Apa saja keutamaan dan hikmah taubat ?

Taubat

Menurut Imam Al-Ghazali, taubat adalah kembali mengikuti jalan yang benar dari jalan sesat yang telah ditempuhnya.

Apa saja keutamaan dan hikmah taubat ?

Keutamaan Taubat

Taubat mendapat perhatian yang sangat besar dalam Al-Qur’an, sebagaimana yang tertuang di berbagai ayat dari surat Makkiyah maupun Madaniyah. Di antaranya yang paling jelas dan nyata adalah dalam Q.S At-Tahrim (66) ayat 8 :

Artinya “Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang mukmin yang bersama dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: "Ya Rabb Kami, sempurnakanlah bagi Kami cahaya Kami dan ampunilah kami; Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu." (Q.S At-Tarim (66): 8)

Ayat di atas sekaligus merupakan seruan Ilahy terakhir di dalam Al-Qur’an yang ditujukan kepada orang- orang Mukmin. Dia memerintahkan agar mereka bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya dan semurni-murninya, tulus dan benar. Dasar hukum perintah dari Allah yang termuat di dalam Al-Qur’an menunjukkan kepada wajib, selagi tidak ada hal lain yang mengalihkannya dari dasar ini. Sementara dalam masalah ini tidak ada yang mengalihkannya. Yang demikian ini diharapkan agar mereka mengharapkan dua tujuan yang fundamental, yang setiap orang Mukmin berusaha untuk meraihnya, yaitu:

  • Pertama, penghapusan kesalahan-kesalahan;
  • Kedua, masuk ke surga.

Ayat lain yang disebutkan dalam Al-Qur’an sehubungan dengan taubat adalah firman-Nya,

Artinya: …“Dan, bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman, supaya kalian beruntung.” (An-Nur, (24): 31).

Di dalam ayat ini Allah memerintahkan agar semua orang mukmin mau bertaubat dan tidak ada pengecualian bagi siapa pun di antara mereka, seperti apa pun tingkat istiqamahnya, seperti apa pun derajatnya sebagai orang yang bertakwa. Siapa pun perlu bertaubat. Di antara orang mukmin ada yang bertaubat dari dosa besar, karena dia merasa tersiksa dengan dosa yang dilakukannya dan dia bukan orang yang terlindung dari dosa (ma’shum). Di antara mereka ada yang bertaubat dari dosa-dosa kecil yang diharamkan, dan jarang sekali orang yang selamat dari dosa- dosa kecil ini. Di antara mereka ada yang bertaubat dari syubhat. Sementara siapa yang menjauhi syubhat, berarti telah menyelamatkan agama dan kehormatan dirinya. Di antara mereka ada yang bertaubat dari hal-hal yang dimakruhkan. Di antara mereka ada yang bertaubat dari kelalaian yang selalu menghantui hati. Di antara mereka ada yang bertaubat dari kondisinya yang senantiasa di bawah dan tak pernah naik ke tingkatan yang lebih tinggi lagi.

Al-Ghazaly menjelaskan, bahwa taubat itu mendatangkan dua buah:

  • Penghapusan kesalahan, sehingga pelakunya menjadi seperti orang yang tidak mempunyai dosa.

  • Memperoleh derajat yang menjadikannya kekasih Allah.

Ada beberapa tingkatan penghapusan, ada yang menghapus akar dosa secara keseluruhan dan ada yang hanya meringankan saja. Semua tergantung dari bobot taubat. Istighfar harus dilakukan dengan sepenuh hati dan melakukan berbagai macam kebaikan, sekalipun mungkin belum bisa lepas sama sekali dari kesalahan. Yang demikian ini tetap akan memberikan manfaat, dan jangan mempunyai anggapan bahwa keberadaan taubat semacam ini sama dengan tidak ada taubat. Orang yang memiliki hati tentu tahu bahwa firman Allah, “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya”, adalah benar. Walaupun kebaikan itu hanya seberat dzarrah (atom), tentu ia akan membawa pengaruh, sebagaimana sehelai rambut yang berpengaruh terhadap timbangan.

Taruhlah bahwa sehelai rambut belum berpengaruh apa-apa, tapi helai rambut kedua tentu akan berpengaruh. Jangan katakan bahwa timbangan tidak bisa menjadi berat karena dibebani sekian banyak dzarrah. Timbangan kebaikan bisa menjadi berat karena dzarrah- dzarrah kebaikan, hingga membuat timbangan keburukan menjadi lebih ringan. Janganlah meremehkan dzarrah-dzarrah ketaatan, lalu tidak mau mengerjakannya, sementara dzarrah-dzarrah kedurhakaan tidak dijauhi, seperti wanita bodoh yang tidak mau menenun, karena dia hanya bisa membuat satu helai benang.

Dia berkata, “Apa yang bisa diperbuat dengan sehelai benang? Mana mungkin ia dijadikan selembar kain?” Dia tidak sadar bahwa selembar kain itu terbuat dari sehelai benang demi sehelai benang, bahwa fisik alam yang luas membentang ini terhimpun dari dzarrah demi dzarrah. Istighfar dan ketundukan sebatas di dalam hati merupakan kebaikan, dan Allah tidak akan menyia-nyiakannya sama sekali.

Bahkan dapat di katakan, bahwa istighfar hanya di lisan merupakan kebaikan. Sebab gerakan lisan dengan istighfar lebih baik daripada gerakan lisan untuk ghibah atau omong kosong. Bahkan gerakan lisan itu lebih baik daripada diam, sehingga dengan begitu terlihat kelebihannya daripada diam tidak untuk istighfar. Memang bisa dikatakan kekurangan jika dibandingkan dengan amal hati.

Di antara buah yang nyata dari taubat ialah efektifitasnya untuk memperbarui iman orang yang bertaubat dan memperbaikinya setelah dia mengerjakan kesalahan. Dosa dan kedurhakaan-kedurhakaan yang dilakukan orang muslim menodai imannya dan menciptakan luka, besar maupun kecil, tergantung dari besar kecilnya, banyak dan sedikitnya dosa yang dilakukan serta seberapa jauh pengaruh yang diakibatkannya terhadap jiwa. Kedurhakaan yang selalu diingat-ingat pelakunya dan yang manisnya masih menyisakan kenangan di dalam hatinya, dan bahkan dia berandai-andai untuk dapat menikmatinya lagi, berbeda dengan kedurhakaan yang disesali pelakunya dan menggugah rasa duka saat mengingatnya.

Hikmah Taubat


Apabila semua rukun dan syarat-syarat taubat yang semurni-murninya dipenuhi, maka di sana ada buah-buah ranum yang bisa dipetik bertaubat dalam kehidupannya di dunia, dan ada pula pahala yang kekal di akhirat. Jadi taubat itu mendatangkan hasil di dunia akhirat, rohani dan materi, akhlak dan amal, individual dan sosial inilah di antara buah-buah itu.

Penghapusan Keburukan dan Masuk Surga.

Buah yang paling penting adalah mendapatkan ampunan ke surga, seperti yang dijanjikan Allah kepada hamba-hamba-Nya, yang di sana terdapat berbagai hal yang tidak pernah didengar telinga dan terlintas di dalam benak manusia. Firman Allah,

Artinya: "Seorangpun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka, yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan (As-Sajdah: (32) 17).

Allah telah memerintahkan di dalam Kitab-Nya agar bersegera memohon ampunan kepada Allah, memohon surga yang luasnya seluas langit dan bumi serta disediakan bagi orang-orang yang bertakwa. Ada penjelasan yang disampaikan kepada kita, bahwa orang- orang yang bertakwa ini bukan para malaikat yang suci dan para nabi yang ma’shum, tapi mereka adalah manusia makhluk Allah, yang bisa berbuat benar dan berbuat salah, yang bisa taat dan bisa durhaka, yang bisa lurus dan bisa menyimpang. Perbedaan diri mereka dan yang lain, bahwa mereka bukanlah orang-orang yang terus-menerus berkutat dalam kesalahan-kesalahan, pergi menghampiri kedurhakaan dan tidak kembali lagi, tetapi begitu cepat mereka menghampiri pintu Allah, berdiri di ambangnya, mengharap keridhaan-Nya, memohon ampunan dan rahmat-Nya.

Artinya: "Dan, bersegeralah kalian kepada ampunan dari Rabb kalian dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. Dan juga orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat Allah lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah ? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. " (Ali Imran: (3) 133-135).83

Allah mensifati mereka sebagai orang-orang yang siap bekorban dan sabar saat mereka bershadaqah, baik dalam keadaan lapang maupun dalam keadaan sempit, dalam keadaan kaya maupun dalam keadaan miskin. Allah juga mensifati mereka sebagai orang-orang yang mampu menguasai diri saat marah, bahkan mereka mampu menahan amarah dan suka memaafkan orang lain. Kemudian Allah menjelaskan, jika suatu kali mereka menjadi lemah, lalu melakukan dosa besar dan berbuat keji atau melakukan dosa kecil, yang diistilahkan Al- Qur’an dengan menganiaya diri sendiri, maka mereka mengingat Allah dan memohon ampunan kepada-Nya.

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni- murniinya, mudah-mudahan Rabb kalian akan menghapus kesalahan-kesalahan kalian dan memasukkan kalian ke dalam surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang yang beriman bersama dengan dia, sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan, ‘Wahai Rabb kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami, sesungguhnya Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu’.” (At- Tahrim: (66) 8).

Memperbarui Iman

Di antara buah yang nyata dari taubat ialah efektifitasnya untuk memperbarui iman orang yang bertaubat dan memperbaikinya setelah dia mengerjakan kesalahan. Dosa dan kedurhakaan-kedurhakaan yang dilakukan orang muslim menodai imannya dan menciptakan luka, besar maupun kecil, tergantung dari besar kecilnya, banyak dan sedikitnya dosa yang dilakukan serta seberapa jauh pengaruh yang diakibatkannya terhadap jiwa. Kedurhakaan yang selalu diingat-ingat pelakunya dan yang manisnya masih menyisakan kenangan di dalam hatinya, dan bahkan dia berandai-andai untuk dapat menikmatinya lagi, berbeda dengan kedurhakaan yang disesali pelakunya dan menggugah rasa duka saat mengingatnya.

Referensi :

  • Ibn Taimiyah, Memuliakan Diri dengan Taubat, terj. Muzammal Noer, Mitra pustaka, Yogyakarta.
  • Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, terjmh, Toha Putra, Semarang, tth
  • Sa’id Hawa, Jalan Ruhani, Mizan, Bandung, 1998
  • TM. Hasbi Ash-Shiddiqi, Al-Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1971
  • Asmaran, As, Pengantar Studi Akhlaq, PT.Raja Grafindo Persada Jakarta, 2002.