Apa saja macam-macam determinan inflasi?

determinan inflasi

Apa saja macam-macam determinan inflasi ?

Di Indonesia, sumber-sumber tekanan inflasi (determinan inflasi) mengacu pada teori ekonomi Neo-Keynesian, sebagai bagian dari apa yang disebut oleh Robert Gordon sebagai “The Triangle Model” . Dengan pendekatan ini determinan inflasi Indonesia dijelaskan oleh inflasi permintaan, inflasi penawaran, dan ekspektasi inflasi.

1. Inflasi Permintaan

Inflasi permintaan merupakan inflasi yang dipicu oleh interaksi permintaan dan penawaran domestik jangka panjang. Jenis inflasi ini biasa dikenal sebagai Philips Curve inflation. Kebijakan moneter merupakan determinan penting jenis inflasi ini melalui pengaruhnya terhadap konsumsi, produksi dan investasi. Faktor lain yang mempengaruhi jenis inflasi ini adalah perubahan gradual atau kejutan kebijakan fiskal, permintaan luar negeri, perubahan perilaku konsumen dan produsen serta tingkat dan pertumbuhan efisiensi dan produktivitas perekonomian.

Tekanan inflasi dari sisi permintaan direpresentasikan oleh variabel output gap, yaitu diskrepansi antara output dengan output potensial, atau tingkat output yang konsisten dengan kondisi full employment. Dalam kondisi output berada di atas output potensialnya (output gap positif), kenaikan output gap menggambarkan tekanan inflasi yang meningkat. Sebaliknya, dalam kondisi output lebih kecil dari output potensial, kenaikan output gap berarti mengurangi tekanan deflasi.

Penggunaan indikator output gap pada umumnya lebih representatif menjelaskan tekanan inflasi dari sisi permintaan dalam kondisi siklus usaha yang normal. Untuk perekonomian yang berada dalam kondisi khusus, misalnya stagflasi atau pasca krisis ekonomi, indikator level output gap tidak efektif dalam menjelaskan tekanan inflasi. Misalnya, pada saat stagflasi output gap berada dalam posisi negatif namun terdapat tekanan inflasi yang tinggi. Untuk itu diperlukan indikator tambahan yaitu kenaikan output gap untuk menjelaskan kenaikan inflasi di tengah kondisi output yang lebih kecil dari output potensial. Tekanan permintaan digambarkan dengan bergesernya kurva AD0 ke AD1.

Tekanan permintaan tersebut menyebabkan output perekonomian bertambah, namun disertai terjadinya inflasi, yang dapat dilihat dari semakin tingginya tingkat harga. Dalam tekanan permintaan, tidak selalu berarti penawaran agregat (AS) tidak bertambah. Kalaupun terjadi pertambahan penawaran agregat, jumlahnya lebih kecil dibanding peningkatan permintaan agregat.

2. Inflasi Penawaran

Inflasi penawaran (cost-push inflation) merupakan jenis inflasi penawaran yang disebabkan oleh kenaikan pada biaya produksi atau biaya pengadaan barang dan jasa. Inflasi penawaran mencakup juga supply shocks inflation yang memicu kenaikan harga penawaran barang. Faktor kejutan yang termasuk dalam jenis inflasi ini adalah kenaikan harga komoditas internasional, termasuk harga minyak mentah dunia, kenaikan harga komoditas yang harganya dikontrol pemerintah, kenaikan atau penurunan harga bahan makanan karena kejutan produksi yang disebabkan iklim, dan perubahan harga barang impor karena perubahan nilai tukar dan/atau karena kenaikan inflasi luar negeri.

Cost push inflation terjadi karena kenaikan biaya produksi dan biasanya menyebabkan penawaran agregat berkurang. Naiknya biaya produksi tersebut disebabkan oleh kenaikan harga barang input antara lain kenaikan upah tenaga kerja (UMR), kenaikan harga BBM, dsb. Kenaikan tersebut akan mengurangi penawaran agregat (dari AS0 menjadi AS1), sebingga jumlah output (PDB) menjadi lebih kecil (Y1 < Y0), dan terjadi inflasi (P0 menjadi P1).

3. Ekspektasi Inflasi

Ekspektasi inflasi merupakan determinan inflasi yang berperan penting secara subyektif dalam pembentukan harga dan upah. Jika perusahaan memutuskan kenaikan harga produksinya berdasarkan pengalaman inflasi masa lalu dimana inflasi pada masa lalu masih tetap terjadi atau bertahan, maka perusahaan akan menaikkan harga barang yang diproduksinya meskipun prospek ekonomi tidak menunjukkan tanda-tanda terjadinya tekanan permintaan. Jadi dalam hal ini inflasi yang terjadi terbentuk karena pandangan subyektif dari pelaku ekonomi mengenai apa yang akan terjadi ke depan.

Perilaku pembentukan ekspektasi inflasi ini disebut ekspektasi inflasi adaptif, yang terbentuk dari peristiwa-peristiwa ekonomi di masa lalu yang membuatnya bertahan hingga kini. Pembentukan inflasi ini dipengaruhi oleh:

  1. inflasi permintaan yang persisten di masa lalu,
  2. inflasi penawaran yang tinggi dan sering terjadi, atau
  3. inflasi penawaran yang diperkuat oleh kebijakan moneter yang akomodatif.

Ketiga jenis kejadian inflasi masa lalu tersebut berkontribusi bagi perilaku pembentukan harga yang dianggap normal dalam perekonomian. Jenis inflasi ini disebut juga sebagai built-in inflation, hangover inflation, inertial inflation atau structural inflation . Dari sisi mikro perusahaan, ekspektasi persistensi inflasi dipengaruhi oleh perilaku sejumlah harga yang fleksibel untuk berubah yang bertujuan untuk menyeimbangkan permintaan dan penawaran ( market clearing ). Di sisi lain harga mempunyai perilaku yang kaku ( rigid ) untuk turun dalam merespon penurunan permintaan atau biaya.

Ekspektasi inflasi yang terjadi akan berinteraksi dengan spiral harga-upah sehingga dapat memperburuk ekspektasi inflasi dengan membentuk lingkaran setan inflasi yang pada akhirnya akan mendorong inflasi itu sendiri untuk bertahan. Pekerja yang berekspektasi bahwa inflasi akan bertahan atau bahkan meningkat karena prospek kenaikan permintaan dan biaya, maka mereka akan menuntut kenaikan upah nominal untuk mempertahankan upah riil. Jika tuntutan itu berhasil, biaya produksi akan meningkat dan untuk mempertahankan target keuntungan maka pengusaha akan membebankan kenaikan biaya produksi tersebut pada kenaikan harga. Kondisi ini akan mendorong siklus lanjutan spiral harga-upah tersebut.

Kekuatan jalur spiral harga-upah dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu struktur pasar, kekuatan posisi tawar pekerja, dan produktivitas tenaga kerja. Struktur pasar yang semakin kompetitif akan memaksa perusahaan untuk meningkatkan efisiensi dalam menghadapi tekanan kenaikan biaya sehingga meminimalkan dampaknya terhadap harga produk itu sendiri. Sementara itu, posisi tawar pekerja antara lain dipengaruhi kondisi tingkat pengangguran. Posisi tawar pekerja pada umumnya meningkat dalam kondisi tingkat pengangguran yang rendah. Di samping itu posisi tawar pekerja juga dipengaruhi oleh kemampuan serikat pekerja dan peranan pemerintah dalam memperjuangkan dan menyikapi tuntutan kenaikan upah.

Dampak spiral harga-upah dapat juga dikurangi jika produktivitas tenaga kerja meningkat melebihi kenaikan upah riil sehingga laju kenaikan harga dapat diredam. Dampak negatif perilaku ekspektasi adaptif dan spiral harga-upah terhadap pembentukan built-in inflation dapat dikurangi apabila agen ekonomi menuju perilaku ekspektasi yang forward-looking dengan mengacu pada sasaran inflasi Bank Sentral. Kebijakan anti inflasi Bank Sentral yang kredibel menjadi sangat penting untuk meyakinkan pelaku ekonomi agar mengurangi perilaku pembentukan ekspektasi inflasinya yang adaptif.

Evolusi kredibilitas Bank Sentral ditentukan oleh tiga faktor. Pertama, ketepatan inflasi masa lalu dibandingkan target inflasi. Jalur pembentukan kredibilitas ini lebih berperan untuk agen ekonomi yang lebih berperilaku ekspektasi backward looking . Kedua, perilaku Bank Sentral dalam mencapai target inflasi yang ditetapkan. Mekanisme ini terjadi pada agen ekonomi yang lebih berperilaku forward looking , dimana pelaku ekonomi tidak hanya melihat kinerja pencapaian inflasi tetapi juga menilai prospek pencapaian sasaran inflasi berdasarkan kualitas dan konsistensi kebijakan moneter. Kedua jalur tersebut dapat diperkuat oleh mekanisme penetapan dan pengumuman sasaran inflasi yang jelas.

Untuk memperoleh gambaran bagaimana kebijakan Bank Sentral yang kredibel dapat memperbaiki ekspektasi inflasi pelaku ekonomi sehingga berdampak pada penurunan inflasi, berikut ini disajikan ilustrasi perbandingan kebijakan disinflasi dalam dua kondisi yang sangat berbeda. Pertama, perilaku ekspektasi inflasi pelaku ekonomi yang bersifat adaptif dan kebijakan disinflasi Bank Sentral yang tidak kredibel. Kedua, perilaku ekspektasi inflasi pelaku ekonomi yang bersifat forward looking dan kebijakan disinflasi Bank Sentral yang kredibel. Pada kasus yang kedua, kredibilitas Bank Sentral membuat pelaku ekonomi menetapkan ekspektasi inflasinya kepada sasaran inflasi Bank Sentral.