Apa saja Keunggulan dan Kelemahan Positivisme?

positivisme
Positivisme pada ilmu sosial budaya terlihat jelas lewat tujuan dan metode yang dilakukan para ilmuwan sosial dalam memahami gejala sosial. Apa Keunggulan dan Kelemahan Positivisme ?

Keunggulan dan Kelemahan Positivisme


Sebagai sebuah “alat” yang bertujuan memahami berbagai fenomena sosial, sebuah epistemologi sulit dilepaskan dari fakta adanya keunggulan serta kelemahan. Adapun beberapa keunggulan dalam epistemologi positivisme. Pertama, keobjektifan dalam positivisme dapat terukur dan teruji secara empirik. Kedua, positivisme mengakui adanya relativisme ilmu pengetahuan. Implikasinya adalah ia lebih toleran dengan adanya perbedaan hasil suatu penelitian. Ketiga, penelitian dengan memakai positivisme mampu diterapkan untuk memahami masa lalu, masa kini dan memprediksi masa depan. Keunggulan tersebut berkaitan dengan asumsi dasar positivisme yang bertujuan mencari hukum-hukum umum. Untuk selanjutnya, hukum-hukum itu mampu menggambarkan perkembangan sejarah kebudayaan suatu masyarakat.

Positivisme selain memiliki keunggulan rupanya menyimpan kelemahan di dalam memahami gejala sosial-budaya. Dengan menggunakan positivisme, seorang peneliti hanya terbatas pada kajian fenomena sosial budaya yang bersifat empiris. Itu artinya, mereka hanya terpaku pada realitas empiris dan menafikkan realitas imajiner (wacana) ketika melakukan penelitian. Padahal, suatu masyarakat memiliki kedua realitas tersebut dalam kesehariannya. Kelemahan ini juga turut serta diamini oleh Jonathan Turner yang berargumen bahwa dunia sosial kondisinya berbeda dengan dunia alam. Maka dari itu, bagi Turner, dunia sosial (social world) atau fenomena sosial tidak bisa dipelajari dengan metode yang sama ketika mempelajari dunia alam (natural world) (Heidtman, Wysienska, & Szmatka, 2000: 3). Implikasinya adalah positivisme sulit dipakai untuk menangkap dan memahami gejala sosial yang sifatnya non-empiris serta hal-hal yang terkandung di alam bawah sadar manusia. Artinya, pemaknaan terhadap pengetahuan suatu masyarakat dalam menjalankan aktivitasnya sulit dipahami dengan memakai epistemologi positivisme. Perihal yang sifatnya nonempiris itu misalnya saja pengetahuan sekelompok masyarakat mengenai klasifikasi tanaman obat yang tersebar di hutan. Contoh kasus lainnya yaitu positivisme tidak mampu menggali secara mendalam mengenai makna dibalik fenomena ritual pada suatu masyarakat. Disamping itu, kelemahan lain terletak pada upaya positivisme guna mencapai generalisasi justru berimplikasi mereduksi keanekaragaman serta keunikan yang dimiliki oleh setiap masyarakat. Hal ini merupakan dampak dari usaha untuk membandingkan supaya memperoleh generalisasi.

Kelebihan Positivisme

Diantara kelebihan positivisme adalah:

  1. Positivisme lahir dari faham empirisme dan rasional, sehingga kadar dari faham ini jauh lebih tinggi dari pada kedua faham tersebut.

  2. Hasil dari rangkaian tahapan yang ada didalamnya, maka akan menghasilkan suatu pengetahuan yang mana manusia akan mempu menjelaskan realitas kehidupan tidak secara spekulatif, arbitrary, melainkan konkrit, pasti dan bisa jadi mutlak, teratur dan valid.

  3. Dengan kemajuan dan dengan semangat optimisme, orang akan didorong untuk bertindak aktif dan kreatif, dalam artian tidak hanya terbatas menghimpun fakta, tetapi juga meramalkan masa depannya.

  4. Positivisme telah mampu mendorong lajunya kemajuan disektor fisik dan teknologi.

  5. Positivisme sangat menekankan aspek rasionali-ilmiah, baik pada epistemology ataupun keyakinan ontologik yang dipergunakan sebagai dasar pemikirannya.

Kelemahan Positivisme

Diantara kelemahan positivisme adalah:

  1. Analisis biologik yang ditransformasikan ke dalam analisis sosial dinilai sebagai akar terpuruknya nilai-nilai spiritual dan bahkan nilai-nilai kemanusiaan. Hal ini dikarenakan manusia tereduksi ke dalam pengertian fisik-biologik.

  2. Akibat dari ketidakpercayaannya terhadap sesuatu yang tidak dapat diuji kebenarannya, maka faham ini akan mengakibatkan banyaknya manusia yang nantinya tidak percaya kepada Tuhan, Malaikat, Setan, surga dan neraka. Padahal yang demikian itu didalam ajaran Agama adalah benar kebenarannya dan keberadaannya. Hal ini ditandai pada saat paham positivisme berkembang pada abad ke 19, jumlah orang yang tidak percaya kepada agama semakin meningkat.

  3. Manusia akan kehilangan makna, seni atau keindahan, sehingga manusia tidak dapat merasa bahagia dan kesenangan itu tidak ada. Karena dalam positivisme semua hal itu dinafikan.

  4. Hanya berhenti pada sesuatu yang nampak dan empiris sehingga tidak dapat menemukan pengetahuan yang valid.

  5. Positivisme pada kenyataannya menitik beratkan pada sesuatu yang nampak yang dapat dijadikan obyek kajiaannya, di mana hal tersebut adalah bergantung kepada panca indera. Padahal perlu diketahui bahwa panca indera manusia adalah terbatas dan tidak sempurna. Sehingga kajiannya terbatas pada hal-hal yang nampak saja, padahal banyak hal yang tidak nampak dapat dijadikan bahan kajian.

  6. Hukum tiga tahap yang diperkenalkan Comte mengesankan dia sebagai teorisi yang optimis, tetapi juga terkesan lincar – seakan setiap tahapan sejarah evolusi merupakan batu pijakan untuk mencapai tahapan berikutnya, untuk kemudian bermuara pada puncak yang digambarkan sebagai masyarakat positivisme. Bias teoritik seperti itu tidak memberikan ruang bagi realitas yang berkembang atas dasar siklus – yakni realitas sejarah berlangsung berulang-ulang tanpa titik akhir sebuah tujuan sejarah yang final.