Apa Saja Kegunaan dari Sosiologi?

image
Setiap ilmu pengetahuan lahir disetai dengan kegunaan-kegunaan dalam peradaban manusia.

Apa saja kegunaan dari sosiologi?

Di Indonesia, jelas sosiologi merupakan ilmu yang sangat berguna mengingat masyarakat kita diwarnai dengan hubungan yang selalu diwarnai masalah. Sejak Orde Baru tumbang, orang memang tak lagi percaya bahwa sosiologi dan ilmu sosial merupakan suatu yang netral. Ciri lainnya adalah bahwa kajian sosiologi hingga sekarang ini relatif meluas dan pendekatan interdisiplinernya berkembang pesat bersamaan dengan dibutuhkannya penjelasan tentang berbagai gejala baru yang muncul akibat dari proses perubahan yang masih berbuntut pada masalah-masalah sosial.

Kajian tentang konfl ik suku dan agama menjadi suatu yang sangat meluas setelah tumbangnya Soeharto di tahun 1998. Hal tersebut terjadi karena konfl ik dan kekerasan yang bernuansa suku dan agama memang meluas di berbagai belahan Nusantara. Selain itu, kajian sosiologi gender dan seksualitas juga mendapatkan tempat di berbagai kampus dan lembaga-lembaga sosial.

Sosiologi di Indonesia kini menjadi ilmu sosial yang sangat menarik minat para pelajar dan mahasiswa, terbukti dengan dibukanya jurusan ilmu sosiologi di berbagai kampus, bukan hanya kampus besar, melainkan juga kampus-kampus yang kecil. Ilmu sosiologi diharapkan akan menjadi ilmu yang akan memberikan perhatian dan pemahaman yang objektif dan kritis terhadap masalahmasalah sosial yang kian banyak terjadi.

Dalam bukunya yang berjudul Republik Kapling (2006), sosiolog ternama kita, Tamrin Amal Tomagola, menegaskan permasalahan konfl ik sosial di Indonesia secara objektif dan menguak akar strukturalnya. Kekerasan dan konfl ik sosial yang tiba-tiba meledak sejak Soeharto turun dari jabatan benar-benar mempersulit upaya penataan menuju bangsa yang lebih beradab. Rezim Soeharto yang kelihatan stabil ternyata meninggalkan bom waktu yang telah ditebarkan dalam bentuk bom waktu struktural, institusional, maupun behavioral.

Ketidakadilan yang disertai marginalisasi di berbagai bidang dengan berbagai dimensi yang saling berkaitan. Ada ketidakadilan dan peminggiran ekonomi yang berdimensi vertikal antara pusat dan daerah (Aceh, Riau, Kaltim, dan Papua Barat) dalam hal penjarahan surplus daerah, baik dari hasil sumber daya alam (SDA) maupun dari hasil industri; dan juga ketidakadilan ekonomi vertikal di antara kelas sosial dalam masyarakat yang sering bertumpang tindih dengan dimensi horizontal antar kelompok etnis dan agama, sebagai hasil langsung dari upaya kooptasi rezim atas kelompok-kelompok tertentu. Contoh paling mengerikan adalah konflik antara suku Dayak dan non-Dayak di Kalimantan; antara suku-suku pendatang Muslim dan penduduk asli baik di Poso maupun Maluku Tengah (Ambon).

Konflik secara mendasar terjadi karena masyarakat tercerabut dari sumber-sumber ekonomi yang dapat menghidupi diri mereka. Orde Baru yang berwatak fasis-militeristis adalah awal bagi malapetaka konfl ik sejak modal asing diperkenankan masuk dan merebut sumber-sumber ekonomi. Tentara selalu menjadi alat bagi kepentingan kekuasaan kapitalis internasional dan borjuis lokal, selain mereka juga harus menyelamatkan dan menjaga aset-aset ekonomi yang dikuasainya. Terutama, melalui Dwifungsi ABRI yang diterapkan oleh Orde Baru, tentara memiliki legitimasi politik untuk mencampuri urusan ekonomi, sosial, politik, dan (bahkan) kebudayaan rakyat. Tak heran jika meskipun Soeharto telah jatuh, kekuatan Orde Baru segera kembali mengonsolidasikan kekuatannya melalui momen-momen politik yang terus berjalan.

Kekuatan mereka kini juga terus bertambah karena sejak awal mereka telah mengapling-kapling wilayah Indonesia berdasarkan sumber-sumber strategis yang ada dan termasuk membuat peta-peta potensi kekerasan yang sewaktu-waktu dapat diledakkan kembali untuk mengalihkan gerakan demokrasi dan gerakan menuntut keadilan ekonomi menuju konflik dan kekerasan rasial, suku, dan keagamaan.

Marginalisasi politik terhadap rakyat yang dilakukan oleh Soeharto juga dilakukan bukan hanya melalui depolitisasi massa, tetapi juga melalui represi (tekanan) melalui militer sebagai “alat gebuk” pada saat ada potensi dan manifestasi perlawanan pada ketidakadilan penguasa. Hal itu tak lepas dari sejarah militer Indonesia yang membentuk watak fasisnya dari proses sejarah bangsa yang berkembang. Fasisme negara militer pun menular ke fasisme masyarakat (sipil).

Fasisme di Indonesia secara vulgar kelihatan di Indonesia dalam tiga periode. Pertama, selama tiga tahun pendudukan tiga tahun pendudukan militer Jepang (1942—1945); kedua, selama 32 tahun Orde Baru (1966—1998) ketika para anak didik fasisme militer Jepang—khususnya perwira PETA Jawa berpendidikan rendah—mempraktikkan kebolehan yang mereka pelajari daripada instruktur Jepang; dan ketiga, untuk masa tiga tahun (1999—2001) selama konfl ik komunal di Kalimantan, Poso, dan Maluku.

Karena akar masalah penderitaan rakyat Indonesia adalah ketidakadilan dalam memiliki dan mengontrol sumber daya strategis, menurut penulis, jalan keluar dari kemelut kemanusiaan ini juga terletak dan berpulang pada kemampuan institusional masyarakat dan negara dalam menegakkan berbagai jenis keadilan. Jika keadilan yang diharapkan tak kunjung datang, bila peta kapling sumber daya strategis yang ada menjadi timpang dan apalagi, bila tidak segera dikoreksi, ledakan konflik dan kekerasan di masa mendatang akan lebih parah dari yang telah ada sebelumnya.

Hingga sekarang ini, hidup di negeri yang konon kabarnya kaya raya ini semakin susah. Kesusahan dan penderitaan muncul karena kondisi kemiskinan yang dialami oleh berbagai kalangan, terutama rakyat kecil. Kemiskinan paling terasa berada di wilayah perkotaan karena di kota mencari pekerjaan bukan hanya sulit, melainkan ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) juga selalu menghantui kaum buruh (karyawan). Kemiskinan di perkotaan membuat orang lebih cepat frustasi karena kondisi budaya masyarakatnya yang individualistis, rasionalistis, dan keramahan yang telah hilang akibat perkembangan cepat masyarakat teknologis.

Di kota, kejahatan terjadi begitu vulgarnya. Orang menodong, mencuri dengan membunuh, menipu, menjual diri, dan lain sebagainya lebih banyak dijumpai. Kota seakan menjadi sebuah ruang yang sangat angkuh bagi terjalinnya relasi kemanusiaan. Berbeda dengan di desa, kota telah kehilangan kebiasaan yang konon menjadi karakter bangsa Indonesia, yaitu “guyub rukun”.

Akan tetapi, seiring perjalanan waktu, kejahatan dan kekerasan juga kian merajalela di mana-mana, bukan hanya di kota, melainkan juga di desa. Teknologi dan informasi telah merambah masuk ke desa, seperti masuknya televisi ke setiap rumah, berbeda dengan sepuluh tahun yang lalu ketika kepemilikan TV masih sangat terbatas pada sedikit orang berpunya di desa (orang kaya atau tuan tanah atau mereka yang berhasil menduduki status ekonomi di desa karena berjuang ke daerah atau negara lain, seperti para TKI/ TKW—meskipun tidak semuanya).

Semakin berkurangnya kesenjangan akses terhadap teknologi dan informasi antara desa dan kota, melalui proses migrasi secara bertukaran ataupun masuknya teknologi informasi dan komunikasi, cara berpikir antara masyarakat desa dan kota pun kian tak lagi banyak perbedaan. Intinya, telah terjadi modernisasi di daerah pedesaan akibat masuknya modal yang disokong teknologi. Internet pun sudah mulai bisa diakses oleh masyarakat desa, khususnya di lembaga-lembaga pendidikan (sekolah).

Namun, fakta yang masih tak dapat diingkari adalah adanya kemiskinan yang justru membuat masyarakat desa juga semakin frustasi. Dulu, ketika masyarakat desa masih banyak yang menggunakan kayu bakar untuk memasak, misalnya, mungkin kenaikan harga-harga bahan bakar minyak (BBM) tak akan berpengaruh pada perasaan masyarakat desa. Ketika kompor minyak digunakan, yang juga disebabkan minimalnya bahan bakar kayu karena pohon-pohon telah berkurang (bahkan habis), pendapatan tersedot untuk membeli minyak. Apa yang dulu bisa didapatkan dari alam secara gratis, pada akhirnya juga akan membutuhkan pengeluaran.

Kebutuhan masyarakat desa juga tanpa disadari semakin tak sesederhana dulu. Iklan dengan rayuan yang membentuk “kebutuhan semu” (false need) juga membuat kebutuhan semakin kompleks. Tuntutan untuk memenuhi kebutuhan tersebut ternyata masih dihadapkan pada pendapatan yang minim. Sebelum iklan datang dengan rayuannya untuk membeli (terutama lewat TV), dulu masyarakat desa tidak merasa susah hanya karena mengonsumsi seadanya, asalkan ada makan, rumah, dan pakaian, hal itu sudah cukup. Kini, orang-orang desa, termasuk para kaum mudanya juga dituntut untuk meniru gaya hidup para orang borjuis perkotaan.

Dengan demikian, keinginannya untuk memenuhi kebutuhan hidup begitu besar. Ketika itu terjadi, ternyata mereka tidak mampu memenuhinya karena tidak memiliki uang (pendapatan). Tak heran jika sebagian besar kaum muda pedesaan menganggur (tanpa kerja, tanpa pendapatan) dengan beban frustasi yang tak lagi kecil. Rasa frustasi inilah yang pada akhirnya memicu tindakan-tindakan jahat. Yang jelas ada yang salah dari kebijakan negara dalam berbagai bidang, dari ekonomi, budaya, pendidikan, hingga lingkungan hidup.

Adanya perasaan frustrasi dari sebagian masyarakat karena sulitnya dalam menghadapi kehidupan di tengah berbagai krisis yang melanda, diikuti dengan kenaikan berbagai bahan kebutuhan pokok, membuat sebagian masyarakat semakin terjepit dalam usaha pemenuhan hidup dan kemiskinan yang terjadi—bila seorang dibesarkan dalam lingkungan kemiskinan, perilaku agresif mereka secara alami akan mengalami penguatan (Byod McCandless dalam Davidoff , 1991).

Model agresi ini sering diadopsi sebagai model pertahanan diri dalam mempertahankan hidup—dalam situasi-situasi yang dirasakan sangat kritis bagi pertahanan hidupnya dan ditambah dengan nalar yang belum berkembang optimal. Dalam psikologi kepribadian, perasaan ini dikenal dengan “represi”, yang didefi nisikan sebagai upaya individu untuk menyingkirkan frustrasi, konflik batin, mimpi buruk, krisis keuangan, dan sejenisnya yang menimbulkan kecemasan. Bila represi terjadi, hal-hal yang mencemaskan itu tidak akan memasuki kesadaran walaupun masih tetap ada pengaruhnya terhadap perilaku. Akan tetapi, represi juga dapat terjadi dalam situasi yang tidak terlalu menekan. Individu merepresikan keinginannya karena mereka membuat keinginan tidak sadar yang menimbulkan kecemasan dalam dirinya. Perasaan ini menimbulkan rasa marah yang terpendam lama sehingga membutuhkan pelampiasan.

Kedua, adanya perasaan frustrasi dari sebagian masyarakat karena aparat hukum yang seharusnya memberikan rasa aman dan menangani masalah ini tidak bekerja dengan maksimal. Hal ini disebabkan semakin buruknya keadaan dengan asumsi bahwa semakin maraknya tindak kejahatan disertai dengan semakin nekat dan kejam. Perasaan ini diidentifi kasikan sebagai reaksi “menarik diri”. Reaksi ini merupakan respons yang umum dalam mengambil sikap. Bila individu menarik diri, dia memilih untuk tidak mau tahu apa pun. Biasanya, respons ini disertai dengan depresi dan sikap apatis.

Ketiga, adanya peran atribusi dari dalam serangan yang diterima masyarakat dianggap sebagai tindakan membahayakan bagi dirinya sehingga perlu alasan pembenar yang berasal dari dalam diri, yaitu perasaan balas dendam dari sebagian korban. Pembalasan terhadap suatu serangan akan terjadi bila serangan itu ditafsirkan sesuatu tidak pada tempatnya dan perasaan was-was bila suatu saat akan mengalami perlakuan kejahatan sehingga perlu adanya tindakan pencegahan. Perilaku ini dikenal dengan fiksasi, dalam menghadapi kehidupannya individu dihadapkan pada suatu situasi menekan yang membuatnya frustrasi dan mengalami kecemasan sehingga membuat individu tersebut merasa tidak sanggup lagi untuk menghadapinya dan membuat perkembangan normalnya terhenti untuk sementara atau selamanya. Dengan kata lain, individu menjadi terfi ksasi pada satu tahap perkembangan karena tahap berikutnya penuh dengan kecemasan. Salah satu cara yang lazim digunakan adalah dengan melakukan pembalasan.

Penyebab-penyebab yang berlatar psikologis semacam itulah yang menyebabkan masyarakat menjadi arogan dan cenderung merasa marah setiap kali menghadapi keadaan yang mengancam stabilitasnya dan apabila rasa marah ini terus berkelanjutan, akan ada suatu tindakan dari pelampiasan rasa amarah, yang disalurkan lewat tindakan kekerasan terhadap pelaku kejahatan.

Faktor lainnya adalah meningkatnya jumlah pengangguran. Di awal pemerintahannya, pasangan SBY-JK menargetkan dalam waktu lima tahun masa kerja kabinetnya hingga 2009, tingkat pengangguran terbuka dapat ditekan menjadi 5,1 persen. Pada 2004, tingkat pengangguran diprediksi 9,72 persen. Ternyata, angka riil yang muncul Januari 2005 menunjukkan tingkat pengangguran terbuka tahun 2004 mencapai 9,86 persen. Angka ini meningkat terus sampai pada 2006 jumlah pengangguran mencapai 11,1 juta (Kompas, 2/6/06).

Untuk menurunkan tingkat pengangguran dalam lima tahun hingga hampir setengah kalinya, pemerintah SBY-JK menargetkan tiap satu persen pertumbuhan ekonomi akan menyerap sekitar 427.000 hingga 600.000 tenaga kerja, dengan rata-rata pertumbuhan 6,6 persen per tahun. Akan tetapi, kondisi makro dan mikro ekonomi ternyata tidak menggembirakan. Sejak krisis ekonomi pada 1997, pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak pernah mencapai 6—7 persen. Padahal, masalah pengangguran erat kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi. Jika pertumbuhan ekonomi tinggi, otomatis penyerapan tenaga kerja juga tinggi. Tentu saja, rendahnya pertumbuhan ekonomi berakibat jumlah pengangguran selalu meningkat.

Oleh karena itu, untuk menurunkan pengangguran pemerintahan SBY-JK dapat menggunakan empat pendekatan. Pertama, pertumbuhan tenaga kerja rata-rata per tahun ditekan dari 2,0 persen pada periode 2000—2005 menjadi 1,7 persen pada periode 2005—2009. Demikian juga pertumbuhan angkatan kerja, ditekan menjadi 1,9 persen pada periode 2005—2009 dari periode sebelumnya yang mencapai 2,4 persen. Kedua, pertumbuhan ekonomi ditingkatkan menjadi 6,0 persen pada periode 2005—2009 dari periode sebelumnya yang hanya mencapai 4,1 persen. Ketiga, mempercepat transformasi sektor informal ke sektor formal, baik di daerah perkotaan maupun pedesaan, terutama di sektor pertanian, perdagangan, jasa, dan industri. Keempat, kampanye keluarga berencana (KB) dan anjuran tidak menambah jumlah anak, terutama bagi keluarga miskin.

Dalam transisi demokrasi saat ini, telah lama terdengar aspirasi masyarakat bisa dengan mudah ditundukkan oleh kekuatan kapital. Aspirasi mudah terbeli. Modal mengganti moral sehingga menjadi kekuatan baru dalam mekanisme demokrasi. Padahal, mengutip hipotesis sosiolog Anthony Giddens (1996), demokrasi akan tumbuh sehat bila ada keseimbangan antara kekuatan pasar, negara, dan politik. Ketiganya tidak boleh timpang, apalagi saling menghancurkan.

Di Indonesia kekuatan modal begitu dominan memainkan peranannya dibandingkan dengan negara dan politik. Akibatnya, modal (terutama modal asing neo-kapitalisme ) menjadi penentu kebijakan politik. Pembuat kebijakan pun berada di bawah bayangbayang pemilik modal sehingga mengalami ketergantungan pada mereka. Di situ kita bisa melihat semuanya bisa dibeli. Siapa memiliki modal, dialah penentu kebijakan politik. Dus, penguasa sesungguhnya adalah pemodal, para pengendali pasar, pengendali kebijakan publik, dan pemilik wilayah politik.

Realitas ini menggambarkan betapa mudahnya modal kapital memanipulasi sebuah kebenaran, merusak demokrasi. Proses ini menggambarkan bahwa transisi demokrasi di Indonesia diisi oleh banyak orang yang berkeinginan menjadi pencari keuntungan dari ketidakpastian era transisi demokrasi. Bisnis di tengah penderitaan dan ketidakpastian sebuah bangsa.

Dus, rakyat banyak tetaplah rakyat yang tidak punya kedaulatan. Mereka tetap termarginalisasi dari akses-akses politik dan ekonomi. Akibatnya, pada masa-masa transisi demokrasi yang sedang kita jalani, pelaku dan pakar politik-ekonomi bangsa ini bukanlah pendukung kuat kebijakan dan program-program penanggulangan kemiskinan . Mereka justru menjadi—apa yang disebut John Perkin sebagai— political-economic hit man yang lebih peduli pada ideologi neo-kapitalisme.

Negara yang membela kaum modal adalah negara yang tidak mau mengurusi (menjamin) hak-hak kesejahteraan bagi rakyat, tetapi justru memberikan fasilitas bagi kaum modal untuk membayar buruh secara murah, menggusur tanah dan tempat tinggal rakyat (diganti dengan bangunan untuk mencari keuntungan kaum modal), dan yang intinya menempatkan modal untuk bebas tanpa kontrol siapa pun.

Apalagi, untuk negeri ini yang memang dikendalikan oleh para kaum modal dan konglomerat. Kasus bencana Lumpur Panas Lapindo Brantas di Porong, Sidoarjo, menunjukkan bahwa pengusaha telah menyebabkan kerugian bagi masyarakat. Negara bukannya bertindak untuk membela dan menjamin adanya ganti rugi dari perusahaan, melainkan justru terkesan melindungi para pembuat bencana. Watak elite politik pro-modal inilah yang ke depan akan tetap menjadi pemicu bagi lahirnya konfl ik, kekerasan, ketidakpuasan, dan kejahatan yang meluas di masyarakat kita. Negeri ini sedang terancam dengan kehancuran ekonomi, sosial, politik, dan kebudayaan karena bangunan kolektivitasnya rapuh karena pemerintah tidak mau berpihak pada rakyat, tetapi pada modal.

Tentu bukan hanya Indonesia saja yang merupakan wilayah yang masyarakatnya diwarnai masalah sosial tak kunjung henti. Di berbagai belahan dunia, berbagai masalah soaial lama masih terjadi, sedangkan masalah-masalah sosial baru juga semakin menyeruak. Masalah sosial akibat pemiskinan, terorisme, dan kerusakan lingkungan akibat pemanasan global akan menjadi isu yang paling penting untuk dipahami, dijelaskan, serta dijawab.

Dalam hal inilah sosiologi diharapkan kegunaannya. Berikut ini adalah kegunaan-kegunaan dari ilmu sosiologi bagi mahasiswa, pelajar, atau siapa pun yang belajar masyarakat dan hubungan sosial.

Kegunaan Teori Sosiologi:

  • Menjadi ikhtisar bagi hal-hal yang telah diketahui serta diuji kebenarannya; menjadi petunjuk bagi hal-hal yang telah diketahui dan diuji kebenarannya; bahkan juga sebagai petunjuk pada kekurangan pada seseorang yang memperdalam pengetahuan sosiologi;
  • Mempertajam fakta sosiologi, membina struktur konsep, dan untuk mengetahui ke arah mana masyarakat akan berkembang;
  • Teori sosiologi bermanfaat bagi pembangunan, pada tahap awal perencanaannya perlu data mengenai masyarakat, baik yang akan dibangun maupun memahami apa kira-kira dampak pembangunan bagi masyarakat. Data-data yang diperoleh akan mencakup pola interaksi sosial, kelompok-kelompok sosial, maupun individu (tokoh) yang berperan dalam interaksi tersebut, maupun kebudayaan maupun nilai-nilai yang ada di masyarakat baik yang mendukung pembangunan maupun yang menghambat pembangunan.

Sedangkan, manfaat penerapan teori sosiologi antara lain:

  • Meningkatkan kemampuan beradaptasi dengan lingkungan sosial;
  • Menjaring dan memberikan data yang akurat kepada pemerintah untuk menyelesaikan masalah sosial dan pembangunan, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga tahap evaluasi. Tahap perencanaan data harus didasarkan pada nilai-nilai dan aspirasi yang ada di masyarakat maupun kemungkinan jika kebijakan dilaksanakan. Pada saat pelaksanaan harus melibatkan kekuatan sosial yang penting. Sedangkan, tahap evaluasi melibatkan dampak-dampak dari kebijakan terhadap pola interaksi sosial dan kondisi masyarakat yang ada;
  • Dapat membantu meninjau kembali pemahaman pribadi dan orang lain tentang pola-pola kehidupan keluarga dan masyarakat;
  • Dapat membantu siapa pun yang ingin berperan atau tampil dalam masyarakat dengan cara memahami nilai-nilai dan kekuatan-kekuatan yang penting yang dapat digunakan atau dirangkul untuk bersama membangun peran sosial; dan
  • Membantu mengenali adanya perbedaan sosial antara kelompok dan memudahkan bagaimana mempertahankan pluralitas masyarakat itu demi pembangunan dan kemajuan bersama.