Apa Saja Hasil Analisis Sosial pada Zaman Pergerakan?


Setiap zaman memiliki ciri khas tersendiri dalam peradabannya, salah satunya adalah tentang kehidupan masyarakat atau sosialnya.

Apa saja hasil analisis sosial pada zaman pergerakan?

Analisis modern terhadap masyarakat mulai muncul sejak diperkenalkan sekolah modern dan pendidikan modern oleh Belanda sejak diberlakukannya kebijakan penjajah Belanda yang disebut “Politik Etis ”. Kebijakan ini dibuat setelah pada 1901 Ratu Wilhelmina mengucapkan pidato tentang negeri jajahan. Politik etis sendiri sejalan dengan gagasan “asosiasi”, yang memandang rakyat Hindia lebih sebagai objek yang dapat diatur sesuai dengan cara pandang Barat (Belanda) dan sesuai kepentingannya. “Timur” hendak “di-Barat-kan”, membawa Timur sesuai dengan cara pandang modern Barat.

Gagasan lama di bidang kebudayaan ini sudah lama dilakukan, misalnya dengan cara mempelajari kebudayaan dan kebiasaan masyarakat Nusantara oleh Belanda dengan ilmuwan-ilmuwan dan intelektualnya, seperti Snouck Hurgronje , R.A. Kern , B.J.O. Schrieke , dan J. Th . Petrus Blumberger . Mereka bekerja sebagai pegawai negara Hindia Belanda dan sekaligus melakukan penelitian dan penyelidikan budaya dengan tujuan untuk mencari kelemahan dan kelebihannya, yang akan digunakan untuk melanjutkan hegemoni dan dominasi penjajahan. Tulisan-tulisan dan hasil penelitian para sarjana, seperti Snouck Hurgronje , C. Van Vollenhoven , Ter Haar , dan lain-lain, dianggap sebagai karya sosiologi yang menganalisis masyarakat Indonesia secara ilmiah.

Harus diakui bahwa Politik Etis memang memberikan perhatian yang sangat besar bagi pendidikan. Akan tetapi, sebenarnya bukan berarti bahwa pendidikan baru dimulai oleh Belanda ketika ditetapkannya kebijakan itu. Sejak paro kedua abad ke-19, negara kolonial juga telah menangani pendidikan bagi pribumi. Pada 1867, misalnya, dibentuk Departemen Pendidikan di dalam birokrasi negara kolonial. Sebelumnya, pada 1848, pemerintah kolonial menganggarkan dana sebesar 25.000 gulden untuk membangun sekolah bagi pribumi Jawa. Jumlah tersebut pada 1882 membengkak menjadi seperempat juta gulden.

Pengaruh politik etis, terutama pendidikan, bagi kesadaran dan pemikiran masyarakat, terutama kaum menengah ke atas yang mengenyam pendidikan lebih tinggi sangat luar biasa. Mereka memahami gejala alam dan sosial secara lebih ilmiah dibandingkan sebelumnya. Teori-teori sosial diajarkan, tetapi masih melekat dalam ilmu hukum. Sekolah Tinggi Hukum (Rechtshogeschool) di Jakarta pada waktu itu adalah satu-satunya lembaga perguruan tinggi yang sebelum Perang Dunia kedua memberikan kuliah-kuliah sosiologi di Indonesia. Namun memang, disiplin ilmu pengetahuan tersebut hanyalah dimaksudkan sebagai pelengkap bagi mata pelajaranpelajaran ilmu hukum.

Oleh karenanya, yang memberikan mata kuliah sosiologi pun bukanlah sarjana-sarjana yang secara khusus memiliki kompetensi di bidang sosiologi. Toh, pada waktu itu memang belum ada spesialisasi sosiologi di Indonesia maupun di negeri Belanda. Sosiologi yang dikuliahkan pada waktu itu untuk sebagian besar bersifat fi lsafat sosial dan teoretis, misalnya berdasarkan buku-buku hasil karya Alfred Vierkandt, Leopold von Wiese, Bierens de Haan, Steinmentz, dan sebagainya.

Meskipun demikian, kita harus melihat bahwa di awal abad ke-20, tumbuh berbagai macam organisasi sosial-politik modern dan berbagai macam institusi modern di dalam masyarakat Indonesia. Terjadi reorganisasi sosial yang baru dan perubahannya seakan begitu cepat, berbarengan dengan kesadaran dan pemahaman baru di kalangan masyarakat, terutama kalangan terdidik. Dengan demikian, harus dikatakan bahwa ilmu sosial yang diajarkan di lembaga pendidikan formal juga ikut mewarnai perkembangan itu.

Akan tetapi, jika kita memahami bahwa pemahaman dan analisis sosial tidak hanya berkembang di dalam lembaga pendidikan formal, kita harus memahami bahwa pengaruh teori-teori sosial Barat telah merasuk ke dalam masyarakat melalui para aktivis organisasi sosial. Salah satu teori sosial yang harus kita catat di sini yang cukup penting untuk mengubah cara pandang kalangan aktivis gerakan kebangsaan dan pergerakan rakyat adalah marxisme yang dibawa oleh kaum sosial-demokrat Belanda, terutama Sneevlet, yang kemudian menjadi alat analisis luar biasa terhadap situasi masyarakat yang berkembang pada era itu. Analisis marxisme mengilhami hampir semua tokoh gerakan yang beraliran berani dan radikal yang mengambil tindakan bergerak karena marxisme sebagai teori sosial (maupun ideologi) memberikan pemahaman terhadap masalahmasalah bangsa terjajah secara lebih baik.

Muncul tokoh-tokoh dari kelas menengah yang tersadarkan dan dapat memahami kontradiksi-kontradiksi sosial rakyat dan bangsa terjajah. Misalnya, Tjiptomangunkusumo yang ungkapanungkapannya melalui pidato dan tulisan-tulisannya mencerminkan kemampuan analisis sosiologisnya terhadap nasib rakyatnya. Ia pernah membuat surat terbuka yang menyatakan, “… pertentangan fundamental itu bukan antara Timur dan Barat atau orang-orang Hindia dan non-Hindia, tetapi antara dominasi dan subordinasi, apa pun bentuknya.”.

Pengaruh Tjiptomangunkusumo dan tokoh-tokoh lain sebelumnya seperti Tirto Adisoerjo juga menjalar pada tokohtokoh gerakan lainnya, dan mendorong para aktivis seperti Mas Marco Kartodikromo, Semaoen , H. Misbach, dan lain-lain (seperti tokoh-tokoh gerakan belakangan Soekarno , Hatta , Sjahrir , Amir Syarifuddin , Tan Malaka , dan lain-lain) untuk dapat memahami gerak sosial yang sedang terjadi dan secara normatif memberikan pandangan-pandangan tentang apa yang harus dilakukan oleh bangsa Indonesia untuk keluar dari penjajahan.

Sosiologi Marxis yang dibawa kaum sosial-demokrat Belanda, memicu budaya perlawanan yang tampaknya kian radikal memasuki tahun 1920-an. Gerakan rakyat, dengan pendidikan politik serta dibangunnya “Sekolah Rakyat” oleh kaum progresif , juga mempercepat kebangkitan Indonesia sebagai bangsa. Hal itu untuk membuat agar tidak hanya para turunan priyayi saja yang mendapatkan pendidikan, tetapi juga bagi kaum-kaum rakyat kecil. Sekolah-sekolah ini tentu berguna untuk mensosialisasikan pemikiran baru dari Barat karena pada waktu itu Indonesia masih dikuasai oleh zaman kegelapan—ketika rakyat harus tunduk patuh pada para raja-raja dan bangsawan yang dianggapnya sebagai orang pada siapa rakyat harus mengabdikan hidupnya.

Yang perlu dicatat pula adalah bahwa dalam kurun waktu tahun 1920—1926 tersebar bacaan-bacaan rakyat yang meluas di kalangan rakyat tertindas, terutama kaum buruh —yang oleh Belanda disebut “bacaan liar”. Belakangan, pada Kongres IV tahun 1924 di Batavia, Partai Komunis Indonesia (PKI) mendirikan Kommissi Batjaan Hoofdbestuur, yang berhasil menyebarkan literatur-literatur marxisme dan sosialisme . Semaoen adalah tokoh pertama yang memperkenalkan istilah “literatuur socialistisch”.

Literatur-literatur itu secara jelas berhasil menghancurkan cara berpikir feodalistis di kalangan rakyat. Misalnya, di beberapa terbitannya, aturan sembah jongkok ketika bertemu pejabat atau pembesar-pembesar kolonial diserang habis-habisan. Bacaan-bacaan rakyat juga bertujuan untuk menandingi terbitan-terbitan yang dibuat oleh kolonialis Belanda. Dengan kata lain, bacaan-bacaan rakyat itulah yang—dengan menggunakan bahasa sederhana ala “kaum kromo”—mampu memperkenalkan cara berpikir demokratis dan modern, sosialistis pula tentunya.

Melalui model pendidikan semacam itulah, penulis kira, kesadaran baru lebih cepat diterima daripada sekolah-sekolah formal yang hanya menampung anak-anak priyayi yang dididik untuk diabdikan pada administrasi penjajahan Belanda. Meskipun demikian, banyak pula anak-anak priyayi yang akhirnya juga (mau tak mau) menerima literatur dan cara berpikir (serta cara bertindak) ala Marxis.

Pada waktu itu hanya ada dua organisasi yang bisa dipilih rakyat, terutama kaum buruh dan rakyat miskin. Organisasi yang pertama adalah SI pimpinan Cokroaminoto , Suryopranoto , Agus Salim , dan lain-lain—yang sifat gerakannya hati-hati dengan pemerintah agar bisa survive dengan konsesi-konsesi yang diberikan penguasa. Organisasi yang kedua adalah Partai Komunis Indonesia (PKI) yang bersedia konfrontasi dengan pemerintah. Politik konfrontasi PKI berujung pada pemberontakan November 1926 di Banten dan Januari 2007 di Sumatra Barat. Pemberontakan ini gagal dan mereka ditumpas, sebagian aktivisnya dibuang ke Digul. Kegagalan PKI juga menyebabkan gerakan rakyat berhati-hati untuk melakukan perlawanan. Maka dengan ini, berakhirlah generasi pertama zaman pergerakan nasional.

Nasib teori sosial marxisme bukan berarti habis, melainkan masih tetap berkembang di kalangan aktivis, pelajar, mahasiswa, dan intelektual. Kaum muda yang belajar ke Barat juga semakin banyak dan merekalah yang dapat dikatakan menyebarkan pemikiranpemikiran sosiologis melalui komunitas-komunitas organisasi sosial dan politik ketika pulang ke Indonesia.

Secara formal, ilmu sosiologi dianggap banyak tersebar di sekolah formal semacam apa yang dibangun oleh Ki Hajar Dewantoro dengan lembaga Taman Siswa-nya. Soerjono Soekanto , misalnya, menyebut Taman Siswa sebagai tempat tersebarnya ilmu sosiologi karena di dalam sekolah itu dianggap memberikan sumbangan yang sangat banyak pada sosiologi dengan konsep-konsepnya mengenai kepemimpinan dan kekeluargaan Indonesia, yang dengan nyata dipraktikkan dalam organisasi pendidikan Taman Siswa.

Akan tetapi, harus kita mengakui bahwa pengaruh Taman Siswa tidak sekuat para aktivis gerakan, yang membuat gerakan untuk memberikan kesadaran masyarakat akan kondisi masyarakatnya, mengingat Taman Siswa adalah lembaga pendidikan yang tak mampu menampung semua anak-anak dan pelajar, serta wataknya yang kurang radikal dalam memosisikan diri berhadapan dengan kaum penjajah. Akan tetapi, jelas bahwa perannya tak dapat diabaikan begitu saja sebagai cikal bakal pendidikan modern Indonesia, yang juga merupakan sekolah yang memiliki visi sosiologis untuk membangun karakter masyarakat Indonesia.