Apa saja Hak-Hak Korban berdasarkan Hukum di Indonesia?

Korban adalah orang perorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat memerlukan perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan pihak manapun

Apa saja Hak-Hak Korban berdasarkan Hukum di Indonesia ?

Pasal-pasal yang mengatur hak-hak korban tindak pidana di dalam KUHAP yaitu :

  1. Hak menuntut penggabungan perkara gugatan ganti kerugian dalam perkara pidana (Pasal 98-101 KUHAP).

    Pasal 98

    1. Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana itu.

    2. Permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diajukan selambatlambatnya sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan pidana. Dalam hal penuntut umum tidak hadir, permintaan diajukan selambat-lambatnya sebelum hakim menjatuhkan putusan.

    Pasal 99

    1. Apabila pihak yang dirugikan minta penggabungan perkara gugatannya pada perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98, maka pengadilan negeri menimbang tentang kewenangannya untuk mengadili gugatan tersebut, tentang kebenaran dasar gugatan dan tentang hukuman penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan tersebut.

    2. Kecuali dalam hal pengadilan negeri menyatakan tidak berwenang mengadili gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau gugatan dinyatakan tidak dapat diterima, putusan hakim hanya memuat tentang penetapan hukuman penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan.

    3. Putusan mengenai ganti kerugian dengan sendirinya mendapat kekuatan tetap apabila putusan pidananya juga mendapat kekuatan hukum tetap.

    Pasal 100

    1. Apabila teriadi penggabungan antara perkara perdata dan perkara pidana, maka penggabungan itu dengan sendirinya berlangsung dalam pemeriksaan tingkat banding.

    2. Apabila terhadap suatu perkara pidana tidak diajukan permintaan banding, maka permintaan banding mengenai putusan ganti rugi tidak diperkenankan. Ketentuan dan aturan hukum acara perdata berlaku bagi gugatan ganti kerugian sepanjang dalam undang-undang ini tidak diatur.

    Pasal 101

    Ketentuan dari aturan hukum acara perdata berlaku bagi gugatan ganti kerugian sepanjang dalam undang-undang ini tidak diatur lain.

  2. Hak atas pengembalian barang milik korban yang disita (Pasal 46 ayat (1) KUHAP).

    Pasal 46 (1)
    Benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka dan siapa benda itu disita, atau kepada orang atau kepada mereka yang paling berhak apabila:

    • kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan lagi;
    • perkara tersebut tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti atau ternyata tidak merupakan tindak pidana;
    • perkara tersebut dikesampingkan untuk kepentingan umum atau perkara tersebut ditutup demi hukum, kecuali apabila benda itu diperoleh dan suatu tindak pidana atau yang dipergunakan untuk melakukan suatu tindak pidana.
  3. Hak pengajuan laporan atau pengaduan (Pasal 108 ayat (1) KUHAP).

    Pasal 108 (1)
    Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak untuk mengajukan laporan atau pengaduan kepada penyelidik dan atau penyidik baik lisan maupun tertulis.

  4. Hak mengajukan upaya hukum banding (Pasal 233 dan Kasasi Pasal 244 KUHAP).

    Pasal 233 (1)
    Permintaan banding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 dapat diajukan ke pengadilan tinggi oleh terdakwa atau yang khusus dikuasakan untuk itu atau penuntut umum.

    Pasal 244
    Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas.

  5. Hak untuk mengundurkan diri sebagai saksi (Pasal 168 KUHAP).

    Pasal 168
    Kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini, maka tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi:

  6. Hak untuk didampingi juru bahasa (Pasal 177 ayat (1) KUHAP).

    Pasal 177 (1)
    Jika terdakwa atau saksi tidak paham bahasa Indonesia, hakim ketua sidang menunjuk seorang juru bahasa yang bersumpah atau berjanji akan menterjemahkan dengan benar semua yang harus diterjemahkan.

  7. Hak untuk didampingi penerjemah (Pasal 178 ayat (1) KUHAP).

    Pasal 178 (1)
    Jika terdakwa atau saksi bisu dan atau tuli serta tidak dapat menulis, hakim ketua sidang mengangkat sebagai penterjemah orang yang pandai bergaul dengan terdakwa atau saksi itu.

  8. Hak untuk mendapatkan penggantian biaya sebagai saksi (Pasal 229 ayat (1) KUHAP).

    Pasal 229 (1)
    Saksi atau ahli yang teIah hadir memenuhi panggilan dalam rangka memberikan keterangan di semua tingkat pemeriksaan, berhak mendapat penggantian biaya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Di dalam Pasal 80 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana juga berbicara mengenai hak korban yang selengkapnya berbunyi demikian : “Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya.”

Hak-Hak Korban Berdasarkan Undang-Undang Yang Berlaku Di Indonesia

Selain KUHAP, hak-hak korban juga diakomodir di dalam undang- undang yang berlaku di Indonesia diantaranya adalah sebagai berikut :

  1. Hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum (Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 Amandemen ke IV).

  2. Hak untuk mendapat informasi mengenai perkembangan kasus (Pasal 5 ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Dan Korban).

    Dalam hal menjamin transparansi sebuah penyidikan tindak pidana, maka korban selaku pihak yang paling dirugikan berhak mendapatkan dan mengetahui informasi mengenai perkembangan kasus yang menimpa dirinya. Dengan adanya transparansi perkembangan kasus tersebut, maka diharapkan dapat memberikan rasa aman kepada korban mengenai perkembangan kasus yang sedang ditindaklanjuti. Bukan hanya korban, tetapi tersangka juga wajib mengetahui perkembangan kasus yang sedang dijalaninya. Pemberitahuan perkembangan kasus kepada tersangka bisa diwakilkan kepada keluarga tersangka.

  3. Hak untuk mendapatkan bantuan dari psikolog, terutama pada korban perkosaan (Pasal 6 huruf b Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Dan Korban ).

    Pemulihan psikis korban pasca terjadinya tindak pidana merupakan hal yang paling penting dalam sebuah penanganan kepada korban tindak pidana. Karena trauma akibat sebuah tindak pidana jika tidak ditanggulangi maka bisa berdampak buruk kepada korban sekalipun kasus yang menimpa korban sudah selesai. Untuk itu dalam hal ini peran pemerintah diharapkan maksimal dalam pemulihan psikis korban tindak pidana.

  4. Hak untuk mendapat perlakuan hormat dan simpatik dari aparat penegak hukum saat penyidikan.

    Selain mendapatkan perlindungan hukum, korban juga harus mendapatkan perlakuan yang simpatik dari pihak penyidik. Terkadang dalam memberikan laporan tindak pidana, pihak penyidik sering sekali memperlakukan korban dengan tidak simpatik sehingga menimbulkan stigma yang buruk dimata korban.

  5. Hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum (Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.

    Dalam hal mengakomodir sebuah keadilan dimasyarakat, maka hak-hak diatas harus diperhatikan supaya masyarakat merasakan akan adanya keadilan tersebut. Terlebih lagi kepada korban tindak pidana, maka hak-hak diatas merupakan hak yang paling mutlak untuk dipenuhi oleh pihak penegak hukum supaya korban yang menjadi pihak yang paling dirugikan bisa merasakan keadilan yang sebenarnya.

  6. Hak mendapatkan perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan (Pasal 10 huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga).

    Berbicara mengenai korban, maka sudah seharusnya semua elemen hukum yang ada di Indonesia ini ikut mendukung melalui peraturan dan Perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian maka rasa keadilan dapat terakomodir kepada korban selaku pihak yang paling dirugikan dalam sebuah tindak pidana.

  7. Hak untuk mendapatkan ganti kerugian dari tersangka dan negara (Pasal 1 ayat (4 dan 5) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, Dan Bantuan Kepada Saksi Dan Korban).

    Sering kali kerugian yang dialami oleh korban terabaikan. Karena berdasarkan sistem peradilan di Indonesia, korban dan kepentingan korban hanya diwakilkan kepada pihak penuntut umum dipengadilan. Sementara itu, terkadang apa yang dituntutkan oleh pihak Jaksa belum tentu bisa mewakili kerugian yang sudah dialami oleh korban. Baik itu kerugian secara materil maupun kerugian secara immateril. Oleh sebab itu, berdasarkan undang-undang diatas maka dalam hal ganti rugi, korban berhak meminta ganti rugi kepada terdakwa ataupun negara. Dengan terpenuhinya kerugian yang dialami korban, setidaknya dapat memberikan rasa keadilan kepada korban.

  8. Hak untuk mengetahui transparansi penyidikan (Pasal 39 ayat (1) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia).

    Dalam hal menjamin akuntabilitas dan transparansi penyidikan, penyidik wajib memberikan SP2HP kepada pihak pelapor baik diminta atau tidak diminta secara berkala paling sedikit 1 kali setiap 1 bulan.