Apa saja dampak positif dan negatif pemakaian kartu kredit?

kartu kredit
Banyak orang mungkin setuju bila keberadaan kartu kredit bisa membantu kepraktisan transaksi. Lebih-lebih dengan penawaran berbagai benefit atau keuntungan mulai dari diskon harga, cashback, poin hadiah dan lain-lain, kartu kredit bisa menjadi alat transaksi non tunai yang menguntungkan. Namun, akan banyak pula orang yang setuju bila kartu kredit bisa berubah menjadi sumber malapetaka finansial yang sangat berbahaya. Maklum, alat transaksi non tunai ini adalah jenis kredit atau pinjaman konsumtif berbunga tinggi di seluruh dunia. Di Indonesia, bunganya mencapai 2,25 persen per bulan atau 27 persen per tahun.

Ketika Anda sampai terlambat membayar tagihan kartu kredit, bunga yang harus Anda bayar bisa sangat mahal.

  1. Tagihan kartu kredit Anda lebih besar daripada porsi tabungan
    Beban utang yang wajar ditanggung seseorang, menurut prinsip personal finance yang sehat, maksimal sebesar 30 persen-35 persen dari total pendapatan rutin. Jadi, bila Anda memiliki penghasilan Rp 10 juta per bulan, maksimal beban cicilan utang per bulan yang sehat adalah Rp 3 juta saja. Itu termasuk utang kartu kredit, cicilan KPR, cicilan lain-lain. Nah, perhatikan sekarang, berapa nilai tagihan kartu kredit Anda, apakah lebih besar daripada porsi penghasilan yang Anda tabung? Idealnya, besar tabungan minimal 10 persen-20 persen dari nilai penghasilan rutin. Jangan sampai terjadi Anda tagihan Anda Rp 2 juta tapi porsi tabungan Anda hanya Rp 500.000. Bila terjadi seperti ini, lebih baik Anda menghentikan lebih dulu pemakaian kartu kredit Anda.

  2. Anda memakai kartu kredit secara impulsive
    Pemakaian kartu kredit mulai berbahaya bila Anda lebih sering memakainya untuk tindakan konsumsi yang impulsif. Idealnya, pemakaian kartu kredit perlu perencanaan yang baik dengan komitmen untuk selalu membayar 100 persen tagihan tepat waktu. Tapi, bila Anda mulai memakainya untuk hal-hal impulsif seperti online shopping di tengah kepenatan pekerjaan, Anda perlu waspada. Jangan sampai hal itu menjadi kebiasaan di masa mendatang yang mengakibatkan Anda mulai kehilangan kendali dalam memakai kartu kredit.

  3. Anda sering membayar minimum payment
    Kartu kredit memang memiliki fitur pembayaran minimum payment. Misalnya, tagihan Rp 3 juta, Anda diperbolehkan membayar minimal sebanyak Rp 300.000 saja. Dengan konsekuensi, sisa tagihan bulan berikutnya sebesar Rp 2,7 juta (dengan asumsi tidak ada transaksi lagi) akan terkena bunga 2,25 persen atau sebesar Rp 67.500. Membayar tagihan kartu kredit dalam jumlah minimal sekilas mungkin meringankan beban arus kas Anda. Tapi, kebiasaan ini berbahaya bagi kesehatan keuangan, cepat atau lambat. Utang kartu kredit bunganya terus menggulung hingga tagihan yang tadinya seolah sedikit, lambat laun bisa membengkak tak karuan.

  4. Anda mulai akrab dengan transaksi tarik tunai kartu kredit Kartu kredit memiliki fitur tarik tunai atau cash advance. Ini memungkinkan pemegang kartu menarik uang sewaktu-waktu melalui mesin ATM sebagaimana kartu debit/ATM biasa. Bedanya, bila kartu debit sumbernya adalah uang Anda sendiri di bank, tarik tunai kartu kredit bersumber dari dana pinjaman bank yang berbunga mahal. Transaksi tarik tunai kartu kredit juga terkena biaya sendiri selain bunga. Inilah mengapa sebaiknya transaksi tarik tunai kartu kredit sebaiknya dihindari kecuali terpaksa. Nah, bila akhir-akhir ini Anda mulai lebih sering memakai fitur tarik tunai tersebut, waspadalah. Besar kemungkinan Anda sudah menjadikan kartu kredit sebagai sumber penghasilan. Padahal, itu bukanlah pendapatan Anda melainkan uang pinjaman bank. Bila sudah demikian, jangan kaget bila sebentar lagi kartu kredit menjadi sumber malapetaka finansial.

Pengertian Kartu Kredit


Kartu kredit adalah suatu jenis alat pembayaran sebagai pengganti uang tunai, dimana kita suatu sewaktu-waktu menukarkan apa saja yang kita inginkan, yakni di tempat dimana saja ada cabang yang dapat menerima kartu kredit dari bank atau perusahaan yang mengeluarkan atau cabang yang mengeluarkan (Imam Prayogo Suryahadibroto, 1990), kartu kredit adalah pembayaran melalui jasa bank atau perusahaan pembiayaan dalam transaksi jual beli barang atau jasa, atau alat untuk mengambil tunai dari bank atau perusahaan pembiayaan (Abdulkadir Muhammad, 2000).

Kartu kredit adalah kartu yang dikeluarkan bank yang meminjami nasabah sejumlah uang tanpa harus memiliki dana atau tabungan di bank tersebut (Ali Arifin, 2002), kartu kredit adalah kartu yang bisa digunakan sebagai alat pembayaran, yang pelunasan tagihannya dapat dilakukan secara bartahap atau dicicil, kepada pemegang kartu kredit ditentukan jumlah batas kreditnya (M. Djumhana, 2006). Kartu kredit merupakan suatu kartu yang pada umumnya dibuat dari bahan plastik, dengan dibubuhkan identitas pemegang atau penerbitnya, yang memberikan hak terhadap siapa kartu kredit di terbitkan untuk menandatangani tanda pelunasan pembayaran dari jasa atau barang yang dibeli di tempat-tempat tertentu, seperti toko, hotel, restauran, penjual tiket pengangkutan dan lain-lain (Munir Fuady, 2006).

Dasar Hukum Kartu Kredit


Pendekatan pemanfaatan kartu kredit tidak hanya dilakukan dari segi kebutuhan ekonomi, melainkan harus didukung pula oleh pendekatan hukum (legal approach), sehingga diakui dan berlaku dalam hubungan hukum ekonomi. Kartu kredit merupakan salah satu bentuk kegiatan ekonomi di bidang usaha pembiayaan yang bersumber dari berbagai ketentuan hukum, baik perjanjian maupun perundang- undangan. Perjanjian adalah sumber utama hukum kartu kredit dari segi perdata, sedangkan Perundangan-Undangan adalah sumber utama hukum kartu kredit dari segi publik. Pada setiap kegiatan usaha pembiayaan, termasuk juga kartu kredit, inisiatif mengadakan hubungan kontraktual berasal dari pihak-pihak terutama konsumen sebagai pembeli. Dengan demikian, kehendak pihak-pihak tersebut dituangkan dalam bentuk tertulis berupa rumusan perjanjian yang menetapkan kewajiban dan hak masing-masing pihak dalam hubungan dan penerbitan dan penggunaan kartu kredit. Dalam Perundang-Undangan juga diatur mengenai kewajiban dan hak pihak-pihak tidak menentukan lain secara khusus dalam kontrak yang dibuat (Abdulkadir Muhammad dan Rilda Murniati, 2006).

Dasar hukum atas pelaksanaan kegiatan kartu kredit ini di Indonesia adalah sebagai berikut:

1. Perjanjian antar pihak sebagai dasar hukum

Sistem hukum di Indonesia menganut asas kebebasan berkontrak. Hal ini sesuai dengan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya. Dengan berlandaskan kepada pasal tersebut maka asalkan dibuat secara tidak bertentangan dengan hukum ataupun kebiasaan yang berlaku, setiap perjanjian baik itu yang berbentuk lisan maupun tulisan yang dibuat oleh para pihak yang terlibat dalam kegiatan kartu kredit, akan berlaku sebagai Undang-Undang bagi para pihak tersebut.

Pada kenyataannya memang ada perjanjian yang dibuat oleh mereka yang berhubungan dengan penerbitan dan pengoperasian kartu kredit tersebut. Sebab itulah Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata dapat menjadi salah satu dasar hukum bagi berlakunya kartu kredit. Dengan demikian tentunya pasal-pasal tentang perikatan di dalam Buku III KUH Perdata berlaku terhadap perjanjian- perjanjian yang berkenaan dengan kartu kredit.

2. Perundang-Undangan sebagai dasar hukum

Ada beberapa peraturan yang dengan tegas menyebut dan memberi landasan hukum terhadap penerbitan dan pengoperasian kartu kredit karena didalam KUHD dan KUH Perdata tidak diatur secara tegas dasar hukum bagi eksistensi kartu kredit, yaitu sebagai berikut :

  • Undang-Undang Perbankan No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan, yakni Pasal 6 “menyediakan pembiayaan dan/atau melakukan kegiatan lain berdasarkan prinsip syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia”, namun ketentuan itu kurang jelas sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang Perbankan Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, Pasal 6 Huruf 1 menyebutkan “melakukan kegiatan anjak piutang, usaha kartu kredit dan wali amanat”. Dalam penjelasan pasal tersebut dikatakan bahwa “Kegiatan anjak piutang merupakan piutang atau tagihan jangka pendek dari transaksi perdagangan dalam dan luar negeri”. Usaha kartu kredit merupakan usaha dalam kegiatan pemberian kredit atau pembiayaan untuk pembelian barang atau jasa yang penarikannya dilakukan dengan kartu kredit. Secara teknis kartu kredit berfungsi sebagai sarana pemindah bukuan dalam melakukan transaksi pembayaran suatu transaksi.
  • Peraturan Bank Indonesia No. 7/52/PBI/2005 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu, yang telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia No. 10/8/PBI/2008 dan terakhir diubah dengan Peraturan Bank Indonesia No. 11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu. Pasal 1 ayat (4) yaitu Kartu Kredit adalah APMK yang dapat digunakan untuk melakukan pembayaran atas kewajiban yang timbul dari suatu kegiatan ekonomi, termasuk transaksi pembelanjaan dan/atau untuk melakukan penarikan tunai, dimana kewajiban pembayaran pemegang kartu dipenuhi oleh terlebih dahulu acquirer atau penerbit, dan pemegang kartu berkewajiban untuk melakukan pembayaran pada waktu yang disepakati baik dengan pelunasan secara sekaligus (charge card) maupun dengan secara angsuran

Dampak Kartu Kredit


Dampak positif dari pemakaian kartu kredit adalah :

  • Kemudahan dalam memperoleh uang tunai pada setiap saat melalui fasilitas ATM ( Automated Teller Machine ) di berbagai tempat strategis.
  • Meningkatkan prestise karena dapat memberi kesan bonafiditas.

Menurut Dahlan Siamat (2001), dampak positif lain dari penggunaan kartu kredit adalah :

  • lebih aman dan praktis, karena tidak perlu membawa uang tunai dalam jumlah besar;
  • leluasa, karena kartu kredit telah diterima sebagai alat pembayaran hampir di seluruh kota di seluruh dunia (misalnya visa dan master card) ;
  • sistem pembayaran yang fleksibel. Pembayaran atas tegihan dapat diangsur ( credit card ) atau beberapa waktu ( charge card );
  • program merchandising , yaitu kesempatan membeli barang-barang dengan mengangsur tanpa bunga;
  • bantuan-bantuan perjalanan terutama ke luar negeri, misalnya referensi, dokter, rumah sakit, dan bantuan hukum;
  • purchase protection plan, yaitu asuransi perlindungan pembelian barang yang diberikan secara otomatis.

Dampak negatif dari adanya kartu kredit adalah, yaitu :

  • Pemasaran kartu kredit dalam bentuk Kredit Tanpa Agunan (KTA)
    Pemasaran kartu kredit dalam bentuk KTA saat ini dilakukan dengan berbagai cara dan sarana, misalnya pemasaran kartu kredit melalui operator selular tanpa disertai dengan penjelasan secara rinci mengenai produk kartu kredit. Menurut Pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata, semua kebendaan debitur baik yang bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada menjadi tanggungan perikatan perorangannya kepada pihak lain secara berimbang. Artinya pada dasarnya menurut hukum tidak ada kredit tanpa agunan, dan oleh karena itu KTA telah menyalahi azas hukum perdata secara mendasar.

  • Penggunaan kartu kredit secara konsumtif
    Tidak adanya penjelasan mengenai kartu kredit secara jelas, konsumen menggunakan kartu kredit dengan berlebihan yang menyebabkan hidup konsumtif sehingga pada waktu jatuh tempo menerima tagihan dalam jumlah besar. Bank/lembaga pembiayaan biasanya tidak memberikan penjelasan secara rinci besarnya bunga kartu kredit. Hal ini bisa terlihat dari besarnya NPL pada tahun 2011 mencapai Rp1,52 Triliun. Besarnya NPL tersebut memerlukan konsistensi pengontrolan penyaluran kredit konsumtif, misalnya pengawasan oleh Bank Indonesia terhadap transaksi kartu kredit. Selama ini bunga kartu kredit maksimal 3%-3,25%, namun melalui Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) No 14/34/DASP, Bank Indonesia (BI) mematok bunga kartu kredit maksimal 2,95% per bulan atau 35,4% selama setahun, yang mulai berlaku pada awal bulan Januari 2013. Besaran bunga maksimal berlaku pada transaksi pembelanjaan maupun transaksi tarik tunai. Pembatasan bunga karena bunga kartu kredit belum memperhatikan aspek perlindungan konsumen dan manajemen risiko.

  • Meningkatnya jumlah NPL pertahun
    Peningkatan jumlah NPL dari tahun ke tahun memerlukan pengawasan khusus dari Bank Indonesia. NPL tersebut disebabkan terdapat tagihan kartu kredit yang berasal dari pembengkakan biaya tahunan (annual fees) yang ditagihkan kepada konsumen, padahal konsumen sama sekali tidak berkeinginan ataupun menggunakannya kartu kredit dalam kesehariannya. Konsumen diberi kemudahan untuk memperoleh kartu kredit dari penerbit serta memberikan berbagai fasilitas, namun tidak disertai dengan transparansi kartu kredit. Hal ini juga harus menjadi pertimbangan bagi Bank Indonesia untuk menilai apakah bank tersebut sehat serta layak untuk menerbitkan kartu kredit.