Apa saja fungsi hati atau kalbu (qalb) menurut Islam ?

Hati atau kalbu

Apa saja fungsi hati atau kalbu (qalb) menurut Islam ?

Tujuan diciptakannya manusia tiada lain adalah untuk menyembah Tuhan. Hal ini membutuhkan konsekuensi adanya iman kepada-Nya. Iman hanya bisa datang dengan adanya hidayah dan kesiapan hati menerima hidayah. Bagaimana hati manusia akan sanggup dan siap menerima hidayah sedangkan dia tidak mengenal Tuhan.

Maka dalam proses mengenalkan Tuhan kepada manusia, diutuslah para rasul untuk menyampaikan wahyu Tuhan kepada manusia. Namun selain itu, Allah juga membekali manusia akal yang berpotensi membenarkan wahyu dan hati yang berpotensi untuk mengenal-Nya (ma’rifah).

Di dalam hal menemukan kebenaran inilah terletak fungsi jiwa manusia yang diwakili kognisi spiritual yang bernama hati, karena memang inilah maksud diciptakannya hati bagi manusia, yaitu untuk mengetahui dan mengenal Allah. Kalau dilihat dari fungsi ini, posisi antara hati dan akal adalah sama, yaitu fakultas yang bisa mengetahui.
Sachiko Murata menyatakan,

Qalb manusia merupakan pusat sejati manusia, tempat di mana Tuhan mengungkapkan diri-Nya, menurunkan wahyu kepada para nabi, tempat dimana manusia merasakan kehadiran dan kebesaran-Nya, serta tempat di mana Tuhan melihat esensi manusia. Pada sisi lain, Qalb merupakan pusat keagungan, penyangkalan, kekafiran dan penyelewengan dari jalan yang lurus. Qalb merupakan tempat kebaikan seperti kesucian, kesalehan, ketegasan, kelembutan, keluasan, perdamaian, cinta, dan taubat.

Di antara fungsi hati yang lain adalah diberi kemampuan melihat secara batin, yang menurut al-Ghazali juga disebut penglihatan. Kalau tidak mampu melihat maka dinamakan buta (buta mata hati). Sebutan ini bisa menjadi alasan adanya ayat-ayat tentang butanya mata hati, hati tidak memahami, hati tidak berakal, atau mati hati. Karena hati sendiri juga substansi yang berakal, hati adalah akal, akal adalah hati.

Dalam perspektif psikologi Islam, hati mempunyai fungsi-fungsi yang berkaitan dengan penyebutannya dalam al-Qur’an. Fungsi-fungsi tersebut di antaranya:

  1. al-Sadr, yaitu tempat perasaan was-was

  2. al-Qalb merupakan tempat iman

  3. al-Syaghaf, yaitu tempat cinta

  4. al-Fuad, yang dapat memelihara kebenaran

  5. Habat al-Qalb, sebagai tempat cinta dan kebenaran

  6. al-Suwaida’, yaitu tempat ilmu dan agama

  7. Muhjat al-Qalb yang merupakan manifestasi sifat-sifat Allah

  8. al-Damir, merupakan tempat merasa dan daya rekoleksi (al-quwwah al- hafizah)

  9. al-Sirr, sebagai bagian hati yang paling halus dan rahasia.

Menurut Baharudin, dalam hubungannya dengan fungsi akal, hati memiliki fungsi kongnisi, fungsi emosi, dan fungsi konasi.

  • Fungsi kognisi menimbulkan daya cipta, seperti berpikir (al-fikr), memahami (al-fiqh), mengetahui (al-‘ilm), memperhatikan (dabara), mengingat (dzikr), dan melupakan (ghulf).

  • Fungsi emosi menimbulkan daya rasa, seperti tenang (tuma’ninah), sayang (ulfah), senang, santun, dan penuh kasih sayang (ra’fah wa rahmah), tunduk dan bergetar (wajilat), mengikat (ribat) , kasar (ghaliz ), takut (ru’b), dengki (ghill), berpaling (za iq), panas, sombong, dan kesal.

  • Fungsi konasi yang menimbulkan daya karsa, seperti berusaha (kasb).

Sementara al-Tabatabai menyebutkan dalam tafsir al-Mizan bahwa fungsi qalb selain berdaya emosi juga berdaya kognisi. Daya emosi qalb lebih banyak diungkap daripada daya kognisinya, sehingga para ahli sering menganggap qalb sebagai esensi nafsani yang berdaya emosi dan sedikit sekali menganggapnya daya kognisi. Jika terpaksa menyebut qalbu sebagai daya kognisi, itupun hanya dibatasi pada kognisi yang diperoleh melalui pendekatan cita rasa bukan pendekatan nalar aqliyah.

Dapat diambil kesimpulan fungsi akal dan hati manusia yang paling utama adalah untuk menangkap kebenaran menuju satu tujuan hakiki manusia, yaitu mengenal dan mengetahui Allah sehingga timbullah iman. Sedangkan hubungan antara akal dan hati sebagai dimensi psikis manusia, tidak saja yang memegang peran pengetahuan dan perbuatan manusia, tetapi sebagaimana disebutkan di dalam al-Qur’an juga berfungsi menghasilkan daya cipta, rasa, dan karsa. Akal dan hati adalah sama sebagai substansi yang mengetahui dan berakal, namun berbeda dalam kemampuan menangkap wilayah pengetahuan, di mana hati lebih luas dari akal.

Hati (Qalb) merupakan wadah dari inti hakekat manusia (jawhar) serta merupakan pusat ma’rifat (direct knowledge) yang memiliki kemampuan menangkap wilayah pengetahuan yang lebih luas dari akal.

Referensi :

  • Ibnu Rajab al-Hanbali, Jami’ al-Ulum wa al-Hikam,
  • Said Hawa, Tarbiyatuna al-Ruhiyyah, terj. Khairul Rafie’ dan Ibn Thaha Ali
  • Al-Ghazali, Ma’arij al-Quds fi Madarij Ma’rifah al-Nafs, (Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, 1975)
  • Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din
  • Sachiko Murata, The Tao of Islam, terj. Rahmani Astuti dan M.S. Nasrullah
  • Baharuddin, Paradigma Psikologi Islam Studi tentang Elemen Psikologi dari al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004)
  • Muhammad Husain al-Tabatabaiy, al-Mizān fi Tafsīr al-Qur’ān.

Fungsi yang utama dari hati adalah sebagai alat untuk memahami realitas dan nilai-nilai, seperti yang tersebut dalam QS Al-Hajj [22]: 46 berikut ini,

“Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi. Lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada”, (QS. Al-Hajj [22] : 46).

Menurut Hamka, dalam pengembaraan melihat-lihat di bumi itu sediakanlah hati dan pasanglah telinga. Dengar apa yang diceritakan orang tentang apa yang dilihat itu, lalu renungkan dalam hati dan ingat kebesaran Tuhan.

Mubarok berpendapat bahwa pada ayat ini qalb mempunyai fungsi yang sama dengan akal, atau yang dimaksud qalb di sini adalah akal. Berangkat dari fungsi utama inilah, maka qalb secara sadar dapat memutuskan sesuatu atau melakukan sesuatu, dan dari fungsi inilah maka yang harus dipertanggungjawabkan manusia kepada Tuhan adalah apa yang disadari oleh qalb (QS Al-Baqarah [2]: 225) dan oleh fu’âd (QS Al-Isra [17]: 36).

“Janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya”, (QS Al-Isra [17]: 36).

Dalam pandangan Hamka orang yang hanya menuruti jejak langkah orang lain, baik nenek-moyangnya, adat-istiadat dan tradisi yang diterima, atau keputusan dan ta‟ashshub pada golongan, membuat orang itu tidak lagi mempergunakan pertimbangan sendiri. Padahal dia diberi Allah alat-alat penting agar ia berhubungan sendiri dengan alam yang di kelilingnya. Dia diberi hati, atau akal, atau fikiran untuk menimbang buruk dan baik.

Maududy berpendapat sama dengan Hamka. Menurut Maududy, hambatan dalam penerapan dan pelaksanaan akidah ini, semata-mata timbul akibat belum difungsikannya secara utuh indra pendengaran, indra penglihatan dan hati manusia, sesuai dengan fitrahnya. Indra pendengaran berfungsi menyerap ilmu pengetahuan yang sudah dimiliki orang lain. Indra penglihatan-dengan cara mengamati dan meneliti-akan mengembangkannya. Sedangkan hati berfungsi membersihkan ilmu pengetahuan tersebut dari berbagai macam noda dan kekeliruan, agar dapat dipetik hasil yang positif dan bisa dipraktikkan dengan sempurna.

Hal ini ditegaskan pula oleh Ibnu Qayyim, bahwa hati yang sehat dan hidup jika keburukan datang padanya, ia lari daripadanya, membencinya, dan tidak menoleh kepadanya. Ini berbeda dengan hati yang mati, ia tidak bisa membedakan kebaikan dengan keburukan, seperti dikatakan Abdullah bin Mas’ud r.a.,

“Binasalah orang yang tidak mempunyai hati yang bisa mengenal kebaikan dan menolak kemungkaran.”

Abu Hurairah berkata,

“Hati adalah raja dan anggota badan adalah pasukannya. Jika raja berperilaku baik, maka baiklah pasukannya, sebaliknya jika rajanya berperilaku jahat, maka jahatlah pasukannya.”

Sedangkan Kamal Muhammad Isa berpendapat bahwa berbagai hukum, aturan dan atau undang-undang Islam, dijamin dan selalu diakui kebenarannya oleh setiap naluri dan hati manusia. Hati manusia ditempatkan sebagai penjaga undang-undang dan hukum Islam.

Menurut Ahmad Mubarok hati dalam hadits ini adalah tempat bertanya bagi seseorang jika ia harus memutuskan sesuatu yang sangat penting.

Hati seharusnya digunakan untuk merenungkan dan membandingkan fakta-fakta di sekelilingnya, lalu menimbang mana yang baik dan mana yang buruk. Kemudian, manusia berusaha menjalankan yang baik, dan meninggalkan yang buruk.
Tidak seharusnya manusia mengikuti begitu saja pendapat orang lain, tanpa dipikirkannya terlebih dahulu: apakah pendapat itu benar atau salah. Sebab menjadi sia-sia anugerah hati itu jika manusia tidak menggunakannya sebagai alat analisis suatu persoalan.

Oleh karena itu, hati bertanggung jawab terhadap keputusan yang telah diambilnya. Masalahnya apakah manusia mau mendengarkan bisikan hatinya, melaksanakan kebaikan dan meninggalkan keburukan. Atau sebaliknya, ia melaksanakan keburukan dan meninggalkan kebaikan, karena mengikuti bisikan setan dan hawa nafsu.

Sumber : Jejen Musfah, Hati dalam tafsir al-azhar Hamka, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta