Apa saja ideologi organisasi HMI serta isu-isu yang diusungnya pada masa orde baru?

Secara umum ada empat permasalahan yang menjadi latar belakang berdirinya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), yaitu:

  1. situasi dunia internasional
  2. situasi NKRI
  3. kondisi mikrobiologis umat Islam di Indonesia
  4. kondisi perguruan tinggi dan dunia kemahasiswaan.
    Namun yang menjadi isu pokok saat itu adalah keterbelakangan umat Islam yang prosesnya diawali oleh kemunduran berpikir dari umat Islam. Sementara salah satu faktor kemunduran berpikir umat Islam adalah umat Islam terlena dengan kebesaran dan keagungan masa lalunya.

Akibat dari keterbelakangan umat Islam, maka munculah gerakan untuk menentang keterbatasan seseorang melaksanakan ajaran Islam secara benar dan utuh. Gerakan inilah yang disebut sebagai gerakan pembaharuan. Tujuan dari gerakan pembaharuan adalah ingin mengembalikan ajaran Islam kepada ajaran yang totalitas, dimana disadari oleh HMI bahwa Islam bukan hanya terbatas pada hal-hal yang bersifat sakral saja, melainkan juga merupakan pola kehidupan manusia secara keseluruhan. Untuk itu sasaran gerakan pembaharuan atau reformasi adalah ingin mengembalikan ajaran Islam kepada proporsi yang sebenarnya, yang berpedoman kepada Al Qur’an dan Hadist Rassullulah SAW.

Dengan timbulnya ide pembaharuan itu, maka gerakan pembaharuan di dunia Islam lainnya mulai bermunculan, seperti di Turki (1720) dan Mesir (1807). Begitu juga dengan penganjurnya, seperti Rifaah Badawi Ath Tahtawi (1801-1873), Muhammad Abduh (1849-1905), Muhammad Ibnu Abdul Wahab (Wahabisme) di Saudi Arabia (1703-1787), Sayyid Ahmad Khan di India (1817-1898), Muhammad Iqbal di Pakistan (1876-1938) dan lain-lain.

Di Indonesia sejak Cornerlis de Houtman mendarat di Banten pada tahun 1596, muncul tiga masalah bagi umat Islam, yaitu:

  1. penjajahan dengan segala implikasinya
  2. missi zending agama Kristiani
  3. peradaban Barat dengan ciri sekulerisme dan liberalisme.

Kondisi ummat Islam sebelum berdirinya HMI dapat dikategorikan menjadi empat golongan, yaitu:

  1. ummat Islam yang melaksanakan ajaran Islam yang hanya berhubungan dengan tradisi atau adat istiadat, seperti upacara perkawinan, kematian dan kelahiran
  2. ulama dan pengikut-pengikutnya mempraktekkan Islam sesuai ajaran Nabi Muhammad SAW;
  3. ulama dan pengikut-pengikutnya yang berpendirian bahwa hidup hanya untuk kepentingan akhirat
  4. ummat Islam yang sudah beradaptasi dengan kemajuan zaman.

Di lain pihak khususnya di perguruan tinggi, ada dua faktor yang sangat berpengaruh terhadap dunia kemahasiswaan sebelum HMI berdiri, yaitu:

  1. Penerapan sistem pendidikan Barat.
    Sistem ini diterapkan dalam dunia pendidikan umumnya dan perguruan tinggi khususnya yang mengarah kepada sekulerisme dan pendangkalan agama

  2. Meluasnya pengaruh komunis di lembaga kemahasiswaan
    Pengaruh komunis tampak di lembaga kemahasiswaan seperti Perserikatan Mahasiswa Yogyakarta (PMY) dan Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI) di Surakarta. Kolaborasi sekulerisme dan komunisme bukan hanya menyebabkan krisis keseimbangan di tubuh kemahasiswaan, tetapi juga tidak adanya keseimbangan antara akal dan kalbu, jasmani dan rohani, serta pemenuhan antara kebutuhan dunia dan akhirat.

Pada periode tahun 1970 sampai sekarang (tahun 2010) dapat disebut sebagai fase pergolakan pemikiran dan pembaharuan pemikiran. Disebut demikian karena setelah masalah internal organisasi relatif terselesaikan, HMI yang salah satu ciri khasnya adalah pembinaan kebebasan berpikir telah membuat HMI semakin dinamis. Kader-kader HMI yang kritis mulai memperlihatkan upaya pembaharuan pemikiran sejak tahun 1968 hingga mencapai klimaksnya pada tahun 1970. Sebagai dampak dari pembaharuan pemikiran di tubuh HMI, maka HMI kemudian terbelah ke dalam dua kutub organisasi dan pemikiran, yaitu:

  1. HMI dengan pola ”pemikiran baru” yang menerima Pancasila sebagai ideologi. Kubu HMI ini sangat terkenal dengan sebutan HMI Diponegoro (HMI DIPO)
  2. HMI dengan pola ”pemikiran lama” yang tetap mempertahankan Islam sebagai ideologi. Kubu HMI ini sangat terkenal dengan sebutan HMI Majelis Penyelamat Organisasi (HMI MPO).

HMI MPO muncul dalam suasana Orde Baru sedang dicengkram otoriterisme. Pancasila yang dipaksakan oleh militer sebagai azas tunggal bukannya membuat suasana semakin demokratis. Justru dengan ideologi Pancasila masyarakat hidup dalam kesuburan budaya politik parokial dan subyek, serta partisipasi politik warga negara yang termobilasasikan. HMI MPO menolak susana itu dengan menyatakan tidak menerima Pancasila sebagai azas tunggal. Dalam menentang Orde Baru, HMI MPO tidak hanya terlihat sebagai organisasi ’bawah tanah’ untuk tetap mempertahankan ideologi Islam, tetapi juga menuntut Soeharto meletakkan jabatannya.

Kemunculan HMI MPO bermula dari sikap PB HMI pro-Pancasila yang terkesan meremehkan kader-kader HMI yang ingin tetap mempertahankan Islam sebagai ideologi organisasi dan ideologi gerakan. Sikap meremehkan itu direspon oleh kader-kader HMI pro-Islam dengan demonstrasi di Kantor PB HMI Jl. Diponegoro No. 16 Jakarta. PB HMI pro-Pancasila yang tidak puas dengan demonstrasi HMI MPO itu lalu menggandeng militer, sehingga sejumlah anggota HMI MPO ditangkap dengan tuduhan subversif. Dampak dari konflik itu, di dalam forum Kongres HMI XVI di Padang Sumatera Barat pada tanggal 24-31 Meret 1986 HMI terpecah dua, yaitu: (1) HMI yang menerima penerapan asas tunggal (HMI-DIPO); (2) HMI yang menolak asas tunggal (HMI-MPO) atau HMI 1947 yang tetap berasas Islam.

Isu Yang Diusung

Terlepas dari penilaian yang terkandung di dalamnya, sikap akomodatif HMI DIPO yang menerima azas tunggal Pancasila, secara politik adalah dimaksudkan untuk tetap mempertahankan kelangsungan hidup HMI dari ancaman otoriterisme Orde Baru. Sebaliknya perjuangan HMI-MPO untuk tetap mempertahankan Islam sebagai ideologi organisasi dan ideologi gerakan merupakan bentuk konsistensi sebuah gerakan mahasiswa dalam melakukan perlawanan terhadap penindasan yang dilakukan oleh Negara melalui aparatnya. Dengan ideologi Islamnya, HMI-MPO bukan saja merupakan organisasi pertama yang berani melawan Orde Baru dengan segala resiko politiknya, tetapi juga tercatat satu-satunya organisasi yang sejak awal menyuarakan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).

Bagi HMI MPO yang melihat tahun 90-an itu sebagai ”tahun madu” antara kekuatan Islam dan kekuatan negara Orde Baru tetap tidak mampu merubah kondisi moral dan politik bangsa yang sudah terlanjur rusak. Di satu sisi Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang didirikan oleh B.J. Habibie atas restu Presiden Soeharto memang membangkitkan kegairahan umat Islam untuk ber-Islam yang ditandai oleh maraknya dakwah-dakwah Islam di kantor-kantor pemerintah, dan banyak pengajian-pengajian dan Majelis Ta’lim yang dibentuk di instansi pemerintah, termasuk Masjid yang dibangun atas bantuan Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila milik Soeharto, tetapi di lain sisi hal itu tetap tak membuat Orde Baru menjadi lebih baik.

Bahkan kader-kader HMI MPO yang kritis terhadap Orde Baru justru melihat hal itu sebagai politik akomodasi penguasa terhadap Islam yang sudah sejak lama mengalami penindasan. Terbukti tokoh-tokoh Islam yang independen dan kritis tetap diburu oleh penguasa, dan harga politik bagi sebuah kebebasan tetap sangat mahal harganya. Sebagai upaya untuk tetap melakukan perlawanan, HMI-MPO kemudian membentuk kantong-kantong aksi perlawanan, seperti Forum Komunikasi Mahasiswa Islam Jakarta (FKMIJ), Liga Mahasiswa Muslim Yogyakarta (LMMY) dan SEMMIKA. Cara yang dilakukan oleh HMI-MPO itu mirip dengan strategi HMI tahun 60-an yang membentuk KAMI yang berhasil melakukan mobilisasi massa untuk fungsi ”Parlemen Jalanan”.

Sebelum meletus gerakan Mei 1998, lapisan-lapisan HMI-MPO banyak memainkan peran strategisnya dalam menggalang kekuatan elemen gerakan mahasiswa. Poros Jakarta-Yogyakarta-Makassar dibentuk sebagai sentra gerakan untuk mengkomunikasikan isu-isu gerakannya ke seluruh Indonesia. Di Jakarta, FKMIJ memprakarsai terbentuknya FKSMJ, sedangkan di Yogyakarta, LMMY aktif menggalang koalisi dengan elemen gerakan lainnya. Sementara di Makassar, aktivis FKMIM pro-aktif melakukan konsolidasi gerakan dan pembentukan Persatuan Aksi Mahasiswa Makassar Indonesia (PAMMI). Ketika gerakan Mei 1998 meletus, PB HMI-MPO bersama-sama dengan FORKOT, FKSMJ dan komponen masyarakat lainnya menduduki gedung DPR/MPR hingga rezim Orde Baru jatuh. Perjuangan utama HMI MPO berhasil ketika bulan November 1998 MPR mencabut UU Nomor 8 Tahun 1985 tentang Azas Tunggal.

Ada tiga isu utama yang diusung oleh HMI sebelum dan pasca gerakan Mei 1998, yaitu: (1) KKN; pasca gerakan Mei 1998 terjadi transformasi dari oligarchi corruption menjadi democratic corruption ;(2) revolusi sistemik (HMI DIPO dan MPO); (3) kerapuhan ekonomi nasional (terbukti krisis ekonomi tahun 1997) (HMI DIPO dan MPOK); (4) hutang luar (Hubert Neiss, wakil IMF-International Monetary Fund memaksa Soeharto menandatangani pinjaman untuk sebuah kesepakatan baru yang tidak memberi jalan keluar) (HMI DIPO dan MPO); oleh karena itu HMI secara tegas dan bersikap: menuntut penghentian hutang luar negeri, pemutusan hubungan dengan IMF, anti-privatisasi BUMN, menuntut perlindungan bagi petani dan peningkatan subsidi untuk rakyat kecil.

Fenomena rekonsolidasi Orde Baru dan TNI ke dalam tatanan politik nasional, gagalnya cita-cita reformasi, terinstitusionalisasikannya otoritarianisme dalam Orde Reformasi, tekanan ekonomi dan politik global, tatanan politik internasional, bantuan asing dan terorisme membuat HMI bersikap hati-hati. Misalnya, sikap PB HMI MPO yang menolak Pemilu 2004 didasarkan pada fenomena masih adanya kekuatan-kekuatan lama dalam pertarungan pemilu 2004.