Di dalam perkembangan dunia modern, puisi makin beragam. Keberagaman ini sesungguhnya sudah tampak di dalam pengertian puisi. Berikut ini dikemukakan berbagai jenis puisi berdasarkan kriteria tertentu.
Berdasarkan perkembangannya dalam sejarah sastra dikenal adanya puisi lama, puisi modern, dan puisi mutakhir. Selanjutnya, puisi lama dibedakan menjadi beberapa jenis, antara lain mantera, pantun, talibun, syair, dan gurindam.
Mantera
Mantera adalah jenis puisi yang paling tua dalam sastra. Mantera diciptakan dalam kepercayaan animisme dan dinamisme untuk dibacakan dalam acara berburu, menangkap ikan, mengumpulkan hasil hutan untuk membujuk hantu- hantu yang baik dan menolak hantu yang jahat (Djamaris).
Contoh mantera:
Assalamualaikum anak cucu hantu pemburu
Yang diam di rimba sekampung
Yang duduk di ceruk banir
Yang bersandar di pinang burung
Yang berteduh di bawah tukas
Yang berbulukan daun resam
Yang bertilamkan daun lirik
Yang berbuai di medan jelawai
Tali buaya semambu tunggal
Kurnia Tengku Sultan Berimbangan
Yang diam di Pagaruyung
Rumah bertiang terus jelatang
Rumah berbendul bayang-bayang
Bertaburkan batang purut-purut
Yang berbulu roma sungsang
Yang menaruh jala lalat
Yang bergendang kulit tuma
Janganlah engkau mungkir setia padaku
Matilah engkau ditimpa daulat empat penjuru alam
Mati ditimpa malaikat yang empat puluh empat
Mati ditimpa tiang Ka’bah
Mati disula besi kawi
Mati dipanah halilintar
Mati disambar kilat senja
Mati ditimpa Qur’an tiga puluh juz
Mati ditimpa kalimah
(Hooykas).
Mantera memiliki ciri yang khas, yaitu :
-
pemilihan kata sangat saksama,
-
bunyi-bunyi diusahakan berulang-ulang dengan maksud memperkuat daya sugesti kata,
-
banyak digunakan kata-kata yang kurang umum dalam kehidupan sehari-hari dengan maksud memperkuat daya sugesti kata,
-
jika dibaca secara keras mantera menimbulkan efek bunyi yang bersifat magis, yang diperkuat oleh irama dan metrum yang biasanya hanya dipahami secara sempurna oleh pawang ahli yang membaca mantera secara keras (Waluyo, 1991:8).
Pantun
Pantun merupakan puisi lama yang memiliki ciri bersajak a b a b, tiap bait terdiri dari empat baris, dua baris sampiran dan dua baris isi.
Contoh pantun:
Kemumu di dalam semak
Jatuh melayang seleranya
Meskipun ilmu setinggi tegak
Tidak sembahyang apa gunanya
Asam kandis asam gelugur
Ketiga asam riang-riang
Menangis orang di pintu kubur
Teringat badan tidak sembahyang
Orang Bayang pergi mengaji
Ke cubadak jalan ke Panji
Meninggalkan sembahyang jadi berani
Seperti badan tidak akan mati
Talibun
Hampir mirip dengan pantun, talibun terdiri atas larik-larik sampiran dan isi. Bedanya, lalibun memiliki larik lebih dari empat dan selalu genap, misalnya enam, delapan, sepuluh, dua belas, atau empat belas (Djamaris, dalam Setyawati, 2004:213).
Contoh talibun:
Kalau jadi pergi ke pekan
Yu beli belanak beli
Ikan panjang beli dahulu
Kalau jadi engkau berjalan
Ibu cari sanak pun cari
Induk semang cari dahulu
Syair
Syair merupakan puisi yang berlarik empat tiap bait dan bersajak a a a a yang mengisahkan suatu hal.
Contoh syair:
Syair Ken Tambuhan (Cerita Panji)
Lalulah berjalan Ken tambuhan
Diiringi penglipur dengan tadahan
Lemah lembut berjalan perlahan-lahan
Lakunya manis memberi kasihan
Tunduk menangis segala puteri
Masing-masing berkata sama sendiri
Jahatnya perangai permaisuri
Lakunya seperti jin dan peri
Gurindam
Gurindam adalah puisi yang terdiri atas dua baris, berirama sama a a, kedua barisnya merupakan isi, baris pertama merupakan sebab dan baris kedua merupakan akibat, isinya berupa nasihat (Djamaris, dalam Setyawati, 2004).
Berikut ini merupakan contoh gurindam yang berisi nasihat agar kita berpegang teguh kepada agama.
Gurindam Dua Belas
Barang siapa tiada memegang agama
Sekali-kali tiada boleh dibilangkan nama
Barang siapa mengenal yang empat
Maka ia itulah orang makrifat
Barang siapa mengenal Allah
Suruh dan tegaknya tiada ia menyalah
Barang siapa mengenal diri
Maka telah mengenal akan Tuhan yang Bahari
Barang siapa mengenal dunia
Tahulah ia barang yang terperdaya
Barang siapa mengenal akhirat
Tahulah ia dunia mudarat
(Djamaris).
Berdasarkan cara penyair mengungkapkan isi atau gagasan yang hendak disampaikan, dibedakan (1) puisi naratif, (2) puisi lirik, dan (3) puisi deskriptif (Waluyo, 1991).
Puisi Naratif
Puisi naratif adalah puisi yang digunakan untuk menyampaikan suatu cerita. Selanjutnya puisi naratif dibedakan menjadi epik, romansa, dan balada.
Epik atau epos adalah puisi naratif yang menceritakan kepahlawanan tokoh. Ramayana merupakan contoh epik yang menggambarkan kepahlawanan Rama Wijaya dalam melawan keangkaramurkaan Rahwana. Demikian pula Mahabharata merupakan epik yang menggambarkan kepahlawanan Pandawa melawan Kurawa.
Romansa adalah puisi naratif yang menggunakan bahasa romantik yang berisi kisah percintaan tokoh ksatria yang penuh rintangan (Waluyo, 1991).
Berikut ini merupakan contoh puisi romansa yang mengisahkan kisah cinta antara Damarwulan dengan istrinya Anjasmana.
ASMARADANA
Ia dengar kepak sayap kelelawar dan guyur sisa hujan dari daun,
karena angin pada kemuning. Ia dengar resah kuda serta langkah pedati
ketika langit bersih kembali menampakkan bimasaktiyang jauh.
Tapi di antara mereka nerdua, tidak ada yang berkata-kata.
Lalu ia ucapkan perpisahan itu, kematian itu.
Ia melihat peta, nasib, perjalanan dan sebuah peperangan yang tak semuanya disebutkan.
Lalu ia tahu perempuan itu tak akan menangis.
Sebab bila esok pagi pada rumput halaman ada tapak yang menjauh ke utara,
ia tak akan lagi mencatat yang telah lewat dan yang akan tiba karena ia tak berani lagi.
Anjasmara, adikku, tinggallah seperti dulu.
Bulanpun lamban dalam angina, abai dalam waktu
Lewat remang dan kunang-kunang, kaulupakan wajahku,
Kulupakan wajahmu.
(Goenawan Mohamad, 1971).
Puisi lirik
Puisi lirik adalah puisi yang digunakan untuk menungkapkan gagasan pribadi penyairnya atau aku lirik. Selanjutnya, puisi lirik dibedakan menjadi (1) elegi, (2) serenada, dan (3) ode (Waluyo, 1991).
Elegi merupakan puisi yang mengungkapkan perasaan duka penyair atau aku lirik. Simaklah puisi berikut yang menggambarkan perasaan duka dan gelisah aku lirik menunggu datangnya maut.
HARI TERAKHIR SEORANG PENYAIR, SUATU SIANG
Di siang suram bertiupo angin. Kuhitung pohon satu-satu
Tak ada bumi yang jadi lain: daun pun kuruh, lebih bisu
Ada matahari lewat mengedap, jam memberat dan hari menunggu
Sehala akan lenyap, segala akan lenyap, Tuhanku
Kemudian Engkau pun tiba, menjemput sajak yang tak tersua
Siang akan jadi dingin, Tuhan, dan angin telah sedia
Biarkan aku hibuk dan cinta berangkat dalam rahasia.
(Goenawan Mohamad, 1974).
Serenada merupakan puisi lirik yang bersuasana senang. Misalnya, tampak pada puisi berikut:
DI CERLANG MATAMU
Di cerlang matamu
Kulihat pagi bangkit berseri
Mencairkan kembali hidupku yang beku
Wahai, merdunya burung berkicau
Meloncat-loncat dari dahan ke dahan
Bernyanyi sorak-sorai dalam hatiku.
(Rachmat Djoko Pradopo)
Ode merupakan puisi lirik yang berisi pujian terhadap seseorang, pada umumnya pahlawan, seperti tampak pada puisi berikut:
TERATAI
Kepada: Ki Hajar Dewantara
Dalam kebun di tanah airku
Tunbuh sekuntum bunga teratai
Tersembunyi kembang indah permai
Tidak terlihat orang yang lalu.
Akarnya tumbuh di hati dunia
Daun bersemi laksmi mengarang
Biarpun dia diabaikan orang
Seroja kembang gemilang mulia.
Teruslah, o, teratai bahagia
Bersemi di kebuh tanah Indonesia
Biarkan sedikit penjaga taman
Biarpun engkau tidak dilihat
Biarpun engkau tidak diminat
Engkau turut menjaga jaman.
(Sanusi Pane, 1957).
Tampak bahwa puisi tersebut memuja Ki Hajar Dewantara, pahlawan pendidikan, yang pada awalnya perjuangannya tidak banyak diketahui masyarakat.
Puisi deskriptif
Puisi deskriptif adalah puisi yang mengemukakan tanggapan atau kesan penyair terhadap suatu hal atau keadaan (Waluyo, 1991). Berbeda dengan puisi naratif yang berisi cerita, dan lirik yang mengemukakan gagasan pribadi penyair atau aku lirik, maka puisi deskriptif cenderung menggambarkan tanggapan atau kesan penyair terhadap suatu hal. Tanggapan atau kesan tersebut dapat bersifat kritik maupun sindiran, sehingga dikenal adanya puisi ironi dan satire (kritik).
Ironi, misalnya tampak pada puisi berikut:
MESJID I
Mesjid di kotaku pintu-pintunya selalu ditutup jika malam,
sebab takut perabot-perabotnya yang mewah akan hilang
apakah Tuhan terkurung di dalamnya,
memandang kita dari kaca jendela sambil melambai-lambaikan tanganya?
Bapak imam yang memimpin orang-orang sembahyang,
seperti punya keinginan untuk menjadi malaikat Tuhan,
sehingga ia enggan untuk bergaul dengan banyak orang
Sehari lima kali kepalanya menggeleng-geleng dan mulutnya mengucapkan macam-macam doa,
dan orang-orang pun sehari lima kali menyebut ”Amin!” di luar kepala
Air muka mereka yang kosong, menggambarkan perasaan yang aman,
sebab mereka menyangka
Tuhan cukup dilayani dengan upacara-upacara sembahyang
(Emha Ainun Nadjib, 1993).
Puisi tersebut menggabarkan tanggapan penyair, yang lebih sebagai bentuk kritik terhadap orang-orang yang merasa dirinya telah cukup benar dalam menjalankan ibadah, tanpa mempertimbangkan kepentingan orang lain, misalnya para pengembara yang di malam hari seringkali memerlukan masjid untuk singgah, sholat, maupun untuk istirahat.
Satire, misalnya tampak pada puisi berikut yang dengan tajam mengritik moral keluarga mantan Presiden Suharto pada masa pemerintahan Orde Baru.
GURINDAM EMPAT
Ayahmu kaya raya berbagai rupa caranya
Mengapa engkau bangga
Cuma menumpang nama
Pamanmu generasi komisi angkatan pertama
Engkau dan ponakanmu generasi komisi I dan III
Silsilah dan wajah jelas bukan preman pasar
Tapi praktek bisnismu sunyi akhlak begitu kasar
Jembatan ditelan, kapal diuntal, proyek habis dikunyah
100 keluarga kenyangnya terengah-engah, lihatlah.
(Taufiq Ismail, )
Berdasarkan langsung tidaknya makna dalam hubunganya dengan diksi dan bahasa kiasan yang dipakai, puisi dibedakan menjadi puisi diafan dan puisi prismatis (Waluyo, 1991).
Puisi Diafan
Puisi diafan menggunakan kata-kata denotatif , kurang sekali menggunakan pengimajian dan bahasa kiasan, sehingga mudah dipahami maknanya.
Contoh Puisi diafan:
SAJAK SIKAT GIGI
Seseorang lupa menggosok gisinya sebelum tidur
Di dalam tidurnya ia bermimpi
Ada sikat gigi menggosok-gosok mulutnya supaya terbuka
Ketika ia bangun pagi hari Sikat giginya tinggal sepotong
Sepotong yang hilang itu agaknya
Tersesat di dalam mimpinya dan tak bisa kembali
Dan ia berpendapat bahwa kejadian itu terlalu berlebih-lebihan.
(Yudhistira Ardinugraha, 1974)
Puisi Prismatis
Puisi prismatis didominasi oleh penggunakan kata konotatif, citraan, dan kiasan, sehingga makna yang dikandungnya bersifat polyinterpretable.
Contoh Puisi prismatis:
SAAT SEBELUM BERANGKAT
mengapa kita masih juga bercakap
hari hampir gelap
menyekap beribu kata di antara karangan bunga
di ruang semakin maya, dunia purnama
sampai tak ada sempat bertanya
mengapa musim tiba-tiba reda
kita di mana. Waktu seorang bertahan di sini
di luar para pengiring jenazah menanti
(Sapardi Djoko Damono)
Siapakah kita (yang) masih bercakap, yang dimaksud dalam puisi di atas? Demikian juga apakah makna hari hampir gelap? Kalau bahasa kiasan, apa maknanya? Apakah mengacu kepada waktu kematian yang segera akan tiba? Sebab larik berikutnya menggambarkan adanya karangan bunga dan pengiring jenazah yang menanti. Dari bahasa yang digunakan, puisi tersebut tampak mengemukakan makna secara tidak langsung, sehingga dapat digolongkan pada puisi prismatis.
Berdasarkan penggunaan kata (diksi) dan macam bahasanya dikenal adanya jenis puisi mbeling dan puisi multilingualisme.
Puisi Mbeling
Puisi mbeling merupakan jenis puisi yang kemunculannya dilandasi oleh semangat pemberontakan terhadap puisi dan penyair sebelumnya.Mbeling adalah kosa kata dalam bahasa Jawa, yang bermakna nakal, kurang ajar, sukar diatur, suka memberontak. Puisi mbeling pada awalnya merupakan ruangan puisi majalah Aktuil Bandung (1972-1978) dan sekaligus sebagai sebutan untuk puisi- puisi yang dimuat dalam ruangan itu (Eneste, 1990).
Menurut Damono (1983) ciri utama puisi mbeling adalah kelakar. Kata-kata dipermainkan; arti, bunyi, dan tipografi dimanfaatkan untuk mencapai efek tersebut. Sebagian besar sajak mbeling menunjukkan bahwa maksud penyairnya sekadar mengajak pembaca berkelakar, tanpa maksud lain yang disembunyikan.
Dasar lahirnya puisi mbeling, menurut salah satu tokohnya, yakni Remy Silado, adalah pernyataan akan apa adanya. Jika puisi merupakan pernyataan apa adanya, dengan begitu terjemahan mentalnya, hendaknya diartikan bahwa tanggung jawab moral seorang seniman ialah bagaimana dia memandang semua kehidupan dalam diri dan luar lingkungannya secara menyeluruh, lugu dan apa adanya (Aktuil, Juli 1975).
Contoh puis mbeling:
TEKA TEKI
saya ada dalam puisi
saya ada dalam cerpen
saya ada dalam novel
saya ada dalam roman
saya ada dalam kritik
saya ada dalam esai
saya ada dalam w.c.
siapakah saya?
Jawab: h.b. jassin
(Mahawan)
COMMUNICATION GAP
Ya TUHAN
Tuhan Tuhan Tuhan
Tuhan Tuhan
Tuhan
Tu
Han
Tu
Han
Tu
Hantu
Hantu Hantu
Hantu Hantu Hantu
HANTU
Ay
(Remy Sylado)
Puisi Multilingualime
Puisi multilingualime mengacu pada puisi yang menggunakan berbagai macam bahasa sebagai sarana ekspresinya. Puisi jenis ini banyak ditulis oleh Darmanto Jatman merupakan puisi multilingualisme, seperti tampak pada contoh berikut.
ANAK
-o, bones of my bones
Flesh of my flesh
Blood of my blood
(genesis rekasa)
Sekalipun bermula dari berahi kesumat
Anak tetaplah wujud dari laku weda yang khidmat
Mantra yang dirapal tiap tengah malam
Sambil mandi kembang setaman:
Air suci tujuh perkara Sebelum menetes,
Tinggallah pada pusat bening sukmaku
Lalu kuteteskan dari pucuk pestolku
Jatuh di pusat cupu manik biniku
Jadi rasa sejati
Tumbuhlan jadi manusia mulia
Ya Ya
Anak adalah denyut rumah tangga
Adalah pemberi arti bagi tukar padu, purik dan talak satu
Tanpa anak, jadi seperti Sysiphuslah manusia
Sia-sia mendorong batu ke puncak bukit
Untuk kemudian terhenyak dan mulut keluh:
Lhailah!
Dan batu itupun terguling kembali ke dasar lembah
Ya Ya
Anak adalah landasan dan alasan untuk membanting tulang
Ialah yang membuat sah segala macam cara perjuangan
Tunas yang menumbuhkan pohon silsilah
Dan membangkitkan kembali naluri keibuan dan kebapakan
Kita yang loyo, lesu kurang darah
Sehingga kita sanggup membelai lembut dan mencakar garang
O, Anak. Anakku, yang tak habis kukudang-kudang
Dalam mimpi, tani dan tapaku.
Kang ungkang belungkang
Anakku ungkang ungkang
Kelak besar jadi ORANG
Na Na Na
Anak adalah buah sukun yang menentukan tinggi rendahnya
Mutu kita sebagai puhun
Anak adalah buah mangga yang menentukan layak tidaknya
Kita jadi pohonnya
(Bukankah Yesuspun kecewa memandang pohon ara yang Sungguh rimbun tapi berbuah nul?)
Anaklah kembang flamboyan yang selayaknya kita tanam
Arsitek Al Khalik di kebun firdaus tamannnya
Bahkan wahai anakku, ingin kuyakinkan anda, betapa
Pentingnya anda lahir di tengah dunia yang gegap gempita
Di tengah kampanye keluarga berencana
(Siapa tahu ada yangberkomplot di belakang Perserikatan Bangsa-bangsa
untuk membencanai kehadiran anda sebagai Malapetaka bagi umat manusia)
o. Anak. Anakku ngger
Tangismu lebih merdi dari suluk muluk ki dalang jemblung
Lebih laras dari tembangnya nyai bei Madularas
Lebih gandem dari uyon-uyonnya kiyai GandesLuwes
Marilah ngger, kuajar mengeja nama baptismu dalam aksara
Hanacaraka:
Wahai, kau, tulang dari tulangku, daging dari dagingku,
Darah dari darahku!
(Darmanto Jatman, Karto Iya Bilang Mboten)
Puisi tersebut menggunakan kosa kata bahasa Jawa, seperti tukar padu, purik ’bertengkar’, gandem ’merdu’ , uyon-uyonnya ’lagu/tembang’, ngger ’nak’, bahasa Inggris: -o, bones of my bones, flesh of my flesh, blood of my blood, dan bahasa Indonesia seperti ’tulang dari tulangku, daging dari dagingku, Darah dari darahku’.
Pembaca mungkin akan bertanya, ”Mengapa kosa kata bahasa Jawa dan Inggris dalam puisi tersebut tidak diganti dengan padanan katanya dalam bahasa Indonesia?”
Penggunaan bahasa Jawa dan Inggris, menjadi pilihan penyair, untuk memberikan warna lokal yang berhubungan dengan masyarakat suku Jawa dalam budaya global, yang tetap mementingkan kehadiran anak dalam kehidupan rumah tangganya.
Berdasarkan wujud visualnya, dikenal adanya puisi tipografi dan puisi konkret.
Puisi Tipografi
Puisi tipografi misalnya tampak pada puisi ”Tragedi Winkha & Sihka” karya Sutardji Calzoum Bachri seperti sudah dikutip di muka.
TRAGEDI WINKA & SIHKA
(Sutardji Calzoum Bachri. 1981)
Tipografi zigzag vertikal pada puisi tersebut mensugesti pada makna perjalanan sebuah perkawinan yang tidak mulus, tetapi penuh dengan liku-liku.
Puisi Konkret
Pada puisi tipografi kata-kata atau kalimat masih digunakan penyair, sementara pada puisi konkret, penggunaan kata-kata yang bersifat utuh hampir tidak ada, seperti pada puisi karya Danarto berikut…
Sumber : Maman Suryaman, Wiyatmi, Puisi Indonesia, Universitas Negeri Yogyakarta, 2013