Apa saja faktor yang memengaruhi konsumsi makanan?

Apa saja faktor yang memengaruhi konsumsi makanan ?

Apa saja faktor yang memengaruhi konsumsi makanan ?

2 Likes

Pendorong utama untuk makan tentu saja adalah rasa lapar tetapi apa yang kita pilih untuk makan tidak ditentukan semata-mata oleh kebutuhan fisiologis atau nutrisi. Beberapa faktor lain yang mempengaruhi konsumsi makanan antara lain adalah sebagai berikut :

  1. Faktor penentu biologis seperti rasa lapar, nafsu makan, dan selera akan rasa makanan

    Lapar dan kenyang
    Kebutuhan fisiologis kita memberikan penentu dasar pilihan akan makanan. Manusia membutuhkan energi dan nutrisi untuk bertahan hidup dan merespons perasaan lapar dan kenyang. Sistem saraf pusat terlibat dalam mengendalikan keseimbangan antara rasa lapar, stimulasi nafsu makan, dan asupan makanan.

    Kepadatan energi dari makanan telah terbukti memberikan efek kuat pada rasa kenyang; makanan dengan kepadatan energi rendah menghasilkan rasa kenyang yang lebih besar daripada makanan dengan kepadatan energi tinggi. Kepadatan energi yang tinggi dari makanan tinggi lemak dan atau gula tinggi juga dapat menyebabkan ‘konsumsi pasif’ berlebihan, dimana kelebihan energi dicerna secara tidak sengaja dan tanpa konsumsi tambahan.

    Sinyal kenyang yang terpenting adalah ukuran porsi yang dikonsumsi. Banyak orang tidak menyadari ukuran porsi yang tepat dan dengan demikian secara tidak sengaja mengonsumsi energi berlebih.

    Palatabilitas
    Palatabilitas sebanding dengan kesenangan yang dialami seseorang saat makan makanan tertentu. Itu tergantung pada sifat sensoris makanan seperti rasa, bau, tekstur, dan penampilan. Makanan manis dan berlemak tinggi memiliki daya tarik indera yang sangat tinggi. Maka tidak mengherankan bahwa makanan tidak hanya dianggap sebagai sumber makanan tetapi sering dikonsumsi untuk nilai kesenangan yang diberikannya.

    Pengaruh palatabilitas pada nafsu makan dan asupan makanan pada manusia telah diteliti dalam beberapa penelitian. Ada peningkatan asupan makanan karena palatabilitas meningkat, tetapi efek palatabilitas terhadap nafsu makan pada periode setelah konsumsi tidak jelas.

    Aspek sensoris
    ‘Rasa’ dilaporkan secara konsisten sebagai pengaruh besar pada perilaku makanan. Pada kenyataannya ‘rasa’ adalah jumlah dari semua stimulasi sensorik yang dihasilkan oleh konsumsi makanan. Ini termasuk tidak hanya rasa makanan tetapi juga bau, penampilan dan tekstur makanan. Aspek-aspek indera ini dianggap memengaruhi, khususnya, pilihan makanan secara spontan.

  2. Faktor ekonomi, seperti harga, aksesibilitas, dan pendapatan

    Tidak ada keraguan bahwa harga makanan adalah penentu utama pilihan makanan. Apakah harganya mahal tergantung secara mendasar pada pendapatan dan status sosial ekonomi seseorang. Kelompok berpenghasilan rendah memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk mengkonsumsi makanan yang tidak seimbang dan khususnya memiliki asupan buah dan sayuran yang rendah. Akan tetapi, mereka yang memiliki banyak uang tidak secara otomatis menyamakan kualitas makanan yang lebih baik, tetapi setidaknya pilihan makanan mereka lebih banyak.

    Aksesibilitas ke tempat penjualan makanan adalah faktor fisik penting lainnya yang memengaruhi pilihan makanan, yang bergantung pada sumber daya seperti transportasi dan lokasi geografis.

  3. Penentu fisik seperti akses, pendidikan, keterampilan (mis. Memasak) dan waktu

    Studi menunjukkan bahwa tingkat pendidikan dapat memengaruhi perilaku makan selama masa dewasa. Sebaliknya, pengetahuan gizi dan kebiasaan makan yang baik tidak berkorelasi kuat. Ini karena pengetahuan tentang kesehatan tidak mengarah pada tindakan langsung ketika individu tidak yakin bagaimana menerapkan pengetahuan mereka.

  4. Penentu sosial seperti budaya, keluarga, teman sebaya dan pola makan

    Pengaruh kelas sosial
    Apa yang orang makan terbentuk dan dibatasi oleh keadaan sosial dan budaya. Studi populasi menunjukkan ada perbedaan yang jelas dalam kelas sosial sehubungan dengan asupan makanan dan nutrisi. Pola makan yang buruk dapat menyebabkan kekurangan (kekurangan gizi mikro) dan kelebihan gizi.

    Pengaruh budaya
    Pengaruh budaya menyebabkan perbedaan dalam kebiasaan konsumsi makanan tertentu dan dalam tradisi atau kasus-kasus tertentu dapat menyebabkan pembatasan makanan, seperti pengecualian daging dan susu dari makanan. Pengaruh budaya bagaimanapun juga dapat melahirkan perubahan: ketika pindah ke negara baru, individu sering mengadopsi kebiasaan makanan tertentu dari budaya lokal.

    Pengaturan sosial
    Meskipun sebagian besar makanan dimakan di rumah, proporsi yang besar juga dimakan di luar rumah, seperti di sekolah, di tempat kerja, dan di restoran. Tempat dimana makanan dimakan dapat memengaruhi pilihan makanan, terutama dalam hal makanan apa yang ditawarkan. Ketersediaan makanan sehat di rumah dan di luar rumah meningkatkan konsumsi makanan tersebut.

  5. Faktor psikologis, seperti suasana hati, stres dan rasa bersalah

    Tekanan/stres
    Stres psikologis adalah ciri umum kehidupan modern dan dapat memodifikasi perilaku yang memengaruhi kesehatan, seperti aktivitas fisik, merokok, atau pilihan makanan.

    Pengaruh stres pada pilihan makanan sangat kompleks karena berbagai jenis stres dapat dialami seseorang. Efek stres pada asupan makanan tergantung pada individu, stresor, dan keadaan. Secara umum, beberapa orang makan lebih banyak dan beberapa kurang makan dari keadaan normal ketika mengalami stres.

    Studi juga menunjukkan bahwa jika stres kerja berkepanjangan maka perubahan pola makan yang merugikan dapat terjadi, meningkatkan kemungkinan kenaikan berat badan dan akibatnya risiko kardiovaskular meningkat.

    Suasana hati
    Hippocrates adalah yang pertama menyarankan kekuatan penyembuhan makanan, namun, tidak sampai abad pertengahan, makanan dianggap sebagai alat untuk memodifikasi temperamen dan suasana hati. Hari ini diakui bahwa makanan bisa memengaruhi suasana hati kita dan suasana hati itu memiliki pengaruh yang kuat atas pilihan makanan kita.

    Wanita lebih sering mengidam makanan daripada pria. Suasana hati yang depresi tampaknya memengaruhi tingkat keparahan dari mengidam ini. Laporan mengidam makanan juga lebih sering terjadi pada fase pramenstruasi, saat asupan makanan total meningkat dan perubahan paralel dalam tingkat metabolisme basal terjadi.

    Dengan demikian, suasana hati dan stres dapat memengaruhi perilaku konsumsi makanan dan kemungkinan respons jangka pendek dan panjang terhadap intervensi diet.

  6. Sikap, kepercayaan, dan pengetahuan tentang makanan

    Survei Pan-Eropa tentang Sikap Konsumen terhadap Makanan, Gizi dan Kesehatan menemukan bahwa lima pengaruh teratas pada pilihan makanan di 15 negara anggota Uni Eropa adalah kualitas / kesegaran (74%), harga (43%), rasa (38%), usaha untuk makan sehat (32%) dan apa yang keluarga ingin makan (29%). Ini adalah angka rata-rata yang diperoleh dengan mengelompokkan hasil 15 negara anggota Uni Eropa, yang berbeda secara signifikan dari satu negara ke negara. Di AS, urutan faktor-faktor berikut yang memengaruhi konsumsi makanan telah dilaporkan: rasa, harga, nutrisi, kenyamanan dan masalah berat badan.

    Sikap dan keyakinan memang dapat berubah; sikap kita terhadap lemak makanan telah berubah dalam 50 tahun terakhir dengan penurunan jumlah absolut lemak yang dimakan dan perubahan dalam rasio lemak jenuh terhadap lemak tak jenuh.

Referensi

The Factors That Influence Our Food Choices | Eufic

Terdapat dua faktor utama yang mempengaruhi pola konsumsi makan seseorang yaitu faktor budaya dan sosial serta faktor fisiologis.

Faktor Budaya dan Sosial

Kebanyakan dari kita makan tiga kali dalam sehari. Saat waktu untuk makan datang, kita akan merasa lapar lalu makan dengan mengkonsumsi jumlah makanan yang relatif konstan. Pola makan yang reguler tidak semata-mata ditentukan oleh kebutuhan biologis. Pola tersebut secara parsial ditentukan oleh kebiasaan. Jika kita pernah melewatkan satu waktu dimana biasanya waktu tersebut merupakan jadwal reguler kita untuk makan, maka kita akan merasakan bahwa rasa lapar kita tidak akan terus bertambah secara tidak terbatas. Malah, rasa lapar itu pelan-pelan akan menghilang seakan kita telah makan. Namun akan kembali timbul sebelum jadwal makan reguler selanjutnya. Karena itu, rasa lapar dapat bertambah besar ataupun menghilang sesuai dengan jadwal yang dipelajari (Carlson & Buskist, 1997).

Lingkungan di dekat kita juga memperngaruhi rasa lapar. Kita akan lebih merasa lapar dan mengkonsumsi lebih banyak makanan dengan kehadiran teman yang melakukan hal yang sama. Kadang, ada saat dimana kita bergabung dengan teman yang akan makan tepat setelah kita selesai makan. Kita menolak untuk makan atau hanya makan sekedarnya untuk menemani. Tetapi pada kenyataannya jumlah makanan yang kita makan sama dengan jumlah makanan teman kita (Carlson & Buskist, 1997).

Faktor Fisiologis

Faktor budaya dan sosial memang mempengaruhi kapan dan berapa banyak yang kita makan. Namun jika seluruh faktor lain dihilangkan, makan adalah mungkin ditentukan oleh beberapa kondisi fisiologis internal. Cannon dan Washburn (1912) mengusulkan bahwa rasa lapar timbul dari keadaan lambung yang kosong. Dinding lambung yang kosong akan saling bergesekan dan menghasilkan apa yang biasa disebut dengan rasa perih akibat lapar. Walaupun demikian, tidak adanya lambung tidak serta-merta menghilangkan rasa perih tersebut.

Inglefinger (1944) mewawancara pasien yang diangkat lambungnya karena kanker atau tukak yang parah. Mereka mengaku bahwa mereka tetap merasakan rasa lapar dan kenyang yang sama dengan sebelum mereka menjalani operasi pengangkatan lambung (Carlson & Buskist, 1997).

Penyebab rasa lapar yang lebih mungkin adalah penipisan simpanan nutrien tubuh. Bahan bakar utama sel tubuh kita adalah glukosa dan asam lemak. Oleh karena glukosa merupakan bahan bakar utama yang penting, Mayer (1955) mengusulkan hipotesis glukostatik dari rasa lapar. Menurut hipotesis glukostatik, rasa lapar timbul saat tingkat glukosa dalam darah menurun, kira-kira setelah glikogen pada cadangan jangka pendek tubuh telah terpakai seluruhnya (Carlson & Buskist, 1997).

Faktor yang Membuat Seseorang Mengakhiri Makan

Apa yang menghentikan rasa lapar? Faktor apa yang mengakhiri makan? Walaupun bukti yang ada mengusulkan bahwa sebab utama dari rasa lapar bukanlah keadaan lambung yang kosong, sebab utama dari rasa kenyang tampaknya adalah keadaan lambung yang penuh. Banyak studi telah menunjukkan bahwa rasa kenyang disebabkan oleh masuknya sejumlah makanan bernutrisi ke dalam lambung. Karena itu, seharusnya di dalam lambung terdapat semacam detektor yang dapat mendeteksi masuknya makanan (Carlson & Buskist, 1997).

Lambung tampaknya memiliki detektor yang menginformasikan otak tentang sifat kimia dan juga kuantitas dari isi lambung. Kemampuan untuk mendeteksi sifat kimia dari makanan yang masuk ke dalam lambung merupakan hal yang penting. Hal ini karena proses makan secara relatif akan berhenti ketika makanan yang dikonsumsi merupakan makanan yang bergizi. Namun sebaliknya, jika makanan yang dikonsumsi bukan merupakan makanan yang bergizi, maka proses makan akan tersu berlanjut. Penelitian Deutsch, Young dan Kalogeris tahun 1978 membuktikannya. Terdapat dua kelompok tikus yang salah satunya diberikan larutan garam sementara kelompoknya diberikan susu. Tiga puluh menit kemudian, kedua kelompok tersebut diberi makan. Tikus yang diberikan susu makan lebih sedikit dibandingkan dengan yang diberikan larutan garam (Carlson & Buskist, 1997).

Referensi:
Carlson, N.R. & William, B. 1997, Psychology: The Science of Behavior, 5th edition, Allyn & Bacon, Boston