Apa saja Asas-asas dalam Hukum Acara Pidana ?

Hukum Acara Pidana merupakan hukum formil yang berguna untuk mempertahankan hukum materiil yaitu hukum pidana. Agar hukum pidana dapat benar-benar dijalankan maka hukum acara pidana yang mempertahankan berlakunya hukum pidana.

“Hukum formil adalah hukum yang mengatur cara mempertahankan atau menjalankan peraturan-peraturan hukum materiil.”

Apa saja Asas-asas dalam Hukum Acara Pidana ?

Asas-asas hukum bukanlah aturan hukum. Asas-asas hukum merupakan bingkai dari sebuah aturan hukum. Asas-asas hukum tersirat dalam aturan-aturan hukum. Asas hukum bersifat umum oleh karena itu harus dituangkan dalam aturan hukumnya agar dapat diterapkan.

Asas-asas hukum harus ada dalam setiap aturan hukum.Jika asas-asas hukum tidak ada dalam sebuah aturan hukum maka aturan tersebut tidak dapat dimengerti. Hal tersebut yang dikatakan oleh Hibnu Nugroho bahwa asas hukum bukanlah hukum, namun hukum tidak akan dimengerti tanpa asas-asas tersebut.

Hukum acara pidana juga memiliki asas-asas hukum acara pidana agar hukum acara pidana dapat dimengerti. Asas-asas hukum acara pidana yaitu:

1. Asas Peradilan Cepat, Sederhana dan Biaya Ringan

Asas ini sebenarnya telah ada sejak berlakunya HIR. Peradilan cepat dalam HIR misalnya dalam Pasal 71 HIR ada kata-kata satu kali 24 jam. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) di dalamnya terdapat peradilan cepat misalnya dalam Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang merumuskan:

“(1)Tersangka berhak segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya dapat diajukan kepada penuntut umum.”

Perumusan Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tersebut terdapat kata “segera” yaitu agar dilakukan secara cepat. Berdasarkan perbandingan antara HIR dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) di atas, sebenarnya ketentuan dalam HIR lebih pasti karena telah dirumuskan berapa lama waktunya, sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) kata “segera” belum menunjukan kepastian.

Perumusan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) juga di dalamnya tersirat asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan yang dirumuskan:

“Terdakwa atau penuntut umum berhak untuk minta banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan pengadilan dalam acara cepat.”

Berdasarkan rumusan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tersebut, Yahya Harahap mengatakan bahwa bertitik tolak ansich dari sudut kepentingan kepastian hukum bagi Terdakwa untuk mempercepat proses penyelesaian perkara, ketentuan ini sangat menguntungkan Terdakwa. Akan tetapi kalau dipertentangkan dari sudut kepentingan hukum dan keadilan dalam mewujudkan kebenaran yang hakiki, barangkali terlampau berat sebelah melindungi kepentingan Terdakwa, sehingga dirasakan kurang bernafas keselarasan dan keseimbangan dengan perlindungan ketertiban masyarakat.

Asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan merupakan wujud penghargaan terhadap hak asasi manusia dan juga agar negara dapat menghemat pengeluaran sehingga dapat dipergunakan untuk kesejahteraan rakyat. Hal serupa juga dikemukakan oleh Andi Hamzah yang mengatakan bahwa peradilan cepat (terutama untuk menghindari penahanan yang lama sebelum ada keputusan hakim) merupakan bagian dari hak asasi manusia. Begitu pula peradilan bebas, jujur, dan tidak memihak yang ditonjolkan dalam undang-undang tersebut.

Implementasi lainnya terhadap asas peradilan cepat terdapat pula dalam hal batas waktu penahanan dalam proses beracara pidana. Penahanan merupakan suatu hak dari para penegak hukum pidana yang menggunakan suatu pedoman berupa hukum acara pidana yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pengaturan mengenai batas waktu penahanan bagi penyidik adalah 20 hari dan dapat diperpanjang atas izin penuntut umum selama 40 hari yang diatur di dalam Pasal 24 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Dalam hal ini batas waktu 60 hari tidak selalu digunakan, hal ini hanya batas waktu maksimum yang dapat dipergunakan oleh penyidik apabila diperlukan perpanjangan waktu penahanan guna memperlancar proses penyidikan. Dan apabila telah sampai batas waktu maksimal penyidik belum juga menyelesaikan apa yang dituju maka Terdakwa harus segera dikeluarkan demi hukum dan tanpa syarat apapun. Maka dalam hal ini penyidik harus segera menyelesaikan proses penyidikan. Begitu pula halnya dalam proses beracara di Penuntut Umum, Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung. Dengan melihat hal tersebut maka jelaslah Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memberikan jaminan untuk dilaksanakannya asas peradilan cepat dalam proses beracara.

2. Praduga Tak Bersalah (Presumption of Innocence)

Asas ini berarti seseorang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan dihadapkan di muka sidang pengadilan tidak boleh dianggap bersalah sampai ada putusan pengadilan yang menyatakan bersalah serta telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Asas ini terdapat dalam Penjelasan Umum butir 3 c Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang dirumuskan:

“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.”

Asas ini merupakan bentuk penghargaan terhadap hak asasi manusia. Asas ini memiliki tujuan untuk memberi perlindungan terhadap hak asasi dan nama baik seseorang. Hal itu disebabkan karena karena seseorang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan dihadapkan di muka sidang pengadilan belum tentu dia bersalah melakukan tindak pidana yang disangkakan kepadanya.

3. Asas Oportunitas

Asas Oportunitas yaitu suatu asas dimana penuntut umum tidak diwajibkan untuk menuntut seseorang jika karena penuntutannya akan merugikan kepentingan umum. A.Z. Abidin Farid dalam Andi Hamzah memberi perumusan tentang asas oportunitas yaitu asas hukum yang memberikan wewenang kepada penuntut umum untuk menuntut atau tidak menuntut dengan tanpa syarat seseorang atau korporasi yang telah mewujudkan delik demi kepentingan umum.

Asas oportunitas merupakan pertentangan asas legalitas. Asas oportunitas mengedepankan kepentingan umum sedangkan asas legalitas mengedepankan kepentingan hukum. Wujud dari asas oportunitas yaitu perkara tersebut dideponir.

Asas oportunitas tidak sembarangan dapat dilakukan. Asas ini hanya berlaku jika kepentingan umum benar-benar dirugikan, selain itu tidak semua jaksa dapat memberlakukan asas ini. Hal ini diatur oleh Pasal 35 c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang merumuskan:

“Jaksa Agung dapat menyampingkan perkara berdasarkan kepentingan umum.”

Perumusan Pasal 35 c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dapat diartikan hanya Jaksa Agung yang dapat mendeponir perkara yang merugikan kepentingan umum.

4. Pemeriksaan Pengadilan Terbuka untuk Umum

Asas pengadilan terbuka untuk umum berarti menghendaki adanya transparansi atau keterbukaan dalam sidang pengadilan. Asas ini terdapat dalam rumusan Pasal 153 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang dirumuskan:

“(3) Untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau Terdakwanya anak-anak.”

Arti dari rumusan pasal tersebut berarti asas ini hanya berlaku dalam sidang pengadilan tidak berlaku dalam tahap penyidikan maupun praperadilan. Meskipun demikian, asas ini pun tidak dapat diterapkan dalam semua sidang pengadilan Pasal 153 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memberi pengecualian terhadap sidang pengadilan mengenai kesusilaan atau Terdakwanya anak-anak. Pengecualian ini dijelaskan oleh M. Yahya Harahap yang mengatakan bahwa:

“Secara singkat dapat dapat dikemukakan bahwa mengenai perkara kesusilaan dianggap masalahnya sangat pribadi sekali. Tidak patut mengungkapkan dan memaparkannya secara terbuka di muka umum. Demikian juga halnya dengan pemeriksaan sidang anak-anak, cara-cara pemeriksaan persidangannya memerlukan kekhususan. Timbul suatu kecenderungan yang agaknya bisa dijadikan dasar filosofis yang mengajarkan anak-anak melakukan tindak pidana, bukanlah benar-benar, tetapi melainkan bersifat “kenakalan” semata-mata.”

Terlaksananya asas ini terdapat di dalam Pasal 153 ayat (4) Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) merumuskan:

“(4) Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (2) dan ayat (3) mengakibatkan batalnya putusan demi hukum.”

Dengan melihat ketentuan Pasal 153 ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ini maka asas pemeriksaan pengadilan harus diterapkan karena jika tidak maka putusan batal demi hukum.

5. Semua Orang Diperlakukan Sama di Depan Hukum

Asas ini berarti tidak membeda-bedakan orang di hadapan hukum. Tidak peduli seseorang berasal dari mana, memiliki jenis kelamin apa, miskin ataupun kaya semuanya diperlakukan sama di depan hukum. Jika seseorang bersalah maka harus dihukum dan jika tidak maka harus dibebaskan. Selain itu dihukum sesuai dengan kesalahan yang dilakukannya dengan tidak mendiskriminatifkan.

Asas ini tercantum dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang merumuskan :

“(1) Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.”

Asas ini juga terdapat dalam penjelasan umum butir 3 a Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang merumuskan:

“Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak mengadakan pembedaan perlakuan.”

Asas semua orang diperlakukan sama di depan hukum terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan ditegaskan kembali oleh Hibnu Nugroho yang mengatakan bahwa:

“Semangat menjujung tinggi HAM yang mendasari lahirnya KUHAP semakin memperkokoh kedudukan asas ini. Dalam hal ini mulai dari ditangkapnya seseorang hingga akhir menjalani proses penegakan hukum, orang tersebut tetap mendapat perlindungan yang memadai. Setiap tahap pemeriksaan diberikan jangka waktu limitatif yang secara terang tertulis dalam ketentuan KUHAP dan pelanggaran terhadap ketentuan tersebut dapat dilakukan pra peradilan.”

6. Peradilan Dilakukan oleh Hakim Karena Jabatannnya dan Tetap

Asas ini menentukan bahwa dalam pengambilan keputusan untuk menyatakan salah tidaknya Terdakwa dilakukan oleh hakim karena jabatannya yang bersifat tetap. Sistem ini berbeda dengan sistem juri. Andi Hamzah mengatakan bahwa sistem juri yang menetukan salah tidaknya Terdakwa ialah suatu dewan yang mewakili golongan-golongan dalam masyarakat. Pada umumnya mereka awam terhadap ilmu hukum.

7. Tersangka/Terdakwa Berhak Mendapat Bantuan Hukum

Salah satu asas yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah bahwa tersangka atau Terdakwa berhak mendapatkan bantuan hukum. Asas ini terdapat dalam Pasal 64 sampai dengan Pasal 74 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Asas ini berlaku secara universal di negara-negara demokrasi. Hal ini terbukti dengan terdapatnya asas ini dalam The International Covenant an Civil and Political Rights article 14 sub 3d sebagaimana dikutip oleh Andi Hamzah bahwa tersangka atau Terdakwa diberi jaminan sebagai berikut:

“To be tried in his presence, and to defend himself in person or through legal assistance of his own choosing, to be inform, if he does not have legal assistance, of this right and to have legal assistance assigned to him, in any case where the interest justice so require, and without payment by him in any such case, if he does not have sufficient means topay for it.
(Diadili dengan kehadiran Terdakwa, membela diri sendiri secara pribadi atau dengan bantuan penasihat hukum menurut pilihannnya sendiri, diberi tahu tentang hak-haknya ini jika ia tidak mempunyai penasihat hukum untuk dia jika untuk kepentingan peradilan perlu untuk itu, dan jika ia tidak mampu membayar penasihat hukum ia dibebaskan dari pembayaran).”

8. Asas Akusator

Asas akusator adalah asas yang menempatkan kedudukan tersangka/Terdakwa sebagai subjek bukan sebagai objek dari setiap tindakan pemeriksaan. Asas ini adalah asas yang dianut oleh Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berbeda dengan yang dianut oleh HIR yang masih menggunakan asas inkuisatoir yang masih menempatkan kedudukan tersangka/Terdakwa sebagai objek pemeriksaan. Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril mengatakan bahwa:

Prinsip akusator menempatkan kedudukan tersangka/Terdakwa dalam setiap tingkat pemeriksaan:

  • Adalah subyek; bukan sebagai obyek pemeriksaan, karena itu tersangka atau Terdakwa harus didudukkan dan diperlakukan dalam kedudukan manusia yang mempunyai harkat dan martabat harga diri.
  • Yang menjadi obyek pemeriksaan dalam prinsip akusator adalah kesalahan yang dialakukan tersangka atau Terdakwa.

Perbedaan asas inkuisatoir yang dianut HIR dengan asas akusator yang dianut oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) salah satunya ditandai dengan perubahan istilah salah satu alat bukti. Dalam HIR disebut dengan pengakuan Terdakwa sedangkan di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) disebut dengan keterangan Terdakwa. Pengakuan Terdakwa dalam HIR sebagai alat bukti memiliki kecenderungan bahwa Terdakwa harus mengakui bahwa dia bersalah.

9. Pemeriksaan Hakim yang Langsung dan Lisan

Asas ini mensyaratkan bahwa dalam pemeriksaan sidang perkara pidana pemeriksaan tersebut dilaksanakan secara langsung dan lisan. Hal ini yang membedakan dengan acara perdata. Dalam acara perdata tergugat dapat diwakili oleh kuasanya.

Hal ini bisa dilihat dalam Pasal 153 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Oleh karena itu tidak diperbolehkan pemeriksaan dengan perantaraan tulisan. Asas ini memiliki tujuan agar pemeriksaan tersebut dapat mencapai kebenaran yang hakiki. Pemeriksaan secara langsung dan lisan memberikan kesempatan kepada hakim untuk lebih teliti dan cermat dimana tidak hanya keterangannya saja yang bisa diteliti tetapi juga sikap dan cara mereka dalam memberikan keterangan.

Referensi :

  • M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, 2008.
  • Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2011,.