Apa saja bentuk-bentuk pengusahaan Pertambangan di Indonesia ?

Apa saja bentuk-bentuk pengusahaan Pertambangan di Indonesia ?

Di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan dikenal ada tiga bentuk pengusahaan pertambangan di Indonesia yaitu sebagai berikut:

1. Kuasa Pertambangan

Kuasa pertambangan adalah salah satu intrumen hukum yang da patdigunakan untuk melaksanakan kegiatan usaha di bidang pertambangan oleh pihak yang sudah dinyatakan berhak sebagai pemegang kuasa pertambangan. Tanpa adanya kuasa pertambangan, pihak tersebut belum dapat melakukan kegiatannya di bidang pertambangan.

Pengertian kuasa pertambangan dijabarkan dalam pasal 2 huruf i Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan yaitu sebagai berikut:

“wewenang yang diberikan kepada badan/perseorangan untuk melaksanakan usaha pertambangan”.

2. Kontrak Karya

Dalam pasal 1 angka (1) Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1614 Tahun 2004 Tentang Pedoman Pemrosesan Permohonan Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara, kontrak karya adalah sebagai berikut:

“perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan perusahaan berbadan hukum Indonesia dalam rangka penanaman modal asing untuk melaksanakan usaha pertambangan bahan galian, tidak termasuk minyak bumi, gas alam, panas bumi, radio aktif, dan batubara”

Yang menjadi subjek dalam kontrak karya ini adalah Pemerintah Indonesia dan badan hukum Indonesia. Modal utama dari badan hukum Indonesia adalah berasal dari modal asing. Objek dari perjanjiannya tidak boleh minyak bumi, gas alam, panas bumi, radio aktif, dan batubara melainkan mineral. Besarnya modal asing tersebut maksimal 95%, sementara modal perusahaan mitra nasionalnya minimal 5% dan modal asing yang dimiliki oleh badan hukum Indonesia itu digunakan untuk eksplorasi dan eksploitasi bahan galian, yang meliputi emas, perak, dan tembaga.

3. Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B)

Pengertian Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara dalam pasal 1 Keputusan Presiden No. 75 Tahun 1996 Tentang Ketentuan Pokok Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara adalah sebagai berikut:

“perjanjian karya antara pemerintah dan perusahaan kontraktor swasta untuk melaksanakan pengusahaan pertambangan bahan galian batubara.”

Pengertian lain tentang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara dijabarkan dalam pasal 1 Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 1409.K/201/M.PE/1996 tentang Tata Cara Pengajuan Pemrosesan Pemberian Kuasa Pertambangan, Izin Prinsip, Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara yang berbunyi sebagai berikut:

“suatu perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dengan perusahaan swasta asing atau patungan antara asing dengan nasional (dalam rangka PMA) untuk pengusahaan batubara dengan berpedoman kepada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing serta Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan.”

Jika dilihat kedua pengertian tersebut akan ditemukan perbedaan mengenai unsur-unsur dari pengertian PKP2B. Dalam pasal 1 Keputusan Presiden No. 75 Tahun 1996 Tentang Ketentuan Pokok Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara tidak dijelaskan secara rinci tentang perusahaan kontraktor swasta yang dapat melakukan pengusahaan batubara.

Sedangkan dalam Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 1409.K/201/M.PE/1996 tentang Tata Cara Pengajuan Pemrosesan Pemberian Kuasa Pertambangan, Izin Prinsip, Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara, perusahaan kontraktor swasta dijelaskan bahwa tidak hanya perusahaan swasta nasional saja yang dapat melakukan pengusahaan batubara namun perusahaan swasta asing dan atau gabungan antara perusahaan swasta nasional dan perusahaan swasta asing juga dapat melakukan pengusahaan batubara.

Referensi :
Salim HS, Hukum Pertambangan Di Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo, 2007)

Berbeda dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan yang membagi usaha pertambangan berdasarkan penggolongan bahan galian strategis, bahan galian vital dan bahan galian non strategis-non vital, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara mengatur bahwa usaha pertambangan dikelompokkan atas pertambangan mineral dan pertambangan batubara.

Pertambangan mineral sendiri digolongkan sebagai berikut:

  1. pertambangan mineral radioaktif;
  2. pertambangan mineral logam;
  3. pertambangan mineral bukan logam; dan
  4. pertambangan batuan

Usaha pertambangan tersebut diatas dilaksanakan dalam bentuk sebagai berikut:

1. Izin Usaha Pertambangan (IUP)

Pengertian mengenai Izin Usaha Pertambangan dijabarkan dalam pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 4 Tahun adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan. Pelaksanaan IUP terdiri atas dua tahap, lebih singkat daripada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan, yaitu sebagai berikut:

  • IUP Eksplorasi meliputi kegiatan penyelidikan umum,eksplorasi, dan studi kelayakan;

  • IUP Operasi Produksi meliputi kegiatan konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan

2. Izin Pertambangan Rakyat (IPR)

Pengertian mengenai Izin Pertambangan Rakyat dijabarkan dalam pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan dalam wilayah pertambangan rakyat dengan luas wilayah dan investasi terbatas.

Kegiatan pertambangan rakyat dalam pasal 66 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara hanya dapat dilakukan terhadap pertambangan-pertambangan sebagai berikut:

  1. pertambangan mineral logam;
  2. pertambangan mineral bukan logam;
  3. pertambangan batuan; dan/atau
  4. pertambangan batubara.

Luas wilayah dan jangka waktu untuk Izin Pertambangan Rakyat dalam pasal 68 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yaitu untuk luas wilayah satu Izin Pertambangan Rakyat dapat diberikan kepada perseorangan paling banyak satu hektare; kelompok masyarakat paling banyak lima hektare; dan atau koperasi paling banyak sepuluh hektare. Sedangkan untuk jangka waktu Izin Pertambangan Rakyat, paling lama lima tahun dan dapat diperpanjang.

3. Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK)

Pengertian mengenai Izin Usaha Pertambangan Khusus dijabarkan dalam pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 4 Tahun adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan di wilayah izin usaha pertambangan khusus.

Pelaksanaan IUP terdiri atas dua tahap, yaitu sebagai berikut:

  • IUPK Eksplorasi meliputi kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan;

  • IUPK Operasi Produksi meliputi kegiatan konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan

Pemegang IUPK yang menemukan mineral lain di dalam WIUP yang dikelola diberikan prioritas untuk mengusahakannya. Apabila pemegang IUP ini bermaksud mengusahakan mineral lain yang ditemuakn tersebut wajib mengajukan permohonan IUP baru. Apabila pemegang IUP tidak berminat untuk mengusahakan mineral lain yang ditemukannya tersebut wajib menjaga mineral lain tersebut karena mineral lain tersebut dapat diberikan kepada pihak lain hanya oleh Menteri.

Pemberian Izin Usaha Pemberian Khusus dilakukan berdasarkan pertimbangan sebagaimana dijabarkan dalam pasal 28 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara sebagai berikut:

  1. pemenuhan bahan baku industri dan energi dalam negeri;
  2. sumber devisa negara;
  3. kondisi wilayah didasarkan pada keterbatasan sarana dan prasarana;
  4. berpotensi untuk dikembangkan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi;
  5. daya dukung lingkungan; dan/atau
  6. penggunaan teknologi tinggi dan modal investasi yang besar.