Apa saja candi-candi yang dibangun pada masa Singhasari - Majapahit

Kerajaan Majapahit yang berkuasa cukup lama di bumi Nusantara menghasilkan sederetan hasil kebudayaan berlatar belakang agama Hindu-Buddha, maupun kepercayaan lokal. Hasil budaya tersebut antara lain berupa arsitektur bangunan suci dan bangunan profan. Arsitektur bangunan suci peninggalan budaya Majapahit antara lain berupa candi, petirthaan, goa pertapaan, dan bermacam benda sakral lainnya yang dihubungkan dengan aktivitas keagamaan.

Berikut daftar candi-candi yang dibangun pada masa Singosari dan Majapahit

No Nama Candi Agama Kronologi (Masehi) Jenis Menurut Bahan Lokasi saat ini
1 Kidal Hindu Pertengahan abad ke-13 Suddha Malang
2 Singhasari Hindu Akhir abad ke-13 Suddha Malang
3 Jawi Hindu-Buddha Akhir abad ke-13 Misra Pasuruan
4 Sawentar Hindu Akhir abad ke-13 Suddha Blitar
5 Jago Buddha 1343 Samkirna Malang
6 Ngrimbi Hindu 1348 Misra Jombang
7 Panataran Hindu 1347,1375 Samkirna Blitar
8 Jabung Buddha 1354 Misra Probolinggo
9 Tegawangi Hindu 1370 Samkirna Kediri
10 Bhayalango Buddha 1369 Samkirna Tulungagung
11 Pari Hindu 1371 Suddha Sidoarjo
12 Surawana Hindu 1440 Samkirna Kediri
13 Kedaton Hindu 1370 Suddha Probolinggo
14 Papoh/kotes Hindu (Rsi) 1378 Samkirna Blitar
15 Kalicilik Hindu Abad ke-14 Misra Blitar
16 Bangkal Hindu Abad ke-14 Misra Mojokerto
17 Kamulan Hindu Abad ke-14 Sudha Trenggalek
18 Sanggrahan Buddha Abad ke-14 Samkirna Tulungagung
19 Gunung Gangsir Hindu 1375 Suddha
20 Miri Gambar Hindu Awal abad ke-15 Samkirna Tulungagung
21 Dadi Hindu (Rsi) Abad ke-14 Suddha Tulungagung
22 Ngetos Hindu Abad ke-14 Suddha Nganjuk
23 Brahu Abad ke-14 Suddha Trowulan
24 Gapura Bajang Ratu Hindu Abad ke-14 Suddha Trowulan
25 Pasetran Hindu (Rsi) Abad ke-15 Suddha Mojokerto
26 Penampihan Hindu (Rsi) 898,1194,1460 Sudha Tulungagung
27 Kepurbakalaan Gunung Penanggungan Hindu/Buddha (Rsi) Abad ke-15 Suddha Mojokerto
28 Kepurbakalaan diGunung Arjuno Hindu (Rsi) Abad 14-15 Misra Malang
29 Sukuh/ Ceta Hindu (Rsi) Abad ke-15 Samkirna G. Lawu, Karanganyar

Catatan :

Menurut kitab Manassara silpasastra

  • Kategori Suddha : Candi yang terbuat dari satu jenis bahan
  • Kategori Misra : Candi yang terbuat dari dua jenis bahan yang berbeda.
  • Kategori Samkirna : Candi yang terbuat dari tiga jenis bahan atau lebih

Menurut Nágarakrtágama terdapat 2 jenis bangunan suci dan tempat suci yang diawasi oleh pemerintah pusat yaitu darma dalm atau darma haji dan dharma lpas (Pigeaud 1960 III: 86—8; Santiko 1999:11).

Dharma dalm atau dharma haji adalah bangunan yang diperuntukan bagi raja dan keluarganya berjumlah 27 yaitu Kagenengan, Tumapel, Kidal, Jajaghu, Wedwa-Wedwan, Tudan, Pikatan, Bukul, Jawa-jawa, Antang Antarasashi, Kalengbret, Balitar Silabhrit, Waleri, Babeg, Kukap, Lumbang, Pagor, Antahpura, Sagala, Simping, Sri Ranggapura, Kuncir, Prajnaparamitapuri, dan Bhayalango (Nagarakrtagama pupuh 73-74). Masing-masing dharma haji diawasi oleh seorang sthapaka dan seorang wiku haji, kemudian pemerintahan pusat terdapat pejabat yang mengawasi secara keseluruhan yaitu seorang dharmadyaksa bernama Arya Wiradhikara.

Dalam Pararaton disebut nama raja-raja dan tempat pendharmaannya sebagai berikut: Kertarejasa di Antahpura, Jayanegara di Kepompongan (Crnggapura), Stri Bhre Gundal di Sajabung (Bajrajinaparimitapura), Bhre Daha di Adilangu (Purwawisesa), Bhre Kahuripan di Panggih (Pantarapura), Bhre Tumapel (Krtawardhanna) di Japan (Sarwajnapura), Bhre Parameswara Pamotan di Manyar (Wisnubhawanapura), Bhre Matahun di Tegawangi (Kusumapura), dan Bhre Pajang di Embul (Girindrapura) (Padmapuspita 1996, Soekmono 1993:69).

Bangunan-bangunan yang disebutkan di atas tidak dapat dikenali saat ini. Contoh bangunan yang dapat dikenali adalah Candi Kidal, dan Candi Jago (Jajaghu), serta Candi Sumberjati (Simping).

Bangunan-bangunan yang berada di bawah pengawasan 2 dharmadyaksa pada masa Majapahit disebutkan dalam Nagarakertagama pupuh 76-77 dharmadyaksa ring kasaiwan mengawasi 4 kelompok bangunan yaitu:

  1. Kuti balay, merupakan tempat pemujaan yang dilengkapi dengan bangunan pendopo (mandala) tanpa dinding, serta dilengkapi pula bangunan tempat tinggal untuk para pendeta
  2. Parhyangan, adalah tempat suci untuk memuja leluhur / nenek moyang
  3. Prasada haji, merupakan candi kerajaan serta tempat pendarmaan kerabat raja
  4. Spathika i hyang, adalah tempat peringatan bagi leluhur

Sedangkan dharmadyaksa ring kasogatan mengawasi tanah-tanah perdikan (sima) bagi kegiatan agama Buddha yang terdiri atas 2 kelompok yaitu;

  1. Kawinaya, adalah bangunan suci agama Buddha secara umum yang bukan diperuntukan bagi suatu sekte.
  2. Kabojradharan, adalah bangunan suci sekte Bajradhara

Pada masa Majapahit (mungkin pula telah dikenal sejak masa Singhasari) terdapat empat jenis bangunan suci atau candi yang berdasarkan para perancang dan pengelolanya yaitu:

  1. Candi kerajaan yang disungsung oleh seluruh penduduk kerajaan Majapahit. Di candi itu diadakan upacara persembahan pada bulan Waisaka setiap tahun (Nagarakertagama 61:21). Candi kerajaan yang dapat dikenal adalah Rabut Palah atau candi Panataran sekarang.

  2. Candi pendarmaan yang dibangun untuk memuliakan tokoh yang sudah meninggal. Pembangunan candi seperti itu dapat saja atas perintah raja, kerabat raja atau juga penguasa daerah. Contoh candi jenis ini adalah Prajnaparamitapuri atau Candi Bhayalango.

  3. Candi milik masyarakat yang dikelola masyarakat disebut juga dharma lepas. Candi jenis ini tentunya yang paling banyak dibangun.

  4. Bangunan–bangunan suci milik para rsi yang umumnya didirikan di lerenglereng yang jauh dari keramaian masyarakat. Bangunan khas kaum rsi bentuknya tidak seperti candi pada umumnya, melainkan berupa teras bertingkat, altar pemujaan, dan goa-goa pertapaan yang alami maupun buatan contohnya adalah karsyan pawitra atau kepurbakalaan di gunung Pawitra (Munandar, 2003:120-122).

Apabila dilihat dari sisi arsitekturnya, candi-candi pada masa singosari dan majapahit dapat dikelompokkan menjadi beberapa kategori besar.

Menurut Agus Aris Munandar, percandian pada klasik tua dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu: gaya kesinambungan Singhasari-Majapahit dan gaya Majapahit.

I. Gaya Kesinambungan Singhasari-Majapahit

Gaya Kesinambungan Singhasari-Majapahit adalah gaya yang telah berkembang pada masa Singhasari, tetapi masih di gunakan pada masa Majaphit. Menurutnya beberapa candi yang memiliki ciri-ciri demikian adalah candi Jawi, Sawentar dan Singhasari yang semuanya berasal dari era Singhasari. Kemudian Candi Bangkal, Kalicilik dan gapura Bajang Ratu yang semuannya berasal dari masa Majapahit. Ciri-ciri bangunan dengan gaya kesinambungan antara lain adalah:

  1. Bangunan terletak di tengah halaman
  2. Bangunan terbagi atas bagian kaki (upahita), tubuh (stambha) dan atap yang terbuat dari bahan yang tahan lama dan bentuknya menjulang tinggi ke atas seperti menara (sikhara)
  3. Bilik utama candi (garbhagrha) terletak di bagian tengah kaki candi, dan tidak bergeser ke belakang kaki seperti candi-candi masa kemudian.

II. Gaya yang muncul pada masa Majapahit

Gaya yang muncul pada masa Majapahit dapat dikelompokkan menjadi beberapa kelompok, antara lain :

1. Kelompok Candi Jago.

  • Kaki candi berupa teras dengan 1,2 atau 3 teras; denah dasar empat persegi panjang.
  • Bilik utama (garbhagrha) didirikan di bagian tengah atau agak bergeser ke belakang pada denah dasar bangunan.
  • Atap tidak ditemukan lagi, karena mungkin terbuat dari bahan yang cepat rusak, misalnya dari kayu, bambu, ijuk atau sirap kayu. Atap kemungkinan berbentuk tumpang tersusun ke atas seperti atap bangunan meru pada pura di Bali, di Candi Jago terdapat relief bangunan dengan atap tumpang pada dinding ke-3 kaki candinya, sangat mungkin Candi Jago dahulu juga beratap tumpang.
  • Candi-candi lain yang gaya arsitekturnya mirip dengan candi Jago adalah Candi Ngrimbi, Induk Panataran, Banyalango, Surawana, Tegawangi, Sanggrahan, Mirigambar, dan Kedaton.

2. Kelompok Candi Brahu.

  • Kaki candi berteras dengan beberapa tingkat (biasanya 3 tingkat).
  • Tubuh candi yang berbentuk bilik candi didirikan di bagian belakang denah yang bentuk dasarnya empat persegi panjang.
  • Atap terbuat dari bahan yang sama dengan bahan pembuat candinya. Yang termasuk gaya Brahu adalah candi-candi di daerah Padang Lawas, Sumatra. Bangunan Biaro Bahal I, II, dan III. Jika ditilik dari segi arsitekturnya sangat mirip dengan candi Brahu, kronologi dan nafas keagamaannya juga sama dengan candi-candi yang dibangun pada masa Singhasari-Majapahit, oleh karena itu kelompok Biaro Bahal dapat dimasukkan ke dalam kelompok gaya Brahu.

3. Kelompok Arsitektur Puden Berundak.

  • Bentuknya merupakan susunan teras bertingkat dan mempunyai satu sisi karena umumnya dibangun pada kemiringan lereng gunung.
  • Jumlah terasnya antara 1 sampai 4, ditambah batur rendah di atas teras. Hal ini berlaku baik pada punden berundak di gunung Penanggungan, dan Candi Ceta. Walau pun Candi Ceta di lereng gunung Lawu terasnya berjumlah 14 tingkat.
  • Tidak mempunyai bilik candi dan tentu saja tidak mempunyai atap pelindung bangunan.
  • Bagian tersuci terletak pada teras teratas (paling belakang), hal ini ditandai dengan adanya 1 atau 3 altar singhasana atau dengan obyek sakral lainnya. Bagian tersuci pada tingkat atas berarti bagian yang paling dekat dengan puncak gunung atau puncak bukit tempat punden berundak didirikan (Munandar, 1995:115-116).

4. Kelompok Candi Batur

  • Berdenah persegi dengan satu tangga, kecuali Candi Kesiman Tengah yang mempunyai sepasang tangga.
  • Tidak mempunyai dinding, tapi mempunyai atap yang ditopang tiang dari bahan yang cepat rusak. Jika candi batur berukuran kecil tidak mempunyai atap sama sekali, misal Candi Kotes.
  • Terdapat obyek sakral di puncaknya, dapat berupa arca dewa, altar persajian atau Lingga Yoni (tambahan sesudah tahun 1995).

Menurut Hariano Santiko, candi-candi pada masa Majapahit dapat dikelompokan menjadi lima kelompok, antara lain adalah:

  1. Kelompok Candi Singhasari
    Dengan pembagian bangunan kaki, badan, dan atap. Kecenderungan langsing
    dan tinggi dapat ditampakkan pada bangunan-bangunan Majapahit yang
    bergaya Singhasari, contohnya antara lain adalah Candi Jawi dan Kidal.

  2. Kelompok Candi Majapahit

  • Bangunan berundak dua atau tiga dengan tangga yang menghubungkan teras-teras tersebut, dengan badan candi yang bergeser ke belakang dari titik pusat bangunan. Atapnya kemungkinan berjenis meru yang terbuat dari bahan yang mudah rusak.
  • Bangunan berundak teras. Dibangun pada daerah kelerengan dengan altar dan tanpa garbhagrha. Contohnya antara lain adalah: Percandian pada gunung Penanggungan, Arjuno, dan Welirang.
  1. Kelompok Candi Candi Kotes
    Berasal dari masa awal perkembangan kerajaan Majapahit. Struktur candi berupa batur dengan satu tangga, di atas batur tersebut terdapat miniatur candi dengan gaya Singhasari, dengan dua arca dan tanpa altar. Contoh candi jenis ini antara lain adalah : Candi Kedaton, Tegawangi, dan Gambar Wetan.

  2. Kelompok Candi Naga.
    Tidak mempunyai atap, diasumsikan berasal dari bahan yang mudah rusak dan memiliki denah persegi. Contohnya antara lain Candi Naga yang terdapat kompleks Penataran, Surawana, dan Bhayalango.

  3. Kelompok Candi Sukuh
    Bentuk bangunannya menyerupai kerucut dipenggal dengan Lingga pada bagian paling atas. Candi dengan gaya tersebut baru dijumpai pada Candi Sukuh saja (Santiko, 1995:3-5).