Apa saja dampak dari adanya politik dinasi ?

Politik dinasti

Politik dinasti dapat diartikan sebagai sebuah kekuasaan politik yang dijalankan oleh sekelompok orang yang masih terkait dalam hubungan keluarga.

Apa dampak dari dinasti politik?

Berbagai fenomena dinasti politik yang menjamur pada momen politik saat ini. Mewajibkan kita harus sadar sejak dini. Sentralisasi kekuasaan yang terpusat pada satu keluarga tidak dapat dilihat dalam aspek politik saja namun juga bagaimana dampak sosiologis yang akan terjadi dalam realitas masyarakat. bahkan menjadi kekhawatiran kekuasaan tersebut tidak mampu membawa perubahan sosial maupun ekonomi untuk masyarakat banyak. Sehingga menciptakan budaya korupsi dan terbukanya angka pengangguran disebabkan kekuasaan hanya dikuasai oleh beberapa orang dalam satu keluarga tanpa memberi ruang kepada pihak lain untuk ikut berpartisipasi.

Korupsi yang terjadi dalam pemerintahan dinasti semakin nampak ketika Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di otak-atik. Dimana pengadaan tender barang dan jasa diatur sedemikian rupa untuk memberikan ruang empuk bagi kelompok yang mendukung pejabat saat itu. Perbuatan tersebut dapat merusak tatanan sosial sekaligus merusak citra pemimpin itu sendiri beserta keluarganya.

Belum lagi terputusnya regenerasi dalam kepemimpinan di sebabkan penguasa terus memperjuangkan kekuasaannya. Penguasaan kekuasaan hanya berputar pada saudara, istri, anak bahkan keluarga. Sehingga banyak generasi yang hilang kesempatan dalam menunjukkan kemampuan terbaiknya dalam mengabdi kepada bangsa dan Negara.

Karena itu, distribusi kekuasaan mutlak adanya agar dapat memberikan keadilan bagi masyarakat. Memberi keluasan kepada figur atau sosok pemimpin yang disenangi oleh masyarakat banyak dengan tidak memandang apakah ia memiliki modal partai politik atau tidak sama sekali. Sehingga tidak hanya kelompok yang kuat dan punya akses besarlah yang dapat menguasai kekuasaan.

Akhirnya politik dinasti maupun bentuk dinasti politik bukanlah suatu yang salah. Kesalahan tersebut hanyalah jika kepemimpinan sebuah Negeri atau daerah jatuh ke tangan pemimpin yang tidak memiliki kualitas dan tanggung jawab dalam memimpin.

POLITIK dinasti tidak bisa dilarang, karena menyangkut hak asasi setiap orang untuk menjadi pemimpin dan sebagai ekspresi demokrasi. Meski demikian, melanggengkan politik dengan memajukan istri, anak, saudara, atau kerabat menggantikan kedudukannya sebagai pejabat publik berdampak buruk bagi kehidupan berbangsa dan bertanah air. Sebab, terjadi kemacetan demokrasi, akibat tersumbatnya kaderisasi beberapa generasi. Di samping itu, politik dinasti sangat rawan menimbulkan korupsi, kolusi, dan nepostisme (KKN), sehingga dapat merusak tatanan sosial, sekaligus merusak pemimpin itu sendiri beserta keluarganya. Pemimpin yang berakhir masuk penjara karena korupsi, selain menghancurkan nama baik keluarga, juga mempermalukan seluruh rakyat yang dipimpinnya.

Dampak politik dinasti yang paling fatal adalah terjadinya kemandekan regenerasi, akibat penguasa terus memperpanjang kekuasaannya. Masa jabatan lima tahun selama dua periode sesungguhnya merupakan waktu ideal bagi penguasa untuk mengabdikan dirinya bagi bangsa dan negara. Setelah mengabdi selama sepuluh tahun, maka lima atau sepuluh tahun berikutnya digunakan oleh kader bangsa yang lain untuk mengabdi. Namun jika sepuluh tahun kepemimpinan diperpanjang dengan lima atau sepuluh tahun berikutnya dengan mengangkat istri, anak, saudara atau kerabat yang lain, maka ada generasi yang hilang (the lost generation).

Generasi yang hilang ini mubazir, karena tidak mampu mempersembahkan kemampuan terbaiknya dalam mengabdi kepada bangsa dan negara. Bahkan tidak mustahil, generasi yang tidak tersalurkan hasrat politik dan pengabdiannya kemudian berubah menjadi gerakan liar yang kontraproduktif yang dapat merusak ketenteraman dan pada gilirannya delegitimasi pemerintah. Pada gilirannya, yang rugi tidak hanya generasi muda calon pemimpin itu, melainkan juga seluruh masyarakat.

Politik dinasti dapat berlangsung lebih fair jika setelah menjabat dua periode kali lima tahun, pemimpin tersebut kemudian memberikan kesempatan kepada kader bangsa yang lain untuk memimpin. Setelah satu atau dua periode, istri atau anak pemimpin tersebut kembali turun melakukan kontestasi dalam pemilu. Jika mendapatkan dukungan rakyat dan memenangi kontestasi, maka politik dinastinya memiliki nilai plus. Artinya, kepemimpinan dinasti tersebut dikenal baik dan dirasakan manfaatnya oleh rakyat.

Tapi politik dinasti yang dilakukan tanpa jeda cenderung tidak adil. Sebab, istri atau anak, serta keluarga yang didukung penguasa dilindungi kekuasaan incumbent dan berlimpah kekuasaan dan finansial. Sementara masyarakat Indonesia yang paternalistik tidak mudah menolak kepemimpinan yang bersifat dinastik ini. Di sinilah letak rawannya korupsi, jika jago yang diusung membutuhkan pendanaan yang banyak, maka petahana menciptakan “kreativitas” yang bisa memperkaya diri dan keluarganya. Dengan memiliki kuasa, pendanaan model apa pun mudah dilakukan, termasuk cenderung menggunakan pendanaan ilegal melalui korupsi.