Apa saja dalil-dalil tentang anjuran untuk Nikah ?

Pernikahan Islam

“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan untukmu istri/pasangan dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar-Ruum: 21)

Apa saja dalil-dalil tentang anjuran untuk Nikah ?

Para ulama sependapat bahwa nikah disyari’atkan oleh agama Islam. Perbedaan pendapat di antara mereka adalah masalah hukum menikah dan masalah kondisi seseorang yang berhubungan dengan pernikahan, demikian juga tentang ketentuan jumlah wanita yang boleh dinikahi.

Dalil-dalil yang menunjukkan anjuran nikah adalah sebagai berikut:

Dalil al-Qur’an

Artinya :‘Maka nikahilah wanita-wanita yang baik bagimu, dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu khawatir (menduga) akan tidak berlaku adil, maka cukuplah satu atau budak belianmu.’ (QS. An-Nisa’: 3)

Redaksi yang biasa digunakan dalam al-Qur’an untuk menerangkan bolehnya sesuatu ialah dengan kata-kata (tidak ada salahnya bagi kamu), dan (dihalalkan bagi kamu), dan lain-lain. Tetapi nash al-Qur’an dalam hal ini berbentuk perintah.

Dalam ilmu tafsir sudah diketahui bahwa menurut asalnya perintah Allah Swt. itu menunjukkan wajib, merupakan perintah yang tegas dan mesti dilaksanakan, kecuali kalau ada alasan yang menunjukkan bahwa perintah itu maksudnya untuk mengajari atau memberi tuntunan, atau memberi tahu, atau yang lain-lain. Jadi, kalau kata-kata dalam al-Qur’an itu berbentuk perintah dari Allah Swt., maka sesuatu yang diperintahkan itu wajib dikerjakan oleh setiap orang yang kepadanya perintah itu ditujukan; ia mesti mengerjakan dan mengikutinya; itulah pengertian menurut asalnya. Kecuali kalau ada alasan, yang memalingkan perintah itu dari pengertiannya yang asli; maka dalam hal ini perintah itu kadang-kadang bermaksud mengajari, memberi tuntunan atau sekedar memberitahu, atau lainnya.

Dalam surat an-Nuur ayat 32 juga telah diterangkan:

Artinya: ‘Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.’ (QS. An-Nuur: 32)

Penjelasan ayat di atas dalam tafsir al-Maraghi karya Ahmad Musthafa al-Maraghi sebagai berikut:

Kawinkanlah lelaki merdeka yang tidak beristri dan wanita merdeka yang tidak bersuami. Maksudnya ialah ulurkanlah bantuan kepada mereka dengan berbagai jalan agar mereka mudah menikah, seperti membantu dengan harta dan memudahkan jalan yang dengan itu perkawinan dan kekeluargaan dapat tercapai.

Dalam ayat ini terdapat perintah kepada para wali untuk mengawinkan orang-orang yang berada kewajiban pewaliannya, dan kepada para tuan untuk mengawinkan budak laki-laki serta budak perempuannya. Akan tetapi, jumhur memasukkan perintah ini ke dalam hukum istihsan (sebaiknya) bukan wajib, karena pada masa Nabi Saw. dan seluruh masa sesudahnya, terdapat banyak laki-laki dan wanita yang tidak kawin, dan tidak seorangpun mengingkari kenyataan itu. Perintah ini menjadi wajib jika dikhawatirkan terjadi fitnah dan dimungkinkan akan terjadi perzinaan oleh laki-laki atau wanita yang tidak kawin itu.

Kemudian Allah menganjurkan agar kawin dengan laki-laki dan wanita yang fakir, dan hendaklah tidak adanya harta jangan menjadi penghalang bagi dilangsungkannya perkawinan. Sesungguhnya Allah Maha Kaya, karunia-Nya tidak akan pernah habis dan kekuasaan-Nya tidak mempunyai batas, maka Dia akan melapangkan pasangan suami istri dan selain mereka. Allah Maha Mengetahui, Dia akan melapangkan dan mempersempit rezeki kepada siapa pun yang Dia kehendaki sesuai dengan tuntutan kebijaksanaan dan kemaslahatan.

Dalil dari Sunnah

Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari

'Dari „Abdullah r.a., katanya: 'Di zaman Rasulullah Saw., kami adalah pemuda- pemuda yang tidak memiliki apa-apa. Rasulullah saw. berkata kepada kami: ‘Hai para pemuda! Siapa yang mampu berumah tangga, kawinlah! Perkawinan itu melindungi pandangan mata dan memelihara kehormatan. Tetapi siapa yang tidak sanggup kawin, berpuasalah, karena puasa itu merupakan tameng baginya.’ (HR. Bukhari)

Al-Ba’ah adalah biaya perkawinan, seperti mahar, nafkah dan sandang. Al-Wija’ ialah sejenis pengebirian dengan memutus urat pelir tetapi kedua pelir tetap ada, lalu puasa diumpamakan dengannya karena ia dapat memutus syahwat terhadap wanita.

Hikmah pelaksanaan puasa meliputi penguatan iman, peningkatan ketakwaan, dan pemantapan rasa solidaritas. Dengan keimanan yang tertanam dalam diri seorang muslim maka individu akan merasa dikawal dan diawasi, sehingga keinginan melakukan perbuatan tercela dan maksiat dapat dihindari. Melalui peningkatan ketakwaan, seorang muttaqi terpelihara dari perilaku bejat, kemudian melakukan perbuatan terpuji sebagai implementasi dari ketakwaan. Takwa yang berarti memelihara, yaitu memelihara diri dari perilaku buruk dan fakhsya’ . Dengan ketakwaan akan dekat dan merasa bersama Allah. Seorang muttaqi yang berpuasa maka ia telah membentengi diri dari kemaksiatan dan dosa.

Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah

Pada umumnya, masyarakat memahami bahwa pernikahan merupakan sebuah ibadah karena terpengaruh dengan teks hadits yang berbunyi:

:‘Menikah adalah sunnahku, maka barangsiapa yang tidak melakukan sunnahku, maka ia bukan termasuk dari golonganku.’ (HR. Ibnu Majah)

Anggapan bahwa pernikahan merupakan kesunahan, sesuai dengan teks hadis di atas menjadi salah satu faktor yang mendorong seseorang untuk terus berpoligami sebab terinspirasi dengan kaidah fiqh bahwa ‘Setiap ibadah yang lebih banyak dilakukan niscaya akan lebih banyak pahalanya’.

Kata ‘sunnatî’ pada teks di atas tidak mengarah pada arti hukum sunnah dimana pelakunya mendapat pahala jika melakukan dan jika ditinggalkan tidak berdosa, melainkan memiliki arti secara bahasa yakni pola hidup Rasul. Syaikh Nawawi al-Bantani sebagaimana yang dikutip dalam Tafsir Maqashidi, beliau mengomentari kata sunnatî dengan arti tharîqatî (pola hidup).

Referensi :

  • Abdul Nasir Taufiq al „Atthar, Poligami Ditinjau Dari Segi Agama, Sosial, dan Perundang-Undangan, (Semarang: Departemen Agama, 1976).
  • Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, (Semarang: PT Karya Toha Putra, 1993), juz XVIII.
  • Khairunnas Rajab, Psikologi Ibadah Memakmurkan Kerajaan Ilahi di Hati Manusia, (Jakarta: AMZAH, 2011).