawapening dengan latar belakang gunung kembar Sumbing dan Sindoro yang berdiri gagah di kejauhan.

Candi Asu

Candi Asu terletak di Desa Candi Pos, Kelurahan Sengi, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa tengah. Di dekatnya juga terdapat 2 buah candi Hindu lainnya, yaitu candi Pendem dan candi Lumbung. Nama candi tersebut merupakan nama baru yang diberikan oleh masyarakat sekitarnya. Disebut Candi Asu karena di dekat candi itu terdapat arca Lembu Nandi, wahana dewa Siwa yang diperkirakan penduduk sebagai arca asu ‘anjing’. Disebut Candi Lumbung karena diduga oleh penduduk setempat dahulu tempat menyimpan padi. Ketiga candi tersebut terletak di pinggir Sungai Pabelan, di lereng barat Gunung Merapi, di daerah bertemunya (tempuran) Sungai Pabelan dan Sungai Tlingsing. Ketiganya menghadap ke barat.

Candi Asu berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 7,94 meter. Tinggi kaki candi 2,5 meter, tinggi tubuh candi 3,35 meter. Tinggi bagian atap candi tidak diketahui karena telah runtuh dan sebagian besar batu hilang. Melihat ketiga candi tersebut dapat diperkirakan bahwa candi-candi itu termasuk bangunan kecil. Di dekat Candi Asu telah diketemukan dua buah prasati batu berbentuk tugu (lingga), yaitu prasasti Sri Manggala I (874 M) dan Sri Manggala II (874 M).

Candi Mendut-Pawon

Candi Mendut merupakan candi kedua terbesar di daerah Kedu setelah Borobudur. Candi ini terletak di desa Mendut, Mungkid, Magelang, berjarak sekitar 38 km ke arah barat laut kota Yogyakarta dan 3 km dari Candi Borobudur. Candi mendut bersifat Budhistis dan terkait erat dengan Candi Borobudur serta Candi Pawon. Bahkan ketiga candi tersebut merupakan suatu kesatuan dan berada dalam satu garis lurus.

Candi Mendut juga tidak diketahui secara pasti tahun pembangunannya dan raja yang berkuasa saat itu. Namun J.G. de Casparis dalam disertasinya menghubungkan Candi Mendut dengan raja Indra, salah seorang raja keturunan Sailendra. Sebuah prasasti yang ditemukan di desa Karangtengah berangka tahun 824 M yang dikeluarkan raja Sailendra lainnya yaitu Samarattungga, menyebutkan bahwa raja Indra ayah Samarattungga telah membangun sebuah bangunan suci bernama Venuvana (hutan bambu).

Candi Watu Gudhig

Watu Gudhig nama candi abad IX M, terletak sekitar 4 km sebelah barat daya Candi Prambanan. Tepatnya di pinggir sebelah timur sungai Opak atau sebelah barat jalan raya Prambanan dangan Piyungan. Nama Watu Gudhig juga merupakan nama baru yang diberikan oleh penduduk setempat karena batu-batu candi (umpak batu) terkena lumut dan warnanya berbintik-bintik seperti penyakit kulit (gudhig). Tidak jelas nama aslinya pada zaman dahulu.

Candi Sukuh

Sebuah candi yang dibangun pada sekitar abad XV terletak di lereng gunung Lawu di Wilayah Kabupaten Karanganyar Jawa Tengah. Dari permukaan air laut, ketinggiannya sekitar 910 M. Berhawa sejuk dengan panorama yang indah. Kompleks Situs purbakala Candi Sukuh mudah dicapai dengan kendaraan bermotor baik roda dua maupun roda empat, dengan jarak 27 Km dari kota Karanganyar. Situs purbakala Candi Sukuh ini ditemukan oleh Residen Surakarta “Yohson” ketika masa penjajahan Inggris.

Mulai saat itu banyak kalangan sarjana mengadakan penelitian Candi Sukuh antara lain Dr. Van der Vlis tahun 1842, Hoepermen diteruskan Verbeek tahun 1889, Knebel tahun 1910, dan sarjana Belanda Dr. WF. Stutterheim. Untuk mencegah kerusakan yang semakin memprihatinkan, Dinas Purbakala setempat pernah merehabilitasi Candi Sukuh pada tahun 1917, sehingga keberadaan Candi Sukuh seperti kondisi yang kita lihat sekarang. Candi Sukuh terdiri tiga trap. Setiap trap terdapat tangga dengan suatu gapura. Gapura-gapura itu amat berbeda bila dibandingkan dengan gapura umumnya candi di Jawa Tengah, apa lagi gapura pada trap pertama. Bentuk bangunannya mirip candi Hindu dipadu dengan unsur budaya asli Indonesia yang nampak begitu kentara, yakni kebudayaan Megaliticum. Trap I Candi Sukuh menghadap ke barat.

Candi Cetho

Candi Cetho merupakan peninggalan Hindhu dari abad XIV pada masa akhir pemerintahan Majapahit. Fungsi candi tidaklah berbeda dengan candi Hindhu yang lain yakni sebagai tempat pemujaan terhadap Tuhan Yang maha Esa. Sampai saat ini pun candi Cetho tetap di gunakan oleh penduduk sekitar yang memang merupakan penganut agama Hindu yang taat. Candi Cetho terdiri dari sembilan trap, berbentuk memanjang kebelakang dengan trap/tingkat terakhir sebagai trap utama pemujaaan terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa (seperti bentukbentuk tempat pemujaan pada masa purba punden berundak).

Trap pertama setelah gapura masuk merupakan halaman candi. Trap kedua masih berupa halaman namun di trap ini terdapat petilasan Ki Ageng Krincing Wesi yang merupakan leluhur masyarakat Cetho. Pada trap ketiga terdapat sebuah soubment memanjang di atas tanah yang menggambarkan nafsu badaniah manusia (nafsu hewani) berbentuk phallus (alat kalamin laki-laki) sepanjang + 2 m, dengan diapit dua buah lambang kerajaan Majapahit menunjukkan masa pembuatan candi.

Pada trap selanjutnya dapat ditemui relief pendek yang merupakan cuplikan kisah “sudhamala”, (seperti yang terdapat pula di candi sukuh) yaitu kisah tentang usaha manusia untuk melepaskan diri dari malapetaka. Dua trap di atasnya terdapat pendapa-pendapa yang mengapit jalan masuk candi. Sampai saat ini pendapa-pendapa tersebut masih sering digunakan sebagai tempat pelangsungan upacara-upacara besar keagamaan. Trap ketujuh dapat ditemui dua buah arca di samping kanan kiri yang merupakan arca sabdopalon dan nayagenggong dua orang abdhi kinasih dari Sang Prabu Brawijaya yang juga merupakan penasehat spiritual dari beliau. Hal ini melambangkan kedekatan jiwa beliau dengan rakyatnya yang diwakili dengan sosok Sabdopalon dan Nayagenggong. Pada trap kedelapan terdapat arca Phallus (kuntobimo) di samping kiri dan arca Sang Prabu Brawijaya yang digambarkan sebagai “mahadewa”.

Arca phallus melambangkan ucapan syukur atas kesuburan yang melimpah atas bumi cetho dan sebuah pengharapan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar kesuburan yang dilimpahkan itu takkan terputus selamanya. Arca Sang Prabu Brawijaya menunjukkan penauladanan masyarakat terhadap kepemimpinan beliau, sebagai raja yang “berbudi bawa leksana, ambeg adil paramarta”yang diyakini pula sebagai utusan Tuhan dimuka bumi (Partokusumo, 1998: 109). Trap terakhir (trap kesembilan) adalah trap utama yang merupakan tempat pemanjatan do’a kepada Penguasa Semesta. Trap terakhir ini berbentuk kubus berukuran 1,50 m2 . Candi Cetho menghadap ke arah timur hal ini berbeda dengan candi-candi yang ada di jawa tengah karena candi cetho begitu pula candi sukuh dibangun pada masa majapahit sehingga dengan sendirinya pembangunan candi terpengaruh oleh apa yang terbiasa ada di candi-candi Jawa Timur.

Sumber:

http://staffnew.uny.ac.id/upload/132309869/pendidikan/diktat-sejarah-kebudayaan-jawa.pdf

1. Candi Prambanan

Candi Prambanan merupakan peninggalan kerajaan Mataram Hindu. Kepercayaan orang Jawa pun mengalami perubahan. Dalam agama Hindu dikenal sistem kekuasaan yang berupa konseo dewa raja. Konsep dewa raja menganggap bahwa penguasa kerajaan adalah penjelmaan dewata dari kahyangan (Cudami, 1989).

Peninggalan bangunan kuna yang terbuat dari susunan batu berbentuk Candi umumnya terbagi menjadi dua ragam, yaitu: ragam Jawa Tengah dan ragam jaawa Timur. Ciri-ciri ragam Jawa Tengah ialah bentuk bangunan-nya tambun, atasnya berundak-undak, puncak berbentuk ratna atau stupa, gawang pintu dan relung berhias Kalamakara, reliefnya timbul agak tinggi berlukiskan naturalis, letak candi di tengah halaman, menghadap ke timur, dan terbuat dari batu andesit.

Ciri-ciri ragam Jawa Timur, ialah: bentuk bangunan ramping, atapnya merupakan perpaduan tingkatan, puncak berbentuk kubus, makara tidak ada, relief timbul sedikit dengan lukisan simbolis menyerupai wayang kulit, letak candi di belakang halaman, menghadap ke barat, kebanyakan terbuat dari bata.

Candi Prambanan adalah candi Hindu terbesar di Jawa Tengah, namun seperti halnya dengan candi-candi yang lain, Candi Prambanan ditemukan kembali dalam keadaan runtuh dan hancur serta ditumbuhi semak belukar. Hal ini karena telah ditinggalkan manusia pendukungnya beratus-ratus tahun silam.

Secara administratif kompleks candi ini berada di perbatasan Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Masyarakat sering menyebut candi ini dengan nama candi Larajonggrang, suatu sebutan yang sebenarnya keliru karena seharusnya Rara Jonggrang. Kata rara dalam bahasa Jawa untuk menyebut anak gadis.

Dalam cerita rakyat Rara Jonggrang dikenal sebagai putri Prabu Ratubaka yang namanya diabadikan sebagai nama peninggalan kompleks bangunan di perbukitan Saragedug sebelah selatan Candi Prambanan. Dikisahkan dalam cerita tersebut ada seorang raksasa Bandung Bandawasa namanya. Ia mempunyai kekuatan supranatural dan ingin mempersunting putri Rara Jonggrang.

2. Candi Borobudur

Candi Borobudur merupakan peninggalan Mataram Buda. Agama Buda dipeluk oleh sebagian pujangga Jawa, misalnya Empu Prapanca. Pujangga ini menyebut raja Majapahit sebagai titisan Siwa – Buda (Diputhera, 1985: 99). Berdasarkan atas tulisan yang terdapat pada “kaki” tertutup dari Candi Borobudur yang berbentuk huruf Jawa kuno yang berasal dari huruf pallawa, maka dapat diperkirakan tahun berdirinya Candi tersebut, yaitu pada tahun 850 Masehi, pada waktu pulau Jawa dikuasai oleh keluarga raja-raja Sailendra antara tahun 832-900. Jadi umurnya sudah lebih dari 1.000 tahun.

Candi itu terdiri dari 2 juta bongkah batu, sebagian merupakan dindingdinding berupa relief yang mengisahkan ajaran Mahayana. Candi tersebut berukuran sisi-sisinya 123 meter, sedang tingginya termasuk puncak stupa yang sudah tidak ada karena disambar petir 42 m. Yang ada sekarang tingginya 31,5 m.

Pada hakekatnya Borobudur itu berbentuk stupa, yaitu bangunan suci agama Buddha yang dalam bentuk aslinya merupakan kubah (separoh bola) yang berdiri atas alas dasar dan diberi payung di atasnya. Candi itu mempunyai 9 tingkat, yaitu: 6 tingkat di bawah, tiap sisinya agak menonjol berliku-liku, sehingga memberi kesan bersudut banyak. 3 tingkat diatasnya’ berbentuk lingkaran.

3. Candi Gedong Songo

Berada di komplek Candi Gedong Songo di kaki Gunung Ungaran seperti terlempar ke masa lalu dengan segala kekunoannya. Tujuh buah candi berdiri membisu yang satu dengan lainnya terpisah sekitar 100 meter terasa memancarkan aura kedamaian yang abadi. Segarnya aroma getah pinus dan wangi mawar yang datang terbawa semilir angin membuat kepala terasa ringan.

Komplek Candi Gedong Songo memang dikitari hamparan kebun bunga di kanan kirinya, mengingatkan pada keindahan kahyangan tempat dewa-dewa bersemayam dalam cerita pewayangan. Di kejauhan nampak hijaunya hutan pinus yang merayapi kaki hingga puncak Gunung Ungaran. Sesuai namanya komplek candi ini sebenarnya terdiri atas sembilan candi, berderet dari bawah ke atas yang dihubungkan dengan jalan setapak bersemen.

Satu candi yang berada di puncak paling tinggi disebut Puncak Nirwana. Sayang sekali dari sembilan candi dua diantaranya sudah rusak hingga sekarang tinggal tujuh buah. Komplek Candi Gedong Songo ini diperkirakan dibangun oleh Raja Sanjaya, raja Mataram kuno pada sekitar abad 8 Masehi. Melihat langgam arsitektur dan pendirinya yang beragama Hindu Candi Gedong Songo jelas merupakan candi Hindu yang dibangun untuk tujuan pemujaan.

Berbagai patung dewa yang ada di sini seperti Syiwa Mahaguru, Syiwa Mahadewa, Syiwa Mahakala, Durgamahesa-suramardhani dan Ganesya makin menegaskannya sebagai bangunan pemujaan umat Hindu. Juga ditemukan Lingga dan Yoni yang merupakan ciri khas candi Hindu di Indonesia. Setelah berabadabad tak pernah disebut keberadaan Candi Gedong Songo untuk pertama kali dilaporkan oleh Gubernur Jenderal Raffles pada tahun 1740.

Seorang arkeolog Belanda, Dr EB. Volger, selanjutnya melakukan studi dan diteruskan oleh beberapa arkeolog Indonesia. Pemugaran candi dan penataan lingkungan secara menyeluruh dilakukan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1972-1982. Dilihat dari letaknya komplek Candi Gedong Songo termasuk istimewa karena berada pada ketinggian sekitar 1000 meter dpl.

Dari tempat ini wisatawan yang berkunjung dapat menyaksikan kota Ambarawa dan genangan air Rawapening dengan latar belakang gunung kembar Sumbing dan Sindoro yang berdiri gagah di kejauhan.

4. Candi Asu

Candi Asu terletak di Desa Candi Pos, kelurahan Sengi, kecamatan Dukun, kabupaten Magelang, propinsi Jawa tengah. Di dekatnya juga terdapat 2 buah candi Hindu lainnya, yaitu candi Pendem dan candi Lumbung.

Nama candi tersebut merupakan nama baru yang diberikan oleh masyarakat sekitarnya. Disebut Candi Asu karena di dekat candi itu terdapat arca Lembu Nandi, wahana dewa Siwa yang diperkirakan penduduk sebagai arca asu ‘anjing’. Disebut Candi Lumbung karena diduga oleh penduduk setempat dahulu tempat menyimpan padi.

Ketiga candi tersebut terletak di pinggir Sungai Pabelan, di lereng barat Gunung Merapi, di daerah bertemunya (tempuran) Sungai Pabelan dan Sungai Tlingsing. Ketiganya menghadap ke barat. Candi Asu berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 7,94 meter. Tinggi kaki candi 2,5 meter, tinggi tubuh candi 3,35 meter. Tinggi bagian atap candi tidak diketahui karena telah runtuh dan sebagian besar batu hilang.

Melihat ketiga candi tersebut dapat diperkirakan bahwa candi-candi itu termasuk bangunan kecil. Di dekat Candi Asu telah diketemukan dua buah prasati batu berbentuk tugu (lingga), yaitu prasasti Sri Manggala I (874 M) dan Sri Manggala II (874 M).

5. Candi Mendut-Pawon

Candi Mendut merupakan candi kedua terbesar di daerah Kedu setelah Borobudur. Candi ini terletak di desa Mendut, Mungkid, Magelang, berjarak sekitar 38 km ke arah barat laut kota Yogyakarta dan 3 km dari Candi Borobudur.

Candi mendut bersifat Budhistis dan terkait erat dengan Candi Borobudur serta Candi Pawon. Bahkan ketiga candi tersebut merupakan suatu kesatuan dan berada dalam satu garis lurus. Candi Mendut juga tidak diketahui secara pasti tahun pembangunannya dan raja yang berkuasa saat itu. Namun J.G. de Casparis dalam disertasinya menghubungkan Candi Mendut dengan raja Indra, salah seorang raja keturunan Sailendra.

Sebuah prasasti yang ditemukan di desa Karangtengah berangka tahun 824 M yang dikeluarkan raja Sailendra lainnya yaitu Samarattungga, menyebutkan bahwa raja Indra ayah Samarattungga telah membangun sebuah bangunan suci bernama Venuvana (hutan bambu).

6. Candi Watu Gudhig

Watu Gudhig nama candi abad IX M, terletak sekitar 4 km sebelah barat daya Candi Prambanan. Tepatnya di pinggir sebelah timur sungai Opak atau sebelah barat jalan raya Prambanan dangan Piyungan. Nama Watu Gudhig juga merupakan nama baru yang diberikan oleh penduduk setempat karena batu-batu candi (umpak batu) terkena lumut dan warnanya berbintik-bintik seperti penyakit kulit (gudhig). Tidak jelas nama aslinya pada zaman dahulu.

7. Candi Sukuh

Sebuah candi yang dibangun pada sekitar abad XV terletak di lereng gunung Lawu di Wilayah Kabupaten Karanganyar Jawa Tengah. Dari permukaan air laut, ketinggiannya sekitar 910 M. Berhawa sejuk dengan panorama yang indah. Kompleks Situs purbakala Candi Sukuh mudah dicapai dengan kendaraan bermotor baik roda dua maupun roda empat, dengan jarak 27 Km dari kota Karanganyar.

Situs purbakala Candi Sukuh ini ditemukan oleh Residen Surakarta “Yohson” ketika masa penjajahan Inggris. Mulai saat itu banyak kalangan sarjana mengadakan penelitian Candi Sukuh antara lain Dr. Van der Vlis tahun 1842, Hoepermen diteruskan Verbeek tahun 1889, Knebel tahun 1910, dan sarjana Belanda Dr. WF. Stutterheim.

Untuk mencegah kerusakan yang semakin memprihatinkan, Dinas Purbakala setempat pernah merehabilitasi Candi Sukuh pada tahun 1917, sehingga keberadaan Candi Sukuh seperti kondisi yang kita lihat sekarang. Candi Sukuh terdiri tiga trap. Setiap trap terdapat tangga dengan suatu gapura.

Gapura-gapura itu amat berbeda bila dibandingkan dengan gapura umumnya candi di Jawa Tengah, apa lagi gapura pada trap pertama. Bentuk bangunannya mirip candi Hindu dipadu dengan unsur budaya asli Indonesia yang nampak begitu kentara, yakni kebudayaan Megaliticum. Trap I Candi Sukuh menghadap ke barat.

8. Candi Cetho

Candi Cetho merupakan peninggalan Hindhu dari abad XIV pada masa akhir pemerintahan Majapahit. Fungsi candi tidaklah berbeda dengan candi Hindhu yang lain yakni sebagai tempat pemujaan terhadap Tuhan Yang maha Esa. Sampai saat ini pun candi Cetho tetap di gunakan oleh penduduk sekitar yang memang merupakan penganut agama Hindu yang taat.

Candi Cetho terdiri dari sembilan trap, berbentuk memanjang kebelakang dengan trap/tingkat terakhir sebagai trap utama pemujaaan terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa (seperti bentukbentuk tempat pemujaan pada masa purba punden berundak). Trap pertama setelah gapura masuk merupakan halaman candi. Trap kedua masih berupa halaman namun di trap ini terdapat petilasan Ki Ageng Krincing Wesi yang merupakan leluhur masyarakat Cetho.

Pada trap ketiga terdapat sebuah soubment memanjang di atas tanah yang menggambarkan nafsu badaniah manusia (nafsu hewani) berbentuk phallus (alat kalamin laki-laki) sepanjang + 2 m, dengan diapit dua buah lambang kerajaan Majapahit menunjukkan masa pembuatan candi.

Pada trap selanjutnya dapat ditemui relief pendek yang merupakan cuplikan kisah “sudhamala”, (seperti yang terdapat pula di candi sukuh) yaitu kisah tentang usaha manusia untuk melepaskan diri dari malapetaka. Dua trap di atasnya terdapat pendapa-pendapa yang mengapit jalan masuk candi.

Sampai saat ini pendapa-pendapa tersebut masih sering digunakan sebagai tempat pelangsungan upacara-upacara besar keagamaan. Trap ketujuh dapat ditemui dua buah arca di samping kanan kiri yang merupakan arca sabdopalon dan nayagenggong dua orang abdhi kinasih dari Sang Prabu Brawijaya yang juga merupakan penasehat spiritual dari beliau.

Hal ini melambangkan kedekatan jiwa beliau dengan rakyatnya yang diwakili dengan sosok Sabdopalon dan Nayagenggong. Pada trap kedelapan terdapat arca Phallus (kuntobimo) di samping kiri dan arca Sang Prabu Brawijaya yang digambarkan sebagai “mahadewa”. Arca phallus melambangkan ucapan syukur atas kesuburan yang melimpah atas bumi cetho dan sebuah pengharapan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar kesuburan yang dilimpahkan itu takkan terputus selamanya.

Arca Sang Prabu Brawijaya menunjukkan penauladanan masyarakat terhadap kepemimpinan beliau, sebagai raja yang “berbudi bawa leksana, ambeg adil paramarta”yang diyakini pula sebagai utusan Tuhan dimuka bumi (Partokusumo, 1998: 109). Trap terakhir (trap kesembilan) adalah trap utama yang merupakan tempat pemanjatan do’a kepada Penguasa Semesta. Trap terakhir ini berbentuk kubus berukuran 1,50 m 2 .

Candi Cetho menghadap ke arah timur hal ini berbeda dengan candi-candi yang ada di jawa tengah karena candi cetho begitu pula candi sukuh dibangun pada masa majapahit sehingga dengan sendirinya pembangunan candi terpengaruh oleh apa yang terbiasa ada di candi-candi Jawa Timur.

1. Candi Prambanan

Candi Prambanan merupakan peninggalan kerajaan Mataram Hindu. Kepercayaan orang Jawa pun mengalami perubahan. Dalam agama Hindu dikenal sistem kekuasaan yang berupa konseo dewa raja. Konsep dewa raja menganggap bahwa penguasa kerajaan adalah penjelmaan dewata dari kahyangan (Cudami, 1989: 35). Peninggalan bangunan kuna yang terbuat dari susunan batu berbentuk Candi umumnya terbagi menjadi dua ragam, yaitu: ragam Jawa Tengah dan ragam jaawa Timur.

2. Candi Borobudur

Candi Borobudur merupakan peninggalan Mataram Buda. Agama Buda dipeluk oleh sebagian pujangga Jawa, misalnya Empu Prapanca. Pujangga ini menyebut raja Majapahit sebagai titisan Siwa – Buda (Diputhera, 1985: 99). Berdasarkan atas tulisan yang terdapat pada “kaki” tertutup dari Candi Borobudur yang berbentuk huruf Jawa kuno yang berasal dari huruf pallawa, maka dapat diperkirakan tahun berdirinya Candi tersebut, yaitu pada tahun 850 Masehi, pada waktu pulau Jawa dikuasai oleh keluarga raja-raja Sailendra antara tahun 832-900. Jadi umurnya sudah lebih dari 1.000 tahun.

3. Candi Gedong Songo

Berada di komplek Candi Gedong Songo di kaki Gunung Ungaran seperti terlempar ke masa lalu dengan segala kekunoannya. Tujuh buah candi berdiri membisu yang satu dengan lainnya terpisah sekitar 100 meter terasa memancarkan aura kedamaian yang abadi. Segarnya aroma getah pinus dan wangi mawar yang datang terbawa semilir angin membuat kepala terasa ringan. Komplek Candi Gedong Songo memang dikitari hamparan kebun bunga di kanan kirinya, mengingatkan pada keindahan kahyangan tempat dewa-dewa bersemayam dalam cerita pewayangan. Di kejauhan nampak hijaunya hutan pinus yang merayapi kaki hingga puncak Gunung Ungaran.

4. Candi Asu

Candi Asu terletak di Desa Candi Pos, kelurahan Sengi, kecamatan Dukun, kabupaten Magelang, propinsi Jawa tengah. Di dekatnya juga terdapat 2 buah candi Hindu lainnya, yaitu candi Pendem dan candi Lumbung. Nama candi tersebut merupakan nama baru yang diberikan oleh masyarakat sekitarnya. Disebut Candi Asu karena di dekat candi itu terdapat arca Lembu Nandi, wahana dewa Siwa yang diperkirakan penduduk sebagai arca asu ‘anjing’. Disebut Candi Lumbung karena diduga oleh penduduk setempat dahulu tempat menyimpan padi. Ketiga candi tersebut terletak di pinggir Sungai Pabelan, di lereng barat Gunung Merapi, di daerah bertemunya (tempuran) Sungai Pabelan dan Sungai Tlingsing. Ketiganya menghadap ke barat.

5. Candi Mendut-Pawon

Candi Mendut merupakan candi kedua terbesar di daerah Kedu setelah Borobudur. Candi ini terletak di desa Mendut, Mungkid, Magelang, berjarak sekitar 38 km ke arah barat laut kota Yogyakarta dan 3 km dari Candi Borobudur. Candi mendut bersifat Budhistis dan terkait erat dengan Candi Borobudur serta Candi Pawon. Bahkan ketiga candi tersebut merupakan suatu kesatuan dan berada dalam satu garis lurus. Candi Mendut juga tidak diketahui secara pasti tahun pembangunannya dan raja yang berkuasa saat itu. Namun J.G. de Casparis dalam disertasinya menghubungkan Candi Mendut dengan raja Indra, salah seorang raja keturunan Sailendra. Sebuah prasasti yang ditemukan di desa Karangtengah berangka tahun 824 M yang dikeluarkan raja Sailendra lainnya yaitu Samarattungga, menyebutkan bahwa raja Indra ayah Samarattungga telah membangun sebuah bangunan suci bernama Venuvana (hutan bambu).

6. Candi Watu Gudhig

Watu Gudhig nama candi abad IX M, terletak sekitar 4 km sebelah barat daya Candi Prambanan. Tepatnya di pinggir sebelah timur sungai Opak atau sebelah barat jalan raya Prambanan dangan Piyungan. Nama Watu Gudhig juga merupakan nama baru yang diberikan oleh penduduk setempat karena batu-batu candi (umpak batu) terkena lumut dan warnanya berbintik-bintik seperti penyakit kulit (gudhig). Tidak jelas nama aslinya pada zaman dahulu.

7. Candi Sukuh

Sebuah candi yang dibangun pada sekitar abad XV terletak di lereng gunung Lawu di Wilayah Kabupaten Karanganyar Jawa Tengah. Dari permukaan air laut, ketinggiannya sekitar 910 M. Berhawa sejuk dengan panorama yang indah. Kompleks Situs purbakala Candi Sukuh mudah dicapai dengan kendaraan bermotor baik roda dua maupun roda empat, dengan jarak 27 Km dari kota Karanganyar. Situs purbakala Candi Sukuh ini ditemukan oleh Residen Surakarta “Yohson” ketika masa penjajahan Inggris.

8. Candi Cetho

Candi Cetho merupakan peninggalan Hindhu dari abad XIV pada masa akhir pemerintahan Majapahit. Fungsi candi tidaklah berbeda dengan candi Hindhu yang lain yakni sebagai tempat pemujaan terhadap Tuhan Yang maha Esa. Sampai saat ini pun candi Cetho tetap di gunakan oleh penduduk sekitar yang memang merupakan penganut agama Hindu yang taat. Candi Cetho terdiri dari sembilan trap, berbentuk memanjang kebelakang dengan trap/tingkat terakhir sebagai trap utama pemujaaan terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa (seperti bentukbentuk tempat pemujaan pada masa purba punden berundak). Trap pertama setelah gapura masuk merupakan halaman candi. Trap kedua masih berupa halaman namun di trap ini terdapat petilasan Ki Ageng Krincing Wesi yang merupakan leluhur masyarakat Cetho. Pada trap ketiga terdapat sebuah soubment memanjang di atas tanah yang menggambarkan nafsu badaniah manusia (nafsu hewani) berbentuk phallus (alat kalamin laki-laki) sepanjang + 2 m, dengan diapit dua buah lambang kerajaan Majapahit menunjukkan masa pembuatan candi.

Referensi

Sumber : http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/dr-purwadi-ss-mhum/diktat-sejarah-kebudayaan-jawa.pdf