Apa saja faktor-faktor penyebab terjadinya kekerasan seksual?

Faktor-Faktor Penyebab Kekerasan Seksual

Kekerasan seksual adalah segala bentuk pemaksaan yang mengarah pada seksualitas seseorang baik dilakukan secara verbal maupun non-verbal yang mengakibatkan kerugian fisik dan psikis terhadap korban. Dan banyak dipengaruhi oleh bias gender dan budaya.

Apa saja Faktor-Faktor Penyebab Kekerasan Seksual ?

Faktor-Faktor Penyebab Kekerasan Seksual


Dengan kondisi lingkungan masyarakat di Indonesia khususnya diperkotaan, banyak faktor yang melatarbelakangi terjadinya beberapa kasus kekerasan seksual. Bahkan, dewasa ini banyak kasus yang terungkap media justru di beberapa daerah dengan intensitas pergaulan yang jauh dari perkotaan.

Namun, secara umum faktor terjadinya kekerasan seksual bisa disimpulkan sebagai berikut:

1. Keluarga
Menurut UU PA no.23 tahun 2002 pasal 1 ayat ketiga. “keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya, atau keluarga sedarah dengan garis lurus keatas atau kebawah sampai dengan derajat ketiga.”

Sesuai dengan peraturan pemerintah diatas, anak adalah bagian dari keluarga dan berhak mendapat hak-haknya sebagai bagian dari keluarga.

Masalah keluarga, hal ini mengacu pada situasi keluarga khusunya hubungan orang tua yang kurang harmonis. Sikap orang tua yang tidak menyukai anak-anak, pemarah dan tidak mampu mengendalikan emosi juga dapat menyebabkan terjadinya kekerasan pada anak-anak.

Keluarga yang kurang harmonis inilah yan mneyebabkan seorang anak tidak merasa terlindungi bahkan merasa terancam. Sehingga, anak akan mencari pelampiasan di luar rumah. Pergaulan bebas, free sex, narkoba tak jarang menjadi pelampiasan sesaat anak dalam mencari ketenangan. Situasi inilah yang justru banyak dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan kekerasan terhadap anak, termasuk di dalamnya kekerasan seksual seperti pemerkosaan dan pencabulan.

Anak-anak yang dibesarkan dari keluarga broken home banyak dari mereka mencari pelampiasan di luar rumah. Pengawasan orang tua yang kurang, orang tua yang sibuk dengan pekerjaannya sehingga tak jarang anak dititipkan pada keluarga ataupun tetangganya. Pengatahuan dan pengalaman orang tua dalam mendidik anak juga sering menjadi faktor terjadinya kekerasan seksual.

Kesan orang tua yang “terima jadi” menjadi momok bagi anak dalam menjalani kehidupanya. Dengan dalih sibuk bekerja dan semua kebutuhan telah terpenuhi anak diharuskan mengikuti keinginan orang tua tanpa tahu bahkan terkesan “tidak mau tahu” bagaimana keadaan anak, keseharian anak dan pergaulanya. Sehingga orang tua merasa malu dan marah ketika mengetahui si anak menjadi korban kekerasan seksual. Tak jarang orang tua yang tidak mau lagi menerima kondisi anak dikarenakan malu dan dianggap aib keluarga dan lebih memetingkan “apa kata orang”.

2. Lingkungan Masyarakat
Dalam UU PA no.23 tahun 2002 pasal 1 ayat 13. “Masyarakat adalah perseorangan, keluarga, kelompok, dan organisasi sosial dan/atau organisasi kemasyarakatan.”

Begitu pula dengan kewajiban masyarakat, sesuai dengan UU PA no.23 tahun 2002 bagian ketiga pasal 25, menyebutkan “Kewajiban dan tanggung jawab masyarakat terhadap perlindungan anak dilaksanakan melalui kegiatan peran masyarakat dalam peyelenggaraan perlindungan anak.”

Dari penjelasan diatas maka bisa diambil kesimpulan bahwa, masyarakat punya andil besar dalam pembentukan perilaku anak. Dan, masyarakat berkewajiban memberikan perlindungan kepada anak dari segala bentuk kekerasan maupun diskriminasi

Seperti pada UU PA no.23 tahun 2002 pasal 4. “Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”

Harus diakui selama ini masih banyak adat budaya yang kurang menguntungkan anak. Misalnya, tindak kekerasan seksual pada perempuan bisa terjadi pada berbagai kelompok, umur, status sosial, tempat, dan waktu, di mana hal ini tak lepas dari pengaruh budaya patriarkhal.

Kondisi lingkungan yang tidak kondusif bagi perkembangan anak selama ini kurang diperhatikan oleh masyarakat. Seperti anak-anak yang hidup dikolong jembatan, anak-anak yang hidup lingkungan lokalisasi seperti lokalisasi dolly Surabaya juga rentan terhadap kekerasan seksual terhadap anak. Anak-anak yang hidup dikolong jembatan dikarenakan kondisi ekonomi keluarga yang jauh dari cukup. Dengan melihat kondisi anak yang dilahirkan dari lingkungan yang keras maka tak jarang anak menjadi keras tanpa mempedulikan kehidupan mereka.

Ekploitasi anak juga dilakukan oleh orang-orang yang “menguasai” daerah tersebut misalnya mengemis, ngamen, mencopet dan juga menjadi pedagang asongan. Bahkan eksploitasi seksual oleh pihakpihak yang tidak bertanggungjawab demi kepuasan nafsu semata serta kepentingan kantong pribadi anak seperti perkosaan, pencabulan, human trafficking dan PSK anak.

Anak yang hidup di perkotaan dikarenakan pengaruh pola hidup mewah memaksa mereka untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Persepsi yang keliru tentang keseteraan derajat perempuan membuat mereka tak memiliki kontrol yang kuat terhadap proteksi dirinya. Persepsi yang keliru tersebut justru terkadang menjadi boomerang bagi merka sendiri dan dimanfaatkan oleh beberapa oknum yang tidak bertanggungjawab.

3. Ekonomi
Status sosial ekonomi juga terkadang menjadi penyebab terjadinya kekerasan seksual. Secara sosiologis, pelacur anak-anak sesungguhnya lebih tepat disebut dengan istilah anak-anak yang dilacurkan. Karena kebanyakan mereka terperosok bekerja sebagai PSK bukan dengan sukarela, melainkan karena kasus-kasus penipuan, pemaksaan atau karena ketidakmengertian mereka.

Anak-anak perempuan yang terpelosok dalam bisnis jasa seksual ini umumnya lebih disebabkan karena penipuan, pemaksaan dan bahkan penganiayaan.

Karena kebutuhan ekonomi keluarga dan juga pengaruh pola kehidupan yang mewah tanpa pengawasan orang tua sehingga anak melakukan apapun untuk memenuhi kebutuhan finansialnya. Sehingga banyak oknum yang memanfaatkan kondisi tersebut untuk menjadikanya pemuas nafsu sesaat dengan iming-iming uang yang akan mereka dapatkan. Sehingga tak heran apabila banyak remaja yang terjerumus dalam industri prostitus.