Apa saja ciri-ciri orang shaleh?

Shaleh atau sholeh

Apa saja ciri-ciri orang shaleh atau sholeh ?

A post was merged into an existing topic: Apa saja ciri-ciri suami yang baik menurut kacamata Islam ?

Ciri-ciri orang saleh, salah satunya, terdapat didalam Al Quran, yaitu Surah Al-Luqman : Ayat 15-19,

Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (15)

(Luqman berkata): "Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui. (16)

Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). (17)

Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. (18)

Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai. (19)

Dari ayat-ayat di atas dapatlah diambil kesimpulan, bahwa ciri-ciri orang Shaleh adalah:

  1. Berbuat baik kepada kedua orang tuanya walaupun keduanya musyrik.
  2. Menjauhi perbuatan yang tidak baik, sekalipun pada masa itu tidak ada orang mengetahuinya
  3. Mendirikan solat
  4. Mengajak manusia kepada kebaikan
  5. Menjauhi kemungkaran
  6. Bersabar dalam menghadapi keadaan apapun dalam kehidupan
  7. Tidak bersikap sombong
  8. Tidak melakukan perkara yang tidak baik dalam masyakarat
  9. Selalu bertutur dengan sopan
  10. Menghormati orang lain

Kriteria kesalehan seseorang tidak hanya diukur dari seperti ibadah ritualnya, seperti shalat dan puasanyanya, tetapi juga dilihat dari output sosialnya/ nilai-nilai dan perilaku sosialnya: berupa kasih sayang pada sesama, sikap demokratis, menghargai hak orang lain, cinta kasih, penuh kesantunan, harmonis dengan orang lain, memberi dan membantu sesama.

Dalam sebuah hadis dikisahkan, bahwa suatu ketika Nabi Muhammad SAW mendengar berita tentang seorang yang rajin shalat di malam hari dan puasa di siang hari, tetapi lidahnya menyakiti tetangganya. Apa komentar nabi tentang dia, singkat saja, “Ia di neraka.” Kata nabi. Hadis ini memperlihatkan kepada kita bahwa ibadah ritual saja belum cukup. Ibadah ritual mesti dibarengi dengan kesalehan sosial.

Dalam hadis lain diceritakan, bahwa seorang sahabat pernah memuji kesalehan orang lain di depan Nabi. Nabi bertanya, “Mengapa ia kau sebut sangat saleh?” tanya Nabi. Sahabat itu menjawab, “Soalnya, tiap saya masuk masjid ini dia sudah salat dengan khusyuk dan tiap saya sudah pulang, dia masih saja khusyuk berdoa.” “Lho, lalu siapa yang memberinya makan dan minum?” tanya Nabi lagi. “Kakaknya,” sahut sahabat tersebut. Lalu kata Nabi, “Kakaknya itulah yang layak disebut saleh.” Sahabat itu diam.

Kenapa? Karena sebuah pengertian baru terbentuk dalam benaknya, bahwa ukuran kesalehan, dengan begitu, menjadi lebih jelas. Kesalehan tidak hanya dilihat dari ketaatan dan kesungguhan seseorang dalam menjalankan ibadah ritual, karena ini sifatnya hanya individual dan sebatas hubungan dengan Allah (Hablum minallah) tetapi kesalehan juga dilihat dari dampak kongkretnya dalam kehidupan bermasyarakat. Kesalehan sangat tergantung pada tindakan nyata seseorang, dalam hubungannya dengan sesama manusia (Hablum minan nas); juga sangat tergantung pada sikap serta prilakunya terhadap alam, baik hewan, tumbuh-tumbuhan dsb (hablum minal alam).

Kesalehan mencakup hubungan baik dengan Allah (hablum minallah), hubungan baik dengan sesama manusia (hablum minan nas), dan hubungan baik dengan alam (hablum minal alam).

Agaknya karena pemahaman seperti ini pula, maka ketika seorang Kiyai pernah ditanya santrinya, “Kiyai seperti apa sih yang disebut orang shaleh”? Kiyai itu menjawab: yaitu “Orang yang menyeimbangkan ushali dan usaha, ” artinya orang saleh adalah orang yang mampu menyeimbangkan antara ibadah ritual dan prilaku sosialnya. Artinya tidak hanya rajin beribadah, tetapi berprilaku baik pada sesama sebagai manifestasi dari ibadahnya itu.

Dengan demikian, Islam bukan agama individual. Ajaran Islam yang dibawa Nabi Muhammad adalah agama yang dimaksudkan sebagai rahmat bagi semesta alam (Rahmatan lil alamin). Agama yang tidak hanya untuk kepentingan penyembahan dan pengabdian diri pada Allah semata tetapi juga menjadi rahmat bagi semesta alam. Karena itu, dalam al-Quran kita jumpai fungsi manusia itu bersifat ganda, bukan hanya sebagai abdi Allah tetapi juga sebagai khalifatullah. Khalifatullah berarti memegang amanah untuk memelihara, memanfaatkan, melestarikan dan memakmurkan alam semesta ini, karena itu mengandung makna hablum minan nas wa Hablum minal alam.

Menurut Syekh Sya’rawi, orang saleh itu ada dua macam, saleh duniawi dan saleh ukhrawi.

Saleh duniawi adalah saleh dalam arti asal, yakni orang yang berkepribadian baik sehingga di manapun berada ia tidak merugikan tapi justru banyak memberi manfaat bagi orang-orang di sekitarnya. Namun kesalehan semacam ini hanya berdimensi etis, bahwa apa yang dilakukannya itu baik atau benar berdasarkan pertimbangan akal sehat. Kesalehan tersebut bersifat universal dan dapat diakui secara rasional oleh semua manusia.

Orang saleh jenis ini bisa kita temukan di tempat mana pun di muka bumi ini. Ia bisa seorang muslim, non-muslim bahkan ateis sekalipun; apapun profesi, jenis kelamin dan status sosialnya. Di lingkungannya, ia menciptakan keadilan, keteraturan, kedamaian, kemajuan dan kemakmuran. Namun ibarat bangunan, kesalehan tersebut berdiri tanpa fondasi relijius-spiritual sehingga hanya berdimensi duniawi.

Saleh ukhrawi, yakni kesalehan yang lahir dari keimanan. Kebaikan yang dilakukan sebagai ekspresi dari ketaatan kepada Tuhan. Artinya, seseorang berkepribadian atau melakukan kebaikan tidak sekedar karena tuntutan etika, tapi juga atas kesadaran penuh sebagai seorang hamba Allah untuk berbuat baik kepada sesama hamba dan ciptaan-Nya. Untuk itu dalam setiap tindakannya, ia juga selalu memperhatikan aturan-aturan dan hukum agama, seperti halal dan haram, atau wajib dan sunnah.

Garis pembeda antara saleh duniawi dan ukhrawi ini ialah keimanan, sehingga saleh ukhrawi ini hanya bisa dimiliki oleh seorang Muslim. Kebaikan yang dilakukan bisa saja serupa, namun berbeda nilainya. Kesalehan ukhrawi bernilai dunia sekaligus akherat. Contohnya ketika seorang Muslim menyingkirkan paku di jalan. Ia melakukannya bukan sekedar karena dorongan etis untuk berbuat baik pada sesama manusia, tapi juga karena tuntunan agama untuk mencegah keburukan menimpa orang lain.

Seorang Muslim yang saleh menyadari bahwa dirinya bukan hanya sebagai manusia, tapi juga sebagai hamba Allah. Ia sadar, sebagai manusia tentu memiliki kekurangan. Namun ia berusaha agar kekurangannya itu bisa diminimalisir dan tidak merugikan orang lain. Sebaliknya, dengan kemampuan dan kelebihan yang dimilikinya, ia berupaya memberi manfaat sebanyak-banyaknya bagi orang lain dan lingkungannya.

Ia pun sadar bahwa hidup ini hanya sementara. Baik-buruk perilakunya selama hidup di dunia akan dipertanggungjawabkannya di hadapan Allah SWT kelak di hari kiamat. Inilah orang saleh yang barangkali dimaksudkan Allah dalam firman-Nya,

“Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, mereka akan ditempatkan bersama dengan orang-orang yang Allah anugerahi nikmat, yaitu para Nabi, para shiddīqīn, para syuhada, dan orang-orang saleh. Mereka adalah sebaik-baik teman.” (QS. An-Nisa: 69).

Sumber : http://www.nu.or.id/post/read/69774/makna-saleh-dan-macam-macamnya