Apa saja macam-macam nafsu menurut ajaran Islam?

Nafsu

Nafsu adalah sebuah kekuatan emosional yang langsung berkaitan dengan pemikiran atau fantasi tentang hasrat seseorang.

Apa saja macam-macam nafsu menurut ajaran Islam?

Nafsu yang ada di dalam diri manusia senantiasa berubah-ubah, namun tergantung dengan kesadaran dan ketaatan yang dimilikinya. Hawa nafsu merupakan kekuatan yang mendorong manusia untuk melakukan sesuatu tindakan atau perbuatan, kadang-kadang mendoroang kearah yang baik (makruf ), kadang-kadang pula mendorong kepada yang buruk (munkar).

Para ulama membagi nafsu menjadi delapan tingkatan, sebagai berikut:

1. Nafsu Amarah


Amarah adalah nafsu yang tidak mampu membedakan hal-hal yang baik dengan hal-hal yang buruk. Amarah selalu mendorong kepada hal-hal yang buruk, dan selalu menganggap bahwa nasehat itu merupakan penghalang belaka, yang tidak perlu ditanggapinya. Nafsu yang selalu mengerakkan dan membawa orang kepada perbuatan maksiat dan membuat kedurhakaan kepada Tuhan. Nafsu ini cenderung kepada tabiat badaniah atau jasmaniah.

Nafsu inilah yang mendorong supaya adanya kesenangan, kelezatan dan berbagai syahwat yang terlarang pada agama. Nafsu ini menarik hati kepada keadaan-keadaan yang bersifat rendah. Inilah nafsu yang merupakan tempat bernaungnya segala kejahatan dan sumber dari kelakuan tercela, seperti takabur , tamak, syahwat, dengki, pemarah dan lain-lainnya.

Nafsu amarah inilah yang diisyaratkan Allah dalam surat Yusuf.

Artinya : Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang. (Q.S. Yusuf: 53).

Menurut tafsir Ibnu ‘Abbas, apa yang dikemukan dalam ayat di atas adalah pengakuan Yusuf, bahwa walaupun Yusuf tidak melakukan kejahatan (memenuhi rayuan isteri tuannya, Zulaikha) tetapi Yusuf mengaku secara terus terang, bahwa nafsu manusia itu selalu mendorong kepada kejahatan.

Jadi nafsu pada kategori ini belum mampu membedakan antara yang baik dan yang buruk, belum memperoleh tuntutan tentang manfaat dan kerusakan, semua yang bertentangan dengan keinginannya dianggap musuh, sebaliknya setiap yang berjalan dengan kemauannya adalah karibnya. Dalam tindakan nyata dapat terlihat selalu khianat, enggan menerima nasehat dan saran, dan sebaliknya gembira menerima bisikan iblis dan syaitan yang menunjukan jalan buruk yang terkutuk.

Terhadap nafsu dalam kategori ini Allah SWT., memperingatkan agar tidak diikuti, sebab nafsu amarah akan menyesatkan dan setiap yang sesat akan mendapat azab yang berat. Bahkan mengikuti nafsu ini digambarkan akan mengakibatkan hancurnya langit dan bumi dengan segala isinya. Firman Allah :

Artinya : Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan (Al-Quran) mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu. (Q.S. Al- Mukminun : 71)

Jadi nafsu amarah ini adalah tingkat kerohanian yang paling rendah. Tetapi apabila diberi pelajaran dan diberikan bimbingan keagamaan, dapat meningkat ke derajat yang lebih tinggi yakni nafsu lawwamah .

2. Nafsu Lawwamah


Lawwamah adalah nafsu yang telah mempunyai rasa insaf dan menyesal sesudah melakukan perbuatan buruk. Lawwamah tidak berani melakukan yang keji secara terang-terangan, karena sudah menyadari bahwa perbuatan itu tidak baik, tetapi belum bisa mengekang keinginan nafsunya. Singkatnya nafsu ini adalah nafsu yang sering menyesali diri.

Menurut Syeikh Abdus Shamad nafsu lawwamah adalah :

Nafsu yang menyukai perbuatan-perbuatan baik tetapi kebaikan itu tidak dapat dilaksanakannya secara rutin, karena dalam hatinya masih bersemanyam maksiat-maksiat bathin, seumpama ujub dab riya’. Walaupun perkara ini di ketahuinya tercela dan tidak dikehendakinya, namun selalu saja maksiat bathin itu datang mengunjunginya. Apabila kuat serangan bathin itu maka sekali-kali dia terpaksa berbuat maksiat zhahir karena tidak kuasa baginya melawannya. Walaupun demikian adanya,dia masih tetap berusaha berjalan menuju keridhaan Allah. Orang yang mempunyai nafsu ini hendaklah memperbanyak zikir “Allah, Allah.

Mengenai nafsu lawwamah, Allah berfirman :

Artinya : Aku bersumpah demi hari kiamat, Dan aku bersumpah dengan jiwa yang Amat menyesali dirinya sendiri. (Q.S. Al-Qiyamah : 1-2)

Nafsu lawwamah ini masih mempunyai kemampuan untuk taubat lagi, karena rasa menyesal yang selalu terdapat dalam dirinya adalah merupakan pokok pangkal dari taubat. Pada tingkat ini seseorang, jika telah selesai mengerjakan suatu pekerjaan yang buruk, menjadi insaf dan menyesal, dan seterusnya mengharap agar kejahatannya tidak terulang lagi pada dirinya yang telah tumbuh bibit pikiran dan kesadaran, bahkan disebut bahwa nafsu inilah yang akan menghadapi perhitungan kelak pada hari kiamat.

3. Nafsu Musawwalah .


Musawwalah adalah nafsu yang telah dapat membedakan hal-hal yang baik dan hal-hal yang buruk, tetapi musawwalah masih selalu mencampur adukkan perbuatan baik dengan perbuatan buruk. Nafsu musawwalah masih sering melakukan perbuatan buruk dengan cara sembunyi-sembunyi karena malu terhadap orang lain bukan malu terhadap Tuhan.

Katagori ini masih berada pada posisi dekat dengan keburukan, sebab Allah SWT. Maha mengetahui apa saja yang dilakukan oleh hamba-nya. Sebagian tersebut dalam firman-nya.

Artinya : Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui. (Q.S. Al-Baqarah : 42)

4. Nafsu muthmainnah

Muthmainnah adalah nafsu yang telah mendapat tuntunan yang baik, sehingga dapat melakukan sikap dan perilaku yang benar, dapat menghindarkan diri dari kejahatan, serta selalu melahirkan ketenangan lahir dan bathin. Jiwa ini telah mantap imannya dan tidak mendorong perilaku buruk. Jiwa yang tenang yang telah menomor duakan nikmat materi.

Nafsu muthmainnah juga mampu membentangi serangan kekejian dan kejahatan, dan mampu memukul mundur segala kendala dan godaan yang menggangu ketentraman jiwa, bahkan ketenangan jasmaniah terutama dengan zikir kepada Allah SWT. Nafsu muthmainnah berfungsi mendorong melakukan kebijakan dan mencegah membuat kejahatan. Posisi nafsu ini secara jelas di gambarkan Allah dalam firman-Nya:

Artinya : Orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. Orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka kebahagiaan dan tempat kembali yang baik. (Q.S. Ar-Ra’d : 28-29)

Dengan kemampuan memerangi hawa nafsu mengekang syahwat, mengatasi segala macam kekurangan dan kerendahan jiwa, maka dapatlah jiwa itu diantarkan kepada kebenaran, kebaikan keindahan dan kesempurnaan. Orang yang demikian itu sudah mencapai tinggat kebijaksanaan (memproleh hikmah) dan memperoleh mutiara ketenangan jiwa. Orang itulah yang diundang dan dipersilahkan oleh Allah untuk menikmati kebahagian hakiki dan abadi.

Sebagaimana firman Allah :

Artinya : Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. (Q.S. Al-Fajr : 27-28)24

Nafsu muthmainnah dimana hati seorang hamba Allah telah bersinar dengan cahaya iman dan amal ibadahnya sehingga jauhlah batinnya bersangkutan daripada sifat-sifat hati yang tercela oleh karena hatinya telah berada dalam ketenangan menuju kesempurnaan-kesempurnaan batin. Berarti manusia yang sudah mempunyai nafsu muthmainnah sudah berpindah batinya dari kegoyangan berbagai warna kepada kemantapan yang istiqamah .

Jadi nafsu muthmainnah merupakan tingkat rohani yang paling tinggi dan paling baik, karena tingkat ini sudah sanggup mengendali nafsu yang tidak baik dan mendorong untuk membuat kebaikan.

5. Nafsu mulhamah .


Mulhamah adalah nafsu yang yang telah memperoleh ilham dari Allah SWT dan sudah dikaruniai pengetahuan yang dihiasi dengan akhlak mulia, sehingga ia selalu bersyukur, bersabar bertawakkal, bersikap ikhlas dan sebagainya.

Ini adalah tingkat jiwa yang memiliki tindakan dan kehendak yang tinggi. Jiwa ini lebih selektif dalam menyerap prinsip-prinsip. Ketika jiwa ini merasa terpuruk kedalam kenistaan, segera akan terilhami untuk mensucikan amal dan niatnya. Demikian juga nafsu mulhamah merupakan tempat terbitnya kehendak bersyukur kepada Allah dalam arti yang luas.

Inilah yang dimaksud dalam firman Allah dalam surah Asy-Syam :

Artinya : Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, Dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (Q.S. As-Syams : 7-10)

Beberapa ayat ini menggambarkan bahwa sebagian dari pada nafsu manusia yang baik ialah nafsu yang diilhamkan oleh Allah SWT., kepadanya untuk kalimat antara yang baik dan merupakan kedurhakaan kepada Allah dan antara ketakwaan kepadanya. Oleh karena manusia itu selalu mensucikan nafsunya itu dengan zikir dan ibadah kepada Allah di samping mujahadah nya terdapat musuh-musuhnya seperti telah disebutkan di atas, maka sukseslah manusia itu, sehingga dia selalu berada dalam jalan ketakwaannya kepada Allah

6. Nafsu radiyah


Radiyah adalah nafsu yang ridha kepada Allah SWT, yang mempunyai peran yang penting dalam mewujudkan kesejahteraan. Nafsu ini dalam realisasinya sering kali muncul dalam bentuk tindakan-tindakan, misalnya ia selalu mensyukuri nikmat Allah SWT, sebab Allah menjanjikan tambahan nikmat bagi mereka yang bersyukur kepada nikmat-nikmat Allah dan sebaliknya akan diberi azab mereka yang tidak mensyukuri nikmat itu.

Seperti disebut dalam firman-Nya:

Artinya : Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih". (Q.S. Ibrahim : 7)

Hamba Allah yang telah sampai martabatnya ketingkat menghayati nafsu radiyah ini senantiasa keadaannya selalu menyerah kepada Allah, apapun yang terjadi dan apapun yang akan terjadi dan dia merasakan nikmat berada dalam kebingungan. Karena keberadaanya dalam kebingungan itu merupakan jalan buntu baginya untuk melangkah cepat kepada jalan pintas yang lebih dekat dan mendekatkan batin dan jiwa terhadap Allah SWT.

Nafsu ini senantiasa menjadikan seseorang ridha dalam melaksanakan segala kewajiban perintah Allah SWT dan ikhlas dalam menjauhi semua larangan-Nya.

7. Nafsu mardiyah


Nafsu mardiyah merupakan nafsu yang selalu mendapatkan ridha Allah, sehingga seseorang mudah melakukan dzikir, serta memiliki kemuliaan dan karamah. Tidak ada lagi keluhan, kemarahan, kekesalan. Perilakunya tenang, syhawatnya tidak lagi bergejolak.

Seseorang yang sudah tersentuh dengan keadaan ini, berarti ia telah mendapatkan kemuliaan dari Allah. Ingatnya terhadap Allah dan keikhlasan kepada-Nya sudah kuat dan mantap, tiada keraguan lagi. Maka nafsu yang sudah sampai pada tingkatan ini, berarti sudah sampai kepada ma’rifat Allah. Sehingga dia batinnya sangat dekat kepada Allah dengan keridhaan-Nya.

8. Nafsu al-Kamilah


Yaitu nafsu yang telah sempurna dan sanggup memberi petunjuk yang sebaik-baiknya kepada orang lain. Jiwanya pasrah pada Allah dan mendapat petunjukNya. Jiwanya sejalan dengan kehendakNya. Perilakunya keluar dari nuraninya yang paling dalam dan tenang. Seseorang yang sampai pada tingkatan nafsu ini dapat disebut sebagai mursyid dan mukamil (orang yang menyempurnakan) atau insan kamil . Dalam taraf ini nafsu itu telah demikian dekat dengan Allah.

Referensi
  • Syaikh Syihabuddin Umar Suhrawardi, ‘ Awarif al-Ma’arif, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998)
  • Al-Ghazali, DNA Mata Hati (Mukasyafatul Qulub), Terj. Zainal Mualif (Jakarta: Shahih, 2016)
  • Husain Mazhahiri, Meruntuhkan Hawa Nafsu Membangun Rohani, (Jakarta: Lentera Basritama, 2000)
  • Sirajuddin Abbas, 40 Masalah Agama , Jilid III, Cet. 16 (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1992)
  • Muhibbudin Waly, Zikir Nafsu dan Tharikat Maut , Jilid 3 (Banda Aceh: Toko Buku Taufiqiyah Sa’adah, 1996)
  • Lathief Rousydiy, Agama Dalam Kehidupan Manusia (Medan: Rimbow, 1986)

Allah menyifati nafsu dalam Al-Qur’an dengan tiga sifat: muthma’innah (jiwa yang tenang), lawwamah (jiwa yang menyesal), ammarah bissu’ (jiwa yang menyuruh berbuat jahat).

Nafsu Muthma’innah

Al-nafs yang memiliki ketenangan dan ketenteraman dalam mengemban amanat Allah dan tidak mudah terguncang karena adanya tantangan yang timbul oleh hawa nafsu disebut al-nafs al-muthma’innat. Kepada jiwa ini, Allah menghimbau dengan himbauan sebagai berikut;

Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Q.S., Al-Fajr (89): 27-28

Ibnu Abbas berkata “Muthma’innah" artinya yang membenarkan. Qatadah berpendapat muthma’innah yaitu, “hanyalah orang-orang yang beriman, yang jiwanya tenang terhadap apa yang dijanjikan Allah” . Orang yang berjiwa tenang ini akan nampak pada akhlaknya, bersikap tenang, sabar, dan sanggup menerima setiap cobaan dari Allah.

  • Jiwa ini telah mantap imannya dan tidak mendorong perilaku buruk. Jiwa yang tenang yang telah menomor duakan nikmat materi.

  • Jiwa ini adalah jiwa yang telah mampu menundukkan kekuatan hawa nafsunya, mampu menetralkannya ketika dorongan hawa nafsunya menggejolak, mampu mengalahkan kekuatan syaitan, stabil dan selalu menetapi kebaikandan tidak mudah goncang dalam kondisi apapun dan dimana pun.

  • Jiwa ini selalu bersabar dalam melakukan kebaikan, menghadapi cobaan dan senantiasa bersyukur dari kebaikan dan nikmat yang diberikan Allah .

  • Jiwa ini menjadikan roh dah qalbnya sebagai raja yang selalu dapat menundukkan hawa nafsunya dan senantiasa merasa bersama Allah.

  • Jiwa ini yang berhijrah dari segala sesuatu yang di benci atau yang dilarang oleh Allah menuju kepada perbuatan yang diridhaiNya. Umpamanya dari sikap ragu-ragu kepada memperoleh keyakinan. Dari bodoh kepada berilmu pengetahuan, dari lalai kepada ingat kepada Allah.

Pemilik nafsu ini dalam hal cara mengetahui asma Allah dan sifat-sifat-Nya selalu merasa tenang dengan pemberitaan dari-Nya dan dariRasul-Nya tentang diri-Nya. Kemudian, ia juga merasa tenang dengan pemberitaan-Nya mengenai apa yang akan terjadi setelah kematiannya, yaitu berupa urusan-urusan alam barzakh dan peristiwa yang mengiringinya. Misalnya, huru-hara kiamat, hingga seolah-olah ia menyaksikannya dengan jelas.

Bahkan, bila ia menemui syubhat dan syahwat, ia akan dudukkan pada wilayah was-was. Yang seandainya ia jatuh dari langit ke bumi, hal itu lebih ia sukai dari mendapatinya. Ini sebagaimana sabda Nabi Muhammad “kejelasan iman.” Selain itu, ia juga tenang (menghindari) keinginan bermaksiat serta mengalihkannya menuju ketenangan dan kenikmatan taubat.

Dengan begitu, jiwanya menjadi ingat dan anggota tubuhnya menjadi tunduk. Ia berjalan menuju Allah seraya menundukkan kepala karena menyaksikan nikmat-nikmat-Nya serta melihat kejahatan dan aib-aib dirinya. Ia tenang terhadap ketetapan Allah sehingga ia pasrah dan ridha dengan ketetapan-Nya, tidak marah, mengadu, dan merusak keimanannya.

Karena itu, ia tidak berputus asa terhadap apa yangtidak ia peroleh dan tidak merasa terlalu senang terhadap apa yang telah diberikan kepadanya. Sebab, musibah yang menimpa tersebut sudah ditentukan sebelum ia menimpa dirinya. Bahkan sebelum ia diciptakan.

Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izinAllah; dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu Q.S., At-Taghabun (64): 11

Nafsu Lawwamah

Kalau al-nafs dalam pengertian pertama (nafs muthma’innah) kembali ke hadirat Allah, maka al-nafs dalam pengertian kedua tidak, karena keadaannya yang tidak tenang dan menyerupai syaitan. Selanjutnya, al-nafs yang tidak memiliki ketenangan yang sempurna karena menjadi pendorong timbulnya hawa nafsu dan sekaligus juga penentang,

al-nafs al-lawwamah adalah jiwa yang masih mau mengalahkan dirinya ketika lari dalam mengingat dan beribadat kepada Allah

Dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri). Q.S., Al-Qiyamah (75): 2.

Ini adalah jiwa yang memiliki tingkat kesadaran awal melawan nafsu al-ammarah bissu’. Dengan adanya bisikan dari hatinya, jiwa menyadari kelemahannya dan kembali kepada kemurniaannya. Jika ini berhasil, maka ia akan dapat meningkatkan diri kepada tingkat di atasnya (nafsu muthmainnah).

Jiwa bentuk ini terkadang mencela dirinya apabila ia berbuat kesalahan. Jiwa ini selalu menyesali keadaan dirinya yang sulit terlepas dari dosa dan kesalahan. Ia selalu mengakui kebesaran Allah, menyadari bahwa ia telah melakukan kesalahan dan ia mencela dirinya karena selalu mengikuti kata-kata syaitan dan hawa nafsunya.

Ada ulama yang berpendapat, An-Nafs Al-Lawwamah, ialah jiwayang tidak konsisten paada satu keadaan. Ia adalah hati yang banyak berbolak-balik dan berwarna-warni. Terkadang ia ingat dan lalai, menghadap dan berpaling, cinta dan benci, bahagia dan sedih, ridha dan marah, serta patuh dan takut.

lawwamah dibedakan menjadi dua , lawwamah yang tercela dan lawwamah yang terpuji.

  • Lawwamah yang tercela yaitu nafsu yang bodoh dan zalim, semuanya itu dicela olehAllah.

  • Lawwamah yang terpuji yaitu nafsu yang sentiasa berfungsi sebagai peneliti atas setiap tindakan seseorang. Apakah telah mengabdikan diri kepada Allah, beriman dan beramal soleh, serta segala kebaikan yang diperintahkan-Nya.

Kondisi jiwa seperti ini adalah kondisi perang intern dalam jiwa antara kebaikan dan kejahatan, antara syaitan dan hawa melawan ruh dan qalb, antara kebenaran dan kebatilan, antara apa yang diinginkan (disukai) Tuhan dan yang dibenci-Nya. Jiwa seperti ini juga belum stabil, masih selalu mengalami goncangan dan kegelisahan, kesedihan dan penyesalan serta pengakuan.

Diantara sifat-sifat tercela dari nafsu lawwamah ini adalah:

  • Menyadari kesalahan diri atau menyesal berbuat kejahatan.
  • Timbul perasaan takut kalau bersalah.
  • Kritis terhadap apa saja yang dinamakan kejahatan.
  • Heran kepada diri sendiri, mengira dirinya lebih baik dari orang lain(ujub).
  • Berbuat suatu kebaikan agar dilihat dan dikagumi orang (riya’).
  • Menceritakan kebaikan yang telah diperbuatnya supaya mendapatpujian orang (sum’ah).

Maka barang siapa yang merasatergetar dihatinya dengan sifat-sifat tercela tersebut, itulah tandanya ia termasuk dalam kategori naafsu lawwamah. Nafsu ini terdapat pada kebanyakan awam, tapi derajatnya sedikit tinggi dari nafsu ammarah. Sifat-sifat tercela pada orang nafsu lawwamah ini tidak akan dapat dikikis habis kecuali dengan berusaha dan berlatih melepaskan diri dari belenggu hawa nafsu, di samping terus–menerus berjuang (mujahadah) dijalan Allah.

Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. Q.S., Al-Ankabut (29): 69

Dalam jiwa ini terdapat kebaikan yaitu: pengakuanakan kelemahan diri, kekuasaan Allah, penyesalan, dan kesadaran bahwa dia bersalah dan juga terdapat jenis keburukan yaitu kejahatan yang dilakukannya dengan sadar dan sengaja karena mengikuti kehendak hawa nafsu dan syaitan. Jiwa inilah yang berada pada bentuk pertengahan. Jika kekuatan ruhaninya lebih dari hawa nafsunya, maka ia mampu terlepas dari kejahatan dan jika satu saat kekuatan ruhaninya lebih lemah dari dorongan hawa nafsunya, maka jatuhlah ia kedalam lembah dosa dan kehinaan.

Nafsu Ammarah Bissu’

Al nafs yang menenggelamkan dirinya dalam kejahatan mengikut nafsu marah, syahwat, perut, dan godaan syaitan dinamakan al-nafs al-amarat bi al-su’ (jiwa yang jahat karena suka mendorong orang berbuat dosa).

Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberirahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang. Q.S., Yusuf (12): 53.

Nafsu ammarah adalah nafsu yang tercela, sebab ia selalu mengajak kepada kezaliman. Tidak seorang pun yang terlepas daripada nafsu ini,kecuali orang yang memperoleh pertolongan Allah.

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah syaitan,maka sesungguhnya syaitan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar.

Sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorangpun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Q.S., An-Nur (24): 21.

Perangai orang yang mempunyai nafsu ini memperturutkan kehendak hawa nafsu dan bisikan syaitan. Karena itu nafsu ammarah ini kerjanya senantiasa menyuruh berbuat maksiat, baik ia tahu perbuatan itu jahat atau tidak, baginya baik dan buruk adalah sama saja. Kejahatan dipandangnya tidak menjadikan apa-apa bila dikerjakan. Bahkan dia tidak mencela kejahatan, tapi sebaliknya dia selalu sinis dan suka mencela segala bentuk kebaikan yang diperbuat orang lain.

Orang yang jiwanya dalam kondisi ini juga seharusnya menyadari dirinya dan bertaubat kepada Allah serta membersihkan hatinya dari segala kotoran dengan memaksanya berbuat baik dan meninggalkan segala macam bentuk kejahatan. Jika tidak, jiwa ini juga akan selalu menjadi perusak karena sifatnya yang selalu condong pada kejahatan.

Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan. Q.S., Al-Baqarah (2): 205.

Sebagian dari sifat-sifat orang yang mempunyai nafsu ammarah ini ialah:

  • Bakhil dan kikir.
  • Tamak dan loba kepada harta benda.
  • Berlagak sombong dan takabbur (membanggakan diri).
  • Suka bermegah-megahan dan bermewah-mewahan.
  • Ingin namanya terkenal dan popular.
  • Hasad dan dengki.
  • Berniat jahat dan khianat.
  • Lupa kepada Allah

Jiwa golongan ini adalah bentuk jiwa terendah, jiwa yang telah dikuasai hawa nafsu dan syaitan dan bahkan orang yang memiliki kondisi jiwa seperti ini hampir sama kondisinya seperti syaitan yang juga selalu mengajak manusia kepada kesesatan.

Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apayang mereka ada-adakan. Q.S., Al-An’aam (6): 112.

Rasulullah juga mengajarkan

“Segala puji bagi Allah. Kami senantiasa memuji, meminta pertolongan dan memohon ampunan kepada-Nya. Kami berlindung kepada Allah dari kejahatan jiwa kami dan dari keburukan amal perbuatan kami.”

Bertambah beratnya ketika seorang mukmin tidak bisa menjaga hatinya. Oleh karena itu, manusia perlu menjaga hatinya dari segala yang merusak dan mengotorinya. Ada beberapa hal yang merusak keihklasan seseorang yaitu :

  1. Marah
    Bahwa marah merupakan percikan api neraka. Ketika seseorang marah, berarti dirinya sedang berpihak kepada syaitan yang terkutuk. Seperti yang difirmankan Allah dalam surat Al-A‟raf 45

    Artinya: "(Yaitu) orang-orang yang menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah dan menginginkan agar jalan itu jadi bengkok, dan mereka kafir kepada kehidupan akhirat” (Depag RI 2006).

  2. Riya
    Hakikat riya‟ adalah keinginan hamba-hamba dalam ibadah kepada Allah Swt dengan tujuan sampingan untuk mendapatkan kedudukan di hati manusia. Riya‟ Jali merupakan perbuatan riya yang dapat membangkitkan seseorang untuk beramal dan larut kedalam sikap riya. Riya‟ khafi merupakan yang mengantarkan pada perasaan bangga dan senang. Seandainya tanpa diikuti ketertarikan hati agar dipandang masyarakat, niscaya rasa senang tersebut tidak muncul.

  3. Ujub
    Ujub ini akan muncul karena anggapan seseorang yang merasa bahwa ia telah mencapai titik kesempurnaan, baik dalam ilmu pengetahuan maupun amal kebaikan. Jika hal tersebut ditambah dengan anggapan bahwa ia berhak atas pahala dari sisi Allah, berarti rasa ujub itu muncul karena perasaan membangga-banggakan amalan yang dilakukanya (Al-Jamal, 2008).
    Ketahuilah kiranya, bahwa bahaya-bahaya yang mengacaukan dan merusak keikhlasan sebagiannya itu jelas, sebagiannya itu tersembunyi, sebagiannya itu lemah serta jelas dan sebagiannya kuat dan tersembunyi. Dan tidak dapat dipahamkan perbedaan tingkat- tingkatnya pada tersembunyi dan jelas, selain dengan contoh, Dan yang paling menonjol yang merusak dan mengacaukan keihklasan adalah riya‟ (al-Gazhali, 1979).

    Maka begitulah berlebih-kurangnya urusan ibadah yang tidak mungkin dihinggakan dan dihitung, sehingga apapun wujud dalam menjalankan syari‟at-Nya tiada sedikit-banyaknya yang mencampur sesuatu oleh yang lain.

    Rasulullah saw. Pernah menjelaskan, bahwa siapa yang ingin mengetahui kedudukan dirinya di sisi Allah, maka hendaklah ia memperhatikan bagaimana kedudukan Allah dalam hatinya sendiri. Sebab sesungguhnya Allah menempatkan hamba, sebagaimana hamba itu menempatkan Allah dalam hatinya (Atha‟illah, 2012).

    Untuk itu, seorang muslim hidup dengan selalu melatih jiwanya, mensucikan dan membersihkanya.

    Karena, jiwa lebih prioritas untuk dididik, sehingga ia akan mendidiknya dengan adab-adab yang dapat mensucikan dan membersihkannya. Ia juga akan menjauhkannya dari segala hal yang dapat mengotori dan merusaknya, berupa keyakinan-keyakinan yang buruk serta perkataan dan perbuatan yang rusak, mengekang dengan sungguh-sungguh siang dan malam, mengevaluasi setiap saat, membawa pada perbuatan- perbuatan baik, mendorong untuk beribadah, juga memalingkan dan menjauhkannya dari kejahatan serta kerusakan.

1 Like