Apa saja Isu–Isu yang Mempengaruhi Dinamika Hubungan Ekonomi Perdagangan AS–China?

Hubungan Ekonomi Perdagangan AS dan China

Apa saja Isu–Isu yang Mempengaruhi Dinamika Hubungan Ekonomi Perdagangan AS–China?

1 Like

Dalam periode ini terdapat beberapa perkembangan penting yang mempengaruhi hubungan AS–China dan memperlihatkan bagaimana gejolak ketidakstabilan dalam hubungan AS–China.Pertama, “ Beijing Spring ” tahun 1989 yang telah berakibat serius, terutama untuk pembuatan kebijakan dan persepsi terhadap China hingga saat ini. Perkembangan kedua adalah pemberian status MFN ( Most Favoured Nation ) China dimana pemberian status ini dihubungkan dengan peristiwa yang terjadi sebelumnya yaitu isu yang berkaitan dengan HAM. Ketiga, aksesi China menjadi anggota WTO pada desember 2001 yang telah memberikan perubahan yang signifikan terhadap hubungan AS – China.

1. Peristiwa Tiananmen 1989: Embargo AS terhadap China


Salah satu peristwa yang mempengaruhi hubungan bilateral AS – China dan juga secara langsung mempengaruhi hubungan perdagangan kedua negara adalah “ Beijing Spring ” atau dikenal juga dengan peristiwa Tiananmen . Peristiwa Tiananmen pada 4 Juni 1989 telah membawa perubahan dalam hubungan kedua negara baik hubungan politik maupun ekonomi perdagangan. Pecahnya peristiwa Tianamen telah menjadikan China sebagai negara yang terisolasi dari dunia internasional. Dipimpin oleh AS, negara-negara Barat mengutuk keras pemerintah China untuk penanganan kejadian tersebut yang dianggap sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan atas tindakan tersebut AS dengan cepat memberikan sanksi terhadap China. Bentuk sanksi yang dijatuhkan terhadap China antara lain dengan menghentikan hubungan diplomatik dengan pemerintahan China.

Hubungan sosial politik antara AS dan China secara keseluruhan juga dapat dikatakan tidak berjalan baik. Liberalisasi politik dan penghormatan terhadap HAM di China jauh berada di bawah harapan. Pemerintahan AS berturut-turut beralasan bahwa mempertahankan hubungan normal dengan China akan mempromosikan reformasi ekonomi maupun politik disana. Sentimen ini secara jelas diartikulasikan oleh Penasehat Keamanan Nasional dan Menteri Luar Negeri Presiden Bush, Condoleezza Rice, bulan Januari 2000:

“…perdagangan secara umum dapat membuka ekonomi China dan pada akhirnya politik China. (Namun) hal ini membutuhkan keyakinan terhadap kekuatan dari pasar dan kebebasan ekonomi untuk dapat mengendalikan perubahan politik dimana keyakinan ini telah dibuktikan oleh pengalaman yang sudah terjadi di dunia.”

Peristiwa Tiananmen telah menjadi sumber ketidakmulusan hubungan AS–China. Berita tentang Pembantaian masal yang terjadi di Lapangan Tiananmen terdengar oleh seluruh dunia. Hal ini tidak hanya berakibat fatal terhadap hubungan bilateral AS – China namun juga terhadap hubungan China dengan negara–negara Barat. Akibat peristiwa tersebut China menghadapi kontroversi atas hak asasi manusia, perselisihan teritorial (berhubungan dengan Taiwan dan Tibet), dan dianggap sebagai mitra perdagangan dunia yang bermasalah. AS dan negara – negara Barat menentang keras apa yang terjadi di China dan menentang kebijakan China dalam mengatasi permasalahan tersebut.

Mengingat pengaruh AS yang besar di dunia dan keinginan AS untuk membawa China ke dalam komunitas dunia internasional akhirnya kedua belah pihak menyadari perselisihan akan menghambat arus perdagangan, namun kedua negara masih dengan kepentingan masing–masing negara. Pada saat itu AS berada dalam posisi yang sangat sulit. Di satu sisi AS yang ingin memperlihatkan posisi sebagai pemimpin dunia yang harus bertanggung jawab atas kejadian yang dianggap telah melanggar HAM harus memberikan sanksi yang tegas terhadap China. Namun, disisi lain AS melihat untuk dapat mencapai kepentingannya maka AS harus tetap terlibat kerjasama dengan China. Hal inilah yang membuat AS berada dalam posisi dilema. Hal ini ternyata juga dirasakan China. Pemimpin China menyadari bahwa kunci untuk melakukan perubahan lingkungan yang sulit didunia internasional adalah dengan tetap menjalin kerjasam dengan AS.

Kesempatan untuk memulikan hubungan resmi akhirnya datang ketika Iraq menginvasi Kuwait pada 2 Agustus 1990. Setelah adanya invasi tersebut, pemerintah Bush memutuskan untuk meggunakan kekuatan ( force ) untuk menarik pasukan Iraq dari Kuwait. Untuk menggalang dukungan internasional dalam upaya penggunaan force tersebut maka diperlukan resolusi DK PBB. China sebagai salah satu anggota tetap DK PBB sudah lama menolak penggunaan force dalam urusan internasional. Dalam hal ini, AS berspekulasi bahwa China akan memveto resolusi tersebut. Dalam rangka mengamankan kerjasama dengan China, maka pemerintahan Bush mengangkat larangan kontak tingkat tinggi dengan China yang merupakan sanksi dunia internasional atas peristiwa Tiananmen sebagai salah satu cara untuk dapat mendukung keputusan AS dalam upaya penggunaan force . Dengan dimulainya kontak ini maka menjadi suatu langkah penting dalam perbaikan hubungan AS dan China.

2. Pemberian Most Favoured Nation China: Perubahan Sikap AS terhadap Status MFN China


Isu kedua yang mempengaruhi hubungan AS – China dalam periode ini adalah pemberian status MFN China. AS telah memiliki banyak mitra perdagangan internasional semenjak tahun 1934 dengan mebmberikan status MFN. Akan tetapi, pada masa Perang Dingin, tepatnya sejak tahun 1951 Amerika menghentikan pemberian status tersebut kepada negara – negara komunis (NME /Non Market Economies ). Namun pintu perdagangan dengan negara – negara NME tersebut kembali dibuka pada tahun 1975 setelah diterbitkannya UU Perdagangan 1974 yang dikenal sebagai Amandemen Jackson-Vanik . Hubungan perdagangan AS – China pun kembali dibuka sejak tahun 1980, setahun setelah normalisasi hubungan yang sempat tegang di masa Perang Dingin.

Status MFN yang diberikan kepada China berdampak positif bagi perekonomian AS dan China sehingga perpanjangan status tersebut dapat dilakukan setiap tahunnya tanpa ada masalah. Namun, pada tahun 1989 terjadi Peristiwa Tiananmen di China. Pembantaian yang dilakukan oleh pemerintah China kepada demonstran yang menuntut adanya demokrasi. Hal inilah yang mempengaruhi AS dalam memberikan status MFN. Hal ini dikarenakan isu HAM telah menjadi permasalahan yang menyoroti China sebagai negara yang tidak menghormati HAM akibat dari Peristiwa Tiananmen pada tahun 1989 yang memberikan pengaruh perspektif yang cukup negatif dari negara lain terhadap China.

Pada tanggal 28 Mei 1993, Clinton melalui Kongres dan isu Executive Order 128590 , menghubungkan pembaruan status MFN China dengan tujuh kondisi terkait dengan isu HAM, imigrasi bebas, penghentian dari ekspor manufaktur oleh tenaga kerja yang dipenjara, observasi PBB tentang HAM, pelestarian agama dan budaya Tibet, akses ke penjara bagi organisasi internasional HAM, mengijinkan penyiaran radio dan TV internasional, pelepasan tahanan agama dan politik. Intervensi Clinton mewakili kepemerintahan Bush bahwa demokratisasi politik akan menjadikan kondisi ekonomi China membaik.

Proses pemberian status MFN ini akan selalu dikaitkan dengan isu HAM. Meskipun begitu, setahun kemudian, pada 26 Mei 1994 dengan berbagai kompromi yang dilakukan oleh pemerintahan Clinton pada saat itu hingga akhirnya status MFN tetap diberikan pada tahun 1994 tanpa dihubung-hubungkan dengan isu HAM. Terdapat beberapa hal yang menyebabkan tetap diperpanjangnya status MFN bagi Chna pada tahun 1994: pertama, keputusan tersebut disebabkan oleh tuntutan dan tekanan yang dilakukan oleh kelompok kepentingan; kedua, keberhasilan kelompok (kepentingan) bisnis mempengaruhi suara kongres dan presiden disebabkan oleh sumber daya yang mereka miliki; ketiga, keputusan tersebut menunjukkan bahwa pembentukan konstitusi di Amerika didominasi oleh pragmatisme ekononomi.

Pendekatan baru yang mendapat dukungan dari komunitas bisnis ini berpendapat bahwa “satu-satunya cara untuk meruntuhkan rezim adalah dengan masuk kedalamnya”. Perdagangan dengan China dilihat sebagai ‘ moral crusade’ dan eksekutif bisnis menegaskan bahwa misonaris dan pengusaha akan bekerjasam untuk mengubah China. Perubahan sikap AS yang mencolok AS ini memiliki implikasi besar bagi hubungan kedua negara dan menyoroti bahwa terdapat kepetingan – kepentingan politik dibalik itu semua. Lebih lanjut bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi perubahan sikap AS adalah hubungan ekonomi kedua negara yang sudah mulai signifikan.

3. Keanggotaan China dalam WTO dan Dampaknya terhadap Hubungan Perdagangan AS – China


Perkembangan ketiga dalam hubungan ekonomi AS – China selama periode ini adalah penerimaan China secara formal oleh 142 anggota WTO pada tanggal 11 Desember 2011. Dengan bergabung dengan WTO China diminta untuk melaksanakan babak baru reformasi ekonomi yang bertujuan untuk meningkatkan kemakmuran, liberalisasi perdagangan, dan terintegrasi ke dalam komunitas global. Sektor keungan diliberalisasikan dengan memungkinkan bank asing untuk bersaing di pasar domestik. Komitmen China yaitu termasuk tarif yang lebih rendah dan tidak diskriminatif terhadap perusahaan domestik ataupun asing. Dengan pengaplikasian komitmen ini tingkat tarif rata-rata berkurang dari 43% pada tahun 1992 menjadi 17% di tahun 1999 dan dibawah 10% pada tahun 2004.

Masuknya China ke WTO seharusnya memberikan pertumbuhan yang cukup pesat dalam ekspor AS untuk mengurangi defisit perdagangan dengan China. WTO merupakan kesepakatan perdagangan bebas dan investasi yang memberikan investor desain jaminan yang untuk menstimulasi investasi asing dan perpindahan pabrik ke seluruh dunia, terutama dari Amerika ke lokasi upah rendah seperti China dan Mexico. Salah satu alasan AS memuluskan jalan China menjadi anggota WTO setelah perjuangan aksesi selama 15 tahun adalah sebagai salah satu upaya untuk mengurangi defisit perdagangannya. Pemerintahan Clinton yakin bahwa besarnya defisit perdagangan dengan China akan dapat diatasi jika Kongres meratifikasi perjanjian untuk membawa China ke WTO. masuknya China ke WTO karena diharapkan akan dapat menciptakan hasil yang sama-sama bermamfaat bagi kedua negara.

Clinton menyatakan bahwa ekspor ke China saat ini mendukung ratusan ribu pekerja Amerika dan hal tersebut dapat berkembang dengan adanya akses pasar ke China melalui perjanjian WTO. 51 Pemikiran presiden Clinton tersebut benar adanya. Ekspor memang menciptakan lapangan pekerjaan di AS. Namun Bagaimanapun juga impor akan menggantikan lapangan kerja tersebut. Hal inilah yang terjadi dalam hubungan dagang AS China.

Let’s be clear as to why a trade deficit might decrease in the short term. China exports far more to the United States than it imports [from] the U.S…. [The trade deficit] will not grow as much as it would have grown without this agreement, and over time clearly it will shrink with this agreement (Lieberthal 1999, emphasis added).

Keanggotaan China di WTO telah memberikan kontribusi besar dalam pertumbuhan perdagangan internasional dan investasi. Dalam waktu 30 tahun, China telah menjadi negara dengan pertumbuhan yang sangat pesar. Pada tahun 2005, China merupakan negara ketiga terbesar dalam perdagangan dunia setelah AS dan Jerman. Pada tahun 1978, total nilai perdagangan China adalah 20 miliat dollar dan pada tahun 2005 angka ini telah meroket menjadi 1,4 triliun dollar. Ekspor Amerika ke China meningkat 81% dalam waktu tiga tahun setelah China bergabung dengan WTO, dibandingkan dengan 34% dalam waktu tiga tahun sebelumnya. Demikian pula, impor Amerika dari China naik sebesar 92% dalam waktu tiga tahun setelah China masuk WTO.