Apa Saja Jenis-Jenis Kafir Menurut Islam?

kafir

Kafir berasal dari kata kufur yang berarti ingkar, menolak atau menutup, menyembunyikan sesuatu, atau menyembunyikan kebaikan yang telah diterima atau mengingkari kebenaran. Dalam al-Quran, kata kafir dengan berbagai bentuk kata disebut sebanyak 525 kali. Kata kafir digunakan dalam al-quran berkaitan dengan perbuatan yang berhubungan dengan Tuhan, seperti : Mengingkari nikmat Tuhan dan tidak berterima kasih kepada-Nya (QS.16:55, QS. 30:34)

Apa saja jenis-jenis kafir menurut Islam ?

Kafir dalam terma fikih artinya bahwa seseorang yang tidak meyakini akan Tuhan atau Nabi atau salah satu dari prinsip-prinsip agama.Namun dalam menentukan obyek-obyek kafir terdapat pandangan yang berbeda-beda.Kafir jurisprudensial berdasarkan subyek fikih yang dibahas di dalamnya terdapat pembagian yang beragam.

  • Ahlulkitab: Yang dimaksud dengan Ahlulkitab adalah Kristen, Yahudi dan Majusi – sesuai dengan sebuah pendapat – dan selainnya seperti Hindu, Budha dan lain sebagainya. Kafir Ahlulkitab memiliki bagian-bagian; karena Ahlulkitab itu terbagi menjadi Ahlulkitab harbi yaitu yang sedang dalam kondisi berperang dengan umat Muslim dan Ahlulkitab dzimmi dan non dzimmi.

    • Kafir Ahlulkitab harbi adalah Ahlulkitab yang menentang Islam dan tidak menerima perjanjian damai dengan umat Muslim.

    • Kafir Ahlulkitab dzimmi adalah penganut Ahlulkitab yang menerima perjanjian damai dengan Islam dan hidup di bawah lindungan pemerintahan Islam.

  • Murtad: Yaitu orang yang keluar dari Islam setelah sebelumnya memilih Islam.

  • Kafir asli: Seorang dewasa yang lahir dari ayah dan ibu kafir serta dengan kehendaknya sendiri ia memilih untuk menjadi kafir (mengingkari keberadaan Tuhan).

  • Kafir ikutan (taba’i): Seorang anak kafir sebelum mencapai usia dewasa (baligh) yang dihukumi kafir.

Sumber :

Dari segi bahasa, kafir mengandung arti: menutupi. Malam disebut “kafir” karena ia menutupi siang atau menutupi atau menutupi benda-benda dengan kegelapannya. Awan juga disebut “kafir” karena ia menutupi matahari. Demikian pula petani yang terkadang juga disebut “kafir” karena ia menutupi benih dengan tanah.

Harifuddin Cawidu, dalam disertasinya membagi jenis-jenis kafir menjadi 7 (tujuh) yaitu: Kufr al-Inkar, Kufr al-Juhud, Kufr al-Nifaq, Kufr al-Shirk, Kufr al- Ni’mah, Kufr al-Irtidad (al-Riddah), dab Kufr Ahl al-Kitab.

1. Kufr al-inkar


Kufr al-inkar yaitu kekafiran dalam arti pengingkaran terhadap eksistensi Tuhan, rasul-rasul-Nya, dan seluruh ajaran yang mereka bawa. Jadi ditinjau dari sudut akidah, orang kafir jenis ini tidak percaya sama sekali akan adanya Tuhan sebagai pencipta, pemelihara, dan pengatur alam ini. Ia juga mendustakan rasul- rasul, mendustakan ayat-ayat Tuhan, menolak semua hal yang bersifat ghaib, seperti malaikat, kiamat, kebangkitan, surga, neraka, dan sebagainya.

Orang-orang kafir jenis ini, pada hakikatnya, hanya mempercayai hal-hal yang bersifat material dan alamiah. Kalaupun ada diantara mereka yang mempercayai hal-hal yang inmaterial, seperti daya paranormal, dukun, telepati, dan semacamnya, namun mereka beranggapan bahwa semua itu bersifat alamiah dan tidak ada kaitannya dengan Tuhan.
Ciri yang sangat menonjol dari orang-orang kafir jenis ini adalah orientasi mereka yang hanya terfokus pada dunia ini saja. Seluruh waktu, tenaga, pikiran, dan umur mereka dihabiskan untuk mencari kenikmatan dunia.

Karena orientasi dan kecintaan hidup duniawi yang sangat menonjol tanpa dilandasi kepercayaan kepada Tuhan dan Hari Pembalasan, maka orang-orang kafir tidak merasa memikul kewajiban moral untuk melakukan perbuatan- perbuatan baik dan luhur buat investasi di akhirat. Sebaliknya, mereka tidak merasa berdosa untuk melakukan erbagai perbuatan jahat seperti penyimpangan, penyelewengan, pemaksaan, penipuan, pemerkosaan hak-hak orang lain, dan semacamnya.

2. Kufr al-juhud


Kufr al-Juhud, sebenarnya tidak jauh berbeda dengan kufr al-inkar. Istilah kufr al-juh}ud diambil dari term juhud yang terdapat dalam al-Qur’an. kufr al-juhud adalah mengakui dengan hati (kebenaran rasul dan ajaran-ajaran yang dibawanya) tetapi mengingkari dengan lidah.

Mengenai kufr al-juhud, sebenarnya tidak terdapat perbedaan besar dengan kufr al-inkar. Bahkan antara keduanya terdapat persamaan yang mendasar karena keduanya berarti penolakan dan pembangkangan terhadap kebenaran, baik dalam arti Tuhan sebagai kebenaran mutlak dan sumber segala kebenaran maupun dalam arti kebenaran yang diturunkan melalui rasul-rasul-Nya.

Perbedaan kedua jenis kafir ini terletak pada posisi si pengingkar. Pada kufr al-inkar, penolakan terhadap kebenaran didasarkan pada ketidakpercayaan dan ketidak yakinan akan kebenaran tersebut, sedangkan pada kufr al-juhud, penolakan itu semata-mata berlandaskan atas kesombongan, keangkuhan, kedengkian dan semacamnya, meskipun dalam hati si pengingkar, hal yang di ingkari dan ditolaknya itu dia yakini atau, paling tidak, dia ketahui akan kebenarannya.

Jadi, ciri-ciri kufr al-juhud, pada dasarnya sama dengan kufr al-inkar, karena terdapat persamaan yang mendasar antara keduanya. Oleh karena itu,
karakteristik kufr al-juhud juga menjadi karakteristik kufr al-inkar. Yang perlu digarisbawahi adalah bahwa kesombongan dan keangkuhan merupakan ciri yang amat dominan dari kufr al-juhud.

3. Kufr al-nifaq


Kufr al-nifaq dapat dianggap sebagai kebalikan dari kufr al-juhud. Kalau kufr al-juhud berarti mengetahui atau meyakini dengan hati tetapi ingkar dengan lidah, maka kufr al-nifaq mengandung arti pengakuan dengan lidah tetapi pengingkaran dengan hati. Oleh al-Raghib, nifaq diartikan dengan: “masuk kedalam syara’ (agama) dari satu pintu dan keluar dari pintu lain”.

Hal ini didasarkan pada QS. al-Tawbah / 9:67 yang mengatakan bahwa orang-orang munafik itu adalah orang-orang yang fasiq, yaitu orang yang keluar dari syara’.

Kemunafikan dimasukkan dalam kategori kufr karena pada hakikatnya, perilaku nifaq adalah kekafiran yang terselubung. Orang-orang munafik, pada dasarnya, adalah mereka yang ingkar kepada Allah, kepada rasul-Nya dan ajaran yang dibawa rasul itu, kendatipun secara lahir mereka memakai baju mukmin. Karena termasuk kategori kufr, maka kemunafikan dan pelakunya seringkali diidentifikasi oleh al-Qur’an dengan term kufr, disamping term nifaq. Term nifaq yang mengandung makna kemunafikan, muncul dalam al-Qur’an sebanyak 37 kali.

Diantara ciri-ciri orang munafik, sebagaimana yang digambarkan al-Qur’an adalah sebagai berikut:

  1. Berkepribadian goyah dan tidak memiliki pendirian tetap, khususnya dalam bidang akidah. Mereka adalah orang-orang yang hidup dalam suasana kebimbangan, ketidakpastian, dan kegelisahan.

  2. Mereka memakai topeng yang berlapis-lapis untuk menutupi keaslian diri mereka yang sebenarnya, serta tidak segan-segan mengumbar sumpah palsu.

  3. Menggambarkan sebagai pribadi yang pengecut, tidak kesatria mengakui kesalahan, dan tidak memiliki tanggung jawab atas perbuatannya.

  4. Apabila berkata dusta, berjanji mengingkari, dan apabila diberi amanat berkhianat.

  5. Perbuatan-perbuatan mereka yang selalu berdasarkan riya’ dan penuh pamrih, khusus dalam kaitannya dengan amal-amal keagamaan.

  6. Sikap malas dan acuh tak acuh.

  7. Gemar membuat fitnah dan menyebarkan berita-berita bohong dengan tujuan memburu-burukkan Islam dan umatnya.

Kufr al-shirk


Shikr, dalam arti mempersekutukan Tuhan dengan menjadikan sesuatu, selain diri-Nya, sebagai senbahan, objek pemujaan, dan atau tempat menggantungkan harapan dan dambaan, termasuk dalam kategori kufr. Shirk, digolongkan sebagai kekafiran sebab perbuatan itu mengingkari keesaan Tuhan yang, berarti, mengingkari kemaha-kuasaan dan kemahasempurnaan-Nya.

Adapun ciri-ciri kekafiran jenis ini yaitu, kemusyrikan dalam bentuk keberhalaan. Yang merupakan ciri dari masyarakat yang masih tradisional seperti halnya umat para nabi dan rasul. Berhala-berhala itu, baik dalam wujud patung maupun bentuk-bentuk lainnya, dijadikan sebagai sembahan, obyek pemujaan, dan tempat menggantungkan harapan dan dambaan, karena dianggap dapat mendatangkan manfaat dan menolak bahaya.

Kufr al-ni’mah


Kufr nikmat yaitu, penyalahgunaan nikmat yang diperoleh, penempatannya bukan pada tempatnya, dan penggunaannya bukan pada hal-hal yang dikehendaki dan diridai oleh pemberi nikmat.

Kufr nikmat, seperti yang dimaksud, tampaknya, merupakan kecenderungan yang sangat kuat pada diri manusia. Hal ini terlihat pada cara al-Qur’an menunjuk kufr nikmat dengan beberapa kali menggunakan bentuk al-mubalagah. Misalnya, ungkapan zalumun kaffar (benar-benar zalim lagi teramat kafir) dalam QS. Ibrahim : 15 dan ungkapan kafurun mubin (benar-benar kafir nikmat) yang terulang sepuluh kali.

Dan mereka memohon kemenangan (atas musuh-musuh mereka) dan binasalah semua orang yang berlaku sewenang-wenang lagi keras kepala, QS. Ibrahim : 15

Kufr nikmat, dalam arti penyalahgunaan nikmat-nikmat Tuhan, sebenarnya, telah dilakukan secara langsung oleh orang-orang yang, memang, tergolong kafir (kafir ingkar, kafir juhud, musyrik, dan munafik). Mereka ini, semuanya, terlibat dalam penyalahgunaan nikmat-nikmat Tuhan karena mereka menggunakan nikmat-nikmat itu bukan pada tempat yang sewajarnya dan diridai oleh Tuhan. Bahkan mereka menggunakan nikmat itu pada hal-hal yang mendatangkan kerusakan di atas muka bumi.

Begitu juga orang mukmin, mereka pun bisa saja terjerumus dalam perilaku kufr nikmat. Orang mukmin yang menyalahgunakan nikmat Tuhan, yang tidak mendayagunakan nikmat itu sebagaimana mestinya, atau menggunakan pada hal- hal yang tidak diridai oleh-Nya, maka ia telah melakukan perbuatan kufr, yakni kufr nikmat.

Dengan demikian, kufr nikmat mempunyai cakupan yang amat luas sehingga akan banyak sekali manusia yang terjerumus didalamnya dan hanya sedikit yang benar-benar mampu menjadi insan shakir (yang benar-benar bersyukur atas nikmat-nikmat Tuhan yang diperolehnya dalam hidup ini).

Adapun ciri-ciri orang kufur nikmat yaitu: mereka yang memiliki sifat malas, statis, masa- bodoh, sikap santai dan tidak produktif dalam kerja, tiadanya kreatifitas, dan semacamnya.

Kufr al-irtidad (al-riddah)

Istilah irtidad atau riddah yang berakar dari kata radd, secara etimologi, berarti “berbalik kembali”; atau menurut al-Raghib, yaitu “kembali ke jalan dari mana ia datang”. Dari segi terminologi agama, irtida>d atau riddah berarti kembali kepada kekafiran, dari keadaan beriman, baik iman itu didahului oleh kekafiran lain (sebelumnya) atau pun tidak.

Term riddat, menurut Raghib, khusus digunakan bagi orang yang kembali kepada kekafiran sesudah beriman. Sedangkan term irtidad bisa digunakan dalam pengertian umum, di samping arti khusus tersebut.

Kekafiran jenis ini cukup menonjol dalam kehidupan masyarakat, khususnya masyarakat modern, yaitu mereka yang berlatar belakang perkawinan beda agama. Seorang Muslim atau Muslimat, karena kawin dengan non-Islam, akhirnya melepas agamanya dan menukarnya dengan agama pasangannya. Dalam masyarakat modern, terutama di kota-kota besar, di mana kebebasan pergaulan sangat menonjol dan ikatan-ikatan primordial, termasuk agama, tidak lagi menjadi pertimbangan utama dalam memilih teman hidup, peristiwa pertukaran agama, tampak, dianggap wajar, tidak prinsipal, dan tidak harus dipermasalahkan. Dalam kasus seperti itu, jelas, faktor cinta seringkali mengalahkan keyakinan agama, meskipun harus diakui bahwa seorang Muslim yang menukar agamanya dengan cinta dan perkawinan, tentunya, belum memiliki iman yang cukup terandalkan.

Kufr ahl al-kitab

Ahl al-kitab (pemilik kitab) atau al-ladhina utu al-kitab (orang-orang yang diberi kitab), mempunyai kedudukan tersendiri dalam al-Qur’an. Al-Qur’an banyak membicarakan mereka, mengintroduksikan perilaku dan sifat-sifat mereka, serta menyoroti sikap mereka terhadap Nabi Muhammad, terhadap Islam pada umumnya.

Secara kenyataan, kaum Yahudi dan Nasrani, dua komunitas agama yang sering di-khit}ab oleh al-Qur’an sebagai ahl al-kitab, memiliki persambungan akidah dengan kaum Muslimin. Tuhan sendiri menegaskan bahwa al-Qur’an datang memberi pembenaran terhadap sebagian dari ajaran Taurat (kitab suci Yahudi) dan Injil (kitab suci Nasrani) serta mengoreksi sebahagian lainnya. Akan tetapi, al-Qur’an tidak memberikan penegasan mengenai status ahl al-kitab ditinjau dari sudut akidah. Al-Qur’an hanya mengatakan bahwa ada di antara ahl al-kitab yang beriman dan sebahagian besar dari mereka fasik (QS. Ali ‘Imran [3]: 110). Oleh karena itu, dalam mengkaji konsep kufr dalam al-Qur’an, diperlukan pembahasan tersendiri mengenai ahl al-kitab itu, bukan hanya karena al-Qur’an mengakui eksistensi mereka, tetapi juga karena interaksi antara umat Islam dengan mereka tidak dapat dielakkan. Terlebih lagi dalam masa modern ini di mana perbauran antara umat beragama yang begitu beraneka merupakan realitas yang sangat gamblang sedangkan umat Islam adalah salah satu komunitas besar di antaranya.

Sebagaimana yang disebutkan di atas, kaum Yahudi dan Nasrani adalah dua komunitas agama yang selalu di-khitab oleh al-Qur’an sebagai ahl al-kitab. Para ulama juga sepakat mengenai hal ini. Yang mereka perselisihkan adalah komunitas agama-agama lain, seperti Majusi, Hindu, Budha, Konfusius, dan sebagainya. Apakah termasuk ahl al-kitab atau bukan. Ada sementara ulama yang memasukkan mereka dalam jajaran ahl al-kitab, tetapi sebahagiannya menolak.

Harifuddi Cawidu dalam disertasinya ini, menyimpulkan bahwa para ahl al- kitab itu, semuanya, tergolong kafir. Orang-orang Yahudi dan Nasrani, kendatipun mempercayai pokok-pokok akidah yang diyakini dalam Islam, namun kepercayaan mereka, sebenarnya, tidak utuh dan penuh dengan penyimpangan-penyimpangan. Oleh karena itu, mereka tidak dapat dikategorikan sebagai orang-orang mukmin menurut konsep al-Qur’an.

Ketidak utuhan iman orang-orang Yahudi dan Nasrani seringkali disinggung, bahkan dikecam, oleh al-Qur’an. Misalnya, mereka dikecam karena mempercayai sebahagian kitab Tuhan dan mengingkari sebahagian yang lain. Dalam hal ini, orang-orang Yahudi mempercayai Kitab Taurat yang dibawa Musa tetapi mengingkari Kitab Injil yang dibawa Isa dan al-Qur’an yang dibawa Muhammad. Sedangkan orang-orang Nasrani mempercayai Taurat dan Injil namun mengingkari al-Qur’an.

Membeda-bedakan rasul-rasul Allah, mempercayai sebahagiannya dan mengkafiri sebahagian lainnya, adalah berarti mengkafiri Allah dan rasul-rasul- Nya secara keseluruhan. Rasul-rasul yang diutus oleh Allah kepada umat manusia merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Mereka, membawa misi yang satu, yakni al-din (agama) yang didasarkan atas tauhid murni (QS. al-Shura [42]:31; al- Baqarah [2]:136).

Menurut A. Daraz, hakikat al-din yang dibawa oleh semua rasul Allah adalah menghadapkan diri kepada Allah dengan kepatuhan yang ikhlas, tanpa dinodai oleh syirik; dengan keimanan yang teguh; dengan mempercayai semua yang berasal dari-Nya melalui lidah siapa pun, di zaman apa pun, atau di tempat mana pun, tanpa pembangkangan terhadap hukum-Nya; tanpa perlakuan diskriminatif pribadi, kelompok atau rasial terhadap satu kitab di antara kitab-kitab-Nya, atau seorang rasul diantara rasul-rasul-Nya.

Karena mengingkari sebahagian rasul Allah adalah berarti mengingkari rasul-rasul-Nya secara keseluruhan, dan karena mengingkari rasul-rasul Allah adalah berarti mengingkari Allah sendiri, maka sikap orang-orang Yahudi dan Nasrani di atas, jelas, merupakan kekafiran. Ini sesuai dengan penegasan QS. al- Nisa’ [4]:151 bahwa sikap membeda-bedakan rasul itu merupakan kekafiran yang sebenar-benarnya. Dengan demikian, orang-orang Yahudi dan Nasrani, menurut penegasan al-Qur’an, adalah kafir, meskipun secara kenyataan, mereka mempercayai sebahagian dari pokok-pokok iman yang diyakini oleh orang-orang Islam.

Adapun komunitas agama-agama lainnya, seperti Majusi, Sabi’at, Hindu, Budha, Konfisius, Shinto, dan sebagainya, maka kekafiran mereka tidak diragukan lagi. Yang pertama, karena mereka tidak mempercayai pokok-pokok keimanan yang diyakini dalam Islam. Mereka mendustakan Rasulullah SAW. dan ajaran-ajaran yang dibawanya, serta mendustakan rasul-rasul Allah lainnya.

Beberapa jenis kafir menurut Islam, dilihat dari sisi sistem kenegaraan, adalah :

Kafir Dzimmi adalah orang kafir yang membayar jizyah (upeti)

  • Kafir Mu’ahad adalah orang kafir yang diantara kita terikat perjanjian, baik di negeri kita, atau di negerinya yang diantara kita dengannya perjanjian damai untuk tidak berperang, maka ini dinamakan kafir Mu’ahad.

  • Kafir Musta’man adalah orang kafir yang masuk di negeri kita dengan izin kita untuk mendapatkan keamanan, masuk untuk kerja, atau dia ingin menyampaikan surat menyurat, atau mereka sebagai konsulat, atau yang lainnya, maka ini dinamakan Kafir Musta’man…naam.

  • Kafir Harbi adalah orang kafir yang tidak ada semua perkara ini, dia bukan kafir dzimmi, bukan Mu’ahad, bukan pula Musta’man.