Apa saja dimensi-dimensi dalam Religiusitas?

Dimensi religiusitas

Apa saja yang termasuk kedalam dimensi religiusitas?

Religiusitas adalah manifestasi sejauh mana individu meyakini, mengetahui, memahami, menghayati, menyadari dan mempraktekkan agama yang dianutnya dalam kehidupan sehari-hari yang terkait dengan orientasi keberagamaannya. Religiusitas diukur dengan menggunakan skala religiusitas yang dikonstruksi berdasarkan teori Allport dan Fetzer melalui skor angka peringkat dari aspek, yaitu :

  1. intrinsik; menggunakan agama sebagai sebagai alat-alat untuk mencapai sesuatu seperti untuk memperoleh keamanan, kenyamanan, status, atau dukungan sosial,

  2. ekstrinsik; melaksanakan agama semata-mata tulus karena perintah Tuhan bukan untuk kepentingan pribadi.

Masing-masing aspek terdiri dari 12 indikator, yaitu :

1. Pengalaman Beragama Sehari-hari (daily spiritual experiences)

Dimensi ini merupakan persepsi individu terhadap sesuatu yang berkaitan dengan dampak menjalankan agama (pengalaman spiritual) dalam kehidupan sehari-hari. Secara terperinci dimensi ini berkaitan dengan pengalaman-pengalaman, perasaan-perasaan, persepsi-persepsi, dan sensasi-sensasi yang dialami seseorang yang melihat komunikasi dalam suatu esensi ketuhanan, yaitu dengan Tuhan, kenyataan terakhir dengan otoritas transendental. Misalnya apakah seseorang pernah merasakan bahwa permohonan doanya dikabulkan oleh Tuhan, merasakan bimbingan atau pertolongan Tuhan secara pribadi. Pada dimensi ini berisikan pula fakta bahwa semua agama mengandung pengharapan-pengharapan tertentu, meski tidak tepat jika dikatakan bahwa seseorang yang beragama dengan baik pada suatu waktu akan mencapai pengetahuan obyektif dan langsung mengenai kenyataan terakhir (ia akan mencapai kontak dengan kekuatan supranatural).

Madjid (2000) menyatakan, meskipun pengalaman spiritual sehari-hari itu dilakukan secara individu, namun nilainya tidak lagi individual, melainkan sudah bersifat individuatif yakni terjadinya proses individuation . Ini mirip dengan proses-proses psikologi terapi modern yang berkenaan dengan konsep individuation yang dianggap sebagai salah satu cara untuk penyembuhan (psikoterapi). Dengan demikian daily spiritual experiences adalah keunikan dari macam-macam pribadi dengan pengalaman- pengalaman spiritual yang pada akhirnya mengakui eksistensi dirinya (al-mawjudat) .

Dari dimensi pengalaman spiritual ini, Wilcox (2008) menyodorkan tesis bahwa kajian ilmu psikologi tidak bisa menanyakan “Siapa atau apakah Tuhan itu” atau “Bagaimanakah Tuhan bisa ditemukan?” dalam menjalankan perintah agama. Namun Wilcox melaporkan bahwa seseorang yang menerima agama tanpa disertai perenungan dan sikap kritis akan terlihat tidak matang pada hal-hal lain. Dia mengatakan dengan memiliki pengalaman spiritual, maka rasa keagamaan akan matang yang ditandai oleh perasaan kepatuhan, pengorbanan diri, kewajiban dan penyerahan diri kepada Tuhan.

2. Makna Beragama (meaning)

Meaning adalah pencarian makna dari kehidupan dan berbicara mengenai pentingnya makna atau tujuan hidup sebagai bagian dari fungsi penting untuk mengatasi hidup atau unsur kesejahteraan psikologis. Pencarian makna juga telah didefinisikan sebagai salah satu fungsi kritis agama. Pertanyaannya, apakah benar semua manusia beragama di dunia ini mempunyai makna dan tujuan hidup? Seorang ilmuwan dan penemu logoterapi Viktor Frankl (dalam Fetzer, 1999), mengungkapkan bahwa ia melihat makna dalam ketentuan agama.

Bastaman (2007) mengatakan keinginan untuk hidup secara bermakna memang benar-benar merupakan motivasi utama pada manusia. Setiap orang (normal) senantiasa menginginkan dirinya menjadi orang berguna dan berharga bagi keluarganya, lingkungan masyarakatnya, dan bagi dirinya sendiri. Menurut Bastaman ada tiga nilai yang merupakan sumber makna hidup, yakni; creative values (nilai-nilai kreatif) yaitu bekerja dan berkarya serta melaksanakan tugas dengan penuh tanggung jawab; experiental values (nilai-nilai penghayatan) yaitu meyakini dan menghayati kebenaran, kebajikan, keindahan, keadilan, keimanan, dan nilai-nilai lain yang dianggap berharga; dan attitude values (nilai-nilai bersikap) yakni menerima dengan tabah dan mengambil sikap yang tepat terhadap penderitaan yang tak dapat dihindari lagi setelah berbagai upaya dilakukan secara optimal tetapi tak berhasil mengatasinya.

Dalam kajian Islam, pembahasan tentang persoalan makna dan tujuan hidup ini bisa dibuat dengan melompat kepada kesimpulan yang telah diketahui secara umum dan mantap di kalangan orang-orang Muslim. Yaitu bahwa tujuan hidup manusia ialah bertemu (liqa’) dengan Allah, Tuhan Yang Mahaesa, dalam ridha-Nya. Sedangkan makna hidup manusia didapatkan dalam usaha penuh kesungguhan (mujahadah) untuk mencapai tujuan itu, melalui iman kepada Tuhan dan beramal kebajikan. Dengan kata lain, menurut Madjid (2000) persoalan pokok manusia beragama bukanlah menyadarkan bahwa hidup mereka bermakna dan bertujuan, tapi bagaimana mengarahkan mereka untuk menempuh hidup dengan memilih makna dan tujuan yang benar dan baik.

Sedangkan Chittick (2002) menengarai konsepsi tentang pencarian makna dapat disejajarkan dengan modus pengetahuan. Chittick mengatakan, karena manusia awalnya bodoh, maka mereka harus mencari pengetahuan; pengetahuan hakiki menjadikan Tuhan dan aktivitas-aktivitas-Nya sebagai objek, juga bimbingan dan petunjuk-petunjuk Tuhan. Pengetahuan tentang kedua ranah tersebut datang melalui tanda-tanda (ayat), yang oleh al-Quran ditempatkan dalam tiga domain besar: kitab suci dan perilaku profetik, fenomena alamiah, dan diri manusia.

3. Nilai-nilai Beragama (values)

Values adalah pengaruh keimanan terhadap nilai-nilai hidup, seperti mengerjakan tentang nilai cinta, saling menolong, saling melindungi, dan sebagainya. Nilai-nilai agama tersebut mengatur tata kehidupan manusia untuk mencapai ketenteraman, keselamatan, dan kebahagiaan. Hidayat (2006) menjelaskan, meskipun manusia diberi kemampuan akal untuk dapat memikirkan dan mengatur kehidupannya, ia tidak dapat sepenuhnya mencapai kehidupan yang teratur tanpa adanya nilai-nilai religiusitas.

Namun sebagai makhluk psikologis, manusia memiliki sifat bawaan universal. Dalam al-Quran terdapat terma al-khayr dan fahisyah . Mubarok (2010) mengartikan al- khayr mengandung arti kebaikan normatif yang datangnya dari Tuhan dan bersifat universal, seperti keadilan, kejujuran, berbakti kepada orangtua, menolong yang lemah dan sebagainya. Pandangan ini secara fitri dimiliki oleh semua manusia sepanjang zaman, bahkan pada masyarakat primitif yang belum mengenal pendidikan. Sedangkan fahisyah mengandung arti sesuatu yang secara universal dipandang sebagai kekejian. Dalam al- Quran kata fahisyah sering digunakan untuk menyebut perbuatan zina.

4. Keyakinan (beliefs)

Konsep Belief merupakan sentral dari religiusitas. Dalam bahasa Indonesia disebut keimanan. Yakni kebenaran yang diyakini dengan nilai dan diamalkan dengan perbuatan. Keyakinan dan kecintaan kepada agama merupakan karakter dasar dan ciri khas ekspresi kesadaran bawah sadar seseorang yang mengimani ajaran agama tersebut. Ilyas (1995) berpendapat bahwa dalam pandangan Islam, ada yang menyamakan istilah iman dengan akidah, dan ada yang membedakannya.

Bagi yang membedakan, akidah hanyalah bagian dalam (aspek hati) dari iman, sebab iman menyangkut aspek luar. Aspek dalamnya berupa keyakinan dan aspek luar berupa pengakuan lisan dan pembuktian dengan amal. Sebenarnya masalahnya tergantung dari definisi iman. Menurut Qardlawi (dalam, Chirzin 2004), iman adalah kepercayaan yang meresap ke dalam hati dengan penuh keyakinan, tidak bercampur syak dan ragu, serta memberi pengaruh bagi pandangan hidup, tingkah laku dan perbuatan pemiliknya sehari-hari. Begitu juga iman yang tertanam di dada memberi inspirasi positif kepada seseorang untuk berlaku dan beramal kebajikan. Iman yang benar membawa pribadi ke arah perubahan jiwa dan cara berpikir positif. Dari aspek psikologis, perubahan jiwa tersebut merupakan suatu revolusi dan pembaharuan tentang tujuan hidup, pandangan hidup, cita-cita, keinginan-keinginan dan kebiasaan.

Karena berbicara iman berarti berbicara akhlak, yaitu kaitan perbuatan manusia mulai dari hal yang sebesar-besarnya sampai kepada yang sekecil-kecilnya tidak satupun yang terlepas dari keterikatannya dengan Allah. Berbicara tentang tauhid berarti semua aktivitas manusia adalah dalam rangka mengesakan Tuhan, baik Esa pada Dzat, sifat maupun perbuatan-Nya. Sedangkan berbicara tentang keyakinan berarti bahwa semua perbuatan yang dilakukan oleh manusia tersebut akan diminta pertanggungjawabannya oleh Allah di akhirat nanti. Namun dalam menentukan religiusitas seseorang,

Mujani (2004) mengatakan bahwa konsep belief atau keimanan untuk mempercayai Tuhan, tidak semata-mata menjurus pada pernyataan “ya” atau “tidak” dalam beriman. Mujani menegaskan bahwa seseorang dalam memahami konsep belief ini bisa terjadi diversifikasi: seseorang kadang-kadang bisa percaya kepada Tuhan dan kadang-kadang pula tidak. Bagi beberapa kalangan, iman bukanlah kondisi yang konstan. Karena itu, Mujani menawarkan untuk mengukur keyakinan kepada Tuhan dengan sejauh mana seseorang percaya kepada Tuhan, adalah: selalu percaya, sering percaya, kadang percaya, atau tidak percaya.

5. Pengampunan (forgiveness)

Secara harfiyah forgiveness adalah memaafkan, yaitu suatu tindakan yang bertujuan untuk memberi maaf bagi orang yang melakukan kesalahan dan berusaha keras untuk melihat orang itu dengan belas kasihan, kebajikan dan cinta. Ajaran Islam melalui nash-nash al-Quran maupun institusi ibadahnya sangat concern terhadap soal maaf- memaafkan. Forgiveness adalah suatu dimensi religiusitas yang menurut al-Quran sangat sentral untuk ditegakkan. Sebagaimana termaktub dalam QS Ali Imran [3]: 133-134 :

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, yaitu orang-orang yang menafkahkan hartanya, baik di waktu lapang mapun di waktu sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”

Dalam Islam mengatakan prinsip saling memaafkan adalah nilai-nilai moral agama yang cinta pada kedamaian dan keharmonisan hidup. Contoh perilaku memaafkan ini pernah dipraktikkan Nabi Muhammad saw, bahwa suatu ketika, betapa pun dia sering diperlakukan secara zhalim, dia tokh memaafkan kezhaliman para pelakunya.

Maaf merupakan kata magis, apalagi diucapkan dengan sepenuh hati karena dapat membuat manusia semakin menjadi manusia. Menurut Hidayat orang yang enggan atau bahkan tidak pernah meminta maaf pada orang lain pasti jiwanya tidak sehat. Kepribadiannya mentah sebab sesungguhnya tiada hari seseorang tanpa berbuat salah, sengaja atau tidak sengaja, dan perbuatan itu menyinggung perasaan orang lain di sekelilingnya. Memang upaya memaafkan di antara sesama manusia merupakan perbuatan yang sulit, karena boleh jadi latar belakang kehidupan seseorang yang berbeda, baik agama, etnis maupun pendidikan serta kualifikasi sosial politik, dan lain-lain; membuat seseorang memperoleh kendala psikologis untuk menyatakan maaf yang tulus antarsesama.

Al-Areifi (2008) menambahkan dalam menjalani kehidupan, seseorang tidak akan terlepas dari kesalahan orang lain terhadap dirinya, yang bisa saja disebabkan oleh hal- hal terkecil misalnya bercanda atau melontarkan kata-kata pedas. Bagaimana pun, dimensi forgiveness ini mesti diungkapkan seseorang dengan niat yang tulus dan ikhlas.

Maksudnya, ketika menyampaikan pernyataan maaf –berasal dari hati nurani-, pada dasarnya ia berjanji tidak akan melakukan kesalahan yang sama.

6. Praktek Keberagamaan Individual (private religious practices)

Menurut Fetzer (1999) private religious practices merupakan perilaku beragama dalam mempelajari agama meliputi ibadah, mempelajari kitab suci, dan kegiatan-kegiatan lain untuk meningkatkan religiusitasnya. Secara mendasar dimensi ini dapat dipahami untuk mengukur tingkatan sejauh mana seseorang mengerjakan ritual agamanya. Dimensi ini mencakup perilaku pemujaan, ketaatan, dan hal-hal yang dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya. Praktik-praktik keagamaan ini mengacu kepada seperangkat ritus, tindakan keagamaan formal dan praktik-praktik suci yang semua mengharapkan para pemeluk melaksanakan.

Menurut Najati (2000) praktik keberagamaan dalam ajaran Islam masuk dalam diktum ibadah mahdhah , di antaranya: Shalat, puasa, zakat, dan haji. Seiring dengan itu, Madjid (1992) mengungkapkan bahwa ibadah dapat juga disebut sebagai ritus atau tindakan ritual, yang amat penting dari setiap agama atau kepercayaan (seperti yang ada pada sistem-sistem kultus). Madjid menerangkan sesuatu yang amat penting untuk diingat mengenai ibadah (ritual) ialah bahwa dalam melakukan amal perbuatan itu seseorang harus mengikuti petunjuk agama dengan referensi kepada sumber-sumber suci (Kitab dan Sunnah), tanpa sedikit pun hak bagi seseorang untuk menciptakan sendiri cara dan pola mengerjakannya.

7. Pengaruh Beragama (religious/spiritual coping)

Masalah kecemasan (anxiety), kegelisahan (restlessness) dan stres, merupakan bagian masalah yang banyak dipelajari, diteliti dan dibahas dalam kajian psikologi. Karena itu Fetzer menawarkan pola religious/spiritual coping yang merupakan coping stress guna mengatasi persoalan tersebut dengan menggunakan pola dan metode religius. Seperti dengan berdoa, beribadah untuk menghilangkan stress, dan sebagainya. Begitu juga diungkap Bastaman, bahwa beraneka ragam terapi dikembangkan para ahli guna mengatasi rasa cemas tersebut, di antaranya terapi relaksasi, terapi tingkah laku, dan sebagainya. Namun, dalam kajian Islam dan Psikologi, Bastaman menambahkan aspek yang membahas sebuah terapi yang dapat menghadirkan perasaan tenang dan tenteram (thuma’ninah), adalah dengan berdzikir secara terus menerus dengan penuh kekhidmatan. Dalam ranah tasawuf, menurut Rakhmat terapi seperti itu diupayakan senantiasa memurnikan diri dengan jalan menguasai nafsu-nafsu rendah serta mengikuti perjalanan hidup para nabi melalui berbagai latihan keruhanian (riyadhah). Inilah yang menerangkan mengapa di lingkungan pesantren atau di kalangan penganut tarekat, riyadhah dalam berbagai bentuk amalan sunnah (seperti puasa Senin-Kamis), dan lebih- lebih usaha mempertautkan diri dengan Allah melalui dzikir merupakan hal yang sangat sentral dalam kehidupan sehari-hari mereka.

Rakhmat berpendapat, sikap batin dalam beragama (menjalankan syariat), jika tidak diaktualisasikan dalam bentuk pelaksanaan ibadah sebagaimana dicontohkan oleh Nabi, dipandang sebagi kesombongan spiritual yang menjurus pada penyelewengan. Dalam kaitan ini, Imam Malik, salah seorang pendiri madzhab Fiqih, mengatakan bahwa siapa yang bertasawuf tanpa mengamalkan fiqih, ia zindiq (menyeleweng) dan siapa yang mengamalkan fiqih tanpa tasawuf, ia fasiq (tak bermoral).

Dalam perspektif wal of life seorang muslim, kehadiran manusia di muka bumi diberi status sebagai khalifah Allah, sebagai wakil Allah yang diberi amanat untuk menegakkan kebenaran dalam kehidupan manusia untuk mencapai ridha Allah sebagai tujuan hidupnya. Oleh karena itu, menurut Mubarok (2010), naluri manusia cenderung mencari perlindungan kepada Yang Mahakuat, terutama ketika sedang merasa terancam. Bukan hanya orang beragama, orang atheis pun ketika melepas prajuritnya ke medan perang, mereka mengucapkan, “Semoga kalian menang berperang”. Kalimat semoga, menurut Mubarok, adalah ungkapan religius, ungkapan doa, yakni mengharapkan campur tangan kekuatan ghaib yang diyakini lebih besar dibanding kekuatan manusia.

8. Dukungan Agama (religious support)

Religious Support adalah aspek hubungan sosial antar individu dengan pemeluk agama sesamanya. Dalam Islam hal semacam ini sering disebut dengan Ukhuwah Islamiyyah. Agama mengandung otoritas dan kemampuan pengaruh untuk mengatur kembali nilai-nilai dan sasaran yang ingin dicapai masyarakat.

Seorang motivator asal Mesil, Al-Areifi (2008), mencontohkan religious support dalam ajaran Islam pernah dipraktikkan oleh Rasulullah yang senantiasa berbaur dengan masyarakatnya dan selalu bersabar atas gangguan yang diterimanya. Rasulullah senantiasa menyikapi siapa saja dengan sikap yang lembut, mata yang mudah berlinang, lisan yang selalu mendoakan, dan hati yang dipenuhi kasih sayang. Ini berarti, Rasulullah selalu merasa bahwa dirinya dengan orang lain adalah laksanan satyu tubuh: Ia senantiasa ikut merasakan kefakiran orang miskin, kesedihan orang yang sedang bersedih, kesakitan orang yang sedang sakit, dan kebutuhan orang yang sedang membutuhkan.

9. Riwayat Beragama ( spiritual religious/spiritual history)

Religious/spiritual history seberapa jauh individu berpartisipasi untuk agama dalam hidupnya dan seberapa jauh agama mempengaruhi perjalanan hidupnya. Willcox (2006) menyatakan, sebagian orang beranggapan bahwa agama sebagai suatu peninggalan masa lampau, sesuatu yang bersifat kuno. Ditegaskan ide tentang agama memang sudah lama ada, namun agama yang sejati selalu baru untuk setiap manusia yang bernafas. Dalam pandangan psikologi sufi, menurut Willcox, spiritual history terbagun dalam dua kategori utama: spiritualis dan materialis.

Jika argumen dari kedua kelompok ini diperhatikan secara teliti, keduanya sebenarnya sama. Materialis mengatakan bahwa perasaan jasmaniyah menggambarkan kebenaran, ditemukan dalam sel-sel kita dan benda-benda di luar. Spiritualis mengatakan kebenaran ditemukan melalui pikiran kita (yang merupakan produk dari sel-sel otak kita).

Hidayat (2006) menganalogikan kehidupan beragama layaknya sebuah festival yakni salah satu aktivitas manusia yang hampir dilakukan di semua tempat. Sebuah pesta perayaan dengan beragam pertunjukkan dan permainan. Ada yang sifatnya religius dan ada pula yang non-religius. Tetapi, menurut Hidayat, semuanya memiliki kemiripan, yakni aktivitas sosial yang bersifat massal, warna-warni, untuk mengenang dan mengawetkan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh sebuah komunitas atau masyarakat sebagai penguat diri menatap hari esok.

10. Komitmen Beragama (commitment)

Commitment adalah seberapa jauh individu mementingkan agamanya, komitmen, serta berkontribusi kepada agamanya. Hidayat (2006) melukiskan cara yang indah dalam menjalin komitmen agama. Menurutnya agama ibarat pakaian. Dia juga mengutip, “Sebaik-baik pakaian adalah pakaian takwa,” (QS al-Araf: 26). Mengapa demikian? Pertama, untuk menjaga kesahatan. Mereka yang tinggal di daerah dingin sangat sadar akan fungsi kesehatan. Kedua, untuk menjaga aurat. Salah satu aspek yang membedakan manusia dengan binatang adalah manusia mengenal konsep aurat lalu mengenakan pakaian. Ketiga, orang berpakaian selalu mempertimbangkan aspek estetika atau seni agar indah dipandang. Itulah tiga fungsi utama pakaian yang bisa dianalogikan dengan agama.

11. Pengorganisasian Agama (organizational religiousness)

Organizational religiousness merupakan konsep yang mengukur seberapa jauh individu ikut serta dalam lembaga keagamaan yang ada di masyarakat dan beraktivitas di dalamnya. Menurut Effendy (2009) lembaga keagamaan memiliki implikasi-implikasi yang sifatnya personal maupun kelompok. Di Indonesia, banyak lembaga keagamaan yang dapat menampung individu guna meningkatkan nilai sosial maupun aspek spiritual. Menurut Saleh (2004) dari segi organisasi massa Islam, tercatat Muhammadiyah dan NU yang memiliki basis massa terbanyak dan mampu menyedot perhatian masyarakat dari tatanan ubudiyah . Meskipun kata Fauzan, masih banyak pula orang Islam di Indonesia yang tidak secara resmi tercatat sebagai anggota organisasi massa Islam, tetapi tetap menjadi orang Islam yang taat. Ada pula komunitas muslim yang tergabung dalam wadah Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).

Latif (2004) mengklasifikasi wadah ICMI sebagai kelas menengah muslim terdidik sehingga membenarkan asumsi umum bahwa ICMI sebagai sebuah representasi dari aksi kolektif intelektual muslim. Lembaga keagamaan lain yang juga diminati komunitas muslim adalah kelompok pengajian atau majlis taklim. Menurut Huda (2007) mejelis taklim sebagai salah satu lembaga Islam yang bersifat non-formal, tampak mempunyai kekhasan tersendiri. Lembaga ini mempunyai daya tarik yang luar biasa besar. Ini bisa dilihat dari segi jumlah lembaga yang ada maupun jamaahnya. Dengan kata lain, sektarianisme keagamaan seperti pada Muhammadiyah dan NU, menjadi pudar dalam majelis taklim. Lembaga ini lebih menyerupai kumpulan pengajian yang diselenggarakan atas dasar kebutuhan untuk memahami Islam di sela-sela kesibuka bekerja dan bentuk-bentuk aktivitas lainnya.

Nor Huda mencatat, saat ini, majelis taklim telah mengembangkan dirinya lebih jauh daripada masa-masa awal berdirinya, sekitar 1950-an. Upaya penataan dan pengorganisasian telah dilakukan oleh lembaga ini. Sebagai contoh, pada 1 Januari 1981 diselenggarakan musyawarah 850 majelis taklim yang ada di DKI Jakarta dan sekitarnya. Dalam musyawarah yang diseleneggarakan di Perguruan Asy-Syafiiyah, Jakarta, itu antara lain melahirkan kesepakatan bersama untuk membentuk Badan Kontak Majelis Taklim (BKMT). Pada perkembangan berikutnya, Menurut Chirzin (1974), secara strategis majelis taklim menjadi sarana dakwah dan tabligh yang berperan sentral pada pembinaan dan peningkatan kualitas hidup umat agama Islam sesuai tuntunannya. Majelis ini menyadarkan umat Islam untuk memahami dan mengamalkan agamanya yang kontekstual di lingkungan hidup sosial–budaya dan alam sekitar masing-masing, menjadikan umat Islam sebagai ummatan wasathan yang meneladani kelompok umat lain.

Untuk tujuan itu, maka pemimpinnya harus berperan sebagai penunjuk jalan ke arah pencerahan sikap hidup Islami yang membawa kepada kesehatan mental rohaniah dan kesadaran fungsional selaku khalifah di buminya sendiri. Dalam kaitan ini peranan secara fungsional majelis taklim adalah mengokohkan landasan hidup manusia muslim Indonesia pada khususnya di bidang mental spiritual keagamaan Islam dalam upaya meningkatkan kualitas hidupnya secara integral, lahiriah dan batiniah, duniawi dan ukhrawiah bersamaan (simultan), sesuai tuntunan ajaran agama Islam yaitu iman dan takwa yang melandasi kehidupan duniawi dalam segala bidang kegiatannya.

12. Pilihan Terhadap Agama (religious preference)

Konsep religious preference bisa diartikan sebagai pijakan untuk menentukan sejauh mana individu membuat pilihan dan memastikan agama yang dianutnya. Effendy (2009) mencatat bahwa persoalan religious preference masuk dalam wilayah publik dan privat. Dengan bahasa lain dia menyebutnya sebagai deprivatisasi agama, yang mengambil tiga bentuk utama:

  • Pertama, mobilisasi agama untuk mempertahankan tradisi keagamaan sebagai akibat penghadapannya dengan berbagai bentuk penetrasi pasar dan negara.

  • Kedua, agama masuk dalam persoalan publik masyarakat modern untuk mempertanyakan dan melawan klaim-klaim dua sistem kemasyarakatan utama, yaitu negara dan pasar, agar sesuai dengan norma-norma instrinsik.

  • Ketiga, deprivarisasi agama mengambil bentuk keharusan untuk mempertahankan nilai-nilai tradisional keagamaan yang bersifat “common good” dengan melawan teori-teori liberal modern yang sangat individualistik. Pada tingkat tertentu religious preference ini memberi pemaknaan bagi pengikut agama serta menawarkan peluang menjalankan agama dengan penuh semangat.

Menurut Glock & Stark (dalam Ancok & Suroso, 2001) dimensi- dimensi religiusitas terdiri dari lima macam yaitu:

  1. Dimensi keyakinan, merupakan dimensi ideologis yang memberikan gambaran sejauh mana seseorang menerima hal-hal yang dogmatis dari agamanya.

  2. Dimensi peribadatan atau praktek agama, merupakan dimensi ritual, yakni sejauh mana seseorang menjalankan kewajiban-kewajiban ritual agamanya.

  3. Dimensi pengamalan atau konsekuensi, menunjuk pada seberapa tingkatan seseorang berperilaku dimotivasi oleh ajaran-ajaran agamanya, yaitu bagaimana individu berelasi dengan dunianya, terutama dengan manusia lain. Dimensi ini meliputi perilaku suka menolong, bekerjasama, berderma, menegakkan keadilan dan kebenaran, berlaku jujur, memaafkan, tidak mencuri, mematuhi norma-norma agama dalam berperilaku seksual, dan sebagainya.

  4. Dimensi pengetahuan, menunjuk pada seberapa tingkat pengetahuan seseorang terhadap ajaran-ajaran agamanya, terutama mengenai ajaran- ajaran pokok dari agamanya, sebagaimana termuat dalam kitab sucinya.

  5. Dimensi penghayatan, menunjuk pada seberapa jauh tingkat seseorang dalam merasakan dan mengalami perasaan-perasaan dan pengalaman- pengalaman religius. Dimensi ini terwujud dalam perasaan dekat atau akrab dengan Tuhan, perasaan do’a-do’anya sering terkabul, perasaan tenteram bahagia, perasaan khusuk ketika beribadah, dan sebagainya.