Apa saja amalan bid’ah di bulan Sya’ban ?

Bulan Sya’ban juga termasuk salah satu bulan yang diagungkan dalam Islam. Pada malam Nisfu Sya’ban, Allah SWT turun ke langit dunia dan memberi syafaat (bantuan) bagi siapa saja yang meminta pada malam itu hingga terbit Fajar.

Apa saja amalan bid’ah di bulan Sya’ban ?

Amalan bid’ah merupakan amalan yang dibuat-buat tanpa tuntunan dari Rasulullah SAW. Asy Syatibi rahimahullah dalam kitab Al I’tishom mnejelaskan tentang pengertian bid’ah:

“Suatu istilah untuk suatu jalan dalam agama yang dibuat-buat (tanpa ada dalil, pen) yang menyerupai syari’at (ajaran Islam), yang dimaksudkan ketika menempuhnya adalah untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah Ta’ala.”

Bulan Sya’ban adalah bulan penuh kebaikan dimana kita dianjurkan untuk memperbanyak ibadah sebanyak mungkin tanpa menunggu Ramadhan tiba, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Bulan Sya’ban adalah bulan di mana manusia mulai lalai yaitu di antara bulan Rajab dan Ramadhan. Bulan tersebut adalah bulan dinaikkannya berbagai amalan kepada Allah, Rabb semesta alam. Oleh karena itu, aku amatlah suka untuk berpuasa ketika amalanku dinaikkan.” (HR. An Nasa’i no. 2357. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Namun sayang, banyak umat Muslim saat ini yang justru terjerumus ke dalam ajaran yang tidak sesuai dengan panutan Rasulullah SAW. Pada bulan Sya’ban, banyak sekali ditemukan amalan-amalan bid’ah yang seharusnya tidak dilakukan. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Beberapa amalan bid’ah yang sering dilakukan pada bulan Sya’ban di antaranya adalah:

1. Melakukan yasinan atau tahlilan untuk saudara yang telah meninggal.

Beberapa daerah di Indonesia menyebutnya dengan Ruwahan karena Ruwah (sebutan bulan Sya’ban bagi orang Jawa) berasal dari kata arwah sehingga bulan Sya’ban identik dengan kematian.

Makanya sering di beberapa daerah masih laris tradisi yasinan atau tahlilan di bulan Sya’ban. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat tidak pernah mencontohkannya.

2. Menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dengan shalat dan do’a.

Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Tidak ada satu dalil pun yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat. Dan dalil yang ada hanyalah dari beberapa tabi’in yang merupakan fuqoha’ negeri Syam.” (Lathoif Al Ma’arif, 248). Juga yang mengatakan seperti itu adalah Abul ‘Ala Al Mubarakfuri, penulis Tuhfatul Ahwadzi.

Salah satu hadits dho’if atau lemah yang membicarakan keutamaan malam Nishfu Sya’ban, yaitu hadits Abu Musa Al Asy’ari, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Sesungguhnya Allah akan menampakkan (turun) di malam Nishfu Sya’ban kemudian mengampuni semua makhluk-Nya kecuali orang musyrik atau orang yang bermusuhan dengan saudaranya.” (HR. Ibnu Majah no. 1390).

Penulis Tuhfatul Ahwadzi berkata, “Hadits ini munqothi’ (terputus sanadnya).” Berarti hadits tersebut dho’if/ lemah.

Sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Janganlah mengkhususkan malam Jum’at dari malam lainnya untuk shalat. Dan janganlah mengkhususkan hari Jum’at dari hari lainnya untuk berpuasa.” (HR. Muslim no. 1144). Hadist ini menunjukkan bahwa Rasul melarang kita mengkhususkan suatu malam atau hari untuk sholat karena semua hari sebenarnya sama.

3. Melakukan sholat khusus

Ada banyak sholat khsusu yang dilakukan beberapa orang pengikut amalan bid’ah, beberapa diantaranya adalah shalat al-Bara’ah, yaitu shalat seratus rakaat yang dikhususkan pelaksanaannya pada malam nishfu Sya’ban, shalat tujuh raka’at dengan niat untuk menolak bala’ (bencana dan musibah), panjang umur, dan kecukupan sehingga tidak meminta-minta kepada manusia.

4. Meyakini bahwa malam Nishfu Sya’ban adalah malam Lailatul Qadar.

Al-Syuqairi berkata, “Dia (pendapat itu) adalah batil berdasarkan kesepakatan para peneliti dari kalangan Muhadditsin.” (Al-Sunan al-Mubtadi’ah, hal. 146) Hal tersebut berdasarkan firman Allah Ta’ala,

Artinya: “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (Q. S. Al-Baqarah: 185)

5. Melakukan ziarah kubur

Banyak orang ketika menjelang Ramadhan diyakini sebagai waktu utama untuk ziarah kubur, yaitu mengunjungi kubur orang tua atau kerabat.

Padahal ziarah kubur itu tidak dikhususkan pada bulan Sya’ban saja. Kita diperintahkan melakukan ziarah kubur setiap saat agar hati kita semakin lembut karena mengingat kematian. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Lakukanlah ziarah kubur karena hal itu lebih mengingatkan kalian pada akhirat (kematian).” (HR. Muslim no. 976).

Amalan bid’ah ini bukan baru terjadi saat ini saja, tapi sudah sejak lama. Pada mulanya, amalan bid’ah ini berasal dari kesalahpahaman. Imam Al-Maqdisi berkata, “Perkara ini pertama kali terjadi di tempat kami pada tahun 448 Hijriyah.

Pada saat itu ada seorang laki-laki yang dikenal dengan Ibnu Abil Humaira’ yang memiliki bacaan bagus.

Dia shalat di Masjid al-Aqsha pada malam nisfu Sya’ban lalu ada seorang laki-laki yang berdiri di belakangnya kemudian bergabung orang ketiga dan keempat sehingga tidaklah ia selesai dari shalatnya kecuali ia berada di tengah-tengah jama’ah yang banyak.” (Al-Ba’its ‘ala Inkar al-Bida’ wa al-Hawadits, hal. 124-125)

Selain itu, banyak terdapat hadist palsu tentang Sya’ban yang patut diwaspadai. Dari Ali radliyallahu ‘anhu secara marfu’, berkata, “Apabila tiba malam nishfu Sya’ban maka berdirilah shalat pada malam harinya dan berpuasalah pada siang harinya.” (HR. Ibnu Majah dalam Sunannya no. 1388, dan ini adalah hadits Maudlu’.

Syaikh Al-Albani mengatakan dalam Dhaif Sunan Ibni Majah, “Lemah sekali atau maudlu –palsu-” no. 1388, juga dalam Al-Misykah no. 1308, Al-Dhaifah no. 2132)

“Sesungguhnya Allah turun ke langit dunia pada malam Nishfu Sya’ban, lalu Dia akan mengampuni umatku lebih dari jumlah bulu domba yang digembalakan Bani Kalb.” (HR. Ibn Majah no. 1389 dan al-Tirmidzi no. 670. Syaikh al-Albani mendhaifkannya dalam Dhaif Sunan Ibni Majah no. 295 dan Dhaif al-Jami’ al-Shaghir no. 1761)3.