Apa saja cara yang dilakukan untuk mendiagnosa penyakit canine distemper virus pada anjing?

Canine Distemper merupakan virus yang dapat menyerang saluran pernafasan, saluran pencernaan, sistem syaraf pusat, dan selaput konjungtiva mata pada anjing yang memiliki tingkat kematian sangat tinggi. Penyakit Canine Distemper disebabkan oleh virus CDV (Canine Distemper Virus) yang lebih sering terjadi pada anjing yang berusia dibawah 1 tahun. Tetapi tidak menutup kemungkinan dapat terjadi pada anjing yang berusia 1 sampai 10 tahun. Biasanya terjadi pada anjing dewasa yang tidak pernah mendapatkan vaksin atau vaksin tahunan yang tidak rutin.

Diagnosa Canine Distemper Virus dapat dilakukan dengan memperhatikan hal-hal berikut ini. Hewan
dengan gejala klinis demam dengan manifestasi multisistemik dan didukung dengan tidak ada riwayat vaksinasi pada anak anjing, hal ini dapat dipertimbangkan ke arah penyakit distemper. Kadang-kadang gejala klinis yang khas dari Canine Distemper Virus tidak muncul sampai akhir penyakit. Gambaran klinis dari Canine Distemper Virus dapat bersamaan dengan infestasi parasit dan berbagai penyakit lainnya seperti infeksi virus lainnya dan bakteri. Penyakit distemper pada anjing juga dapat dikelirukan dengan infeksi sistemik seperti leptospirosis, infeksi hepatitis pada anjing (canine hepatitis) atau Rocky Mountain spotted fever. Keracunan akibat timbal atau organofosfat juga mirip dengan gejala klinis pada Canine Distemper Virus (stimulasi atau gangguan gastrointestinal dan gejala saraf). Oleh karena itu, diagnosa berdasarkan gejala klinis tidak dapat menjadi patokan untuk menentukan hewan terinfeksi Canine Distemper Virus, sehingga diperlukan pengujian lainnya (laboratorium).

Diagnosa Canine Distemper Virus dapat dilakukan dengan pengujian biokimiawi, hematologi dan analisis urin. Hasil pengujian tersebut menunjukkan terjadinya limfopenia, dimana berkurangnya jumlah limfosit (sel-sel darah putih yang berfungsi dalam sistem kekebalan tubuh pada tahap awal penyakit). Selain itu, pada hasil pengujian biokimiawi juga menunjukkan hipoalbuminemia, dan hipoglobulinemia. Pemeriksaan mikroskopis dengan pewarnaan preparat ulas darah perifer atau sitologi eksfoliatif (swab konjungtiva) ditemukan adanya badan inklusi intraseluler di sitoplasma monosit, limfosit, netrofil atau eritrosit. Pengujian biokimiawi pada cairan serebrospinal dapat menunjukkan peningkatan jumlah limfosit dan monosit serta peningkatan protein atau hanya terjadi peningkatan protein saja.

Pengujian serologi dengan enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) dapat mendeteksi antibodi IgG spesifik terhadap Canine Distemper Virus di dalam cairan serebrospinal. Namun, pengujian ini sulit untuk membedakan antara antibodi dari vaksinasi dengan antibodi akibat paparan Canine Distemper Virus secara alami. Kulit berambut, mukus dari hidung dan epitel pada telapak kaki dapat digunakan juga untuk mendeteksi antibodi terhadap Canine Distemper Virus.

Deteksi antigen virus dari Canine Distemper di dalam sel atau jaringan dapat dilakukan dengan metode immunohistokimia seperti fluorescent antibody (FA) dari swab konjungtiva, trakea, darah, sedimen urin,atau aspirasi sumsum tulang. Selain itu, Polymerase chain reaction (PCR) dapat digunakan juga untuk mengetahui urutan genetik (genetic sequence) dari virus distemper yang hadir, tetapi teknik pengujian ini sangat sensitif, sulit dan kadang-kadang tidak akurat. Telah tersedia secara komersil kuantitatif reverse transcriptase polymerase chain reaction (RT-PCR) yang dapat membedakan antara infeksi Canine Distemper Virus secara alami dengan virus dari vaksin.

Pengujian radiografi (x-ray) atau Computed tomography (CT) scan pada bagian thorak dapat digunakan untuk memastikan adanya pneumonia pada hewan yang terinfeksi. Selain itu, Computed tomography (CT) dan magnetic resonance imaging (MRI) scans dapat digunakan untuk pemeriksaan bagian otak terhadap setiap lesi yang mungkin telah berkembang.