Apa Saja Faktor yang Mendorong Indonesia Maratifikasi Asean Agreement on Transboandry Haze Pollution (AATHP)?

AATHP
Apa Saja Faktor yang Mendorong Indonesia Maratifikasi Asean Agreement on Transboandry Haze Pollution (AATHP)?

Faktor Yang Mendorong Indonesia Meratifikasi Asean Agreement On Transboandary Haze Pollution (AATHP)

Setelah diberlakukannya perjanjian tersebut pada tahun 2003 terdapat beberapa negara-negara ASEAN yang meratifikasinya, antara lain Malaysia, Kamboja, Singapura, Brunei Darussalam, Philipina, Myanmar, Laos, Vietnam, dan Thailand. Sementara Indonesia pada saat itu belum meratifikasi perjanjian tersebut karena beberapa alasan seperti alasan ekonomi dan politik, padahal jika Indonesia meratifikasi AATHP pada saat itu Indonesia akan mendapatkan beberapa keuntungan baik dalam hal hukum maupun dalam hal selain hukum. Selain itu, salah satu faktor Indonesia belum meratifikasi AATHP adalah karena belum mendapatkan persetujuan dari DPR-RI yang merupakan suatu badan perwakilan rakyat yang memiliki otoritas untuk membuat sebuah kebjiakan untuk rakyat di Indonesia. Setelah 10 tahun AATHP diberlakukan, akhirnya pada September 2014 lalu Indonesia dengan persetujuan DPR-RI, akhirnya meratifikasi AATHP dan Indonesia sebagai negara ke 10 yang meratifikasi AATHP. Terdapat beberapa alasan yang membuat Indonesia akhirnya meratifikasi AATHP baik itu faktor Internal maupun faktor Eksternal dari Indonesia. Faktor internal yang membuat Indonesia meratifikasi AATHP adalah kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia yang tidak pernah selesai hingga saat ini, yang akhirnya merugikan negara sendiri dan negara dikawasan ASEAN yang merupakan negara-negara tetangga Indonesia.

Faktor Internal

Kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia merupakah suatu masalah lingkungan yang telah terjadi sejak dahulu dan hampir terjadi setiap tahunnya. Sehingga permasalahan kebakaran hutan merupakan suatu masalah yang harus ditangani dengan baik oleh pemerintah Indonesia. Karena tidak hanya merugikan Indonesia dalam berbagai bidang, masalah kabut asap ini juga merugikan dan mengganggu negara lain di kawasan ASEAN. Permasalahan kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia yang tidak pernah dapat terselesaikan dengan baik inilah menjadi salah satu faktor Internal yang menyebabkan Indonesia meratifikasi AATHP. Karena permasalah kebakaran yang terjadi ini dari tahun ke tahun selalu menyebabkan terjadinya polusi asap hingga ke negara lain yang ada di dekat Indonesia, tentu saja hal itu sangat merugikan negara yang hanya mendapatkann imbasnya saja dari polusi asap tersebut. Kebakaran hutan besar terpicu pula oleh munculnya fenomena iklim El-Nino seperti kebakaran yang terjadi pada tahun 1987, 1991, 1994 dan 1997, 1998.

Perkembangan kebakaran tersebut juga memperlihatkan terjadinya perluasan penyebaran lokasi kebakaran yang tidak hanya di Kalimantan Timur, tetapi hampir di seluruh propinsi, serta tidak hanya terjadi di kawasan hutan tetapi juga di lahan non hutan. Selain itu, terdapat berapa faktor yang menyebabkan terjadinya kebakaran hutan seperti faktor pertanian, karena melalui aktivitas pembukaan lahan pada lahan perkebunan besar, pertanian rakyat, perladangan, pengembangan hak penguasaan hutan dan hutan tanaman industri, pemukiman serta transmigrasi. Faktor yang kedua adalah faktor alamiah seperti sambaran petir dan musim kemarau panjang. Dan faktor ketiga adalah faktor biologis, terdapatnya vegetasi yang mengandung minyak, vegetasi mengering, tanah gambut dan batu bara kering yang sangat mudah terbakar. Selanjutnya adalah faktor sosial ekonomi budaya, yaitu adanya kecemburuan sosial, penyerobotan lahan, pertikaian hak atas tanah, ceroboh membuang puntung rokok, sisa pembuatan arang dan kendaraan bermotor.

Kebakaran hutan yang cukup besar terjadi awalnya pada tahun 1982-1983. Periode ini terjadi kebakaran hutan di Kalimantan Timur. Kebakaran pada tahun ini terjadi karena kondisi El Nino yang cukup hebat yang menimbulkan kerusakan dalam jumlah yang besar, yaitu sekitar 3,2 juta ha, dan 2,7 juta adalah hutan tropis. Kerusakan yang terjadi akibat kebakaran ini adalah sekitar 73.000 ha hutan-huan dataran rendah yang bernilai komersil mengalami kerusakan berat dan 2,1 juta ha lainnya mengalami kerusakan ringan atau sedang. Selain pada periode tahun 1982 dan 1983, periode kebakaran hutan juga terjadi pada tahun 1997-1998. Yang mana pada periode ini merupakan kebakaran hutan terparah yang terjadi sepanjang sejarah Indonesia dan memberikan kerugian yang sangat besar bagi Indonesia terutama dalam sektor ekonomi dan kesehatan masyarakat karena meliputi hampir di seluruh wilayah hutan Indonesia dengan luas area yang terbakar sangat luas. Kebakaran hutan yang terjadi pada saat itu bersamaan dengan fenomena EL-Nino.

Bencana kebakaran hutan terbesar yang kedua kali terjadi pada tahun 2005- 2007, kebakaran pada tahun 2005-2006 telah menghancurkan lahan sebanyak 65.167,1 Ha, yang tersebar di Provinsi Jambi (3.797 Ha), Sumatera Selatan (58.805 Ha), Lampung (700 Ha), dan Kalimantan Tengah (1.865,10 Ha). Banyaknya jumlah lahan yang terbakar juga diikuti dengan meningkatnya jumlah titik panas yang terdeteksi pada tahun tersebut. Berdasarkan perhitungan yang dilakukan oleh WWF Indonesia analisis titik panas menunjukkan sebaran titik panas sebagai berikut : konsesi perkebunan sawit (23,37%), Hutan Tanaman Industri (16,16%), Hak Pengusahaan Hutan (1,88%), dan areal penggunaan lain/ APL (58,59%). APL ini dapat berupa lahan masyarakat, lahan terlantar, kawasan hutan lindung, dan kawasan hutan konservasi. Sementara itu, berdasarkan kondisi lahannya, 36,41% titik panas terdeteksi pada lahan gambut. Kebakaran hutan berlanjut pada tahun 2007-2009, hal ini dikarenakan mulai terjadinya musim kemarau yang melanda wilayah Indonesia.

Pada tahun 2012 kembali terjadi kebakaran hutan di Indonesia yang juga mengalami lintas batas negara. Kebakaran hutan pada tahun 2012 merupakan kebakaran yang juga disebabkan oleh banyaknya titik api yang terdapat diberbagai pulau di Indonesia. Selain pada tahun 2012, kebakaran hutan dan lahan gambut di provinsi Riau, Sumatera, Indonesia, melonjak hingga titik yang tidak pernah ditemukan sejak krisis kabut asap Asia Tenggara pada Juni 2013. Hampir 50.000 orang mengalami masalah pernapasan akibat kabut asap tersebut, menurut Badan Penanggulangan Bencana Indonesia. Citra-citra satelit dengan cukup dramatis menggambarkan banyaknya asap polutan yang dilepaskan ke atmosfer, yang juga berkontribusi kepada perubahan iklim. Kebakaran pada tahun ini sangatlah mengkhawatirkan, terutama melihat usaha-usaha yang telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia serta negara lainnya untuk mengatasi masalah kebakaran sejak saat itu. Krisis terakhir ini jelas berhubungan dengan kekeringan ekstrim yang sekarang melanda kawasan, yang juga membuat pembakaran semakin mudah serta meningkatkan kemungkinan api menyebar dengan tidak terkendali. Awal Maret 2014, kebakaran hutan dan lahan gambut di provinsi Riau, Sumatera, Indonesia, melonjak hingga titik yang tidak pernah ditemukan sejak krisis kabut asap Asia Tenggara pada Juni 2013. Hampir 50.000 orang mengalami masalah pernapasan akibat kabut asap tersebut.

Kebakaran hutan yang cukup besar yang terjadi di Indonesia menimbulkan dampak yang sangat luas disamping kerugian material kayu, non kayu dan hewan. Dampak negatif yang sampai menjadi isu global adalah asap dari hasil pembakaran yang telah melintasi batas negara. Sisa pembakaran selain menimbulkan kabut juga mencemari udara dan meningkatkan gas rumah kaca. Asap tebal dari kebakaran hutan berdampak negatif karena dapat mengganggu kesehatan masyarakat terutama gangguan saluran pernapasan. Selain itu asap tebal juga mengganggu transportasi khususnya tranportasi udara disamping transportasi darat, sungai, danau, dan laut. Asap tebal juga mengganggu transportasi khsusunya udara. Pada saat kebakaran hutan yang cukup besar banyak kasus penerbangan terpaksa ditunda atau dibatalkan. Sering terdengar sebuah pesawat tidak bisa turun di suatu tempat karena tebalnya asap. Sudah tentu hal ini akan mengganggu bisnis pariwisata karena keengganan orang untuk beradap di tempat yang dipenuhi asap.

Faktor Eksternal

Selain faktor Internal salah satu yang menjadi alasan bagi Indonesia meratifikasi AATHP adalah faktor eksternal, yaitu desakan dari negara-negara ASEAN khususnya negara-negara yang dirugikan akibat kebakaran hutan yang terjadi. Kabut asap akibat kebakaran hutan di wilayah Sumatera yang berdampak terhadap polusi di Singapura dan Malaysia semakin memicu negara-negara tetangga untuk terus mendesak Indonesia meratifikasi ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution atau persetujuan negara-negara ASEAN tentang kabut asap lintas negara, secepat mungkin. Pada tahun 2006 Menteri Lingkungan Hidup Singapura, Vivian Balakrishnan mengatakan bahwa total titik api yang muncul di Sumatera tahun ini mencapai titik tertinggi dalam beberapa tahun terakhir, dan hal ini menjadi salah satu materi bahasan utama dalam pertemuan tersebut. Sekitar 12.750 titik api menyebabkan kabut asap di Singapura, dibandingkan dengan tahun 2006 sejumlah 12.014 titik api. Selain mempengaruhi aktivitas warga Singapura dan Malaysia, kabut asap akibat kebakaran hutan ini juga mempengaruhi kualitas udara negara tetangga tersebut.

Negara yang tercemar oleh polusi yang disebabkan oleh asap tentunya dapat meminta pertanggungjawaban Indonesia. Mereka harus membuktikan bahwa pencemaran asap ke wilayah mereka merupakan kegagalan dari para pejabat Indonesia dalam menangani masalah asap. Ini bisa saja kandas karena yang terjadi adalah para pejabat Indonesia bukannya membiarkan (omission) terjadi pencemaran asap, melainkan karena ketidakmampuan aparat di Indonesia untuk menangani secara tuntas. Berdasarkan pada pertemuan menteri lingkungan hidup ASEAN dalam masalah polusi kabut asap lintas batas pada 13 Oktober 2006, Malaysia dan Singapura mendesak Indonesia untuk menyelesaikan masalah ini. Protes Malaysia dan Singapura ini didasarkan pada alasan bahwa kabut asap tersebut telah menimbulkan gangguan terhadap kesehatan masyarakat, perekonomian serta pariwisata mereka. Protes Malaysia dan Singapura ini didasarkan pada alasan bahwa kabut asap tersebut telah menimbulkan gangguan terhadap kesehatan masyarakat, perekonomian serta pariwisata mereka, bahkan Malaysia mengecam Indonesia karena tidak mampu mengatasi masalah asap dan Indonesia harus membayar kompensasi akibat asap.

Kerugian sosial ekonomi dan ekologis yang timbul oleh kebakaran hutan cukup besar, bahkan dalam beberapa hal sulit untuk diukur dengan nilai rupiah. Kerugian yang harus ditanggung oleh Indonesia akibat kebakaran hutan tahun 1997 dulu diperkirakan mencapai Rp.5,96 trilyun atau 70,1% dari nilai PDB sektor kehutanan pada tahun 1997. Malaysia yang juga terkena mengalami kerugian US$ 300 juta di sektor industri dan pariwisata, sedangkan Singapura mengalami kerugian sekitar US% 60 juta di sektor pariwisata.20 Selain itu pada tahun 2012, Indonesia kembali mendapatkan protes oleh Singapura terkait kabut asap yang kembali menyelimuti Singapura, pada saat itu Indonesia kembali menyampaikan bahwa Indonesia harus segara meratifikasi AATHP secepatnya. Hal ini disampaikan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Air Singapura di sela-sela pertemuan para menteri lingkungan hidup se-ASEAN tanggal 26 September 2012 di Bangkok, Thailand.

Selain pada tahun 2012, Pada pertemuan 18 Juli 2013 Association of South East Asia Nations (ASEAN) melakukan pertemuan tingkat mentri di Malaysia, pada pertemuan tersebut Singapura dan Malaisya melalui perwakilan menteri lingkungan hidup, menyampaikan kembali bahwa masalah kabut asap yang terjadi di awal tahun 2013 kembali memberikan kerugian bagi negara mereka, dan mereka juga meminta Indonesia untuk segera meratifikasi AATHP secepatnya, biar permasalah kabut asap yang terjadi dapat ditangani secara bersama.

Tidak hanya mendapatkan desakan dari negara-negara di ASEAN saja, masalah Indonesia tidak meratifikasi AATHP juga menjadi perhatian para pengamat lingkungan Internasional seperti PBB dan WWF. Pada tahun 2006 isu kabut asap yang dialami oleh ASEAN kembali menjadi masalah besar yang pada akhirnya diangkat ke PBB, Singapura mengangkat isu asap lintas batas di majelis umum PBB, hal ini disampaikan oleh perdana menteri Lee Hsien Loong. Dimana Singapura memintas keahlian internasional untuk mengatasi permasalahanm kabut asap yang melanda kawasan ASEAN. Dita besar Singarpura, Ashok Mirpura mengatakan masalah kabut asap telah melanda kawasan regional selama 10 tahun, meskipun ada upaya yang dilakukan Indonesia dan Regional, permasalah tersebut tetap ada dengan berbagai alasan. Selain itu diplomat Singapura Kevin Cheok menambahkan, bahwa kebakaran hutan di Indonesia terjadi hampir setiap tahun memiliki konsekuensi regional serta global, dan dengan demikian membutuhkan aksi global dalam menanganinya. Akan tetapi Indonesi belum memberikan respon yang baik terhadap permasalah tersebut, melalui wakil Indonesia Adiyatwidi Adiwoso Asmady, menyatakan bahwa permasalah kabut asal adalah masalah dalam negeri dan tidak menginginkan campurtangan negara lain dalam menyelesaikannya.

Selain PBB, WWF-Indonesia berusaha untuk menjalin dukungan dalam memberikan pemahaman dan interpretasi pentingnya ratifikasi AATHP melalui kerjasama dengan organisasi non pemerintah, seperti SIIA ( Singapore Institute of International Affair ) dan CSIS ( Center for Strategic and International Studies ) dalam menyelenggarakan Haze Dialog. Workshop ini bertujuan untuk mengidentifikasikan kepentingan dalam mengatasi isu pencemaran asap. Rekomendasi dari pertemuan ini difokuskan pada impelementasi atau pelaksanaan di tingkat nasional dan daerah, kemudian nantinya akan diangkat kepada Pemerintah Indonesia dan ASEAN Ministerial Steering Committee on the Environment. Disamping komunikasi, sosialisasi juga menjadi salah satu alat yang digunakan WWF-Indonesia untuk mendorong diratifikasinya AATHP oleh pemerintah Indonesia.

Sosialisasi dilakukan kepada masyarakat dan pemerintah daerah yang utamanya merasakan dampak dari pencemaran asap akibat kebakaran hutan. Pemerintah daerah yang menjadi tempat diselenggarakannya sosialisasi AATHP, diantaranya Provinsi Riau, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur. Hal ini ditujukan untuk mendapat dukungan dalam menanggulangi kebakaran hutan melalui ratifikasi AATHP Berbagai tindakan politik telah dilakukan oleh WWF mulai dari sosialisasi, komunikasi, maupun advokasi baik kepada masyarakat maupun kepada pemerintah Indonesia. Tetapi peran WWF dalam melestarikan kenekaragaman hayati dan mengurangi dampak yang disebabkan oleh manusia terutama dalam proses ratifikasi AATHP oleh pemerintah Indonesia ini belum bisa membuat pemerintah Indonesia meratifikasi AATHP. Pada tahun 2007, pembahasan ratifikasi AATHP masuk dalam Program Legislatif Nasional (Prolegnas). Masuknya pembahasan ratifikasi AATHP tersebut dalam Prolegnas salah satunya merupakan dorongan dari WWF-Indonesia. Namun pembahasan ratifikasi AATHP itu belum menghasilkan keputusan dari DPR RI. Pada tahun 2008 pembahasan ratifikasi AATHP itu tidak lagi masuk dalam pembahasan Program Legislatif Nasional DPR-RI.

Sumber:

https://transnasional.ejournal.unri.ac.id/index.php/JTS/article/view/3182/3098